Category: Blog

  • Tentang Syukur  

     

    Jalan-jalan ke Madiun

    Mampir belanja ke Caruban

    Apa maksud Anda tertegun

    Merenungkan kehahagiaan

     

    Syukur itu kunci bahagia

    Keikhlasan pondasinya

    Apa guna berfoya-foya

    Merugi sekali jiwa dan raga

     

    Sate Madura di Pasaraya

    Es Cendolnya dari Banjarnegara

    Siapa mau hidup bahagia

    Syukur itu kata kuncinya

     

    Rame-rame ke Pekanbaru

    Lanjut menyeberang ke Singapura

    Ayolah wujudkan hidup yang baru

    Bermanfaat banyak untuk sesama

     

    Berwisata ke Kota Kupang

    Mampir sepekan ke Pulau Sumba

    Hati siapa tidaklah girang

    Hidup bahagia bersama keluarga

     

    Mega Kuningan, 23 Oktober 2018

  • Tentang Kesehatan  

     

    Beli tomat di Pasar Kramat

    Tidak lupa ditemani sahabat

    Saya dan Anda berbadan sehat

    Jika memiliki kebulatan tekad dan keinginan kuat

     

    Apa guna uang segunung

    Jika sembahyang terlupakan

    Apa manfaat tuan merenung

    Jika Tuhan diabaikan

     

    Beli rambutan di pasar rakyat

    Ditemani anak kesayangan

    Apabila Anda ingin hidup yang nikmat

    Utamakan kesehatan

     

    Berburu apel di Kota Batu

    Mampir belanja ke Kota Malang

    Seimbangkan karir dan ibadahmu

    Demi kebahagiaan sekarang dan yang akan datang

     

    Laris-manis dagangan nyonya

    Berkat doa yatim-piatu

    Aduh bahagianya kita semua

    Jika membantu orang lain untuk maju

     

    Mega Kuningan, 22 Oktober 2018

  • Tentang Kesejahteraan

    Jalan-jalan ke Magetan

    Mampir sebentar ke Sarangan

    Jika Anda mendambakan kesehatan

    Cukupkan makanan dan minuman

     

    Paramadina ada di mana

    Adanya di Jakarta

    Jika tuan mau bahagia

    Bersyukur adalah kuncinya

     

    Transit sebentar ke Surabaya

    Lalu bertolak ke Banyuwangi

    Ayo kawan-kawanku semua

    Siapkan bekal sebelum mati

     

    Plesiran seminggu ke Singapura

    Tidak lupa membeli kaos

    Kalau nyonya ingin sejahtera

    Janganlah pelihara gaya hidup yang boros

     

    Membeli Batik di Surakarta

    Dilanjutkan ke Tawamangmangu

    Apakah Anda ingin kaya

    Rajinlah membantu sesamamu

     

    Kawasan Antar Bangsa Mega Kuningan, 19 Oktober 2018

  • Yang Ada, Yang Tiada

                     Pernahkah Anda kecewa?

    Pernahkah Anda menyesal?

    Pernahkah Anda cemas?

    Pernahkah Anda takut?

    Pernahkah Anda bosan?

    Jika Anda menjawab dua atau lebih dari lima pertanyaan di atas, Anda berarti seperti kebanyakan orang di dunia ini. Orang-orang yang masih disetir dari apa yang terjadi di luar dirinya.

    Faktanya, kebahagiaan hanya ditentukan oleh diri sendiri. Bukan dari benda, orang, atau kejadian.

    Jadi, dalam situasi dan kondisi apapun Anda bisa memilih. Lagi pula, tidak ada yang abadi di alam ini.

    Mungkin sekarang Anda kaya, sebentar lagi Anda jatuh miskin. Barangkali Anda sekarang berada di puncak kekuasaan, bukan tidak mungkin tiba-tiba terkurung dalam penjara. Bisa jadi Anda saat ini dirundung duka yang seolah tiada habisnya, siapa tahu secara mengejutkan Anda berubah pikiran besok?

    Apa yang Anda miliki sebenarnya ialah titipin. Ia merupakan amanah. Yang kelak dipertanggungjawabkan di akhirat – jika Anda percaya.

    Apa yang berwujud di dunia ini sebetulnya sebaliknya. Apa yang ada, sejatinya tidak ada. Mengapa demikian?

    Karena alam semesta raya beserta isinya ialah buah karya Sang Pencipta. Hanya bersifat semu. Pun sementara.

    Jika sudah demikian, apa yang Anda bangga-banggakan? Apa yang bisa Anda sombongkan? Jika toh di kemudian hari Anda tidak membawanya dalam alam kubur?

    Yang ada, yang tiada. Semua yang merasa Anda miliki saat ini cuma bersifat sementara. Tidak ada yang benar-benar dalam rengkuhan Anda. Karena diri Anda sendiripun sesungguhnya tidak ada.

    Jadi, apa guna kecewa, menyesal, cemas, takut atau bosan? Mengapa tidak sepenuhnya ‘sadar’ dengan apa yang Anda hadapi sekarang? Kenapa tidak terhubung dengan Tuhan dalam setiap hempusan nafas?

    Yang ada, yang tiada. Sudahkah Anda mampu ‘meniadakan’ keakuan Anda?

    Kawasan Antar Bangsa Mega Kuningan, 18 Oktober 2018

  • Tentang Kiasu

                     Belum lama ini saya bersua dengan Rima (bukan nama sebenarnya). Ia merupakan “junior” saya di SMA yang belakangan telah sukses berkarir di negeri jiran, Singapura.

    Kecemerlangan Rima tidak datang tiba-tiba. Sejak SMA, anak ini sudah terlihat sangat ambisius. Ia kerap kali menjuarai perlombaan di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Mulai dari olimpiade, debat, cerdas cermat dan seterusnya.

    Hari-hari Rima tidak dapat “dilepaskan” dari internet. Itu mengapa kemanapun ia membawa ponsel, ipad, dan laptop yang tersambung dengan koneksi  internet berkecepatan tinggi.

    Ya, Rima merupakan konsultan pemasaran digital di kantor regional Asia-Pasifik sebuah agensi asal Amerika Serikat. Posisinya sudah setingkat di bawah direktur.

    Rima bekerja di kantor dengan budaya multibudaya. Temannya datang dari berbagai ras. Bahasa ibu, agama, etnis, agama, dan ideologinya pun tentu berbeda-beda.

    Rima merupakan satu-satunya anak Indonesia yang berkarir di kantor tersebut. Ia merasa bangga karena bisa “bersaing” dengan rekan-rekannya dari negara lain. Terlebih lagi ia merupakan satu dari tiga karyawan yang berasal dari Asia Tenggara – dua lainnya berasal dari Singapura dan Filipina.

    Ketika saya tanya, apakah yang Rima paling banyak pelajari dari Singapura? Rima dengan lantang menjawabnya Kiasu. Kira-kira bisa diartikan sebagai sebuah etos kerja yang “terlalu kompetitif”. Diksi ini berasal dari dialek Hokkien yang mengekspresikan mental “takut kalah”. Merujuk pada semangat warga Singapura atau pendatang di Singapura yang cenderung berpikir “egois” dan senantiasa mau menjadi yang terdepan atau unggul dibandingkan dengan yang lainnya.

    Kiasu sejatinya bisa berkonotasi positif maupun negatif. Bisa dikatakan positif karena dengan mental tersebut kinerja siapa saja menjadi terdongkrak. Karena semua orang berpacu untuk menjadi yang terbaik atau sebagai pemenang. Sisi negatifnya mungkin bisa menimbulkan stres, iri, atau cenderung membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

    Kiasu memang telah menjadi rahasia umum akan kerasnya kehidupan di Singapura. Sebuah negara yang setiap tahunnya menarik diaspora dari berbagai belahan dunia.

    Bagaimana dengan diri Anda? Seberapa lekat dengan Kiasu?

     

    Kawasan Antar Bangsa Mega Kuningan, 17 Oktober 2018

  • Membangun Tim Yang Lincah Di Era Disrupsi  

                  Kelincahan agaknya merupakan diksi yang paling dibicarakan dalam lima tahun terakhir. Pasalnya, disrupsi di berbagai lini sudah tidak bisa dibendung lagi.

    Kelincahan ialah jawaban pada era yang identik dengan Volatility, Uncertainty, Complexity, & Ambiguity (VUCA) ini. Suatu masa ketika perubahan yang sangat cepat tak dapat dihindari. Suatu zaman ketika siapa saja seolah-olah sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Suatu periode yang sarat dengan kompleksitas. Suatu era tatkala realitas dan imaginasi seakan-akan kabur dalam gejolak yang tiada henti.

    Genderang perang “adu-lincah” telah ditabuh di mana-mana. Berderet organisasi yang tidak siap sedang kalang-kabut atau menunggu kehancuran. Sebagian terdengar telah merumahkan pekerjanya besar-besaran. Sebagian lagi mulai meronta-ronta di hadapan firma konsultasi untuk dijadikan mitra transformasi.

    Memang begitulah peta perubahan zaman kekinian. Tak terhitung berapa banyak konglomerasi yang satu-persatu gurita bisnisnya bertumbangan lantaran kurang gesit. Berbagai perusahaan yang dulu  merasa “di atas langit” kini terbengong-bengong dengan kemunculan Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan “rekan-rekannya”.  Bahkan, pemerintah sendiripun dalam tingkat tertentu merasa “kelabakan” dalam mengakomodasi kebijakan ataupun peraturan yang pro-kelincahan.

    Saya langsung teringat dengan petuah Pendiri Amazon Jeff Bezos. Bahwa di era volatilitas seperti saat ini, tidak ada cara lain selain menemukan kembali (nilai organisasi). Karena satu-satunya keunggulan berkelanjutan yang Anda miliki atas orang lain ialah kelincahan – itu saja. Mengingat tidak ada hal lain yang berkelanjutan; apapun yang Anda buat, orang lain akan mereplikasinya.

    Tentu, setiap organisasi di level manapun saat ini sedang bertanya-tanya. Bagaimana cara memprediksi, mengantisipasi, dan memanfaatkan situasi yang berubah dengan sedemikian cepatnya ini?

    Membangun kinerja tim yang lincah sudah menjadi keharusan untuk bisa bertahan dan menang di era disrupsi. Itu hanya bisa dilakukan melalui 5 (lima) tahap yang harus dijalankan secara berkelanjutan. Dimulai dari lingkup tim terkecil dalam struktur organisasi Anda.

    Pertama, meritokrasi gagasan. Ini harus diterapkan di setiap tim dalam organisasi. Siapapun yang memiliki gagasan terbaik untuk kepentingan perusahanaan harus diterima, apapun jabatan yang mengusulkannya. Prinsip ini hanya bisa diterapkan jika transparansi, keterbukaan, kerendahan hati, kepercayaan, dan persahabatan dalam tim terjaga.

    Kedua, kerjasama. Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin tim atau anggota tim dengan seseorang dari tim lain yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi secara menyeluruh.

    Ketiga, koordinasi. Ialah aktivitas PDCA (rencanakan, kerjakan, cek, tindaklanjuti) yang dilakukan oleh anggota tim sendiri dengan orang dari tim lain guna mencapai tujuan bersama.

    Keempat, kolaborasi. Adalah PDCA yang dilakukan oleh pemimpin tim guna memungkinkan para anggota tim bekerja sama untuk mencapai goal dengan kelincahan, fleksibilitas dan efisiensi.

    Kelima, kelincahan. Merupakan kemampuan sebuah tim atau sekumpulan tim untuk menemukan gagasan terbaik di antara berbagai alternatif guna bertindak dan menanggapi sesuatu dengan cepat dan mudah dalam upaya mencapai goal.

    Kelincahan memang hanya satu di antara aspek yang harus diperhatikan di era disrupsi. Di luar itu ada berderet aspek lain yang mempengaruhi berkinerja tinggi atau tidaknya sebuah tim. Namun yang pasti, kelincahan ibarat kualitas bahan bakar sekaligus mesin yang menentukan berjalan atau tidaknya organisasi secara berkelanjutan.*

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 16 Oktober 2018