Category: Blog

  • Lelah Karena No Lillah

    Tabik.

    Di sebuah kedai paling populer di Kawasan Mega Kuningan. Sore itu mungkin saya merupakan orang yang beruntung. Pasalnya, saya saya bertemu dengan seorang lelaki paruh baya. Usianya kurang lebih dua kali lipat dibandingkan saya. Sebut saja bernama Ken.

    Ken lahir dan besar di sebuah kota kecil nan asri di Provinsi Bengkulu. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya seorang “mantri” – juru kesehatan di era kolonial.

    Ken benar-benar membuat saya iri. Sekaligus terpesona karena berderet prestasi yang diraihnya. Selulus SMA, ia mendapatkan beasiswa paling prestius di sebuah kampus kenamaan di Inggris hingga jenjang Master.

    Sepulang dari Tanah Eropa, Ken bekerja di sebuah perusahaan multinasional raksasa di Jakarta. Tak lama kemudian, ia melepaskan masa lajangnya. Hidup bahagia bersama pujaan hatinya.Selang beberapa bulan, Ken kembali membuat saya terpana. Pasalnya, ia lagi-lagi mendapatkan beasiswa di Amerika Serikat dengan jurusan Manajemen Pemasaran.

    Sepulang dari Negeri Paman Sam, Ken menjadi konsultan manajemen dengan gaji dan tunjangan yang menggiurkan. Berbagai tawaran mengalir bertubi-tubi. Ia menyenangi pekerjaan, anak-anaknya tumbuh dengan baik, dan pengaruhnya makin naik di permukaan. Hidup nampaknya benar-benar berpihak kepadanya.

    Kami berdua larut dalam obrolan yang begitu dalam. Hingga masuk ke relung-relung pribadi. Bahkan ada beberapa kepingan cerita Ken yang hanya disampaikan kepada saya, belum pernah terlontarkan ke publik. Tak mengagetkan, tidak kurang dari tiga jam kami berbicara dari hati ke hati untuk saling mengenal.

    Jujur, jika dituliskan mungkin bisa menjadi satu buku tersendiri. Perjalanan hidup Ken begitu menginspirasi. Saya belajar begitu banyak dari penuturan jujurnya yang bernas. Mulai dari aspek spiritual, kesehatan, bisnis, kepemimpinan, dan tentu saja sosial.

    Namun, dari berbagai wejangannya kepada saya, ada satu hal yang masih terpatri di dinding nurani. Apa itu? Tidak lain ialah “Lelah karena no lillah”.

    Apa maksudnya ya Mas Agung? Ken menyadarkan kepada saya:

    • mengapa banyak orang sering mendapati kebosanan dalam bekerja;
    • mengapa >90% orang tidak puas dengan pekerjaannya;
    • mengapa kegalauan sangat mudah melanda kaum muda;
    • mengapa self-fulfillment tidak pernah hinggap meski kekayaan, ketenaran dan kekuasaan diraih;
    • mengapa banyak pesohor yang tega mengakhiri hidupnya dengan cara tragis;
    • dan seterusnya.

    Dari penuturannya yang kalem, Ken berpendapat bahwa lelah datang karena “No Lillah”. Maksudnya ialah salahnya niat si fulan dalam menyikapi hidup. Cepatnya kegalauan dan kebosanan hinggap ketika bekerja mencerminkan jauhnya diri kita dari Tuhan. Ketidakbahagiaan yang selalu datang muncul karena niat kita dalam berbisnis atau bekerja salah.

    Mungkin kita bergerak karena ingin mendapatkan X. Barangkali kita berusaha lantaran ingin menduduki posisi A. Mungkin kita berbagi karena pamrih, ingin dikenal, atau dipuji. Barangkali kita berbuat karena ingin memiliki Z.

