Stories

  • Sabbatical: Seni Menemukan Makna Hidup Dalam Jeda

    Jeda ialah kemewahan yang sepertinya sulit dicapai oleh manusia modern. Sebuah masyarakat yang identik dengan kejar-mengejar  kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran. Sebuah sistem sosial yang memuja-muja kesibukan, kecepatan, dan kompetisi di segala lini.

    Di Indonesia, jeda sepertinya masih dipandang tabu. Berhenti sejenak dari rutinitas nampaknya dianggap aib. Cuti agak panjang seringkali jadi bahan omongan. Karena katanya sukses identik dengan “bergerak”. Laksana mesin-mesin di pabrik.

    Namun, manusia bukanlah robot. Itu mengapa di  negara-negara Barat para lulusan SMA banyak yang “menunda perkuliahan” (Gap Year). Mereka menikmati satu tahun penuh untuk mencari apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup sebelum masuk ke jenjang perguruan tinggi.   Begitupun dengan kaum profesional. Lumrah saja mereka mengambil cuti yang berkisar dua bulan hingga setahun (Career Break). Biasanya diisi dengan traveling, volunteering, menekuni hobi, mencoba hal-hal baru, atau sekedar kontemplasi.

    Buku ini menuturkan kisah nyata penulis mengambil Sabbatical. Suatu fase yang dimanfaatkan untuk mencari jati diri. Suatu masa yang diisi untuk menemukan apa  yang disebut dengan kebahagiaan. Suatu periode yang membawanya mewawancarai lebih dari 1200 orang dari semua strata sosial untuk menceritakan apa makna hidup. Dari pengamen sampai presiden. Dari bhiksu sampai jenderal. Dari penyanyi sampai profesor.

    Disajikan dengan gaya bertutur tanpa menggurui, buku ini mengajak pembaca melihat kehidupan dari sisi lain. Berhenti sejenak dari kesibukan untuk menemukenali diri sendiri (self-discovery), mencari tahu apa yang paling dianggap penting dalam hidup, dan mendatangkan kebahagiaan tanpa syarat. Lebih dari itu, memoar ini menyadarkan pentingnya mencari jati diri sebelum mematok goal yang lekat dengan be, do, dan have.

     

    Apa Yang Dibahas Dalam Buku Ini?

    • Mengedukasi pentingnya mengambil Sabbatical yang belum jamak dilakukan oleh masyarakat Indonesia
    • Menyadarkan para pelajar dan mahasiswa mengapa mengambil Gap Year penting sebelum menentukan jurusan dan profesi
    • Menuturkan manfaat Career Break dari perspektif individu dan profesional
    • Memaknai keberhasilan dan kebahagiaan dari beragam sudut pandang
    • Mengulas “seni mencari jati diri” melalui berderet metafora sederhana
    • Menemukenali minat, bakat, kekuatan, potensi, passion dan panggilan hidup
    • Mengajak pembaca mempertanyakan tujuan hidup

     

    Keunggulan Naskah

    • Belum ada satupun buku asli Indonesia yang membahas Sabbatical, Gap Year, atau Career Break. Sehingga, buku ini menjadi rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mengambil “masa jeda” dalam hidupnya.
    • Menawarkan “intisari” penulis selama lebih dari setahun menikmati masa jeda.
    • Menguraikan pemaknaan hidup lebih dari 1200 orang di 50 kota dan 10 negara yang penulis temui selama masa jeda. Dari beragam latar belakang mulai dari Presiden, Menteri, Bupati, anggota DPR, Jenderal, dokter, pengacara, pemuka agama, artis, jurnalis, bankir, praktisi SDM, motivator, pembawa acara berita, PR, agen asuransi, petani, dosen, pelaut, programmer, pengusaha, dll.
    • Mengajak pembaca mempertanyakan tujuan hidup dengan metafora sederhana. Suatu hal yang sejatinya dibutuhkan oleh setiap orang tapi terabaikan.
    • Membantu pembaca memaknai kembali apa yang benar-benar diinginkan, dicari, diperjuangkan, dan dianggap penting dalam
    • Memberikan perspektif lain dalam memandang keberhasilan, kebahagiaan, kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran.
    • Menyadarkan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dari aspek spiritual, finansial, emosional, intelektual, keluarga, sosial, karir dan kesehatan.

     

    Apa Kata Mereka?

    “Hidup ini singkat. Itu mengapa sah-sah saja kita terus berpacu dengan waktu untuk mencapai target demi target. Namun kita sering lupa bahwa goal yang kita anggap bisa membuat bahagia tersebut ternyata hanya sementara. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk menjalani kemewahan yang tak bisa dibeli dengan Rupiah: Sabbatical. Saya rekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang ingin serius mengenal dirinya sendiri.”

    Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, M.M., CPHCM

    Guru Besar Manajemen SDM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

     

    “Sederhana tapi berisi. Mencerahkan tapi tidak menggurui. Nampaknya dua kalimat tersebut dapat mewakili memoar buku Mas Agung ini.”

