Stories

  • Mengapa Kita Perlu Detoks Media Sosial?

    “Aku sudah tak aktif bermedia sosial sekarang, semua akunku sudah kuhapus!”
    “Lagi hibernasi dari media sosial, entah kapan lagi aku akan aktif!”
    “Aku sih masih aktif memakai media sosial, tapi sehari saya batasin 30 menit saja!”
     
    Tiga pernyataan di atas saya terima dari tiga teman lama yang saya ketahui belakangan terlihat kurang aktif menggunakan media sosial. Saya sendiri juga pernah “hibernasi” dari media sosial pada kurun 2016-2017 karena satu dan lain hal. Namun kini sudah aktif lagi. 
     
    Setelah saya amati, kini memang semakin mudah menemukan orang-orang di sekitar kita yang memutuskan untuk “detoks media sosial.” Apa itu detoks media sosial?
     
    Detoks media sosial berarti kita “menjauh” dari media sosial untuk sementara waktu. Sebagian orang ada yang non-aktif selama seminggu, sebulan, atau beberapa bulan. Sebagian lainnya mungkin memutuskan lebih lama lagi periode hibernasinya dengan alasan menjaga kesehatan mental. 
     
    Kapan sebaiknya kita memutuskan untuk detoks media sosial?
    Tentu saja menyesuaikan kebutuhan masing-masing. Hanya saja, ada sejumlah indikator yang sebaiknya kita harus segera  menjauh dari media sosial untuk sementara waktu. Misalnya kita merasa iri, FOMO, merasa tidak aman ketika membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain, atau kesulitan tidur di malam hari karena sibuk menikmati (lebih tepatnya diperdaya oleh) media sosial
     
     
    Apa manfaat detoks media sosial?
    Dalam temuan riset yang diterbitkan oleh Libyan Journal of Medicine menunjukkan bahwa sebagian besar merasakan manfaat kesehatan mental dari berhenti menggunakan media sosial. Secara lebih detil, detoks media sosial berfaedah untuk kesehatan karena sejumlah hal berikut. 
     
    Pertama, mood atau suasana hati yang membaik. Hasil temuan berbagai penelitian menunjukkan tentang detoks media sosial yang berkorelasi dengan orang yang merasa lebih baik saat istirahat.
     
    Kedua, kecemasan yang menurun. Salah satu manfaat paling signifikan dari detoksifikasi media sosial adalah meredakan kecemasan.
     
    Ketiga, kualitas fokus yang semakin baik. Di abad digital ini, harus kita akui bahwa kita begitu mudah teralihkan karena membanjirkan informasi. Berlama-lama di media sosial tanpa tujuan yang jelas justru membuat fokus kita memburuk. Itu artinya, dengan menjuahkan diri dari media sosial, kualitas fokus kita akan membaik.
     
    Keempat, meningkatkan kreativitas.  Dengan “puasa” media sosial kita berpeluang menjadi jauh lebih kreatif. Kita bisa memiliki waktu lebih banyak untuk mencoba hobi baru.
     
    Kelima, menghindari FOMO. Menjauhkan diri dari media sosial membuat kita fokus kepada diri sendiri. Kita tidak terpancing untuk “mengamati” pencapaian orang lain. Sehingga, kita bisa menghindari Fear of Missing Out (FOMO) yang belakangan sering dikeluhkan oleh milenial dan Gen Z. 
     
    Keenam, koneksi sosial yang lebih kuat. Dengan detoks media sosial, kita bisa menjalin hubungan sosial sesungguhnya. Sebagaimana temuan riset yang diterbitkan oleh International Journal of Environmental Research and Public Health. 
     
    Ketujuh,  kualitas tidur meningkat. Berdasarkan temuan riset yang diterbitkan oleh Iranian Journal of Psychiatry, kualitas tidur kita menurun jika penggunaan media sosial kita meningkat. Oleh karena itu, dengan tidak “bermain” media sosial, kualitas tidur kita bisa semakin membaik. 
     
    Kedelapan, mengurangi kelelahan mata. “Memelototi” media sosial secara berlebihan bisa merugikan mata kita. Lagi pula, kita bisa berpotensi pusing dan tegang karenanya. Detoks media sosial membuat mata kita lebih sehat. 
     
    Lantas, bagaimana cara melakukan detoks media sosial?
    Pertama, mengurangi penggunaan media sosial secara bertahap. Menurut temuan riset yang dipublikasikan oleh Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking; semakin lama waktu yang kita habiskan di media sosial setiap hari, semakin sulit bagi kita untuk mewujudkan detoks media sosial. 
     
    Kedua, mematikan notifikasi. Cara ini bisa mengurangi hasrat kita untuk memeriksa media sosial secara membabi buta. 
     
    Ketiga, mengurangi platfrom yang digunakan. Jika kita merasa kesulitan untuk benar-benar menjauhkan diri dari segala jenis platform, kita bisa memilih atau menyisakan satu jenis media sosial untuk kita gunakan. 
     
    Keempat, membuat jadwal memakai media sosial secara rutin. Misalnya  jika kita membatasi bermedia sosial 2x setiap hari pada jam tertentu saja. Artinya, kita jangan sampai menggunakannya di luar dari jam waktu yang ditentukan. 
    Kelima, melakukan refleksi diri. Saat kita berkomitmen mengurangi waktu (atau hibernasi sementara waktu dalam) bermedia sosial, kita perlu merenungkannya setiap hari. Apakah ada manfaat atau perbedaannya dibandingkan kita menggunakannya sesuka hati?  Refleksi diri merupakan kunci dari setiap perubahan perilaku.
    Epilog
    Meskipun tidak ada salahnya mengecek media sosial secara rutin, detoks sosial media adalah cara yang baik untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik kita. Ini khususnya jika kita menghabiskan berjam-jam waktu bermedia sosial setiap harinya.
    Jika kita ingin mencoba detoks media sosial, kita bisa mulai menjauhinya selama seminggu atau sebulan. Perhatikan bagaimana perasaan kita dan berusahalah untuk menghabiskan lebih banyak waktu secara pribadi dengan teman dan keluarga.
    Saya yakin, hidup jauh lebih menyehatkan dan membahagiakan tanpa media sosial. Karena saya sudah membuktikannya.
    Bagaimana dengan Anda?
    Siap mencoba?