    Kita lupa selupa-lupanya akan esensi hidup. Kita abai seabai-abainya akan hakikat keberadaan diri. Untuk apa kita hidup? Untuk siapa kita berbisnis? Demi apa kita bekerja setengah mati? So what kalau semua angan-angan yang tiada batasnya tercapai? Mau ke mana diri ini setelah kematian datang?

    Lelah karena no lillah. Setelah saya renungkan, ada benarnya juga. Wejangan sederhana ini menyadarkan kepada saya akan pengalaman setahun dalam masa Sabbatical. Sebuah “drama” perjalanan anak manusia atas nama career break dan self-discovery.

              Sore berubah ke malam. Hari itu kami berpisah dengan sejuta kesan.

    Ken merupakan sosok panutan saya yang paripurna. Teladan di semua aspek. Dari spiritual, bisnis, karir, sosial, kesehatan dan pengembangan diri. Ia menyadarkan saya pentingnya menyeimbangkan kehidupan secara holistik. Tidak sepotong-sepotong seperti kebanyakan orang.

    Lelah karena no lillah. Saya mengamini ungkapan itu, kalau Anda?

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Mega Kuningan, 9 Juni 2017

     

  • Wahai Millennial! Jangan (Hanya) Mengikuti “Passion”

    Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di RumahMilennials.com, di sini.  

     

    Dalam beberapa  tahun terakhir, kata “passion” (baca: renjana) sepertinya makin populer saja. Betapa tidak, kata ini kerap dijadikan salah satu parameter untuk menilai karir hingga kesuksesan. Lantas, apa hubungannya?

    Banyak orang mengatakan bahwa orang yang bekerja sesuai passion akan jauh lebih produktif. Passion dianggap menjadi driver yang memungkinkan individu bekerja tidak “hitung-hitungan”. Sehingga bekerja laksana bermain. Lantaran dinilai sesuai dengan hobi, kesukaan, atau minat.

    Orang yang memiliki renjana dinilai lebih sukses berkarya dibandingkan orang yang bekerja semata-mata berorientasi Rupiah.  Contoh yang sederhana ialah penyanyi, artis, desainer, pelukis, hingga penulis.

    Makin dikenalnya kata passion nampaknya sejalan dengan fenomena Gen Y. Suatu generasi dinamis yang dianggap kurang setia bekerja di satu tempat. Suatu generasi yang suka berpindah-pindah profesi atau kantor karena dinilai cepat bosan. Suatu generasi cinta gadget yang bisa multitasking. Suatu generasi yang bekerja tidak semata-mata karena uang. Tapi lebih menyeimbangkan antara pemanfaatan keterampilan, passion, keseimbangan bekerja, dan aktualisasi diri.

    Masalah paling mendasar tentu tidak (atau belum) semua orang tahu apa passionnya. Kalaupun sudah tahu, tidak sedikit yang bisa mencari penghidupan darinya. Sehingga, bekerja tidak harus sesuai dengan passion agar dapur tetap mengebul. Apalagi, passion cenderung self-oriented. Dalam artian, korelasinya paling bisa dirasakan pertama kali oleh si fulan. Dari aspek kepuasan bathin atau kebahagiaan misalnya.

    Jadi, bagi teman-teman yang sekarang tengah gundah mencari passion, tenang saja. Anda tidaklah sendirian. Toh, apa tujuan kita bekerja? Bukankah sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Hyang? Bukankah agar aktualisasi diri bermanfaat untuk sesama? Bukankah untuk menciptakan nilai tambah? Bukankah untuk melayani orang lain? Bukankah untuk memberi?

    Passion memang salah satu “modal” awal untuk mereguk kesuksesan. Tapi untuk mencapai titik sukses, mengandalkan passion saja tidaklah cukup.

    Memang dengan mudah kita jumpai orang-orang yang sukses karena mengikuti passion. Tapi jika boleh jujur, ada lebih banyak lagi orang yang sukses karena tidak (hanya) mengikuti passion.