    Muqsith Ahmadi

    Co-Founder & CEO of Authentic Guards Pte Ltd

     

    Career Break harus diakui belum populer di tanah air. Mungkin karena orang Indonesia pada umumnya tidak ingin dilihat do nothing. Bisa jadi karena persepsi  masyarakat kita yang menganggap kesuksesan harus identik dengan sibuk, bergerak, dan berpacu dengan waktu. Saya salut dengan penulis yang berani menyuarakan hal berbeda dari orang kebanyakan. Untuk Anda yang punya “nyali” dan berani menantang hidup, saya rekomendasikan buku ini.  Anda WAJIB membacanya!”

    Vita Harsono

    Grapho-Therapist – Transformational Coach – Healing Practitioner

    Founder of Grapho Solution

     

    Intro-spectare yang lazim diucapkan orang menjadi introspeksi, sesungguhnya sebuah proses spiritual penuh makna dan mendalam di mana seseorang bukan saja harus berhenti, tetapi juga menyelami dalamnya samudera jiwa dengan satu tujuan utama mencari jati diri murni, apa dan siapa kita sesungguhnya, dan mau ke mana jiwa dan diri ini akan diarahkan. tulisan Mas Agung ini memberikan banyak pencerahan sekaligus tuntunan bagaimana melakukan perjalanan spiritual untuk mencari dan menemukan ulang arah diri dan jiwa kita. Bravo Mas Agung dan tetaplah mencerahkan…”

    Haris Herdiansyah, M.Si

    Dosen Psikologi, Penulis dan Peneliti Kualitatif

     

    Break kerja setahun, gilaa…! Itu pikiran banyak orang. Namun mengambil jeda sejenak sesungguhnya aktivitas bermanfaat untuk membuat Anda tidak sekedar merilekskan fisik dan hati. Tapi kesempatan berharga memperoleh hal-hal yang takkan anda dapati ketika tetap bekerja dan bekal untuk membuat anda melambung lebih tinggi dalam prestasi. Tidak percaya? Simak memoar ini. Siapa tahu Anda jadi terinspirasi dan tergoda mengikuti jejaknya.”

    Nunki Nilasari

    Konsultan dan Pendiri Subconsious Communication Academy

    (Handwriting, Body Languange, Physiognomy & Intuition)

     

    “Buku apik yang ditulis oleh sahabat Agung Setiyo Wibowo ini mengantarkan kita ke daratan kebahagiaan. Tema Sabbatical, Gap Year atau Career Break yang diangkatnya menurut saya laksana pitstop dalam arena perlombaan kebaikan dalam akhirat (fastabiqul khairat). Siapapun membutuhkannya. Dengan gaya bertutur, kita akan diajak untuk memahami renyahnya kata dan kalimat yang disajikan dalam buku ini. Karena itu, milikilah dan bacalah agar apa yang Anda harapkan dapat terwujud.”

    Abdul Muin Badrun SE, ME

    Passion for Improving Life Trainer dan Founder www.akubisaberbuatbaik.com

     

    “Original!!! Inilah buku pertama tentang “sabbatical” yang ditulis oleh penulis Indonesia. Penuh hikmah dan pengalaman. Karya “riset bertutur” yang cair dan mendalam. Teman ideal bagi Anda yang tengah menggali makna hidup di rimba peradaban modern.”

    Guru Kepribadian, Inventor PRiADI Psychological Fingerprints (P2F)

     

    Career Break harus diakui belum populer di tanah air. Mungkin karena orang Indonesia pada umumnya tidak ingin dilihat do nothing. Bisa jadi karena persepsi masyarakat kita yang menganggap kesuksesan harus identic dengan sibuk, bergerak, dan berpacu dengan waktu. Saya salut dengan penulis yang berani menyuarakan hal berbeda dari orang kebanyakan.”

    Guruh Taufan, M.Kom

    Trainer dan Penulis Buku Statement Analysis

     

    “Sebuah buku yang syarat dengan inspirasi fresh, ringan, applicable dan sangat masuk akal sehingga  mudah dicerna. Sebuah ‘Kitab Suci’, khususnya untuk kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai pegangan dasar. Baca, pahami, gali dan lakukan. Buku yang syarat ide. Pak Agung mampu menceritakan dalam bahasa sehari-hari yang sangat lugas dan simple.”

    Alfa Maulana, MBA., CEC

    Sales & Leadership Professional Trainer

     

    “Buku ini memberikan perspektif yang berbeda tentang Sabbatical Leave. ‘Kekosongan’ selama periode sabbatical bisa memberi pencerahan, inspirasi, kreativitas dan penemuan yang belum terbayangkan sebelumnya.”

    Rudy Efendy, CPCC, ACC, NLP, CWM, CHRM

    Executive Coach, Facilitator & Trainer

     

    Jangan engkau mendayung perahumu terus-menerus tetapi berhentilah sejenak untuk melihat arah. Itu kata bijak yang sangat sesuai menggambarkan buku ini. Pelita bagi kita semua yang larut dengan berderet aktivitas. Ambilah jeda itu … dan buku ini sangat saya rekomendasikan untuk Anda.”

    Nur Fannie Prasetyo, MBA, ACC

    Life, Business & Corporate Coach

    Learning Development Consultant  & Corporate Trainer

     

     

    Mau Pesan?

