Kesehatan mental yang baik tidak berarti kita selalu bahagia atau tidak terpengaruh oleh pengalaman pribadi. Tetapi kesehatan mental yang buruk dapat membuat lebih sulit untuk menghadapi kehidupan sehari-hari.
Banyak faktor yang berperan dalam kesehatan mental. Beberapa di antaranya tidak dapat kita kendalikan, seperti genetika, pengalaman hidup, dan riwayat keluarga.
Menurut penulis buku “The Anxiety Healer’s Guide” Alison Seponara, kesehatan mental membantu menentukan bagaimana kita menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan. Ia berpendapat bahwa merawat kesehatan mental dapat membuat suasana hati membaik, mengurangi kecemasan, berpikir lebih jernih, dan kepercayaan diri yang meningkat. Memelihara kesehatan mental juga dapat membantu kita mengelola kondisi kesehatan yang diperparah oleh stres, seperti penyakit jantung, kanker, diabates, stroke dan seterusnya.
Makanan tertentu, seperti alkohol, kafein, karbohidrat olahan, dan gula tambahan, dapat memperburuk gejala kecemasan. Jadi, membatasi makanan ini dapat membantu meringankan beberapa gejala kegalauan.
Jika kesehatan mental kita mulai memburuk, mungkin sudah waktunya untuk mempertimbangkan untuk menghubungi psikolog, coach atau terapis. Apakah Anda siap mencoba?
Kemungkinannya adalah, seperti banyak orang yang Anda bayangkan bahwa kunci sukses di tempat kerja adalah kecerdasan atau melampaui ekspektasi perusahaan seperti bekerja lembur atau mengambil komitmen ekstra. Namun, di tempat kerja modern yang “dihiasi” dengan pengurangan staf, tenggat waktu, persaingan, dan perubahan organisasi; kesuksesan bergantung pada kemampuan individu untuk mengatasi dan bahkan berkembang saat menghadapi stres.
Secara garis besar, resiliensi adalah kemampuan untuk ‘bangkit kembali’ saat menghadapi tantangan yang tak terelakkan. Tempat kerja menghadirkan berbagai stressor yang beragam kepada karyawan.
Selama bekerja di sejumlah perusahaan, saya telah melihat berulang kali bahwa individu dan tim bukanlah tim yang tidak pernah gagal; melainkan tim yang gagal, belajar dan berkembang karenanya. Ditantang – terkadang dengan keras – adalah bagian dari apa yang mengaktifkan resiliensi sebagai rangkaian keterampilan.
Penelitian selama lebih dari lima dekade menunjukkan fakta bahwa resiliensi dibangun oleh sikap, perilaku, dan dukungan sosial yang dapat diadopsi dan dipupuk oleh siapa saja. Faktor-faktor yang menyebabkan resiliensi meliputi optimisme; kemampuan untuk tetap seimbang dan mengelola emosi yang kuat atau sulit; rasa aman dan sistem dukungan sosial yang kuat. Kabar baiknya adalah karena ada seperangkat perilaku dan keterampilan konkret yang terkait dengan resiliensi, kita bisa belajar menjadi lebih tangguh.
Jelas bahwa stres dan kelelahan terkait dengan peningkatan kecepatan dan intensitas pekerjaan sedang meningkat secara global. Sebuah survei terhadap lebih dari 100.000 karyawan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menemukan bahwa depresi, stres, dan kecemasan karyawan menyumbang 82,6% dari semua kasus kesehatan emosional tahun 2014, naik dari 55,2% pada tahun 2012.
Satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan adalah ada beberapa jenis stres yang mungkin juga berdampak positif pada kesejahteraan dan produktivitas kita. “Stres yang baik”, atau yang terkadang dikenal sebagai “stres eudaemonik”, (berasal dari kata Yunani “eudaemonia”, atau berkembang) menunjukkan bahwa beberapa jenis stres dapat membuat kita lebih sehat, memotivasi kita untuk menjadi yang terbaik, dan membantu kita. Cara yang berguna untuk memikirkannya adalah bahwa stres didistribusikan pada kurva berbentuk lonceng. Setelah melewati puncak kinerja tinggi di mana stres memotivasi kita, kita mengalami efek tidak sehat dari stres yang, jika dipertahankan dari waktu ke waktu, tidak hanya menyebabkan kelelahan tetapi juga penyakit kronis.