  • Seni Menjaga Kesehatan Mental

    “Kebanyakan orang mungkin sudah memperhatikan kesehatan fisik, tapi hanya sebagian kecil yang memperhatikan kesehatan mental!”
    Pernyataan tersebut saya dapatkan beberapa tahun silam dari seorang psikolog cum dosen sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta Selatan. Ketika saya mendengarnya, saya secara spontan mengiyakan. Bagaimana dengan Anda?
    Saya rasa Covid-19 menjadi salah satu tonggak terpenting bagi kita semua. “Drama” bekerja dari rumah membuat secara langsung maupun tidak langsung membuat masyarakat kita mulai memperhatikan lagi kesehatan mental yang selama ini seakan-akan terabaikan.
    Apa itu kesehatan mental?
    Kesehatan mental tidak memiliki satu arti. Kita mungkin menggunakannya untuk berbicara tentang apa yang kita rasakan, seberapa baik kita mengatasi kehidupan sehari-hari atau apa yang terasa mungkin saat ini.

    Kesehatan mental yang baik tidak berarti kita selalu bahagia atau tidak terpengaruh oleh pengalaman pribadi. Tetapi kesehatan mental yang buruk dapat membuat lebih sulit untuk menghadapi kehidupan sehari-hari.

    Singkatnya, kesehatan mental mencakup kesejahteraan psikologis dan sosial kita. Ini juga mencakup kesehatan emosional kita, atau kemampuan kita untuk menyebutkan, menangani, dan mengatur emosi diri sendiri.

    Banyak faktor yang berperan dalam kesehatan mental. Beberapa di antaranya tidak dapat kita kendalikan, seperti genetika, pengalaman hidup, dan riwayat keluarga.

    Menurut penulis buku “The Anxiety Healer’s Guide” Alison Seponara, kesehatan mental membantu menentukan bagaimana kita menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan.  Ia berpendapat bahwa merawat kesehatan mental dapat membuat suasana hati membaik, mengurangi kecemasan, berpikir lebih jernih, dan kepercayaan diri yang meningkat. Memelihara kesehatan mental juga dapat membantu kita mengelola kondisi kesehatan yang diperparah oleh stres, seperti penyakit jantung, kanker, diabates, stroke dan seterusnya.

    Intinya, kesehatan mental kita dapat memengaruhi segalanya tentang hidup kita. Itulah mengapa membangun kebiasaan untuk kesehatan mental yang lebih baik dapat membuat perbedaan besar dalam kehidupan kita sehari-hari.
    Tidak yakin harus mulai dari mana? Berikut adalah sejumlah strategi yang dapat kita coba untuk merawat kesehatan mental kita.
    Pertama, tidur pulas. Satu Studi 2021 menyertakan data dari 273.695 orang dewasa di Amerika Serikat. Para peneliti menemukan bahwa orang yang rata-rata tidur 6 jam atau kurang per malam sekitar 2,5 kali lebih mungkin untuk sering melaporkan tekanan mental daripada mereka yang rata-rata tidur lebih dari 6 jam.
    Kualitas tidur Anda juga penting. Karena tidur yang terganggu justru dapat menyebabkan gejala kesehatan mental. Untuk mendapatkan tidur yang cukup berkualitas, kita bisa mencoba menghindari kafein setelah jam 3 sore, mencoba bangun dan tidur pada waktu yang sama setiap hari, atau menjadikan kamar tidur yang tenang.
    Kedua, mengurangi waktu bermedia sosial. Terus-menerus mengonsumsi informasi tentang kehidupan orang lain dapat menyebabkan kita membandingkan diri sendiri dan meningkatkan perasaan rendah diri, yang meningkatkan perasaan cemas dan depresi.
    Untuk menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial, kita bisa menyimpan telepon genggam di laci  atau di luar kamar tidur saat tidur, menemukan aktivitas alternatif yang lebih bermakna, hingga mematikan notifikasi maupun menghapus aplikasi tertentu di ponsel.
    Ketiga, menjaga silaturahmi. Manusia adalah makhluk sosial, dan hubungan yang kuat dapat memberikan pengaruh positif pada kesehatan mental kita dalam berbagai cara. Misalnya saja persahabatan yang dapat meringankan perasaan kesepian, mempermudah mendapatkan dukungan emosional, atau menambah makna hidup.
    Keempat, banyak bergerak. Kita bisa berolahraga secara rutin. Karena berolahraga dapat menghilangkan stres, menjaga suasana hati,
    membantu tidur lebih cepat dan tahan lama, hingga mengelola gejala depresi dan kecemasan.
    Banyak bergerak tidak harus diwujudkan dengan “olahraga berat”. Namun, kita bisa menyesuaikannya dengan kebutuhan. Untuk memulai,  kita bisa mencoba dengan serangkaian aktivitas fisik seperti bergabung ke klub lari, mengambil les kelas yoga, mengikuti kursus menari, mencoba meregangkan otot setiap jam, berkebun, jalan-jalan ringan di sekitar rumah, menaiki tangga di gedung bertingkat, dan seterusnya.
    Meluangkan beberapa menit setiap hari untuk melakukan peregangan dapat membuat perbedaan besar bagi kesehatan mental kita secara keseluruhan. Peregangan akan membantu aliran darah kita dan mendapatkan lebih banyak oksigen ke seluruh tubuh, yang dapat membantu kita merasa lebih rileks dan bahagia.
    Kelima, mengonsumsi makanan kaya nutrisi. Makanan tertentu juga dapat memengaruhi kesehatan mental kita. Beberapa makanan yang secara ilmiah bagus sebagai nutrisi penambah suasana hati (mood) adalah pisang, kacang polong, atau ikan,
    Minum banyak air sepanjang hari juga bisa bermanfaat. Ketika kita mengalami dehidrasi, kita menolak nutrisi yang dibutuhkan otak dan tubuh kita untuk bertahan hidup dan beroperasi pada tingkat yang lebih optimal.

    Makanan tertentu, seperti alkohol, kafein, karbohidrat olahan, dan gula tambahan, dapat memperburuk gejala kecemasan. Jadi, membatasi makanan ini dapat membantu meringankan beberapa gejala kegalauan.