    Gampang! Hubungi +62 819- 0861-2832 (Krishna).


  • Jurus Mengarungi Quarter-Life Crisis

    Baru -baru ini saya bertemu dengan sahabat kuliah. Sebut saja masing-masing bernama Tom, Fahmi, dan Andi. Kami akhirnya bisa berjumpa setelah lebih dari tiga tahun jarang bertegur sapa. Bulan Ramadhan rupanya menjadikan persuaan kami menjadi nyata dalam momen klise bertajuk Buka Bersama (Bukber).

    Tom merupakan jebolan Teknik Kimia dari PTN terbaik Indonesia yang terletak di Kota Bandung. Sejak lulus kuliah di akhir 2012, ia sampai saat ini masih bekerja di sebuah perusahaan migas asal Malaysia. Berdasarkan pengakuannya, ia ingin menyegerakan diri untuk undur diri. Namun belum ada “gambaran” mau melakukan apa setelahnya. Pikirannya terombang-ambing antara mengambil MBA di Ivy League atau membesut startup sendiri.

    Fahmi merupakan alumni Universitas Gadjah Mada jurusan Ilmu Politik. Ketika menjadi mahasiswa di Kota Gudeg, ia pernah dipercaya sebagai pimpinan di organisasi kemahasiswaan paling bergengsi tingkat nasional. Di penghujung perkuliahannya hingga empat tahun setelah wisuda, ia menjabat sebagai Staf Ahli salah satu Menteri. Ia belum lama ini menyelesaikan jenjang Master di Australia jurusan Kebijakan Publik. Saat ini hatinya gundah apakah mau merintis organisasi nirlaba yang dari dulu diidam-idamkannya atau menjadi “orang kepercayaan” politisi ternama lagi.

    Sementara itu Andi merupakan Lulusan Ekonomi dari Universitas Indonesia. Sejak wisuda hingga saat ini masih aktif sebagai seorang Konsultan Manajemen ternama. Ia telah menikah tiga tahun lalu. Sayangnya, belum diberi buah hati. Berdasarkan curhatannya, ia memang cukup sukses di bidang karirnya. Namun, ia merasa “remah-remah” ketika membicarakan biduk rumah tangganya. Ia merasa iri dengan Tom dan Fahmi yang masih melajang. Sehingga bebas mau pergi ke mana saja tanpa  dipusingkan “perizinan” dengan pasangan.

    Tom, Fahmi, dan Andi adalah potret dari Gen Y Indonesia yang termasuk kelompok kelas menengah baru. Dalam perspektif psikologi, apa yang mereka utarakan di atas bisa dikatakan sebagai Quarter-Life CrisisSebuah masa ketika seorang early jobbers dan profesional berusia 20an hingga 30an mempertanyakan keputusan yang telah diambil sekaligus mencemaskan apa yang akan dihadapi. Sebuah periode ketika anak-anak muda yang terlihat sukses di mata orang kebanyakan namun realitanya takut salah mengambil keputusan, ragu-ragu dalam melangkah, terlalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain, dan galau akut yang seakan tak berkesudahan.

    Cerita sahabat kuliah saya di atas hanyalah puncak gunung es. Ketiganya mungkin mewakili suara jutaan millennial Indonesia yang kini menekuni segala profesi.

    Quarter-Life Crisis bukanlah isu baru. Itu merupakan fenomena global  yang tidak pandang batasan geografis. Sebagaimana dalam buku saya Mantra Kehidupan yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo setahun silam.

    Berikut ialah beberapa jurus mengarungi Quarter-Life Crisis yang bisa jadi bermanfaat untuk rekan-rekan.

    Pertama, kenali misi hidupmu. Mungkin terdengar berlebihan. Namun, begitulah semestinya. Dengan mengenal misi hidup sendiri, hidup kamu akan lebih terarah.

    Misi berbeda dengan goal. Misi lebih berkaitan dengan tujuan hidup. Apa  saja yang akan menjadi “warisan” kelak ketika kamu tiada. Misi bersifat jangka panjang dan berkaitan erat dengan spiritual. Sementara itu goal merupakan target-target yang bisa mendukung misi tersebut. Jika goal lebih bersifat fleksibel, misi sebaliknya.

    Misi berkaitan dengan identitasmu. Ia sebaiknya sudah dulu lebih kamu miliki sebelum beraktifitas. Karena kata orang Barat, “Activity follows identity”. Maksudnya, segala bentuk aktivitasmu berbanding lurus dengan identitas yang kamu yakini.

    Kedua, jangan membanding-bandingkan. Ini sudah pasti harus kamu lakukan. Membandingkan dirimu dengan orang lain hanya akan membuatmu tidak bahagia.

    Apa guna membanding-bandingkan? Bukankah dari lahir kita memang sudah “berbeda”? Lagipula, mimpi kita tidaklah sama.

    Yang harus kamu sadari, hanya kamu yang mengetahui apa yang kamu inginkan. Karena setiap individu merupakan unik.