Dalam buku mereka yang berjudul ‘Resilience at Work: How to Success No Matter What Life Throws on You’ Maddi dan Khoshaba (2006) melaporkan bahwa dari individu yang mereka pelajari, karyawan yang mempertahankan posisinya terus mendapatkan promosi alias kariernya makin cemerlang, sementara mereka yang cukup disayangkan untuk kehilangan pekerjaan baik memulai perusahaan mereka sendiri atau mengambil pekerjaan ‘penting secara strategis’ di perusahaan lain.
Jadi bagaimana kita dapat mengembangkan resiliensi dan tetap termotivasi dalam menghadapi stres negatif kronis dan tuntutan, kompleksitas, dan perubahan yang terus meningkat? Berikut adalah beberapa strategi, berdasarkan beberapa penelitian ilmu saraf, perilaku, dan organisasi kekinian.
Pertama, cari dukungan. Menjalin hubungan dengan orang-orang yang dapat memberikan dukungan sosial – dan mendengarkan kita – dapat membantu memperkuat resiliensi. Terima bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, kolega, dan mentor.
Kedua, lihat kemunduran sebagai hal yang sementara. Hindari melihat krisis sebagai hal yang tidak dapat diatasi dan pertahankan pandangan jangka panjang ke masa depan. Kita tidak dapat mengubah fakta jika ada peristiwa yang sangat menegangkan terjadi, tetapi kita dapat mengubah cara menafsirkan dan menanggapi peristiwa tersebut. Cobalah melihat melampaui masa kini untuk bagaimana keadaan di masa depan mungkin sedikit lebih baik. Catat setiap kemajuan ketika Anda merasa lebih baik saat menghadapi situasi sulit.
Ketiga, rangkullah perubahan. Terimalah bahwa perubahan (dan kebutuhan untuk beradaptasi dengannya) adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Tujuan tertentu mungkin tidak lagi dapat dicapai karena situasi yang merugikan. Menerima keadaan yang tidak dapat diubah dapat membantu kita berfokus pada keadaan yang dapat kita ubah.
Keempat, tetapkan tujuan yang realistis. Fokuslah pada langkah-langkah kecil dan tujuan realistis yang dapat dicapai secara teratur. Ini dapat membantu kita untuk bergerak menuju tujuan kita. Alih-alih berfokus pada tugas yang tampaknya tidak dapat dicapai, tanyakan pada diri sendiri, “Satu hal apa yang saya tahu dapat saya selesaikan hari ini yang akan membantu saya bergerak ke arah yang ingin saya tuju?”
Kelima, budayakan bersyukur. Peliharalah pandangan positif tentang diri kita yang memungkinkan kita memercayai insting . Sebelum tidur di malam hari, buatlah daftar tentang segala sesuatu yang harus kita syukuri. Syukur adalah salah satu fondasi dasar kepuasan dan resiliensi terhadap stres.
Keenam, pertahankan perspektif. Bahkan ketika menghadapi peristiwa yang sangat sulit, cobalah untuk mempertimbangkan situasi stres dalam konteks yang lebih luas dan pertahankan perspektif jangka panjang.
Ketujuh, rawatlah diri sendiri. Perhatikan kebutuhan dan perasaan kita sendiri. Terlibatlah dalam aktivitas yang kita sukai dan temukan waktu untuk bersantai dan berolahraga secara teratur. Merawat diri sendiri membantu menjaga pikiran dan tubuh kita tetap prima untuk menghadapi situasi yang membutuhkan resiliensi. Kegiatan ini tidak hanya membantu kita rileks setelah hari yang penuh tekanan, tetapi juga membantu membuat kita lebih tahan terhadap stres di masa mendatang.
Kedelapan, ambil tindakan. Ambil tindakan tegas daripada berharap masalah pergi. Jangan biarkan masalah melumpuhkan kita sampai pada titik inersia atau kelambanan. Ambil tindakan apa pun yang membuat kita maju meskipun itu hanya langkah kecil.
Kesembilan, bersikaplah fleksibel. Mulailah dengan mempelajari cara berkompromi dengan kolega kita. Semakin cepat kita mengetahui bahwa cara kita bukanlah satu-satunya cara, semakin cepat kita akan melihat bagaimana melewati krisis yang penuh tekanan. Mungkin pemikiran tidak fleksibellah yang membawa kita ke dalam situasi stres sejak awal.
Kesepuluh, carilah peluang untuk penemuan jati diri. Orang sering belajar tentang diri mereka sendiri sebagai hasil dari pergumulan mereka dengan kehilangan. Banyak orang yang pernah mengalami tragedi dan kesulitan telah melaporkan hubungan yang lebih baik, rasa kekuatan yang lebih besar, rasa harga diri yang meningkat, spiritualitas yang lebih berkembang, dan penghargaan yang lebih tinggi terhadap kehidupan.