    Keenam, melungkan waktu beristirahat. Meskipun definisi “istirahat” setiap orang beragam, pada umumnya kita menyepakati bahwa maksudnya adalah memberikan pikiran dan tubuh kita kesempatan untuk bersantai dan memulihkan diri.
    Apakah kita merasa sulit untuk bersantai dan merasa beristirahat?
    Apakah kita bisa mendisiplinkan diri untuk benar-benar tidak mengakses ponsel?
    Apakah kita mau mencoba untuk melupakan pekerjaan rutin beberapa saat?
    Ketujuh, mendapatkan sinar matahari yang cukup.  Seperti yang mungkin sudah kita pahami, matahari adalah sumber vitamin D yang bagus, dan penelitian menunjukkan bahwa matahari dapat meningkatkan sikap dan suasana hati.
    Waktu di luar ruangan kita juga tidak harus lama. “Berjemur” lima menit setiap hari bisa membuat pikiran dan hati kita sangat baik.
    Kesehatan mental kita memainkan peran penting dalam kualitas hidup kita. Banyak faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental tetap berada di luar kendali kita, tetapi menambahkan kebiasaan yang bermanfaat dalam keseharian dapat meningkatkan kesehatan yang lebih baik.
    Kita perlu menyadari bahwa dalam hal mengadopsi kebiasaan baru, umumnya lebih membantu untuk memulai hanya dengan satu atau dua kebiasaan, daripada merombak total sekaligus. Kita perlu mengevaluasi upaya kita secara berkala untuk menyadari kemanjurannya.

    Jika kesehatan mental kita mulai memburuk, mungkin sudah waktunya untuk mempertimbangkan untuk menghubungi psikolog, coach atau terapis.  Apakah Anda siap mencoba?


  • Benarkah Duta Wisata Sekadar Pajangan?

    “Setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi.”
    “Salam berbudaya, salam pariwisata.”
    Dua slogan itu mungkin terdengar asing bagi Anda. Namun, tidak bagi yang sedang menjabat atau sudah menjadi alumni duta wisata. Mungkin Anda bertanya-tanya, apa dan siapa duta wisata?
    Duta wisata adalah para pemuda/i yang berhasil memenangkan kontes duta wisata yang diselenggarakan secara resmi oleh pemerintah daerah. Sebutan pemenang pemilihan duta wisata menyesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Setiap provinsi, bahkan kabupaten/kota memiliki nama unik yang mencerminkan bahasa daerahnya.
    Sebagai contoh, pemenang duta wisata di tingkat Jawa Timur disebut dengan Raka-Raki. Sementara itu, gelar pemenang di kabupaten/kotanya adalah Bagus-Dyah (Kabupaten Magetan), Cak-Ning (Kota Surabaya), Joko-Roro (Kabupaten Malang), Dimas-Diajeng (Kabupaten Ngawi), Kacong-Jebbing (Kabupaten Bangkalan), Guk-Yuk (Kabupaten Sidoarjo), Inu-Kirana (Kabupaten Kediri), Jatmiko-Puspito (Kabupaten Tulungagung), dan seterusnya. Di provinsi lain tentu saja gelar pemenangnya tidaklah selalu sama. Misalnya Mas-Mbak (Jawa Tengah), Abang-None (DKI Jakarta), Kang-Nong (Banten), Agam-Inong (Aceh), Uda-Uni (Sumatera Barat), Nyong-Noni (Sulawesi Utara), Jegeg-Bagus (Bali), Mojang-Jajaka (Jawa Barat), Nou-Uti (Gorontalo), dan Nanang-Galuh (Kalimantan Selatan). Sebutan pemenang duta wisata tersebut mencerminkan keragaman budaya nusantara yang begitu kaya.
    Setiap tahun, pemenang pertama kontes di tingkat kabupaten/kota memperebutkan gelar duta wisata di tingkat provinsi masing-masing. Dan pemenang di tingkat provinsi tentu saja dipercaya untuk berkompetisi di tingkat nasional.
    Saat ini, terdapat tidak kurang 514 kabupaten/kota yang tersebar di 38 provinsi. Setiap tahunnya ratusan peserta di setiap kabupaten/kota tersebut memperebutkan gelar duta wisata. Dengan kata lain, ada puluhan ribu generasi harapan bangsa yang setiap tahun terpanggil untuk mempelajari akar budaya maupun potensi pariwisata masing-masing – terlepas mereka kalah atau menang.
    Mengingat begitu besarnya animo pemuda/i dalam kontes tersebut dapat dikatakan bahwa pemilihan duta wisata adalah salah satu program pengembangan dan pemberdayaan pemuda terbaik di negeri ini. Hal itu tidak berlebihan karena selama kontes diberikan pembekalan dengan berderet topik menarik. Mulai dari sejarah kabupaten/kota/provinsi, tata busana daerah, potensi pariwisata, grooming, komunikasi, kepemimpinan, kepribadian, seni & budaya, anti narkoba, dan seterusnya.
     