    Jadi, kamu jangan sekali-kali membandingkan prestasi diri sendiri dengan orang lain. Bandingkan saja prestasi dirimu saat ini dan sebelumnya. Karena sukses sejatinya bukanlah hasil akhir. Melainkan progress alias kemajuan yang kamu capai dari waktu ke waktu.

    Ketiga, nikmati setiap momennya. Dalam kamus Barat, bisa dikatakan sebagai “present” yang artinya hidup di saat ini, sekarang juga.

    Sederhana saja. Kamu hanya perlu untuk ikhlas menjalani setiap proses untuk mewujudkan misi hidupmu. Dengan senantiasa “sadar” tanpa terikat pada hasil.

    Karena pada akhirnya, bahagia itu tak ada syaratnya. Ia hanya perlu kita terima, kita lalui, kita selami. Ia bukan masa lalu yang perlu kita sesali. Ia bukan masa depan yang kita cemaskan. Ia ada di depanmu, sekarang juga.

    Ketiga di atas hanyalah tiga dari berderet jurus untuk mengarungi Quarter-Life CrisisBisa jadi sebagian cocok dengan dirimu. Sebagian lainnya mungkin tidak relevan.

    Yang pasti, hanya kamu yang tahu dengan dirimu sendiri. Cuma kamu yang memegang kendali kebahagiaanmu. Sebagaimana kata filsuf Persia Umar Khayyam bahwa “Be happy for this moment. This moment is your life.”

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Biem.com pada 30 April 2018


  • Menyelami “Panggilan” Dalam Keseharian

    Belum lama ini saya mendapatkan pesan singkat melalui surat elektronik dari seseorang. Sebut saja bernama Krishna. Secara pribadi, saya belum pernah mengenal namanya – apalagi bertemu. Oleh karena itu, ketika ada surat masuk, saya langsung membacanya secara seksama.

    Selidik demi selidik, Krishna merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Mesin di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Akhir April lalu, ia menyelesaikan membaca buku saya terbitan 2017 yang berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Krisis Seperempat Baya.

    Singkat kata, Krishna merasa tercerahkan setelah membaca buku. Sebagai calon Sarjana, ia mengaku beruntung sekali mendapatkan semacam “pencerahan” karenanya. Namun, di saat yang bersamaan ia meminta nasehat untuk membuat peta jalan karir yang akan dilaluinya kelak.

    Krishna mungkin hanya satu dari jutaan lulusan perguruan tinggi yang setiap tahunnya dihadapkan pada fase terpenting dalam perjalanan hidup. Tidak lain ialah menentukan cetak biru karir. Ya, Krishna tidak sendirian. Jangankan fresh graduate, para profesional berusia 40 atau yang telah melewati titik paruh baya juga tidak jarang dirisaukan dengan urusan berkarya.

    Mencermati hal ini, saya langsung teringat dengan survei independen yang saya lakukan pada kurun 2016-2018. Sebuah riset yang melibatkan lebih dari 1000 orang di 100 kota di Indonesia, Asia – Pasifik, Eropa Utara, dan Amerika. Survei itu bertajuk panggilan hidup.

    Dari hasil temuan yang saat ini masih dalam proses pengolahan, lebih dari 90 persen responden mengaku bahwa karir merupakan salah satu aspek terpenting dalam hidup. Hal itu tidak mengherankan mengingat sebagian besar waktu produktif kita dihabiskan pada aspek tersebut.

    Yang menarik, lebih dari separuh responden mengatakan kurang puas dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini. Akibatnya, kebahagiaan cukup terusik. Ketentraman apa lagi. Kenyataan ini menyebabkan mereka mulai mendefinisikan kembali apa yang paling diinginkan dalam hidup, apa yang dianggap paling penting, apa yang paling diprioritaskan, apa yang membuat hidup bermakna, dan bagaimana mereka bisa menjadi “pribadi baru” di kemudian hari.

    Dari temuan riset yang kelak akan saya beberkan lagi dalam bentuk buku, rupanya hanya sebagian responden yang benar-benar menyelami “panggilan” dalam berkarya dan menjalani hidup dengan “hidup”. Akibatnya, sebanyak apapun penghasilan yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Konsekuensinya, sekeras apapun usaha yang dikerahkan untuk mencapai goal, menjadikan mereka cepat bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Pemaknaan “panggilan” antar individu memang beragam. Pasalnya, seringkali berkaitan dengan perjalanan intristik. Tidak lain merupakan titik temu antara minat, bakat, keterampilan, passion, apa yang benar-benar digelisahkan, dan bidang apa yang paling sungguh-sungguh ingin digeluti untuk memecahkan masalah di sekitar.

    Dari ribuan orang yang saya temui, “panggilan” memang salah satu pilar kunci yang menentukan bahagia atau tidaknya seorang individu. Pasalnya, orang yang menyelami “panggilan”, akan senantiasa terdorong untuk menciptakan nilai tambah, memberikan solusi, bermanfaat kepada sesama, dan membuat perbedaan dalam bidang-bidang yang kurang dipikirkan oleh orang lain.

    Orang yang memiliki “panggilan” pada umumnya tidak rentan bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Karena tujuan mereka berkarya (dan hidup) bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk memberi atau melayani orang lain sesuai dengan potensi.