    Buktinya? Sebutkan saja satu persatu. Banyak penemu, pebisnis, aktivis sosial, hingga politisi kelas dunia yang sukses karena tidak  semata-mata mengikuti passion. Mereka sukses karena membantu memecahkan masalah orang lain.  Misalnya saja Steve Jobs dan Bill Gates sukses karena memudahkan manusia untuk berkarya dengan komputer. Gandhi dan Bunda Teresa sukses karena welas asihnya untuk sesama.

    Lantas, apa pesan moralnya? Temukan masalah di sekitar kita yang menurut Anda “penting” untuk diselesaikan. Masalah yang membuat hati Anda gelisah. Masalah yang benar-benar Anda pedulikan. Masalah yang sejalan dengan nilai-nilai hidup Anda.

    Lalu, apa kuncinya? Sederhana saja. Jangan egois. Tapi, buat kehadiran Anda bermanfaat orang lain. Buat keberadaan Anda membantu orang lain. Buat eksistensi Anda menciptakan nilai tambah. Buat diri Anda dibutuhkan orang banyak. Buat diri Anda pemecah masalah.

    Benang merahnya apa? Jika sekarang teman-teman pusing karena belum menemukan passion, tenang saja. Alih-alih galau yang membuat Anda tidak produktif, lebih baik terus memikirkan bagaimana caranya agar keberadaan kita bermanfaat kepada sesama. Karena sebaik-baik anak manusia ialah yang paling bermanfaat untuk orang lain.

    Sekali lagi, jangan (hanya) mengikuti passion. Sebagaimana petuah Travis Bradberryl yang menegaskan bahwa, “Grit is that ‘extra something’ that separates the most successful people from the rest. It’s the passion, perseverance, and stamina that we must channel in order to stick with our dreams until they become a reality.”

     

  • Masyarakat Penyembah Hasil

    “Anda termasuk orang yang mengedepankan hasil atau proses”?

    Kalimat di atas nampaknya sering kita dengar dalam keseharian. Terlebih lagi dalam ranah bisnis. Dari Salesman bau kencur sampai para taipan kelas wahid saya rasa tidak pernah absen melontarkan pertanyaan yang satu ini.

    Ngomong-ngomong, saya jadi teringat masa SMA. Satu fase yang begitu membekas di hati saya ketika menyikapi pertanyaan sederhana di atas.

    Ceritanya begini.

    SMA saya notabennya ialah sekolah berasrama yang mengedepankan nilai-nilai sufisme. Jadi, seluruh siswa benar-benar digembleng untuk mengharapkan hasil yang terbaik dengan proses yang benar. Sekilas mungkin terdengar  mudah, tapi prakteknya berbanding terbalik.

    Teman-teman saya pada masa itu, sebagian besar berpikiran sempit. Ingin mendapatkan nilai ujian terbaik tapi tidak pernah belajar. Ingin menjuarai perlombaan, tapi mengabaikan persiapan (atau latihan). Ingin menjadi siswa cerdas nan pandai tapi tidak pernah membaca buku.

    Selidik demi selidik, hampir 100% salah mengartikan fatwa yang dilontarkan para guru. Pasalnya, siswa memang diwanti-wanti untuk tidak mengejar nilai, tapi lebih ditekankan pada proses. Dari sini sudah cukup jelas sebenarnya.

    Mungkin karena anak SMA, jadi pola pikirnya belum ‘terbentuk’. Yang terjadi ialah budaya belajar yang sangat menyedihkan. Malasnya minta ampun  . . .

    Menginjak dunia profesional saya juga mendapati fenomena di masyarakat. Banyak salesman yang ingin mendapatkan komisi tinggi, tapi takut ditolak. Banyak anak muda ingin mendapatkan beasiswa di luar negeri tapi belajar bahasa Inggris saja ogah-ogahan. Banyak pula orang di luar sana ingin menjadi penulis tapi tidak pernah mencicil menulis. Dan masih banyak lagi contohnya.