    Benarkah Mereka Sekadar Pajangan?
    Harus diakui bahwa program pemilihan duta wisata tidak terlepas dari kritik. Salah satunya adalah stigma “sekadar pajangan”. Nah, apakah hal itu benar?
    Sebagai orang yang pernah memenangkan kontes pemilihan duta wisata dan aktif di paguyuban duta wisata nasional, dapat saya katakan bahwa hal itu tidak benar. Pasalnya, baik para peserta yang dinyatakan sebagai pemenang atau finalis di setiap daerah, biasanya tergabung di asosiasi atau perkumpulan duta wisata. Setiap tahunnya, mereka memiliki berbagai program konkret yang mampu mengasah jiwa kepemimpinan, sosial, kemampuan berkomunikasi, bermasyarakat, berwirausaha, ataupun pendidikan.
    Stigma “sekadar pajangan” muncul lantaran seringkali pemenang kontes tersebut senantiasa menjadi penerima tamu di event-event akbar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Di luar itu, mereka memiliki kinerja nyata di lapangan untuk mempromosikan potensi pariwisata maupun membuat program pemberdayaan masyarakat selama setahun menjabat — bahkan tidak sedikit yang berlanjut hingga mereka mengakhiri amanahnya.
    Di tengah arus globalisasi yang diwarnai oleh tren “go international”, kontes pemilihan duta wisata tidak berlebihan jika layak disebut sebagai (salah satu) “solusi” untuk mengenalkan generasi muda dengan akar budayanya sendiri. Terlebih lagi dengan isu “klaim budaya” Indonesia oleh negeri jiran yang tidak berkesudahan, membuat urgensi program ini semakin tak terbantahkan.
    Duta Wisata adalah Agent of Change
    Para pemuda/i yang memenangkan gelar duta wisata biasanya berumur antara 18-25 tahun.  Itu artinya, ketika memegang “selempang kebesaran” mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, fresh graduate atau sedang merintis karier.
    Memenangkan kontes pemilihan duta wisata membuka peluang mereka untuk menjadi agen perubahan  (dan meniti karier) dengan cara masing-masing. Tak mengejutkan, bila alumni atau “jebolan” kontes tersebut di kemudian hari berhasil mewarnai berbagai sektor strategis di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.
    Bekal pengetahuan, pengalaman selama menjabat, jejaring yang dibangun, dan tempaan mental sebagai duta wisata mengantarkan mereka menjadi Public Figure yang menginspirasi generasinya atau generasi-generasi selanjutnya.
    Di antara alumni duta wisata yang kini dikenal luas oleh publik  antara lain sebagai berikut. Airin Rachmi Diany (Mojang Jawa Barat – mantan Wali Kota Tangerang Selatan), Maudy Kusnaedi (None Jakarta – Artis), Vena Melinda (None Jakarta – mantan anggota DPR RI), Azis Nurwahyudi (Dimas Yogyakarta – Diplomat), Sartika Dian Nuraini (Dyah Magetan – Pegiat Sastra), Hijrah Saputra (Agam Aceh – Cofounder The Leader), Andre Wijaya Binarto (Mas Jawa Tengah – Food Influencer), Agus Gazali Rahman (Nanang Barito Kuala – Pengusaha), Tina Talisa (Mojang Jawa Barat – Komisaris Tvone), Yuliandre Darwis (Uda Sumatera Barat – mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia), Tommy Tjokro (Abang Jakarta Pusat – Cofounder Buddyku), Ishakkan Karim (Mekhanai Lampung – News Anchor Jak TV), Miftah Faridl Widhagdha (Putra Solo – Managing Director Prospect Institute), Selvi Ananda (Putri Solo – istri Wali Kota Solo), Haidhar Wurjanto (Jajaka Kota Bogor – Founder Es Teh Indonesia), Stebby Julionatan (Kang Kota Probolinggo – Novelis), Danis Kirana (Raki Jawa Timur – Cofounder Dako Brand & Communication) dan masih banyak lagi.
    Sudah semestinya pemerintah “melirik” para duta wisata untuk turut menyukseskan kemajuan pariwisata tanah air. Karena mereka adalah pemuda/i berprestasi yang penuh potensi dah haus prestasi namun tidak jarang masih harus didampingi untuk membuatnya terbang lebih tinggi lagi.
    Sudah waktunya masyarakat untuk mendukung keberadaan mereka. Karena mereka mengikuti kontes pemilihan duta wisata bukan sekadar untuk mendapatkan selempang atau menjadi “pajangan”, namun sebagai “batu loncatan” untuk mengembangkan (dan memantaskan) diri.
    “Setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi”. Agaknya slogan tersebut tidaklah berlebihan.

  • Seni Membangun Resiliensi di Tempat Kerja

    Pernahkah Anda menemukan diri Anda bertanya-tanya tentang apa yang membuat seseorang bisa sukses di tempat kerja?

    Kemungkinannya adalah, seperti banyak orang yang Anda bayangkan bahwa kunci sukses di tempat kerja adalah kecerdasan atau melampaui ekspektasi perusahaan seperti bekerja lembur atau mengambil komitmen ekstra. Namun, di tempat kerja modern yang “dihiasi” dengan pengurangan staf, tenggat waktu, persaingan, dan perubahan organisasi; kesuksesan bergantung pada kemampuan individu untuk mengatasi dan bahkan berkembang saat menghadapi stres.

    Secara garis besar, resiliensi adalah kemampuan untuk ‘bangkit kembali’ saat menghadapi tantangan  yang tak terelakkan. Tempat kerja menghadirkan berbagai stressor yang beragam kepada karyawan.

    Saat ini, sebagian besar dari  karyawan di negara mana pun melihat pekerjaan mereka sebagai penyebab stres nomor satu dalam hidup mereka. Organisasi Kesehatan Dunia menggambarkan stres sebagai “epidemi kesehatan global abad ke-21.” Banyak dari kita sekarang bekerja dalam budaya kerja yang selalu terhubung, selalu aktif, dan sangat menuntut yang mana stres dan risiko kelelahan menjadi tak terelakkan. Karena kecepatan dan intensitas budaya kerja kontemporer tidak mungkin berubah, semakin penting untuk membangun keterampilan resiliensi untuk menjalani kehidupan kerja kita secara efektif.

    Selama bekerja di sejumlah perusahaan, saya telah melihat berulang kali bahwa individu dan tim bukanlah tim yang tidak pernah gagal; melainkan tim yang gagal, belajar dan berkembang karenanya. Ditantang – terkadang dengan keras – adalah bagian dari apa yang mengaktifkan resiliensi sebagai rangkaian keterampilan.

    Penelitian selama lebih dari lima dekade menunjukkan fakta bahwa resiliensi dibangun oleh sikap, perilaku, dan dukungan sosial yang dapat diadopsi dan dipupuk oleh siapa saja. Faktor-faktor yang menyebabkan resiliensi meliputi optimisme; kemampuan untuk tetap seimbang dan mengelola emosi yang kuat atau sulit; rasa aman dan sistem dukungan sosial yang kuat. Kabar baiknya adalah karena ada seperangkat perilaku dan keterampilan konkret yang terkait dengan resiliensi, kita bisa belajar menjadi lebih tangguh.

    Namun, membangun keterampilan resiliensi dalam konteks kerja zaman now tidak terjadi dalam ruang hampa. Penting untuk memahami dan mengelola beberapa faktor yang menyebabkan kita merasa sangat kewalahan dan stres di tempat kerja.
    Budaya kerja kita saat ini merupakan cerminan langsung dari meningkatnya kompleksitas dan tuntutan yang dihadapi oleh bisnis secara global. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh IBM Institute for Business Value pada akhir 2015, sebuah survei terhadap 5.247 eksekutif bisnis dari 21 industri di lebih dari 70 negara melaporkan bahwa “cakupan, skala, dan kecepatan” bisnis mereka meningkat dengan kecepatan yang dipercepat, terutama karena lanskap kompetitif menjadi semakin terganggu oleh teknologi dan model bisnis yang sangat berbeda. Hasilnya kadang-kadang cara kerja yang hingar-bingar.
    Menjadi sangat terhubung dan responsif untuk bekerja kapan saja, di mana saja, bisa sangat melelahkan. Dalam survei global Tren Sumber Daya Manusia tahun beberapa tahun lalu yang dirilis oleh Deloitte, 57% responden mengatakan bahwa organisasi mereka “lemah” dalam hal membantu para pemimpin mengelola jadwal yang sulit dan membantu karyawan mengelola arus informasi, dan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi tantangan ini.