    Orang yang menyelami “panggilan” berkarya dengan jiwa dan hati. Tidak hanya dengan otak yang seringkali berkutat pada masalah “untung-rugi”. Lantas, sudahkah Anda menyadari “panggilan” hidup Anda sendiri? Kalaupun belum, tidak usah khawatir. Karena panggilan tersebut sudah Ada di dalam diri. Anda hanya perlu traveling inside. Lebih tepatnya lagi, traveling within yourself. Selamat mencoba.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 16 Mei 2018 

     


  • Mengapa Praktik Pseudosains ‘Laris Manis’ Di Negeri Ini?

    Baru-baru ini masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan dipecatnya Mayjen TNI dr. Terawan Agus Putranto dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kabarnya, Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu dianggap melanggar sumpah dokter dan kode etik yang ramai diperbincangkan di kedai-kedai kopi, perguruan tinggi, instansi pemerintahan dan dunia maya.

    Yang menarik, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tidak mempermasalahkan teknik terapi pengobatan Digital Subtraction Angiography (DSA) untuk mengobati stroke. Melainkan murni pelanggaran kode etik.

    Terawan bukanlah orang sembarangan. Pasalnya, ia merupakan satu dari segelintir dokter kepresidenan yang sarat dengan prestasi. Jebolan S3 Universitas Hasanuddin Makassar itu sejak 2004 memperkenalkan inovasi metode medis yang mencuri perhatian publik. Melalui teknik Brain Spa atau Brainwash yang menjadi andalannya, hingga kini tidak kurang dari 40 ribu pasien yang telah mencoba pengobatannya.

    Menurut Ketua MKEK dr. Prijo Pratomo Sp. Rad, temuan hasil penelitian akademik yang diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji publik hingga layak sesuai standar profesi kedokteran. Bukan berarti yang sudah ilmiah secara akademik lantas ilmiah dalam ranah medis. Pasalnya, ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo.

    Pemecatan dr. Terawan memang menimbulkan kontroversi. Pasalnya, masyarakat menilai terobosan karya anak bangsa itu seharusnya didukung oleh berbagai pihak. Apalagi, sudah ada ribuan pasien yang merasakan manfaatnya. Sehingga, pemecatan dikhawatirkan akan mematikan inovasi di bidang sains.

    Mungkin publik juga masih ingat dengan kasus rompi antikanker besutan dokter Warsito Purwo Taruno. Meski konteksnya sedikit berbeda, masalah yang dihadapi oleh dua dokter jenius tersebut ada kemiripannya.

    Dalam perspektif ilmu kedokteran, sebuah terapi medis dituntut harus berlandaskan ilmu kedokteran terkini yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun etika. Keharusan ini untuk memastikan kebermanfaatan dan tidak membahayakan penderita. Dalam istilah medis dikenal dengan Evidence-Based Medicine (EBM) yang salah satu indikatornya ialah hasil penelitian yang dipublikasikan dalam berderet jurnal kedokteran terpercaya.

    Bagaimana EBM untuk inovasi dokter Terawan? Sayangnya, sejauh ini belum banyak EBM yang mendukung. Baik penelitian pre-klinik maupun penelitian klinik.

    Lantas, bagaimana dengan manfaat terapi yang membeberkan kesembuhan pasien? Lagi-lagi, dalam kaidah ilmu kedokteran bukan termasuk EBM. Karena testimony merupakan pengakuan subyektif. Bukan berdasarkan parameter yang jelas sesuai dengan standar ilmiah.

    Kasus Dokter Terawan mungkin hanya puncak gunung es dari praktik pseudosains yang ‘laris-manis’ di tanah air. Sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim secara ilmiah tetapi tidak mengikuti metode ilmiah. Sebuah ilmu semu yang kelihatan ilmiah, namun tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang teruji dan serangkli berbenturan dengan konsensus ilmiah secara umum.

    Pseudosains sendiri pertama kali muncul pada tahun 1843. Berasal dari bahasa Yunani Pseudo yang berarti palsu atau semu dan bahasa Latin Scientia yang bermakna pengetahuan atau bidang pengetahuan. Dalam perkembangannya, pseudosains memang cenderung berkonotasi negatif. Karena dipakai untuk menunjukkan bahwa subyek yang mendapatkan label tersebut digambarkan tidak akurat atau tidak bisa dipercaya sebagai ilmu pengetahuan.

    Di lndonesia sendiri, masyarakat sudah lama mempercayai dan mengambil manfaat dari pseudosains meski komunitas akademik tidak menganjurkannya. Dalam bidang psikologi dan pengembangan sumber daya manusia saja misalnya. Kita sudah sangat “bersahabat” dengan astrologi, primbon, palmistri (garis tangan), numerologi, grafologi, fisiognomi hingga Neuro-Linguistic Programming (NLP).

    Pseudosains – khususnya berkaca pada kasus Dokter Terawan – mengingatkan kita pada dikotomi teori versus praktik. Ranah akademik seringkali dianggap kaku karena menaati metode ilmiah yang begitu kompleks dan memakan waktu lama. Sementara itu, masyarakat bisnis dan akar rumput sebaliknya. Mereka perlu solusi yang konkrit, aplikatif, dan mampu menjawab ‘kebutuhan’ pasar.

