Author: Agung Wibowo

  • Belajar dari Corona

    Corona.

    Mungkin kata ini paling populer di tahun 2020, setidaknya di kuartal pertama ketika tulisan ini dibuat.
    Dunia heboh karenanya. Sekolah diliburkan. Para pekerja mengadopsi WFH: Work from Home.
    Kepanikan benar-benar nyata. Social distancing bergulir. Namun kepanikan menggelora.
    Si kaya memborong segalanya. Si miskin makin terdesak. Si kelas menengah di antara keduanya. Mereka terpecah.
    Media begitu heboh menyuarakan fakta. Publik tak kalah membagikan berita bohong.
    Perekonomian hancur. Pusat perbelanjaan, restoran, hotel dan kota wisata terpukul.
    PHK di mana-mana. Pemotongan gaji menjadi salah satu solusi. Produktivitas memang menurun.
    Namun, corona juga mendatangkan sisi positif. Kesadaran akan kesehatan meningkat. Ikatan keluarga makin erat.
    Corona membagi manusia menjadi dua kelompok. Yang lebih mementingkan kesehatan alias takut mati. Yang lebih mementing perut alias takut lapar. Namun, ini hanya berlaku untuk kaum proletar.
    Corona. Terima kasih atas kemunculanmu. Terima kasih.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 24 Maret 2020
  • Hakim Terbaik

    Teman, kita memang bebas melakukan apa yang kita mau. Bersikap, berpikir, berucap, dan bertindak.

    Kawan, manusia memang merdeka. Bebas memanfaatkan waktunya di dunia.
    Namun, sadarkah kamu? Semua yang kita jalani ada yang menilainya. Segala hal yang kita alami dihakimi.
    Orang-orang di sekelilingmu salah satunya. Mereka memberimu label ini itu. Namun, mereka tidak bisa obyektif sepenuhnya. Mereka tidak bisa adil.
    Tuhanlah hakim terbaik. Sekecil apapun perbuatanmu, dievaluasi. Sesepele apapun sikapmu, dicatat.
    Aku yakin kamu sudah sadar. Lalu, buat apa aku mengingatkan?
    Aku hanya kamu senantiasa ingat. Bahwa hidup ini terlalu singkat.
    Cintai takdirmu. Jangan sia-siakan hidupmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 18 Maret 2020
  • Kepasrahan Hakiki

    Takut.

    Apakah kamu pernah merasa takut?

    Apa yang membuatmu takut?
    Sebagai manusia biasa, ketakutan adalah hal yang wajar. Apapun alasanmu:
    – Takut mati
    – Takut kehilangan pekerjaan
    – Takut dikhianati pasangan
    – Atau yang lainnya …
    Sayangnya, tidak semua orang menyadari sumber ketakutan. Akibatnya, ketakutan yang seharusnya bisa dikendalikan justru memperbudaknya.
    Jika segala sesuatu telah tertulis dalam Lauhul Mahfudz, apa guna takutmu? Untuk apa kamu takut?
    Di situlah ego berperan. Takut hadir karena kemelekatan pada dunia masih menguasai. Takut muncul karena keakuan masih mengiringi diri.
    Takut. Hanya akan merugikanmu. Cuma membuatmu menyesal. Nihilkan saja.
    Takut? Jawab dengan kepasrahan hakiki.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 23 Maret 2020
  • Kesementaraan

    Hidup ini singkat. Bahkan kata orang bijak, begitu singkat.

    Masyarakat Jawa mengibaratkan hidup ini tak lebih dari “menumpang minum”. Bahasa aslinya, “Urip iku mong mampir ngombe.”
    So, apa yang dapat kita ambil hikmahnya? Masalah datang silih berganti. Ujian datang dan pergi. Tak ada yang abadi.
    Semua yang ada di dunia ini fana. Kesementaraanlah yang pasti. Karena satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian.
    Kalau mendapati berkah, jangan lengah. Karena kesialan menjadi pengiringnya.
    Kalau mendapati ujian, bersabarlah. Karena kebaikan menjadi penyelingnya.
    Teman, sadarkah kamu? Kesementaraan adalah kepastian. Karena semua yang ada di sekitar kita hanyalah fana.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 25 Februari 2020
  • Rezeki yang Diacuhkan

    Rezeki.

    Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?
    Aku tak berhak menghakimi pendapatmu. Yang kuyakini, rezeki bukan hanya perihal uang.
    Waktu luang adalah rezeki. Anak adalah rezeki. Kesehatan adalah rezeki. Pekerjaan yang memberdayakan adalah rezeki. Nasabah yang loyal adalah rezeki. Rumah tangga yang harmonis adalah rezeki. Iman yang teguh adalah rezeki.
    Hidup ini kompleks, teman. Kita tidak bisa menilai segala sesuatu dari satu sudut pandang saja. Kita seharusnya memaknai semuanya secara global.
    Jadi, hilangkah keluh kesahmu. Jalani segala masalah yang menghadangmu. Karena kita serangkali mengacuhkan rezeki yang begitu melimpah.
    Rezeki memang misteri, teman. Tapi rezeki tak pernah tertukar.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 25 Februari 2020
  • Persembahan Tertinggi

    Hidup adalah persembahan.

    Bekerja, berumah tangga, & bersosial semuanya adalah “sesaji” untuk-Nya. Bukan karena dorongan ego, tekanan eksternal atau semata-mata demi manusia.
    Andaikata kita menyadari fitrah itu, tiada keluh kesah. Bila kita memahaminya, tiada resah. Pun tak ada ketakutan dan keraguan.
    Jika segala waktu, tenaga, pikiran, dan materi adalah persembahan untuk-Nya; bukankah kita mengupayakan yang terbaik? Karena semua yang kita berikan dinilai.
    Tempatkan diri Anda sebagai penerima hadiah, bukankah mendambakan yang paling berharga? Mana mungkin Anda mengharapkan pemberian yang ecek-ecek?
    Begitulah hidup. Sejatinya apa yang kita lalui adalah ujian yang mendorong kita untuk mempersembahkan. Apapun yang Anda kejar, cari dan perjuangkan tidak lain adalah “sesaji” untuk-Nya.
    Jadi, apa yang sudah, sedang dan akan Anda persembahkan?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 26 Februari 2020