    Jelas bahwa stres dan kelelahan terkait dengan peningkatan kecepatan dan intensitas pekerjaan sedang meningkat secara global. Sebuah survei terhadap lebih dari 100.000 karyawan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menemukan bahwa depresi, stres, dan kecemasan karyawan menyumbang 82,6% dari semua kasus kesehatan emosional tahun 2014, naik dari 55,2% pada tahun 2012.

    Selain itu, dalam sebuah survei skala besar baru-baru ini terhadap lebih dari 1,5 juta karyawan di 4.500 perusahaan di 185 negara yang dilakukan sebagai bagian dari Global Corporate Challenge menemukan bahwa sekitar 75% tenaga kerja mengalami tingkat stres sedang hingga tinggi — dan lebih khusus lagi, bahwa 36 % karyawan melaporkan merasa stres atau sangat stres di tempat kerja, dengan 39% lainnya melaporkan tingkat stres di tempat kerja sedang. Tingkat stres saat ini dan yang meningkat di tempat kerja begitu memprihatinkan, karena ada hubungan langsung dan merugikan antara stres negatif, kesehatan, dan produktivitas.

    Satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan adalah ada beberapa jenis stres yang mungkin juga berdampak positif pada kesejahteraan dan produktivitas kita. “Stres yang baik”, atau yang terkadang dikenal sebagai “stres eudaemonik”, (berasal dari kata Yunani “eudaemonia”, atau berkembang) menunjukkan bahwa beberapa jenis stres dapat membuat kita lebih sehat, memotivasi kita untuk menjadi yang terbaik, dan membantu kita. Cara yang berguna untuk memikirkannya adalah bahwa stres didistribusikan pada kurva berbentuk lonceng. Setelah melewati puncak kinerja tinggi di mana stres memotivasi kita, kita mengalami efek tidak sehat dari stres yang, jika dipertahankan dari waktu ke waktu, tidak hanya menyebabkan kelelahan tetapi juga penyakit kronis.

    Selama dua belas tahun, S. Maddi dan D. Khoshaba mempelajari karyawan sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Amerika Serikat ketika industri tersebut sedang dideregulasi. Perusahaan terus berubah dan pekerjaan dipertaruhkan. Namun, apa yang ditunjukkan oleh penelitian itu sangat mengejutkan.
    Selama periode dua belas tahun penelitian berlangsung, hampir 50% karyawan kehilangan pekerjaan dan dua pertiga lainnya mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (termasuk perceraian, masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, dan serangan jantung). Meskipun demikian, sepertiga pekerja tidak hanya selamat dari tantangan luar biasa yang mereka hadapi, mereka benar-benar berkembang.

    Dalam buku mereka yang berjudul ‘Resilience at Work: How to Success No Matter What Life Throws on You’ Maddi dan Khoshaba (2006) melaporkan bahwa dari individu yang mereka pelajari, karyawan yang mempertahankan posisinya terus mendapatkan promosi alias kariernya makin cemerlang, sementara mereka yang cukup disayangkan untuk kehilangan pekerjaan baik memulai perusahaan mereka sendiri atau mengambil pekerjaan ‘penting secara strategis’ di perusahaan lain.

    Jadi bagaimana kita dapat mengembangkan resiliensi dan tetap termotivasi dalam menghadapi stres negatif kronis dan tuntutan, kompleksitas, dan perubahan yang terus meningkat? Berikut adalah beberapa strategi, berdasarkan beberapa penelitian ilmu saraf, perilaku, dan organisasi kekinian.

    Pertama, cari dukungan. Menjalin hubungan dengan orang-orang yang dapat memberikan dukungan sosial – dan mendengarkan kita – dapat membantu memperkuat resiliensi. Terima bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, kolega, dan mentor.

    Kedua, lihat kemunduran sebagai hal yang sementara. Hindari melihat krisis sebagai hal yang tidak dapat diatasi dan pertahankan pandangan jangka panjang ke masa depan. Kita tidak dapat mengubah fakta jika ada peristiwa yang sangat menegangkan terjadi, tetapi kita dapat mengubah cara menafsirkan dan menanggapi peristiwa tersebut. Cobalah melihat melampaui masa kini untuk bagaimana keadaan di masa depan mungkin sedikit lebih baik. Catat setiap kemajuan ketika Anda merasa lebih baik saat menghadapi situasi sulit.

    Ketiga, rangkullah perubahan. Terimalah bahwa perubahan (dan kebutuhan untuk beradaptasi dengannya) adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Tujuan tertentu mungkin tidak lagi dapat dicapai karena situasi yang merugikan. Menerima keadaan yang tidak dapat diubah dapat membantu kita berfokus pada keadaan yang dapat kita ubah.

    Keempat, tetapkan tujuan yang realistis. Fokuslah pada langkah-langkah kecil dan tujuan realistis yang dapat dicapai secara teratur. Ini dapat membantu kita untuk bergerak menuju tujuan kita. Alih-alih berfokus pada tugas yang tampaknya tidak dapat dicapai, tanyakan pada diri sendiri, “Satu hal apa yang saya tahu dapat saya selesaikan hari ini yang akan membantu saya bergerak ke arah yang ingin saya tuju?”

    Kelima,  budayakan bersyukur. Peliharalah pandangan positif tentang diri kita yang memungkinkan kita memercayai insting . Sebelum tidur di malam hari, buatlah daftar  tentang segala sesuatu yang harus kita syukuri. Syukur adalah salah satu fondasi dasar kepuasan dan resiliensi terhadap stres.

    Keenam, pertahankan perspektif. Bahkan ketika menghadapi peristiwa yang sangat sulit, cobalah untuk mempertimbangkan situasi stres dalam konteks yang lebih luas dan pertahankan perspektif jangka panjang.

    Ketujuh, rawatlah diri sendiri. Perhatikan kebutuhan dan perasaan kita sendiri. Terlibatlah dalam aktivitas yang kita sukai dan temukan waktu untuk bersantai dan berolahraga secara teratur. Merawat diri sendiri membantu menjaga pikiran dan tubuh kita tetap prima untuk menghadapi situasi yang membutuhkan resiliensi. Kegiatan ini tidak hanya membantu kita rileks setelah hari yang penuh tekanan, tetapi juga membantu membuat kita lebih tahan terhadap stres di masa mendatang.