    Membandingkan teori dan praktik sejatinya seperti membandingkan mana yang lebih dulu ada antara telur dan ayam. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Saling mewarnai, saling mempengaruhi satu sama lain.

    Mungkin saat ini, memang belum banyak bukti ilmiah yang berpihak pada inovasi dokter Terawan. Namun, bukan tidak mungkin kelak akan banyak penelitian lain yang mendukung temuannya. Jurnal-jurnal kedokteran internasional satu per satu bisa jadi menguatkan gebrakan dokter fenomenal tersebut di masa akan datang.

    Pada akhirnya, masyarakat tidak akan lagi mempersoalkan apakah pseudosains atau bukan. Namun, sejauh mana suatu inovasi bisa benar-benar langsung dirasakan manfaatnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Hanya waktu yang bisa menjawab.

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 30 April 2018 


  • Benarkah Nasib Kita Ditentukan Oleh Cara Berpikir

    “Your beliefs become your thoughts, your thoughts become your words, your words become
    your actions, your actions become your habits, your habits become your values, and your values
    become your destiny.”
    ― Mahatma Gandhi

    Kutipan dari bapak bangsa India di atas bisa jadi belum tentu semua orang mengamininya. Namun, jika kita renungkan kembali sulit sekali untuk membantahnya.

    Nasib kita memang berpangkal dari pola pikir kita sendiri. Pasalnya, pikiran menjadi perkataan. Perkataan menjadi perbuatan. Perbuatan menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi nilai-nilai. Dan nilai-nilai menjadi nasib yang kita terima.

    Menyadari hal itu, cara paling efektif untuk mengubah diri sendiri ialah dengan mengubah cara berpikir. Begitu pula dalam berhubungan dengan orang lain. Cara termudah untuk mempengaruhi orang lain ialah dengan menyesuaikan sikap kita dengan cara berpikir mereka.

    Dalam konteks organisasi, saling mengetahui cara berpikir kolega merupakan pangkal dari keberhasilan. Pasalnya, setiap orang memiliki pola pikir unik.

    Dengan mengetahui cara berpikir orang lain; kita bisa terlatih untuk berempati, mengelola emosi, dan bijak menyikapi apa saja. Itu semua ditunjukkan dengan kelihaian berkomunikasi, seni memimpin, dan mengelola hubungan baik dengan sesama. Pada akhirnya timbullah kohesivitas tim yang mendorong terwujudnya kinerja unggul.

    Mengetahui bagaimana pikiran manusia bekerja memang baik. Namun akan lebih baik lagi jika juga mengetahui faktor genetika alias pembawaan sejak lahir.

    Memahami bagaimana unsur genetika dan cara berpikir dapat mempengaruhi “nasib”, menjadi keniscayaan jika kita ingin sukses. Baik dalam aspek personal maupun profesional. Pasalnya genetika (nature) dan pengalaman hidup (nurture) bagai koin bermata dua. Tak terpisahkan.

    Menurut Steven Pinker dalam bukunya The Blank Slite ditegaskan bahwa 70% variasi antar individu disebabkan oleh genetika. Oleh karena itu, peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan menorehkan suatu tanda pada otaknya.

    Saya jadi teringat dengan kajian menarik bertajuk Emergenetika. Sebuah studi mengenai ciri-ciri watak/pembawaan yang muncul sebagai perpaduan dari unsur genetika/alami dan hasil asuhan/pendidikan/pengalalaman sehingga membentuk sikap dan perilaku tertentu.

    Emergenetika sendiri tak dapat dipisahkan dengan gagasan Psikolog Universitas Harvard Jerome Kagan. Menurut beliau otak seorang bagaikan sepotong kkain abu-abu puncat. Benang hitam genetika terjalin dengan benang putih lingkungan yang menghasilkan warna campuran hitam dengan putih yaitu abu-abu.

    Sementara itu penelitian riset David T. Lykken mengenai pasangan kembar dua atau tiga di seluruh dunia menunjukkan bahwa manusia kembar memiliki kesamaan watak atau perilaku. Seperti dalam kasus Jerry Levey dan Mark Newman – kembar identik yang telah berpisah puluhan tahun namun masih memiliki sejumlah kesamaan. Mulai dari memelihara kumis, potongan rambut, kacamata pilot hingga warna ikat pinggang. Demikian halnya dengan Jim Springer dan Jim Lewis yang terpisahkan berpuluh-puluh tahun ketika dipertemukan masih sama-sama senang merokok Salem, minum Miller elite, menggigit kuku dan balapan mobil.

    Otak memang faktor yang sangat menentukan cara berpikir manusia. Itu mengapa emergenetika mengkaji ranah tersebut secara mendalam. Pemindaian otak dengan teknologi canggih misalnya. Dapat mengungkapkan cara kerja otak, bagian otak mana yang berfungsi untuk memecahkan masalah serta berapa lama sebuah pengalaman berdampak dalam pikiran kita.