    Apa yang ingin saya tekankan di sini?

    Masyarakat kita mungkin tergolong “penyembah” hasil. Dalam artian lebih menghargai hasil daripada proses. Jadi, tidak sedikit yang tidak mau tahu bagaimana upaya yang dikeluarkan. Yang penting hasil, hasil, dan hasil. Akibatnya?

    Anda bisa lihat sendiri di sekitar kita.

    Para Caleg, Cagub, atau Cabup ada yang dilarikan ke rumah sakit jiwa karena tidak kuat menghadapi kenyataan Pilkada. Para artis dan penyanyi banyak yang mengonsumsi obat-obatan terlarang karena ingin hasil yang prima di panggung. Beberap siswa lulusan SMA unggulan mengakhiri hidup karena tidak terima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi favorit. Para politisi merapat ke dukun untuk meraup suara yang diinginkan. Para biduan memakai susuk agar order mengalir manis. Dan berderet contoh lain.

    Mengapa itu terjadi?

    Mungkin mentalnya yang bermasalah. Banyak yang ingin menjadi pemenang, tapi tidak siap kalah. Banyak yang ingin sukses tapi tidak mau membayar harga “prosesnya”. Banyak yang ingin berhasil dalam hidup tapi hanya mau yang instan. Duh . . .

    Lumrah sebenarnya. Karena saya sendiri pun pernah mengalaminya sebelum masa Sabbatical. Sebelumnya saya tidak terlalu percaya dengan yang namanya takdir. Karena saya pikir kalau kita mau berusaha, hasil pasti selalu berbanding lurus. Toh  kata pepatah “barang siapa menanam, pasti memanen”.

    Sebenarnya ungkapan di atas benar. Tapi tidak sepenuhnya tepat. Karena ternyata porsi manusia ialah ada pada sisi proses, alias usaha, bin upaya. Hasil bukan pada kendali kita.

    Saya ingat betul, 2 (dua) tahun “gagal” menembus PhD. Satu kenyataan yang sangat menyedihkan, memalukan, dan membuat kepercayaan diri saya hilang tak bersisa. Seakan-akan puluhan juta Rupiah yang saya keluarkan sia-sia. Sekonyong-konyong ribuan buku dan jurnal yang saya baca mubadzir. Dan tentu saja tidak terhitung berapa jam saya berkutat untuk berpikir. Berapa energi yang saya keluarkan untuknya.

    Setelah berinteraksi dengan rekan-rekan. Apa yang saya lakukan belumlah apa-apa. Saya pernah berjumpa dengan seorang mahasiswa Indonesia di NTU yang memutuskan berhenti dari PhD karena kehilangan motivasi. Saya pernah bertemu dengan pemimpin daerah di kota saya yang menghabiskan ber-M-M (baca: ratusan Miliar) tapi tak terpilih dalam Pilkada. Saya pun teringat dengan kisah nyata seorang Rasul yang hanya mendapatkan pengikut belasan saja kendati sudah berdakwah puluhan tahun.

    So, apa moral story?

    Masyarakat penyembah hasil sulit untuk mencapai titik bahagia dalam hidup. Karena penghargaan seorang individu kepada sesamanya hanya dilihat dari apa yang terlihat. Seperti kepemilikan harta, exposure di media, atau jabatan tertentu yang sifatnya sementara.

    Masyarakat penyembah hasil sulit untuk berdamai dengan diri sendiri. Karena mereka masih memerlukan pengakuan, validasi, atau persetujuan dari orang lain.

    Masyarakat penyembah hasil lebih cenderung menghalalkan segala cara untuk mengejar titik yang menurut mereka bahagia. Para PNS atau politisi yang mencuri uang rakyat, para karyawan di perusahaan yang tidak amanah, para pedagang yang mengakali timbangan, para pengusaha yang menyuap pemerintah, atau para siswa yang tidak jujur dalam mengikuti Ujian Nasional.

