Author: Agung Wibowo

  • Keyakinan

    Yakin. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini? Mungkin kamu menghubungkannya dengan iman, juga kepercayaan. Atau yang lainnya?

    Apapun pendapatmu, sah-sah saja. Yang pasti, keyakinan tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun, energinya jauh melampaui apa yang kita bayangkan.
    Ya, keyakinan adalah sumber kekuatanmu. Tanpanya, hidup bisa terombang-ambing tanpa tujuan.
    Keyakinan mengubah:
    * pesimisme menjadi optimisme;
    * berpikir negatif menjadi positif;
    * ketakutan menjadi keberanian;
    * keraguan menjadi kemantapan;
    * kebimbangan menjadi determinasi.
    Bisa juga sebaliknya, bukan?
    Yang pasti, kamu adalah apa yang kamu yakini. Nasibmu hari ini adalah akumulasi dari keyakinanmu kemarin.
    Jadi, apa yang membuatmu yakin?
    Bendakah? Manusiakah? Kejadiankah? Atau apa?
    Teman, satu-satunya keyakinan hakiki adalah bertuhan. Karena segalanya hanya fana.
    Aku sudah yakin dengan jalan hidupku. Kalau kamu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 28 Januari 2020
  • Write First

    Menulis sesungguhnya mudah, bahkan sangat mudah. Pasalnya, setiap orang pada dasarnya adalah penutur cerita yang memiliki pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan masing-masing. Karena setiap pribadi memiliki cerita unik yang dapat dibagikan kepada dunia.

    Masalahnya, tidak setiap individu tahu caranya menulis dan menerbitkan buku. Kalaupun tahu, banyak di antara kita yang tidak memiliki komitmen kuat untuk mewujudkannya. Akibatnya, mimpi hanya menjadi angan-angan karena tidak diiringi dengan tindakan nyata.

    Di sisi lain, banyak orang yang memiliki minat dan bakat menulis. Namun, mereka berhenti di tengah jalan lantaran berderet alasan. Ada yang hanya mengandalkan suasana hati (mood), gagal menghadapi kebuntuan (writer’s block), tidak memiliki (atau belum bisa mengelola) waktu, tidak konsisten berlatih, motivasi yang rendah, hingga kurang percaya diri.

    Write First dirancang untuk memandu siapa saja untuk menulis dan menerbitkan buku dengan mudah. Di setiap bagian, sengaja dibuat “tugas” dengan harapan dapat mendongkrak keterampilan, pengetahuan, dan sikap untuk menjadi penulis profesional. Buku ini menyuguhkan jurus menulis dan menerbitkan buku non-fiksi secara sistematis, terstruktur, dan wow.


     

    TESTIMONI

    “Setiap penulis pemula di mana pun berada pasti mengalami Writer’s Block, menunggu mood untuk berkarya, hingga tidak percaya diri. Sehingga, buku impian yang ingin disuguhkan kepada khalayak tidak kunjung menjadi kenyataan. Buku ini agaknya menjadi jawaban bagi calon penulis, penulis pemula atau siapa saja yang ingin menulis dan menerbitkan buku secara sistematis, terstruktur dan wow.”

    Adrinal Tanjung

    Pegiat Birokrat Menulis

    Telah menulis lebih dari 20 buku di sela-sela tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil

     

    “Lugas, ekspresif, dan mudah dicerna. Buku ini cocok dibaca oleh Gen X, Gen Y, Gen Z, dan siapa saja yang ingin menulis dan menerbitkan buku tanpa banyak berteori. Just write it!”

    David MinG

    Founder Penerbit literamediatama.com

     

    “Buku  ini    tidak  hanya  membeberkan  hardware  bersifat  teknis  yang  sebenarnya  bisa ditemukan  di  Google.  Yang  lebih  penting  dan  paling  penting,  buku  ini  secara  blak-blakan menyediakan  software  yang  jika  dipraktikkan  secara  serius  dapat  membentuk  pola  pikir, mental,  dan  sikap  untuk  menjadi  seorang  penulis  produktif.”

    Valentino Ricky Antonio

    CEO Mindzzle & CLP Life Talk Asia

     

    “Ini adalah buku panduan yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang ingin menjadi penulis profesional. Tidak berisi kebanyakan teori, tapi banyak lembar kerja yang merangsang pembaca untuk langsung praktik. Cool!”

    Burhan Abe

    Wartawan

     

    “Luar biasa! Mas Agung sepertinya mengeluarkan semua pengalamannya dalam menulis dan menerbitkan buku. Tunggu apalagi, baca sekarang juga dan wujudkan mimpimu!”