    Saya langsung teringat dengan Dr Geil Browning, Ph.D. dan Dr Wendell Williams, Ph.D. Pasalnya mereka telah melakukan penelitian yang hasilnya mampu memberikan gambaran secara komprehensif mengenai kombinasi preferensi berpikir dan atribut perilaku.

    Riset yang melibatkan lebih dari 300.000 orang dewasa tersebut membawa mereka mematenkan produk bernama Emergenetics®. Dalam perkembangannya, paten tersebut melahirkan perusahaan pengembangan organisasi bernama Emergenetics International. Sebuah institusi yang mengandalkan penelitian psikometrik dan studi perilaku untuk memberi saran dan berkonsultasi dengan bisnis dan individu tentang cara menilai sumber daya manusia. Berawal dari Amerika Utara, kini perusahaan tersebut telah menyebar ke berbagai negara di dunia – tak terkecuali Indonesia.

    Emergenetics menawarkan beberapa jasa. Salah satunya ialah assessment untuk mengetahui seseorang berdasarkan empat atribut berpikir (analitis, struktural, sosial, dan konseptual dan tiga atribut perilaku (ekspresif, asertifitas dan fleksibilitas). Sejak 1998, mereka telah memsertifikasi coach, profesional sumber daya manusia, dan trainer dengan ribuan individu telah menjadi penerima manfaat secara global.

    Emergenetics merupakan instrumen pembuat profil berbasis riset ilmiah yang menunjukkan cara berpikir individu secara genetik (genetic) dan bertindak dengan cara tertentu. Cara berpikir dan bertindak tersebut dapat berubah (emerge) akibat faktor sosial/lingkungan yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Kombinasi dari genetika dan pengalaman hidup ini terjalin dan membentuk pola yang dapat kita pelajari guna mendongkrak komunikasi dan produktivitas.

    Belum lama ini saya pun mencoba jasa Emergenetics. Hasilnya memang menggambarkan diri kita sebenarnya. Itu mengapa tidak mengherankan jika organisasi-organisasi yang pernah menjadi kliennya terbukti mampu membentuk tim lebih produktif, meningkatkan pemahaman dan mengurangi konflik di antara rekan kerja, menjamin kualitas pekerjaan yang lebih baik dan juga pengembangan solusi yang lebih efektif atas sebuah masalah. Pribadi yang menemukenali dengan baik atribut cara berpikir dan perilaku mereka, pada umumnya dapat berkomunikasi, memiliki kemampuan menjual, melakukan presentasi, mengajar dan memotivasi orang lain dengan lebih efektif.

    Emergenetics memang bukan satu-satunya peranti yang dapat kita pakai untuk mengetahui cara berpikir dan berperilaku kita. Di luar sana mungkin banyak penyedia layanan sejenis yang dapat membantu menemukan kekuatan yang dimiliki oleh setiap individu selaku anggota tim dan kekuatan mana yang berhubungan dengan energi terbesarnya. Jika kekuatan tersebut dapat dimaksimalkan, maka setiap individu mampu bekerja lebih lama tanpa kehabisan energi.

    Saya pribadi telah mencobanya. Bagaimana dengan Anda ?

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 14 April 2018 


  • Generasi Muda dan Duta Wisata

    Apa yang menjadi persamaan antara Maudi Koesnaedi, Venna Melinda, Airin Rachmi Diany, dan Tina Talisa? Jika Anda menjawab mereka sama-sama berkarisma, populer dan cerdas saya tidak menampiknya. Namun yang saya maksud bukan itu.

    Lantas, apa yang menyamakan antara Zumi Zola, Tommy Tjokro, dan Indra Bekti? Jika Anda mengatakan benang merah di antara mereka hanya keelokan rupa, maka Anda salah besar.

    Lalu, apa hubungan antara semua tokoh yang saya sebutkan di atas? Mereka sama-sama pernah menjadi duta wisata di kota/kabupaten masing-masing di masa mudanya.

    Tina Talisa pernah dinobatkan menjadi Mojang Jawa Barat sebelum menjadi pembawa acara berita tersohor. Venna Melinda pernah tercatat sebagai None DKI Jakarta sebelum melenggang ke ranah hiburan dan politik. Zumi Zola pernah bertengger dalam daftar Abang Jakarta Selatan sebelum menjadi aktor dan Gubernur Jambi.

    Mungkin Anda bertanya-tanya, seberapa signifikan pengaruh pengalaman mereka sebagai alumni duta wisata dalam mendongkrak perjalanan karirnya? Barangkali terkesan subyektif jika diuraikan orang per orang. Namun, dalam riset independen yang saya lakukan terhadap ratusan duta wisata di 70 kota/kabupaten dan 20 provinsi dalam kurun waktu 2016-2018, hasilnya cukup membuat saya tercengang.

    Keberadaan duta wisata selama ini memang masih luput dari perhatian publik. Mereka hampir tidak pernah menjadi bahan kajian akademik. Di saat bersamaan, ajang pemilihan duta wisata tidak jarang masih disamakan dengan kontes bertajuk pageant lain seperti Puteri Indonesia dan Miss Indonesia.