    Masyarakat penyembah hasil terbukti hanya fokus pada dunia. Memenuhi syahwat nafsu yang bermuara pada kekayaan, kekuasaan dan ketenaran.

    Masyarakat penyembah hasil lupa dengan esensi hidup. Bahwa di Hari Akhir, Tuhan tidak akan mempertanyakan hasil. Melainkan proses. Karena setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban yang termaktub pada “rapor”. Serinci apapun proses yang ditempuh akan tercatat.

    Jadi, rumus bahagia di dunia ini sederhana sih. Berusaha saja sebaik mungkin dalam mengejar apa yang menjadi mimpi kita. Tapi jangan sekali-kali melihat hasil karena itu di luar dari kendali kita.

    Jadi, apakah Anda termasuk dalam golongan masyarakat penyembah hasil? Semoga saja tidak ya.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Mega Kuningan, 29 April 2017

  • Hati-hati dengan Mimpi

    Sedari kecil, setiap individu didorong untuk berani bermimpi. Oleh karenanya, dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), para ibu guru selalu mengingatkan adik-adik untuk berimaginasi.

    “Anak-anak, kelak kamu nanti ingin menjadi apa?” Begitulah satu pertanyaan sederhana yang mungkin akan terus terngingang. Satu frase yang bisa jadi dianggap sepele tapi berdampak dahsyat pada perjalanan hidup siapapun.

    Setiap orang berhak bermimpi. Toh, nggak ada syarat khusus untuk memetakan mimpi. Hanya saja, ada satu hal yang sering dilupakan teman-teman ketika melakukannya.

    Ya, setiap orang bisa bermimpi. Tapi, tidak semua orang berhasil mewujudkan mimpinya. Mungkin kurang dari sepuluh persen manusia di dunia ini yang benar-benar hidup sesuai dengan impiannya.

    Mengapa itu terjadi? Apa yang salah? Ada banyak faktor sih. Tapi salah satu kesalahan fatalnya ialah kurangnya pengenalan individu terhadap diri sendiri.

    Mimpi itu gratis. Tapi tidak dengan strategi hingga proses untuk mewujudkannya. Itu mengapa pengenalan terhadap diri sendiri tidak bisa ditawar sebelum merenda mimpi.

    Sah-sah saja sih bermimpi yang “besar-besar”. Keren sih bermimpi yang membuat orang lain bilang “wow”. Tapi jika akarnya rapuh, apa bisa mencapainya?

    Thus, hati-hati dengan mimpi. Karena jika tidak berhati-hati, penyesalan mungkin akan terjadi di kemudian hari.

    Lalu apa solusinya?

    Sebelum bermimpi, tanyakan terlebih dahulu hal-hal substansial seperti ini. Siapa saya? Apa yang saya inginkan? Apa yang saya perjuangkan? Apa yang saya cari? Apa nilai-nilai yang saya yakini? Apa tujuan hidup saya?

    Setelah merancang mimpi: just do it. Fokuslah mengejar mimpimu habis-habisan, sekuat tenaga dan pikiran. Karena jika tidak, kamu hanya akan menjadi “sekrup mesin” untuk mewujudkan mimpi orang lain.

    Jadi, siapkah kamu (mewujudkan) mimpi?

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Mega Kuningan, 13 Maret 2017

  • Lakonono

    Akhir-akhir ini saya banyak berdiam diri. Bukan berarti pasif. Bukan berarti menunggu. Tapi karena murni terpanggil untuk kontemplasi.

    Saya melihat lagi ke belakang. Apa saja yang saya lakukan selama tiga belas bulan terakhir – lebih tepatnya lebih dari seperempat baya.

    Dimulai dari ‘drama’ kejar-mengejar target hidup. Kemudian terjerembab dalam ‘kubangan’ Gap Year. Hingga terdampar dalam suatu pulau bernama transisi.

    Saya pun mendapati salah satu kesalahan terfatal tahun lalu: overthinking. Sikap tersebut sebenarnya berniat baik. Membuat keputusan terbaik berdasarkan beragam pilihan yang terlihat sama-sama menarik. Namun pada akhirnya berujung pada kebuntuan karena terlalu banyak pertimbangan. (Maklumlah sebagai peneliti kan selalu ada trial & error sebelum menemukan ‘racikan’ bernama temuan hehe).

    Jadi, pelajaran terbesar selama 2016 ialah satu kata: lakonono. Persis seperti wejangan legenda basket dunia Michael Jordan, “just do it”.

    Lakukan saja. Lakukan saja. Lakukan saja.

    Karena kita tidak perlu menunggu sempurna untuk berkarya. Kesalahan bisa diperbaiki sambil berjalan. Tantangan bisa ditangani sembari evaluasi. Masalah bisa teratasi beriringan. Tapi waktu takkan pernah bisa diputar ulang.

    Thus, lakonono. Jangan terlalu banyak pertimbangan. Jangan terlalu dipusingkan dengan pikiran yang Anda buat sendiri. Karena esensi hidup ialah bergerak. Dan bergerak setali dengan melakukan.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 4 Februari 2017

  • Bukan Kebetulan

    Tabik.

    Belum lama ini saya bertemu dengan salah satu CEO di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Orang itu sebelumnya mengirimkan surat elektronik kepada saya untuk menawarkan kerjasama. Karena terlihat menarik, saya pun tidak butuh waktu lama langsung mengiyakan. Jadi, pertemuan hari itu tidak lain ialah buah dari percakapan melalui email.

    Well, saya tidak perlu membahas apa isi kerjasamanya. Karena toh nggak penting untuk dibeberkan ke muka publik hehe. Namun saya hanya mengulas dari satu perspektif saja. Apa itu?

    Bukan kebetulan.

    Setelah menyimak dengan seksama, ternyata CEO yang menawarkan kerjasama dengan saya itu berjejaring cukup kuat dengan donor saya: Theodore Permadi Rachmat. Ia pun cukup mafhum dengan Mr. Corporate Culture yang menjadi Guru saya di tempat kerja sebelumnya.

    Yang lebih mengejutkan lagi, apa yang ditawarkan sesuai dengan nilai-nilai yang saya yakini. Lebih dari itu, apa yang ditawarkan sejalan dengan apa yang saya cari selama ini. Setidaknya dari pesan moral.

    Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.

    Percaya atau tidak. Hukum tarik-menarik (ketertarikan) benar-benar ada. Jadi, apa yang kita pikirkan lama kelamaan menjadi kenyataan. Setidaknya dalam kasus kerjasama ini.

    Jika ditarik mundur, akan ada lebih banyak lagi momen-momen yang bukan kebetulan. Saya yakin semua telah digariskan-Nya. Hanya saja cara kita menyikapilah yang membuatnya tidak begitu terasa.

    Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan di dunia ini. Kita tidak bisa memilih kapan dilahirkan. Sebaliknya, kita tidak bisa menentukan kapan kematian datang. Kita tidak bisa memilih dilahirkan dengan etnis dan agama apa. Kita juga tidak bisa menentukan dilahirkan di kota dan negara mana.

    Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan di dunia ini. Semua masalah yang kita hadapi unik. Tidak ada orang yang benar-benar memiliki jalan hidup serupa dengan kita. Karena setiap insan diciptakan Tuhan dengan nilai istimewa. Karena setiap yang bernyawa memiliki peran masing-masing.

    Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Mungkin bagi Anda ungkapan ini terdengar sangat klise. Tapi begitulah cara Tuhan mengingatkan hamba-Nya. Bukan kebetulan?

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Jakarta, 20 Februari 2017