    Endrik Safudin, M.H

    Dosen Hukum IAIN Ponorogo

    Direktur Kalitbang LKBH IAIN Ponorogo

     

    “Hanya ada dua kata yang pantas untuk buku ini: Informatif dan Aplikatif.  Jadi semakin semangat menulis. Kuy!!”

    Tomy Ristanto

    News Anchor NET TV

    Moderator Debat Calon Presiden-Wakil Presiden 2019

     

    “Mantul! Buku ini tidak hanya mengajarkan teknik menulis dengan cepat dan menemukan penerbit yang cocok, namun juga memotivasi pembaca untuk menciptakan kebiasaan menulis yang tokcer. Recommended banget deh.”

    Tuhu Nugraha

    Konsultan Bisnis Digital

    Penulis Buku Best Seller WWW.HM Defining Your Digital Strategy

     

    INVESTASI

    Rp 70.000,- per eksemplar

    (Beli 5 gratis 1)

     

    NARAHUBUNG

    Krishna +62 812 8237 0988

     

    PEMESANAN

    Klik sini atau langsung saja kunjungi https://tokopedia.link/sc8BCkxWd5

     

    PRANALA

    Bit.ly/WriteFirstBook

     

     

     

  • Ilusi Pencapaian

    Ego.

    Hawa nafsu.
    Keakuan.
    Tiga kata ini nampaknya mewakili karakter asli manusia. Ingin menang sendiri. Mau kaya sendiri. Suka seenaknya sendiri.
    Manusia memang rakus. Sebaik apapun pencapaiannya, kita senantiasa merasa kurang dan kurang.
    Yang penghasilan perbulannya Rp 10 juta merasa kurang. Ia pikir Rp 1 miliar perbulan dapat mendamaikan jiwanya. Ternyata tidak. Begitu penghasilan naik, gaya hidup semakin naik. Down lagi deh. Resah lagi. Merasa menjadi remah-remah lagi.
    Yang belum memiliki mobil, berjuang setengah mati untuk membelinya. Kerja lebih keras lagi. Rela mengurangi kebersamaan dengan anak dan istri. Mau hutang ke bank dan dikejar-kejar Debt Collector yang bikin ngeri. Akhirnya merasa rendah diri. Ternyata mengikuti gengsi tak menjadikannya berpuas diri.
    Yang masih jomblo merasa kesepian. Mereka mendambaikan pasangan yang mau diajak menikah. Mereka pikir menikah bisa mendatangkan kedamaian batin. Setelah menikah, justru menjadikan mereka makin tertekan.Tuntutan pasangan seakan-akan di luar batas kemampuan. Himpitan ekonomi tak terelakkan. Perbedaan prinsip menjadi sumber petaka. Eh, kok akhirnya merindukan lagi masa membujang tanpa beban yang bebas mau berbuat apa saja.
    Begitulah hidup. Kita dihantui ilusi pencapaian yang sulit dibendung. Ini diperparah dengan demam digital yang mendorong diri sendiri untuk kepo hinga membanding-bandingkan diri dengan pencapaian rekan-rekan.
    Kita seringkali lupa dengan apa yang kita miliki. Itu mengapa kita tidak happy.
    Kita senantiasa lalai dengan tujuan hidup. Sehingga, hari demi hari terasa membosankan hingga tak bermakna.
    Kita acapkali tidak tahu dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi. Sehingga, pencapaian demi pencapaian seperti tak berarti.
    Teman, hidup ini singkat. Apa yang kau cari?
    Agung Setiyo Wibowo
    Bogor, 29 Januari 2020
  • Orbit Kehidupan

    Orbit. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata yang satu ini?

    Peredaran?
    Lintasan?
    Tata surya?
    Putaran?
    Ya, kamu benar. Bagiku memori tentangnya senantiasa berkaitan dengan pelajaran Geografi semasa sekolah. Intinya, setiap benda di angkasa raya memiliki jalan masing-masing. Selama kiamat belum datang, benda-benda tersebut kecil kemungkinannya (atau bahkan tidak mungkin) untuk saling menabrak. Karena masing-masing memiliki jalan.
    Begitu pun dalam hidup ini, teman. Jalanku, jalanmu, jalan kita tak ada yang sama. Setiap orang memiliki garis start dan finish sendiri-sendiri. Oleh karena itu kebahagiaan akan datang jika kita setia, ikhlas, atau fokus dengan yang dimiliki. Sebaliknya, penderitaan menghampiri ketika kita membandingkan orbit sendiri dengan orang lain.
    Nah, sudahkah kamu tahu orbitmu? Tak peduli dari mana kamu berasal, yang terpenting kamu harus tahu apa yang kamu inginkan. Ya, kamu harus mantap dengan apa yang kamu cari, kejar dan perjuangkan. Karena mengetahui arah kata orang bijak sudah 50% dari keberhasilan.
    Bagaimana kalau belum tahu orbit sendiri? Sederhana saja. Tanyakanlah:
    1. Siapa dirimu?
    2. Dari mana kamu berasal?
    3. Ke mana kamu ingin pergi?
    4. Mengapa kamu ingin sampai di sana?
    5. Bekal atau sumber daya apa yang kamu miliki?
    6. Siapa yang dapat membantumu untuk mencapainya?
    7. Apa ukuranmu untuk mengukur keberhasilannya?
    Teman, jujurlah dengan diri sendiri. Kenali orbitmu. Cintai takdirmu.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Lenteng Agung, 23 Januari 2020
  • Momento Mori

    “Sekali berarti, setelah itu mati.” Pernahkah kamu mendengar ungkapan ini? Jika ya, selamat deh. Jika belum, izinkan kututurkan sekilas.

    Suka tidak suka, mau tidak mau, siap tidak siap kita akan binasa. Aku, kamu dan kita semua sedang antri menghadapi maut.
    Percayakah kamu dengan kematian? Kemanakah dirimu setelah nyawa melayang? Adakah kehidupan lain pasca meninggalkan bumi?
    Kematian memang misteri. Bahkan jauh sebelum kita dilahirkan, Tuhan telah menentukan usia kita di dunia. Termasuk dengan siapa kita menikah, seberapa banyak rezeki yang kita peroleh dan bagaimana jalan hidup kita.
    Ketika kecil, aku sering diingatkan dengan pesan ini. “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kau akan hidup selamanya, bekerja untuk akhiratmu seakan-akan esok kau akan tiada.”
    Semakin kita bertambah umur, sesungguhnya usia kita makin berkurang. Semakin dekat pula kita dengan ajal.
    Jika hari ini adalah hari terakhirmu, apa yang ingin kamu lakukan? Seberapa baik kamu ingin menjadi sebagai hamba Tuhan, suami, istri, anak, kakak, adik, ayah, ibu, atasan, warga negara dan pribadi?
    Kematian tak terelakkan. Momento mori. Sejauh ini, apa yang kau persiapkan?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Lenteng Agung, 22 Januari 2020
  • Keakuanmu, Keakuanku

    Stres?

    Resah?
    Kecewa?
    Galau?
    Hampa?
    Takut?
    Enam kata ini nampaknya menjadi penyakit manusia modern. Dengan ambisi menaklukkan dunia atas nama mengejar kesenangan semu, kita seringkali kambuh dengan yang di atas.
    Kita takut jika kehilangan pekerjaan. Kita hampa menjalani rutinitas. Kita galau dengan tujuan hidup. Kita kecewa dengan diri sendiri karena merasa belum secemerlang orang lain. Kita resah membayangkan masa depan yang sarat dengan ketidakpastian. Atau mungkin kita stres menghadapi tuntutan pasangan, anak, orang tua, bos, bawahan, dan masyarakat di sekitar.
    Tahukah kamu akar semua itu? Jawabannya sederhana saja. Tak lain adalah keakuan.
    Rumusnya begini. Semakin tinggi rasa keakuanmu, semakin besar peluangmu untuk terjerembab dalam lembah pesimisme, negativisme dan kesengsaraan. Apa pasal?
    Karena keakuan adalah ego. Ego adalah nafsu. Dan kamu tahu itu apa? Itu adalah musuh kebahagiaan.
    Kawan, tak ada gunanya keakuan ini. Karena sesungguhnya dunia ini fana.
    Kawan, keakuan adalah simbol keterlekatan kita pada dunia. Itu adalah akar kesengsaraan.
    Kawan, sesungguhnya kita dan dunia seisinya ini tiada. Yang ada adalah Tuhan.
    Kawan, apa guna keakuan? Karena sesungguhnya kita tak memiliki apa-apa. Di dunia ini kita diuji. Ya, selama nyawa ada di kandung badan kita akan dihadapkan dengan ujian.
    Kawan, dunia ini begitu singkat. Di sini kita hanya singgah sebentar.
    Kawan, sudahkah kamu menyadari keakuanmu? Jika ya, selamat! Jika belum, saatnya merenungkannya.
    Keakuan? Lenyapkan.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo,
    Pasar Minggu, 20 Januari 2020