    Padahal, pemilihan duta wisata lebih dari itu. Ia tidak semata-mata memilih orang yang “enak dipandang”. Di antara aspek penilaian memang berkutat pada kecerdasan (brain), keindahan (beauty) dan perilaku (behaviour). Namun aspek lain seperti keterampilan berbahasa asing dan lokal, berkesenian, dan pemahaman dengan budaya tidak kalah ditekankan.  Sehingga tidak berlebihan jika ajang ini merupakan salah satu ajang terbaik dalam pemberdayaan pemuda.

    Selama ini memang belum ada definisi baku mengenai duta wisata. Namun yang pasti mereka ialah anak-anak muda terpilih yang telah melalui serangkaian seleksi ketat dari pemerintah daerah masing-masing untuk membantu mempromosikan potensi budaya, pariwisata, dan ekonomi kepada publik. Baik dalam tataran lokal, nasional, bahkan Internasional.

    Di Provinsi DKI Jakarta mereka yang terpilih dikenal dengan Abang-None. Di Provinsi Jawa Barat disebut dengan Mojang-Jajaka. Di Provinsi Sulawesi Selatan dinamakan dengan Dara-Daeng. Di provinsi asal saya sendiri Jawa Timur, penamaan bahkan unik di setiap daerah kota/kabupatennya. Misalnya saja Cak-Ning untuk Kota Surabaya, Kakang-Sendhuk untuk Kabupaten Ponorogo, Dimas-Diajeng untuk Kabupaten Ngawi, Kacong-Jebbing untuk Kabupaten Bangkalan, Cung-Ndhuk untuk Kabupaten Tuban, Joko-Roro untuk Kabupaten Malang, Kangmas-Nimas untuk Kota Batu atau Kethuk-Kenang untuk Kabupaten Pacitan. Singkat kata, gelar pemenang ajang ini menyesuaikan dengan budaya setempat.

    Berdasarkan hasil riset independen saya, berikut ini beberapa alasan kuat mengapa generasi muda perlu mengikuti ajang duta wisata di kota/kabupaten/provinsi masing-masing.

    Mengenal Potensi Daerah

    Ini tentu menjadi faktor yang tak terbantahkan. Pasalnya, selama mengikuti ajang ini, para peserta dapat mendapatkan seabrek pelatihan atau pengetahuan mengenai daerah sendiri. Mulai dari aspek sejarah, budaya, pariwisata, ekonomi, hingga sosial politik. Selain itu, juga diajak untuk “turun ke lapangan”. Sehingga, disadari atau tidak, bisa menjadi inspirasi untuk mengembangkan daerah sendiri di masa depan, apapun profesi yang akan ditekuni.

    Mendongkrak Soft Skills

    Duta wisata di kota/kabupaten manapun dituntut untuk pandai berkomunikasi. Pasalnya, keterampilan tersebut begitu vital selama menjabat atau setelah mengarungi dunia nyata. Kabar baiknya, hampir semua paguyuban duta wisata di seluruh Indonesia memiliki sederet kegiatan untuk mengasah soft skills. Dari seni kepemimpinan, berbicara di depan publik, mengelola emosi, membangun tim, menetapkan sasaran, menyelesaikan masalah, mengorganisir, manajemen waktu, hingga kegesitan menyikapi perubahan atau ketidakpastian.

    Membangun Jejaring

    Ajang pemilihan duta wisata senantiasa dibanjiri oleh para talent dengan renjana dan bidang yang beragam. Itu mengapa sangat cocok dimanfaatkan untuk membangun jejaring. Singkat kata, kontes semacam ini paling tepat untuk mengenalkan kepada publik mengenai siapa diri kita dan bagaimana kemampuan yang dimiliki dapat bermanfaat kepada masyarakat. Kelak, jaringan yang terbangun tersebut dapat dimaksimalkan untuk mendongkrak karir masing-masing.

    Mengenal Diri Sendiri

    Di ajang pemilihan duta wisata, kompetitor sesungguhnya bukanlah peserta lain. Melainkan diri sendiri. Pasalnya, tidak perlu menjadi “lebih baik” dari orang lain atau “terbaik” di antara semua peserta. Para peserta hanya dianjurkan untuk menjadi yang terbaik versi dirinya sendiri. Karena para pemenang di daerah manapun biasanya adalah mereka yang mengenali diri sendiri lebih baik. Menerima kekurangan dan kelemahan sama pentingnya dengan mengoptimalkan kelebihan dan kekuatan. Singkat kata, ajang ini sangat cocok untuk membantu peserta mengenali diri sendiri.

    Memang, tidak harus menjadi seorang duta wisata yang secara resmi diberikan “selempang kebesaran” oleh pemimpin daerah. Karena siapa saja sebenarnya bisa menjadi duta sesuai dengan kepakaran masing-masing.

    Yang perlu diingat, bukan gelar yang sejatinya dikejar oleh para kawula muda. Namun, semangat berjuang dengan mental kesatrialah yang perlu dibiasakan untuk menjadi pribadi yang berkarakter. Itu bisa diperoleh melalui ajang pemilihan duta wisata.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Biem.co, 13 April 2018