Pada akhirnya, resiliensi sering kali tentang menerima situasi stres sebagai ‘peluang’ bagi kita untuk membangun karakter kita sendiri dan tumbuh sebagai pribadi (yang baru). Stres juga melatih kemampuan pemecahan masalah kita. Melihat stres sebagai peluang, dan kemudian mempelajari cara mengatasi dan mengelolanya, akan membuat kita lebih menghargai hidup, menikmati tantangan, dan mengatasi rintangan yang hanya menghalangi jalan kita untuk sementara waktu.
Belakangan masyarakat tanah air dihebohkan dengan hadirnya ChatGPT. Linimasa di berbagai platform media sosial menjadikannya viral. Berbagai diskusi dari yang sangat formal ala dunia akademis hingga obrolan di kedai kopi membahasnya dari berbagai sisi.
Pelaku bisnis, profesional di berbagai level, dan mahasiswa begitu terlihat “kepo” dengan kemunculannya. Sebagian menyikapinya dengan begitu sangat optimis. Sebagian lagi menganggapnya biasa saja. Sisanya cemas bukan kepalang.
ChatGPT (Generative Pre-Training Transformer) merupakan kecerdasan buatan (AI) dengan cara kerja mengandalkan format percakapan. Dibesut pada tahun 2015, kehadirannya diklaim begitu membantu pekerjaan kita. Berkat ChatGPT, masyarakat mulai makin terbuka pandangannya dengan kecerdasan buatan meskipun ChatGPT “hanya” salah satu contoh terobosan AI.
Mungkinkah AI Mengalahkan Manusia?
Ketika dihadapkan dengan pesatnya pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan (AI), dunia bisnis tentu dimudahkan dengan proses otomatis yang membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih efisien. Di sisi lain, para karyawan tak bisa dipungkiri “kebakaran jenggot” karena takut kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh mesin.
Meskipun AI dirancang untuk menggantikan kerja manual dengan cara yang lebih efektif dan lebih cepat dalam melakukan pekerjaan; AI sampai kapan pun tidak dapat “mengalahkan” manusia. Mengapa demikian? Apa sisi lain AI yang perlu kita pahami lebih jauh?
Pertama, nihil (atau minim)nya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor pembeda yang membuat manusia selalu relevan di dunia kerja. Pentingnya kecerdasan emosional di ruang kerja tidak bisa dilebih-lebihkan, terutama saat berhadapan dengan klien.
Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan dasar manusia yang tak terbantahkan adalah kebutuhan akan hubungan emosional dengan orang lain. AI mencoba meniru kecerdasan manusia, tetapi kecerdasan emosional tidak semudah meniru kecerdasan intelektual. Mengapa? Karena itu membutuhkan empati dan pemahaman mendalam tentang pengalaman manusia, terutama rasa sakit dan penderitaan, dan AI sama sekali tidak merasakan sakit.
Pemilik bisnis yang cerdas dan eksekutif perusahaan memahami pentingnya menarik emosi staf dan klien mereka. Sebuah mesin tidak dapat mencapai tingkat koneksi sebaik manusia. Sementara itu sebagai manusia, ada cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita.
Terlepas dari seberapa baik mesin AI diprogram untuk merespons manusia, kecil kemungkinan manusia akan mengembangkan hubungan emosional yang kuat dengan mesin. Oleh karena itu, AI tidak dapat menggantikan manusia, terutama karena berhubungan dengan orang lain sangat penting untuk pertumbuhan bisnis.
Kedua, hanya dapat bekerja dengan data yang dimasukkan. AI hanya dapat berfungsi berdasarkan data yang diterimanya. Apa pun lebih dari itu akan membutuhkan lebih dari yang bisa ditangani, dan mesin tidak dibuat seperti itu. Jadi, ketika data yang dimasukkan ke dalam mesin tidak menyertakan area kerja baru, atau algoritmenya tidak menyertakan keadaan yang tidak terduga, mesin menjadi tidak begitu berfaedah.
Situasi ini biasa terjadi di industri teknologi dan manufaktur, dan pembuat AI terus-menerus mencoba mencari solusi sementara. Gagasan bahwa alat AI akan beradaptasi dengan situasi apa pun adalah salah satu dari beberapa mitos umum seputar kecerdasan buatan.
Oleh karena itu, jika kita takut AI dapat “menyusup” ke semua industri dan menghilangkan permintaan akan keterampilan profesional kita, yakinlah bahwa hal itu tidak akan terjadi. Penalaran manusia dan kekuatan otak manusia untuk menganalisis, membuat, berimprovisasi, bermanuver, dan mengumpulkan informasi tidak dapat dengan mudah ditiru oleh AI — setidaknya untuk saat ini.
Ketiga, proses kreatif yang terbatas. Saat melakukan brainstorming konsep kreatif dan cara melakukan pekerjaan, AI tidak memiliki kemampuan manusia ini karena, sebagaimana telah ditetapkan, AI hanya dapat bekerja dengan data yang diterimanya. Oleh karena itu, ia tidak dapat memikirkan cara, gaya, atau pola baru dalam melakukan pekerjaan dan terbatas pada “template” yang diberikan.
Pengusaha dan karyawan tahu betapa pentingnya kreativitas di ruang kerja. Kreativitas menawarkan sensasi menyenangkan dari sesuatu yang baru dan berbeda daripada tindakan berulang yang membosankan di mana AI dirancang untuk berfungsi. Kreativitas adalah fondasi inovasi.
Berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir out of the box. Sementara itu, mesin dirancang untuk “in the box”. Itu berarti AI hanya dapat berfungsi dalam perintah data yang diberikan.
Di sisi lain, manusia dapat berpikir tanpa batas, mencari informasi dari berbagai cara dan menghasilkan solusi untuk masalah yang rumit dengan sedikit atau tanpa data yang tersedia. Karena AI tidak memiliki kemampuan untuk berpikir out of the box dan menghasilkan ide-ide kreatif untuk inovasi, AI tidak dapat mengambil alih manusia di ruang kerja.
Keempat, tak memiliki soft skill. Soft skill merupakan hal yang wajib dimiliki oleh setiap profesional di ruang kerja. Misalnya kerja tim, perhatian terhadap detail, berpikir kritis dan kreatif, komunikasi yang efektif, dan keterampilan interpersonal. Soft skill kita butuhkan di setiap industri, dan kita harus mengembangkannya untuk berhasil secara profesional.
Manusia diajarkan dan dituntut untuk memiliki soft skill, apa pun posisinya. Eksekutif perusahaan membutuhkan mereka untuk berkembang, seperti halnya tim pekerja lapangan di industri apa pun. Karenanya, soft skill ini memberi kita keunggulan di ruang kerja dibandingkan AI.
Namun, soft skill asing bagi mesin dengan kecerdasan buatan. AI tidak dapat mengembangkan soft skill yang penting untuk pengembangan dan pertumbuhan di tempat kerja. Mengembangkan keterampilan ini membutuhkan tingkat penalaran dan kecerdasan emosional yang lebih tinggi.
Kelima, manusia membuatnya beroperasi. Tidak akan pernah ada AI tanpa kecerdasan manusia. Istilah kecerdasan buatan berarti manusia yang merancangnya. Manusia menulis baris kode yang digunakan untuk mengembangkan AI. Data yang dioperasikan oleh mesin AI diinput oleh manusia. Dan manusialah yang menggunakan mesin ini.
Karena aplikasi AI terus berkembang, begitu pula layanan manusia. Seseorang harus merancang proses AI, membuat mesin AI, mengoperasikan, dan memeliharanya. Hanya manusia yang bisa melakukan ini. Berdasarkan fakta-fakta ini, kita dapat dengan berani menepis spekulasi AI yang bisa “mengalahkan” peran manusia. Kendati beberapa pekerjaan telah bisa “digantikan” olehnya.
Keenam, AI hanyalah pelengkap – bukan “pesaing” manusia. Aplikasi kecerdasan buatan memang mulai berkembang, dan akan menggantikan banyak pekerjaan yang dilakukan orang saat ini. Namun, pekerjaan yang dibutuhkan seringkali terbatas pada tugas berulang yang membutuhkan penalaran yang tidak terlalu intens. Selain itu, tuntutan tempat kerja yang berkembang akan menciptakan peran baru bagi manusia saat dunia bergerak menuju lanskap teknologi yang lebih terintegrasi.
Sebuah laporan oleh Forum Ekonomi Dunia menunjukkan bahwa meskipun mesin dengan AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025, sekitar 97 juta pekerjaan akan tersedia pada tahun yang sama berkat AI. Jadi, pertanyaan besarnya adalah: Bagaimana manusia bisa bekerja dengan AI alih-alih digantikan olehnya? Itu harus menjadi fokus kita.