    Kedelapan, ambil tindakan. Ambil tindakan tegas daripada berharap masalah pergi. Jangan biarkan masalah  melumpuhkan kita sampai pada titik inersia atau kelambanan. Ambil tindakan apa pun yang membuat kita maju meskipun itu hanya langkah kecil.

    Kesembilan, bersikaplah fleksibel.  Mulailah dengan mempelajari cara berkompromi dengan kolega kita. Semakin cepat kita mengetahui bahwa cara kita bukanlah satu-satunya cara, semakin cepat kita akan melihat bagaimana melewati krisis yang penuh tekanan. Mungkin pemikiran tidak fleksibellah yang membawa kita ke dalam situasi stres sejak awal.

    Kesepuluh, carilah peluang untuk penemuan jati diri. Orang sering belajar tentang diri mereka sendiri sebagai hasil dari pergumulan mereka dengan kehilangan. Banyak orang yang pernah mengalami tragedi dan kesulitan telah melaporkan hubungan yang lebih baik, rasa kekuatan yang lebih besar, rasa harga diri yang meningkat, spiritualitas yang lebih berkembang, dan penghargaan yang lebih tinggi terhadap kehidupan.

    Pada akhirnya, resiliensi sering kali tentang menerima situasi stres sebagai ‘peluang’ bagi kita untuk membangun karakter kita sendiri dan tumbuh sebagai pribadi (yang baru). Stres juga melatih kemampuan pemecahan masalah kita. Melihat stres sebagai peluang, dan kemudian mempelajari cara mengatasi dan mengelolanya, akan membuat kita lebih menghargai hidup, menikmati tantangan, dan mengatasi rintangan yang hanya menghalangi jalan kita untuk sementara waktu.


  • Dapatkah Kecerdasan Buatan “Mengalahkan” Manusia?

    Belakangan masyarakat tanah air dihebohkan dengan hadirnya ChatGPT. Linimasa di berbagai platform media sosial menjadikannya viral. Berbagai diskusi dari yang sangat formal ala dunia akademis hingga obrolan di kedai kopi membahasnya dari berbagai sisi.

    Pelaku bisnis, profesional di berbagai level, dan mahasiswa begitu terlihat “kepo” dengan kemunculannya. Sebagian menyikapinya dengan begitu sangat optimis. Sebagian lagi menganggapnya biasa saja. Sisanya cemas bukan kepalang.

    ChatGPT (Generative Pre-Training Transformer) merupakan kecerdasan buatan (AI) dengan cara kerja mengandalkan format percakapan. Dibesut pada tahun 2015, kehadirannya diklaim begitu membantu pekerjaan kita. Berkat ChatGPT, masyarakat mulai makin terbuka pandangannya dengan kecerdasan buatan meskipun ChatGPT “hanya” salah satu contoh terobosan AI.

    Mungkinkah AI Mengalahkan Manusia?
    Ketika dihadapkan dengan pesatnya pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan (AI), dunia bisnis tentu dimudahkan dengan proses otomatis yang membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih efisien. Di sisi lain, para karyawan tak bisa dipungkiri “kebakaran jenggot” karena takut kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh mesin.

    Meskipun AI dirancang untuk menggantikan kerja manual dengan cara yang lebih efektif dan lebih cepat dalam melakukan pekerjaan; AI sampai kapan pun tidak dapat “mengalahkan” manusia. Mengapa demikian? Apa sisi lain AI yang perlu kita pahami lebih jauh?

    Pertama, nihil (atau minim)nya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor pembeda yang membuat manusia selalu relevan di dunia kerja. Pentingnya kecerdasan emosional di ruang kerja tidak bisa dilebih-lebihkan, terutama saat berhadapan dengan klien.

    Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan dasar manusia yang tak terbantahkan adalah kebutuhan akan hubungan emosional dengan orang lain. AI mencoba meniru kecerdasan manusia, tetapi kecerdasan emosional tidak semudah meniru kecerdasan intelektual. Mengapa? Karena itu membutuhkan empati dan pemahaman mendalam tentang pengalaman manusia, terutama rasa sakit dan penderitaan, dan AI sama sekali tidak merasakan sakit.

    Pemilik bisnis yang cerdas dan eksekutif perusahaan memahami pentingnya menarik emosi staf dan klien mereka. Sebuah mesin tidak dapat mencapai tingkat koneksi sebaik manusia. Sementara itu sebagai manusia, ada cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita.

    Terlepas dari seberapa baik mesin AI diprogram untuk merespons manusia, kecil kemungkinan manusia akan mengembangkan hubungan emosional yang kuat dengan mesin. Oleh karena itu, AI tidak dapat menggantikan manusia, terutama karena berhubungan dengan orang lain sangat penting untuk pertumbuhan bisnis.

    Kedua, hanya dapat bekerja dengan data yang dimasukkan. AI hanya dapat berfungsi berdasarkan data yang diterimanya. Apa pun lebih dari itu akan membutuhkan lebih dari yang bisa ditangani, dan mesin tidak dibuat seperti itu. Jadi, ketika data yang dimasukkan ke dalam mesin tidak menyertakan area kerja baru, atau algoritmenya tidak menyertakan keadaan yang tidak terduga, mesin menjadi tidak begitu berfaedah.

    Situasi ini biasa terjadi di industri teknologi dan manufaktur, dan pembuat AI terus-menerus mencoba mencari solusi sementara. Gagasan bahwa alat AI akan beradaptasi dengan situasi apa pun adalah salah satu dari beberapa mitos umum seputar kecerdasan buatan.

    Oleh karena itu, jika kita takut AI dapat “menyusup” ke semua industri dan menghilangkan permintaan akan keterampilan profesional kita, yakinlah bahwa hal itu tidak akan terjadi. Penalaran manusia dan kekuatan otak manusia untuk menganalisis, membuat, berimprovisasi, bermanuver, dan mengumpulkan informasi tidak dapat dengan mudah ditiru oleh AI — setidaknya untuk saat ini.

    Ketiga, proses kreatif yang terbatas. Saat melakukan brainstorming konsep kreatif dan cara melakukan pekerjaan, AI tidak memiliki kemampuan manusia ini karena, sebagaimana telah ditetapkan, AI hanya dapat bekerja dengan data yang diterimanya. Oleh karena itu, ia tidak dapat memikirkan cara, gaya, atau pola baru dalam melakukan pekerjaan dan terbatas pada “template” yang diberikan.

    Pengusaha dan karyawan tahu betapa pentingnya kreativitas di ruang kerja. Kreativitas menawarkan sensasi menyenangkan dari sesuatu yang baru dan berbeda daripada tindakan berulang yang membosankan di mana AI dirancang untuk berfungsi. Kreativitas adalah fondasi inovasi.

    Berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir out of the box. Sementara itu, mesin dirancang untuk “in the box”. Itu berarti  AI hanya dapat berfungsi dalam perintah data yang diberikan.

    Di sisi lain, manusia dapat berpikir tanpa batas, mencari informasi dari berbagai cara dan menghasilkan solusi untuk masalah yang rumit dengan sedikit atau tanpa data yang tersedia. Karena AI tidak memiliki kemampuan untuk berpikir out of the box dan menghasilkan ide-ide kreatif untuk inovasi, AI tidak dapat mengambil alih manusia di ruang kerja.

    Keempat, tak memiliki soft skill. Soft skill merupakan hal yang wajib dimiliki oleh setiap profesional di ruang kerja. Misalnya kerja tim, perhatian terhadap detail, berpikir kritis dan kreatif, komunikasi yang efektif, dan keterampilan interpersonal. Soft skill kita butuhkan di setiap industri, dan kita harus mengembangkannya untuk berhasil secara profesional.

    Manusia diajarkan dan dituntut untuk memiliki soft skill, apa pun posisinya. Eksekutif perusahaan membutuhkan mereka untuk berkembang, seperti halnya tim pekerja lapangan di industri apa pun. Karenanya, soft skill ini memberi kita keunggulan di ruang kerja dibandingkan AI.

    Namun, soft skill asing bagi mesin dengan kecerdasan buatan. AI tidak dapat mengembangkan soft skill yang penting untuk pengembangan dan pertumbuhan di tempat kerja. Mengembangkan keterampilan ini membutuhkan tingkat penalaran dan kecerdasan emosional yang lebih tinggi.

    Kelima, manusia membuatnya beroperasi. Tidak akan pernah ada AI tanpa kecerdasan manusia. Istilah kecerdasan buatan berarti manusia yang merancangnya. Manusia menulis baris kode yang digunakan untuk mengembangkan AI. Data yang dioperasikan oleh mesin AI diinput oleh manusia. Dan manusialah yang menggunakan mesin ini.

    Karena aplikasi AI terus berkembang, begitu pula layanan manusia. Seseorang harus merancang proses AI, membuat mesin AI, mengoperasikan, dan memeliharanya. Hanya manusia yang bisa melakukan ini. Berdasarkan fakta-fakta ini, kita dapat dengan berani menepis spekulasi AI yang bisa “mengalahkan” peran manusia. Kendati beberapa pekerjaan telah bisa “digantikan” olehnya.
    Keenam, AI hanyalah pelengkap – bukan “pesaing” manusia. Aplikasi kecerdasan buatan memang mulai berkembang, dan akan menggantikan banyak pekerjaan yang dilakukan orang saat ini. Namun, pekerjaan yang dibutuhkan seringkali terbatas pada tugas berulang yang membutuhkan penalaran yang tidak terlalu intens. Selain itu, tuntutan tempat kerja yang berkembang akan menciptakan peran baru bagi manusia saat dunia bergerak menuju lanskap teknologi yang lebih terintegrasi.

    Sebuah laporan oleh Forum Ekonomi Dunia menunjukkan bahwa meskipun mesin dengan AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025, sekitar 97 juta pekerjaan akan tersedia pada tahun yang sama berkat AI. Jadi, pertanyaan besarnya adalah: Bagaimana manusia bisa bekerja dengan AI alih-alih digantikan olehnya? Itu harus menjadi fokus kita.

    Karena di zaman sekarang ini, akan sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk hidup tanpa AI—dan tanpa manusia, tidak akan ada kecerdasan buatan. Perusahaan yang berpikiran maju telah mengembangkan cara untuk menggabungkan kemampuan manusia dan AI untuk mencapai tingkat produktivitas dan inovasi yang lebih tinggi.

    Ketujuh, akurasi data. Masalah besar dengan chatbot AI seperti ChatGPT adalah seringkali tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan fakta oleh moderator manusia. Memang, AI mampu belajar dengan sangat cepat, tetapi tidak memiliki akal sehat dan tidak mampu bernalar dan membantah fakta sejauh yang bisa dilakukan manusia. Itu sebabnya kita mungkin harus menghindari menanyakan AI chatbots hal-hal tertentu.

    Kesimpulannya  adalah karena kecerdasan buatan tidak mampu mengawasi dirinya sendiri dan membutuhkan moderasi eksternal, “pengecekan fakta” kemungkinan besar akan menjadi karier utama di masa depan. Jadi, tak ada salahnya bagi kita untuk mulai meningkatkan kemampuan riset atau analisis data.

    Saatnya Merangkul AI, Bukan MenakutinyaKecerdasan buatan (AI) bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Namun, kita harus meningkatkan kompetensi kita agar tidak tergantikan oleh AI.
    Teruslah mengikuti tren terbaru di bidang kita, dan jadilah inovatif dan kreatif. Dengan cara ini, kita akan menjadi Talent nan kompetitif.

    Artificial Intelligence (AI) dibuat oleh manusia, jadi hanya orang-orang pesimis yang merasa akan terkalahkan olehnya. Apakah Anda setuju?


  • Mengapa Orang Indonesia (Masih) “Malas” Membaca?

    Baru-baru ini, saya mendapatkan temuan menarik mengenai profesi idaman masyarakat Asia Tenggara. Dari hasil riset tersebut disebutkan bahwa profesi impian masyarakat Indonesia adalah YouTuber. Sementara profesi impian masyarakat di negeri jiran kita ialah Guru untuk Malaysia dan Penulis untuk Singapura.

    Apa yang dapat saya petik dari temuan tersebut? Saya semakin menyadari bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya kurang suka membaca. Orang-orang di sekitar kita lebih betah berjam-jam mengamati linimasa media sosial ataupun menonton film dan televisi.

    Pemahaman saya tersebut semakin menguat menyadari fakta industri penerbitan buku di Indonesia bisa dikatakan kurang berkembang. Toko-toko buku banyak yang telah tutup permanen dan para penulis berteriak dengan tingginya pajak royalti.

    Di sisi lain, jam mengakses internet masyarakat kita dari hari ke hari makin tinggi. Coba cek sendiri, berapa jam rata-rata waktu yang teman-teman kita habiskan untuk TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan semacamnya?

    Sebagai seorang penulis profesional, kenyataan ini tentu membuat sangat miris. Bagaimana dengan masa depan penulis? Apakah penulis profesional bisa hidup layak jika sepenuhnya fokus tanpa memiliki pekerjaan atau bisnis lain? Masih adakah harapan bagi para penulis agar karya-karyanya dibaca di tengah gempuran abad digital yang disruptif?

    Budaya Baca Masyarakat Indonesia
    Konon, leluhur orang Indonesia itu lebih suka bertutur dibandingkan dengan menuliskannya. Tak mengherankan berbagai dongeng atau cerita rakyat berhasil diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini.

    Di sisi lain, meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi, statistik menunjukkan bahwa membaca buku bukanlah kegiatan populer di Indonesia. Dibandingkan dengan orang di negara lain dengan tingkat melek huruf yang tinggi, orang  Indonesia yang mau membaca jauh lebih sedikit.

    Sebuah studi tahun 2013 dari UNESCO menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1000 anak di Indonesia yang senang membaca. Sebuah studi tahun 2018 dari PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan bahwa skor membaca siswa Indonesia adalah 371 (dibandingkan dengan skor rata-rata 487), dan kemampuan membaca keseluruhan anak Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara OECD.

    Temuan penelitian lainnya menunjukkan bahwa kebiasaan membaca secara umum di era digital cenderung lebih tinggi daripada di masa sebelum internet. Hasil riset Universitas Kristen Indonesia (UI) menemukan bahwa, meskipun tidak membaca buku sesering siswa di negara lain, siswa Indonesia menggunakan internet untuk membaca, meskipun biasanya hanya untuk tugas sekolah. Membaca untuk kesenangan atau untuk belajar di luar yang diwajibkan jarang terjadi.

    Mengapa Orang Indonesia Enggan Membaca?

    Ada beberapa alasan mengapa kebiasaan membaca di Indonesia lebih rendah daripada di negara lain. Berikut di antaranya.

    Pertama, tradisi lisan: Di negeri kita, ada tradisi panjang berbagi cerita dan kebijaksanaan melalui kata-kata lisan, bukan melalui teks tertulis.

    Kedua, budaya sekolah: Membaca umumnya dipandang sebagai kegiatan yang hanya untuk tujuan sekolah, dan membaca buku atas kemauan sendiri sering dianggap sebagai perilaku yang tidak biasa. Tak mengejutkan anak-anak yang suka membaca diberi label “Kutu Buku”. Anak-anak yang berani berbeda dari kebanyakan mendapatkan perundungan hingga intimidasi.

    Ketiga, persaingan dengan bentuk media lain: Masyarakat kita menggunakan media sosial, streaming TV/film, dan game online dengan sangat masif. Bentuk-bentuk media yang lebih interaktif dan visual ini seringkali dapat lebih langsung merangsang siswa dibandingkan dengan buku, yang membutuhkan tingkat fokus, konsentrasi, dan keterlibatan aktif yang lebih besar. Teknologi agaknya  mengurangi tingkat membaca anak-anak kita.

    Keempat, kurangnya kesempatan: Rendahnya tingkat membaca di Indonesia mungkin tidak semata-mata karena kurangnya minat—kurangnya kesempatan juga dapat berperan. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, sekolah di Indonesia memiliki lebih sedikit buku untuk diakses siswa. Menurut hasil kajian  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia tahun 2017, hanya 61% sekolah dasar yang memiliki perpustakaan, dan dari perpustakaan tersebut, hanya 31% yang terawat dengan baik. Perpustakaan sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk olahraga atau kegiatan serupa, yang berarti bahwa buku seringkali tidak menjadi prioritas bahkan di perpustakaan sekolah.

    Kelima, kualitas buku yang tersedia buruk: Nirwan Ahmad Arsuka, pencipta program perpustakaan keliling di Indonesia, menyebutkan kualitas buku yang tersedia bagi banyak siswa sebagai hambatan untuk mendorong membaca. Ia percaya bahwa buku-buku yang dikeluarkan untuk sekolah oleh pemerintah pada umumnya tidak menarik, terlalu formal, dan ditulis dengan buruk, yang memberikan siswa persepsi negatif tentang buku sejak usia muda.

    Keenam, kurangnya ketersediaan buku asing: Selain buruknya kualitas buku di perpustakaan sekolah di Indonesia, akses buku dari luar negeri juga sangat minim. Buku-buku asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seringkali hanya dapat diperoleh dari toko buku khusus, dan harganya sangat mahal.

    Epilog
    Meningkatkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia tak bisa diselesaikan oleh salah satu pihak saja. Diperlukan kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, orang tua, dan para pemangku kepentingan lainnya.

    Minat membaca biasanya paling baik dibangun pada usia muda. Jadi, sangat penting memastikan bahwa siswa yang lebih muda memiliki akses ke buku-buku yang menarik bagi mereka.

    Temuan dari berbagai kajian telah menunjukkan bahwa minat membaca untuk tujuan pendidikan biasanya hanya meningkat sebagai akibat dari menikmati membaca untuk kesenangan. Menumbuhkan minat membaca pada generasi muda kemungkinan akan mengubah budaya dari waktu ke waktu dan menjadikan kegiatan membaca lebih umum untuk generasi mendatang.

    Manfaat ini untuk sistem pendidikan memang signifikan. Sebuah studi tahun 2015 oleh Universitas Kenyatta menemukan bahwa siswa dengan masalah membaca lebih cenderung berprestasi buruk di sekolah, dengan kemungkinan lebih tinggi untuk mengulang kelas atau putus sekolah pada usia dini. Sebaliknya, siswa dengan keterampilan membaca yang baik memiliki kinerja yang lebih baik di sekolah dan di dunia kerja, serta memiliki tingkat perkembangan emosi dan sosial yang lebih tinggi.

    Peningkatan akses  masyarakat Indonesia terhadap buku berkualitas tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan inisiatif. Ebooks, dan program untuk menyediakan akses ke sana, dapat memecahkan banyak hambatan dalam meningkatkan kebiasaan membaca di tanah air. Meningkatkan kebiasaan membaca meningkatkan pembelajaran secara umum—tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi juga untuk pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi.