Stories

  • Mengingat Mati

    Hidup penuh liku-liku. Kesedihan dan kesenangan silih berganti. Datang dan pergi.

    Hal menyenangkan dan menjengkelkan setiap detik menghampiri. Menguji sikap. Menyaring siapa yang kelak bisa memenangkan dan sebaliknya.
    Masalah seakan-akan memang tiada habisnya. Seringkali kita ingin menyerah. Putus asa. Depresi. Galau. Down. Takut. Cemas.
    Negativisme seolah-olah menjadi pilihan termudah. Karena tak jarang kita merasa menjadi korban alias tidak memiliki kendali penuh dengan arah hidup kita.
    Namun, menurutku ada satu pengingat yang sangat ampuh untuk menjadikan kita lebih bijaksana. Tidak lain adalah mengingat mati.
    Kematian adalah kepastian. Selebihnya serba tidak pasti.
    Jika memang demikian, mengapa kita tidak mengupayakan semaksimal mungkin? Kematian membayang-bayangi setiap saat. Tak dapat diperlambat, tak dapat dipercepat. Tak dapat ditawar, tak dapat dibeli.
    Semua sudah dituliskan-Nya. Jadi, apa yang sudah, sedang dan akan kamu persiapkan menyambut kematian?
    Ingat mati, ingat mati. Niscaya hidupmu akan jauh lebih bermakna.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 14 Oktober 2020

  • Mengejar Kupu-Kupu

    Depresi.

    Kecewa.
    Stres.
    Sedih.
    Galau.
    Pernahkah kamu mengalami setidaknya satu dari lima keadaan di atas? Jika ya, kamu tahu apa penyebabnya?
    Banyak pakar bilang ekspektasi. Setujukah kamu?
    Setiap orang ingin mendapatkan kebahagiaan. Setiap detik kita seakan-akan setengah mati mengejarnya.
    Masalahnya, semakin kita kejar kebahagiaan seakan-akan semakin menjauh. Persis ketika kita mengejar kupu-kupu.
    Lalu sebaiknya bagaimana dong? Simple aja. Terimalah apapun yang ada di depanmu. Hadapi dengan tulus. Ikhlaskanlah. Karena bukankah hakikat hidup ini perjalanan itu sendiri?
    Selamat berpetualang sobat.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 10 September 2020

  • Mempersiapkan Kematian

    Mati.

    Tewas.
    Wafat.
    Meninggal.
    Tutup usia.
    Apa yang ada di benakmu ketika mendengar lima kata di atas? Apapun itu, kematian adalah suatu keniscayaan.
    Kematian telah dituliskan-Nya. Itu mengapa kita tak bisa seenaknya mempercepat atau memperlambatnya.
    Ya, kematian akan datang di saat yang tepat.
    Sebagian besar orang takut dengan kematian. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan bertujuan untuk menghindarinya. Seolah-olah itu bisa ditolak atau bahkan tak pernah terjadi.
    Sebagian lainnya, bersunggguh-sungguh menjemputnya. Dalam arti mempersiapkan bekal untuk kehidupan pasca kematian.
    Kamu termasuk golongan yang mana? Mempersiapkan atau menghindarinya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 16 September 2020

  • Covid-19 di Mata Saya

    Corona. Mungkin kata itu paling populer sejagad di tahun 2020.

    Betapa tidak. Ratusan juta orang kehilangan pekerjaan, beralih profesi atau setidak-tidaknya menyesuaikan kebiasaan bekerjanya. Ribuan perusahaan gulung tikar. Dan tak terhitung mahasiswa dan pelajar yang harus belajar daring dari rumah.
    Sementara itu, ribuan orang meninggal setiap harinya.
    Masyarakat panik. Pemerintah kalang kabut. Iklim bisnis terpukul.
    Covid 19 begitu bermakna bagiku. Baik secara personal maupun profesional.
    Terlepas dari stres yang sering menghantui, aku menemukan beberapa hikmah dari corona.
    Pertama, kebahagiaan ada di dalam diri. Ini tidak bisa dipungkiri. Meski beberapa bulan terpaksa bekerja dari rumah dengan segala dramanya, aku makin sadar bahwa tiada yang bisa merampas kebahagiaan dari diriku. Masalah boleh terus berdatangan, namun bukankah diri kita yang menjadi pengendali?
    Kedua, kematian adalah pengingat terbaik. Meski ada sejuta alasan untuk mengeluh, sedih, kecewa, panik, galau atau stres; aku tersadarkan bahwa kematian adalah pengingat terbaik. Karena kematian bisa datang kapan saja, apa guna memikirkan hal-hal yang tidak dibawa mati? Bukankah lebih baik “menyiapkan” bekal mati?
    Ketiga, menerima takdir adalah kunci.  Manusia bisa berencana, namun pada akhirnya takdirlah yang lebih berkuasa. Seringkali kita merasa jumawa dan melupakan garis kehidupan yang ditetapkan-Nya. Corona menyadarkan kita bahwa manusia itu sungguh lemah. Oleh karena itu, marilah mengupayakan sebaik mungkin dengan ikhlas. Biarkan hasilnya. Terimalah apapun yang terjadi dengan lapang.
    Nah, itulah tiga hikmah corona di mataku. Bagaimana dengan kamu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 19 Juni 2020

  • 4 Pilar Kebahagiaan

    Bahagia.

    Apa yang kamu pikirkan tentang kata yang satu itu?
    Yang pasti, setiap orang mendambakan kebahagiaan. Setiap insan memang memiliki definisi dan cara tersendiri untuk mencapainya.
    Ketika aku masih duduku di bangku SMA, guruku memiliki wejangan. Bahwa manusia bisa mencapai derajat kebahagiaan jika melakukan empat hal.
    Pertama, syukur. Artinya kita dengan ikhlas menerima segala hal yang terjadi pada diri kita. Tanpa menghakimi. Berlapang dada menjalani takdir-Nya.
    Kedua, taubat. Kita senantiasa memohon ampun kepada Tuhan akan segala dosa yang kita buat. Dengan cara ini, kita bisa makin ingat dengan kematian. Dari titik ini, kita semestinya akan menjalani hidup sebaik mungkin tanpa keluh kesah.
    Ketiga, sabar. Artinya kita dengan tabah menjalani segala ujian yang menghampiri. Senantiasa berpikir positif dan berprasangka baik dengan segala ketentuan-Nya.
    Keempat, tawakkal. Artinya kita menyerahkan hasil kepadanya setelah berupaya. Karena apapun yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Kita tidak mendikte. Namun justru siap dengan segala hasil yang diberikan kepada kita.
    Nah, itulah empat pilar kebahagiaan. Apakah kamu sudah pernah mempraktikkan keempatnya? Ataukah baru sebagian.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 22 Juni 2020

  • Tentang Pasangan

    Pasangan.

    Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini? Rumah tangga? Suami istri? Pacaran? Atau apa?
    Yang pasti, manusia diciptakan berpasang-pasangan. Oleh karena itu, orang yang menikah dianggap melengkapi separuh jiwanya, menyempurnakan agamanya.
    Kamu tahu tepuk tangan kan? Bunyi yang merdu hanya datang ketika dua telapak tangan saling beradu.
    Kamu tahu kunci dan gembok? Kedua benda ini hanya berfungsi secara paralrl kan?
    Kamu tahu teko dan gelas? Bukankah keduanya saling melengkapi?
    Begitulah pasangan. Keduanya memiliki sifat berbeda. Namun toh saling bekerja sama.
    Sama halnya dengan yang lain-lain. Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasanggan. Karena dari situlah tercipta keseimbangan.
    Bagaimana pendapatmu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 23 Juni 2020