Karena di zaman sekarang ini, akan sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk hidup tanpa AI—dan tanpa manusia, tidak akan ada kecerdasan buatan. Perusahaan yang berpikiran maju telah mengembangkan cara untuk menggabungkan kemampuan manusia dan AI untuk mencapai tingkat produktivitas dan inovasi yang lebih tinggi.
Ketujuh, akurasi data. Masalah besar dengan chatbot AI seperti ChatGPT adalah seringkali tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan fakta oleh moderator manusia. Memang, AI mampu belajar dengan sangat cepat, tetapi tidak memiliki akal sehat dan tidak mampu bernalar dan membantah fakta sejauh yang bisa dilakukan manusia. Itu sebabnya kita mungkin harus menghindari menanyakan AI chatbots hal-hal tertentu.
Kesimpulannya adalah karena kecerdasan buatan tidak mampu mengawasi dirinya sendiri dan membutuhkan moderasi eksternal, “pengecekan fakta” kemungkinan besar akan menjadi karier utama di masa depan. Jadi, tak ada salahnya bagi kita untuk mulai meningkatkan kemampuan riset atau analisis data.
Saatnya Merangkul AI, Bukan MenakutinyaKecerdasan buatan (AI) bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Namun, kita harus meningkatkan kompetensi kita agar tidak tergantikan oleh AI.
Teruslah mengikuti tren terbaru di bidang kita, dan jadilah inovatif dan kreatif. Dengan cara ini, kita akan menjadi Talent nan kompetitif.
Artificial Intelligence (AI) dibuat oleh manusia, jadi hanya orang-orang pesimis yang merasa akan terkalahkan olehnya. Apakah Anda setuju?
Baru-baru ini, saya mendapatkan temuan menarik mengenai profesi idaman masyarakat Asia Tenggara. Dari hasil riset tersebut disebutkan bahwa profesi impian masyarakat Indonesia adalah YouTuber. Sementara profesi impian masyarakat di negeri jiran kita ialah Guru untuk Malaysia dan Penulis untuk Singapura.
Apa yang dapat saya petik dari temuan tersebut? Saya semakin menyadari bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya kurang suka membaca. Orang-orang di sekitar kita lebih betah berjam-jam mengamati linimasa media sosial ataupun menonton film dan televisi.
Pemahaman saya tersebut semakin menguat menyadari fakta industri penerbitan buku di Indonesia bisa dikatakan kurang berkembang. Toko-toko buku banyak yang telah tutup permanen dan para penulis berteriak dengan tingginya pajak royalti.
Di sisi lain, jam mengakses internet masyarakat kita dari hari ke hari makin tinggi. Coba cek sendiri, berapa jam rata-rata waktu yang teman-teman kita habiskan untuk TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan semacamnya?
Sebagai seorang penulis profesional, kenyataan ini tentu membuat sangat miris. Bagaimana dengan masa depan penulis? Apakah penulis profesional bisa hidup layak jika sepenuhnya fokus tanpa memiliki pekerjaan atau bisnis lain? Masih adakah harapan bagi para penulis agar karya-karyanya dibaca di tengah gempuran abad digital yang disruptif?
Budaya Baca Masyarakat Indonesia
Konon, leluhur orang Indonesia itu lebih suka bertutur dibandingkan dengan menuliskannya. Tak mengherankan berbagai dongeng atau cerita rakyat berhasil diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini.
Di sisi lain, meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi, statistik menunjukkan bahwa membaca buku bukanlah kegiatan populer di Indonesia. Dibandingkan dengan orang di negara lain dengan tingkat melek huruf yang tinggi, orang Indonesia yang mau membaca jauh lebih sedikit.
Sebuah studi tahun 2013 dari UNESCO menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1000 anak di Indonesia yang senang membaca. Sebuah studi tahun 2018 dari PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan bahwa skor membaca siswa Indonesia adalah 371 (dibandingkan dengan skor rata-rata 487), dan kemampuan membaca keseluruhan anak Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara OECD.
Temuan penelitian lainnya menunjukkan bahwa kebiasaan membaca secara umum di era digital cenderung lebih tinggi daripada di masa sebelum internet. Hasil riset Universitas Kristen Indonesia (UI) menemukan bahwa, meskipun tidak membaca buku sesering siswa di negara lain, siswa Indonesia menggunakan internet untuk membaca, meskipun biasanya hanya untuk tugas sekolah. Membaca untuk kesenangan atau untuk belajar di luar yang diwajibkan jarang terjadi.
Mengapa Orang Indonesia Enggan Membaca?
Ada beberapa alasan mengapa kebiasaan membaca di Indonesia lebih rendah daripada di negara lain. Berikut di antaranya.
Pertama, tradisi lisan: Di negeri kita, ada tradisi panjang berbagi cerita dan kebijaksanaan melalui kata-kata lisan, bukan melalui teks tertulis.
Kedua, budaya sekolah: Membaca umumnya dipandang sebagai kegiatan yang hanya untuk tujuan sekolah, dan membaca buku atas kemauan sendiri sering dianggap sebagai perilaku yang tidak biasa. Tak mengejutkan anak-anak yang suka membaca diberi label “Kutu Buku”. Anak-anak yang berani berbeda dari kebanyakan mendapatkan perundungan hingga intimidasi.
Ketiga, persaingan dengan bentuk media lain: Masyarakat kita menggunakan media sosial, streaming TV/film, dan game online dengan sangat masif. Bentuk-bentuk media yang lebih interaktif dan visual ini seringkali dapat lebih langsung merangsang siswa dibandingkan dengan buku, yang membutuhkan tingkat fokus, konsentrasi, dan keterlibatan aktif yang lebih besar. Teknologi agaknya mengurangi tingkat membaca anak-anak kita.
Keempat, kurangnya kesempatan: Rendahnya tingkat membaca di Indonesia mungkin tidak semata-mata karena kurangnya minat—kurangnya kesempatan juga dapat berperan. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, sekolah di Indonesia memiliki lebih sedikit buku untuk diakses siswa. Menurut hasil kajian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia tahun 2017, hanya 61% sekolah dasar yang memiliki perpustakaan, dan dari perpustakaan tersebut, hanya 31% yang terawat dengan baik. Perpustakaan sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk olahraga atau kegiatan serupa, yang berarti bahwa buku seringkali tidak menjadi prioritas bahkan di perpustakaan sekolah.
Kelima, kualitas buku yang tersedia buruk: Nirwan Ahmad Arsuka, pencipta program perpustakaan keliling di Indonesia, menyebutkan kualitas buku yang tersedia bagi banyak siswa sebagai hambatan untuk mendorong membaca. Ia percaya bahwa buku-buku yang dikeluarkan untuk sekolah oleh pemerintah pada umumnya tidak menarik, terlalu formal, dan ditulis dengan buruk, yang memberikan siswa persepsi negatif tentang buku sejak usia muda.
Keenam, kurangnya ketersediaan buku asing: Selain buruknya kualitas buku di perpustakaan sekolah di Indonesia, akses buku dari luar negeri juga sangat minim. Buku-buku asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seringkali hanya dapat diperoleh dari toko buku khusus, dan harganya sangat mahal.
Epilog
Meningkatkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia tak bisa diselesaikan oleh salah satu pihak saja. Diperlukan kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, orang tua, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Minat membaca biasanya paling baik dibangun pada usia muda. Jadi, sangat penting memastikan bahwa siswa yang lebih muda memiliki akses ke buku-buku yang menarik bagi mereka.
Temuan dari berbagai kajian telah menunjukkan bahwa minat membaca untuk tujuan pendidikan biasanya hanya meningkat sebagai akibat dari menikmati membaca untuk kesenangan. Menumbuhkan minat membaca pada generasi muda kemungkinan akan mengubah budaya dari waktu ke waktu dan menjadikan kegiatan membaca lebih umum untuk generasi mendatang.
Manfaat ini untuk sistem pendidikan memang signifikan. Sebuah studi tahun 2015 oleh Universitas Kenyatta menemukan bahwa siswa dengan masalah membaca lebih cenderung berprestasi buruk di sekolah, dengan kemungkinan lebih tinggi untuk mengulang kelas atau putus sekolah pada usia dini. Sebaliknya, siswa dengan keterampilan membaca yang baik memiliki kinerja yang lebih baik di sekolah dan di dunia kerja, serta memiliki tingkat perkembangan emosi dan sosial yang lebih tinggi.
Peningkatan akses masyarakat Indonesia terhadap buku berkualitas tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan inisiatif. Ebooks, dan program untuk menyediakan akses ke sana, dapat memecahkan banyak hambatan dalam meningkatkan kebiasaan membaca di tanah air. Meningkatkan kebiasaan membaca meningkatkan pembelajaran secara umum—tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi juga untuk pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi.