Halo teman-teman di LinkedIn,
Saya mau mulai dengan sedikit keterbukaan: beberapa waktu belakangan ini, saya merasa… capek. Capek karena berharap hidup dan karier “seharusnya” begini, begitu. Capek karena terus-menerus menunggu sinyal hijau dari luar (validasi, pengakuan, kondisi ideal) sebelum akhirnya “bahagia”. Capek karena ternyata banyak hal yang tidak sesuai harapan—apakah itu pekerjaan, relasi, atau bahkan kondisi diri sendiri—dan saya merasa gagal karena merasa seharusnya bisa mengubah semuanya jadi lebih baik.
Di titik itu saya sadar: mungkin bukan kondisi yang salah, tapi cara saya melihat dan menanggapi kondisi tersebut yang perlu diubah. Mitos-nya adalah: “Kalau hidupku tidak sesuai skema, maka aku belum sukses/berbahagia”. Mitos yang banyak kita pegang tanpa sadar. Kita tumbuh dengan narasi “oke kalau sudah punya X maka bahagia”, “bahagia kalau sudah Y”, padahal kenyataannya, seringnya kita justru menciptakan tekanan tambahan di kepala sendiri.
Untuk menarik analogi sebagai hook: Bayangkan pikiran kita sebagai stasiun radio. Setiap frekuensi memutar lagu, tapi seringnya “lagu” yang kita dengar adalah lagu lama yang bikin sedih, mengulang-ulang, terus di dalam earphone kita sendiri. Buku ini seperti tombol “reset” untuk frekuensi tersebut—membantu kita mengganti stasiun, ganti lagu, atau minimal menyadari bahwa kita tidak harus terus-menerus mendengarkan lagu yang bikin kita stuck. Dengan analogi sederhana: kita nggak bisa selalu memilih kondisi cuaca (hujan/tidak), tapi kita bisa memilih jaket yang kita pakai—yakni, bagaimana kita merespons kondisi itu.
Oke, mari saya ajak kalian masuk ke inti: apa yang saya pelajari dari buku ini, bagaimana saya mempraktekannya, dan bagaimana kalian pun bisa mengaplikasikannya agar hidup jadi lebih sadar, lebih ringan, dan ya… lebih bahagia dan sukses menurut versi kita sendiri.
Apa yang saya pelajari dari Loving What Is
Buku ini secara inti mengajarkan bahwa: banyak dari penderitaan kita bukan karena situasi di luar, melainkan karena apa yang kita pikirkan tentang situasi itu.
Beberapa poin penting yang saya rangkum:
-
Pikiran-cerita (story) yang kita ulang terus-menerus berubah jadi keyakinan, lalu jadi “kenyataan” di kepala kita sendiri.
-
Buku memperkenalkan metode yang disebut “The Work” — sebuah inquiry atau penyelidikan terhadap pemikiran kita yang menyebabkan stres atau penderitaan.
-
Empat pertanyaan inti:
-
“Apakah ini benar?” (Is it true?)
-
“Dapatkah saya benar-benar tahu bahwa ini benar?” (Can I absolutely know it’s true?)
-
“Bagaimana saya bereaksi ketika saya percaya pikiran itu?” (How do I react when I believe the thought?)
-
“Siapakah saya tanpa pikiran itu?” (Who would I be without the thought?)
-
-
Lalu ada proses “turnaround” atau membalik pikiran tersebut—misalnya pikiran “Dia seharusnya mendengarku” bisa di-turnaround jadi “Saya seharusnya mendengarkan dia”, atau “Apakah saya yang seharusnya mendengarkan diri sendiri dulu?”
-
Inti filosofinya: menerima realitas apa adanya (“what is”) lebih ringan daripada terus-berdebat dengan realitas (“seharusnya begini”) yang hanya bikin kita kelelahan.
Kalau saya simpulkan dengan gaya gaul: buku ini ngajak kita menjadi “detektif pikiran” bukan “korban pikiran”. Alih-alih terus menangkap pikiran negatif sebagai kenyataan final, kita cek, kita investigasi, kita bisa ubah cara pandang – dan dari situ kebebasan mulai muncul.
Sekarang kita buka mitos-mitos yang sering tanpa sadar kita pegang, dan bagaimana buku ini “membanting” mitos tersebut satu-satu:
Mitos 1: “Sukses = kondisi luar ideal”
Banyak dari kita berpikir: kalau udah punya jabatan tinggi, duit banyak, relasi sempurna, maka kita akan bahagia dan bebas dari stres. Tapi buku menunjukkan: malah saat kondisi “ideal” itu datang, banyak orang tetap stres—karena pikiran mereka masih “seharusnya”. Realitas luar tidak bisa memuaskan pikiran yang terus memproyeksikan “seharusnya”.
Artinya: kebahagiaan dan sukses tidak datang hanya dari kondisi luar, tapi dari bagaimana kita melihat kondisi tersebut.
Mitos 2: “Penderitaan datang karena orang lain / situasi”
Kita sering menyalahkan keadaan, orang lain, atau “kehidupan yang gak adil”. Buku ini nyebut: sebenarnya penderitaan muncul ketika kita percaya pada pikiran yang bilang “ini tidak seharusnya terjadi” atau “ini salah”.
Jadi bukan peristiwa yang secara intrinsik membuat kita menderita, tapi cerita kita tentang peristiwa itu.
Mitos 3: “Saya adalah pikiran saya”
Kadang kita identitas-kan diri dengan pikiran: “Saya itu pemalu”, “Saya itu gagal”, “Saya itu kurang”. Buku ini bilang: pikiran itu bukan “aku”, pikiran hanyalah proses, dan kita bisa belajar untuk tidak melekat di pikiran tersebut.
Kalau kita terus percaya pikiran-label tersebut, kita terus memproduksi versi “aku” yang terkekang oleh narasi lama.
Dengan membongkar mitos-mitos ini, saya mulai menyadari bahwa banyak beban yang saya pikul ternyata bersumber dari cara saya berpikir — bukan dari kondisi yang sebenarnya. Dan itu membuka ruang untuk saya bertanya: “Oke, kalau ini bukan semuanya tentang kondisi luar, apa yang bisa saya lakukan sekarang?”
Pikiran = Software, Realitas = Hardware
Bayangkan hidupmu sebagai sebuah komputer. Hardware-nya adalah realitas: keluarga, pekerjaan, tubuh, cuaca, kondisi ekonomi—itu semua kita “terima”. Kita tidak selalu bisa memilih hardware. Tapi apakah kamu tahu? Software-nya adalah pikiran kita, program internal yang berjalan terus di latar belakang.
Ketika software itu buggy, crash, atau penuh virus (yakni pikiran-ampuh yang negatif, “seharusnya”, perbandingan, judgement), maka hardware bisa berjalan dengan lancar tapi performanya jadi buruk—lambat, overheating, error. Buku Loving What Is ini seperti antivirus + update versi baru yang mem-clean-up software kita, sehingga hardware (realitas) bisa bekerja lebih smooth.
Contoh analoginya:
– Kamu punya pekerjaan bagus (hardware oke). Tapi kamu terus-menerus berpikir “Bos saya seharusnya menghargai saya lebih” → software error.
– Kamu punya hubungan yang adem-ayem (hardware oke). Tapi dalam pikiran kamu aktif “Dia harus begini, saya harus begitu” → software error.
Dengan menerapkan “The Work”, kamu memperbarui software: cek, uninstall pikiran negatif, ganti dengan versi baru yang lebih ringan.
Ketika software diperbaiki, hardware bisa optimal—yang artinya kamu bisa lebih produktif, lebih bahagia, lebih sukses dalam pengertian kamu sendiri. Jadi sukses & bahagia itu bukan soal punya hardware sempurna, tapi soal software yang pas untuk hardware yang kamu miliki.
Bagaimana saya (dan kamu) bisa memakai metode ini
Sekarang bagian yang paling bermakna: bagaimana mengaplikasikan apa yang kita pelajari agar nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena ilmu tanpa praktik hanya akan jadi wacana.
Langkah-langkah aplikatif
Langkah 1 – Identifikasi pikiran yang bikin stres
Contoh: Saya merasa “Saya nggak cukup bagus dibanding kolega saya”. Maka catat: “Saya nggak cukup bagus”.
Langkah 2 – Tulis secara konkret
Ambil secarik kertas atau di notes: tulis kalimat pikiran tersebut tanpa sensor. Contoh: “Saya harus selalu unggul supaya diterima.”
Menurut buku, menulis itu penting agar pikiran menjadi konkret dan bisa ditanya.
Langkah 3 – Ajukan empat pertanyaan dari The Work
-
“Apakah itu benar?” (“Benarkah saya harus selalu unggul supaya diterima?”)
-
“Dapatkah saya tahu dengan absolut bahwa itu benar?” (“Apakah saya tahu 100% bahwa saya harus selalu unggul untuk diterima?”)
-
“Bagaimana saya bereaksi ketika saya percaya pikiran itu?” (Misalnya: saya jadi tegang, membandingkan diri, merasa takut gagal, berjaga-jaga).
-
“Siapakah saya tanpa pikiran tersebut?” (“Kalau saya tidak memikirkan bahwa saya harus selalu unggul untuk diterima… saya bisa lebih santai, bisa belajar tanpa takut salah, bisa menikmati proses.”)
Langkah 4 – Lakukan turnaround
Ambillah pikiran awal: “Saya harus selalu unggul supaya diterima.” Kemudian coba beberapa versi pembalikannya:
-
“Saya tidak harus selalu unggul supaya diterima.”
-
“Menerima saya harus selalu unggul.”
-
“Saya harus selalu unggul supaya saya diterima (oleh saya sendiri).”
Tinjau setiap versi: bagaimana perasaanmu? Apa buktinya dalam hidupmu bahwa versi itu juga bisa benar? Idenya: kita membuka opsi pikir yang lebih sehat.
Langkah 5 – Ulang secara rutin & refleksi
Seperti latihan fisik: pada awalnya sulit. Tapi jika dilakukan secara rutin, semakin mudah. Buku menyebut: “The Work” bisa menjadi bagian otomatis dari hidup kita
Misalnya, ada proyek di kantor. Saya berharap hasil akan “sempurna”. Pikiran awal: “Kalau hasilnya gak sempurna, saya akan dianggap gagal.” Saya tulis, kemudian tanya:
-
Apakah benar? Hasilnya bisa sempurna tiap saat? Tidak selalu.
-
Dapatkah saya tahu dengan pasti bahwa jika hasil tidak sempurna saya dianggap gagal? Nyatanya banyak orang sukses dari “gagal”.
-
Reaksi saya ketika percaya pikiran itu: saya stres, begadang, obses, takut pendapat orang.
-
Tanpa pikiran itu: saya bisa kerja dengan lebih ringan, lebih kreatif, lebih siap menerima feedback, dan menikmati proses.
Turnaround: “Hasil tidak sempurna tidak berarti saya gagal”, atau “Saya harus menerima bahwa saya cukup walau tidak sempurna”, atau “Orang lain tidak harus menganggap saya gagal.”
Hasilnya: dalam satu proyek, saya lebih rileks, merasa lebih bebas bereksperimen, dan hasilnya malah lebih baik karena mindsetnya lebih terbuka.
Mengaitkan dengan sukses & bahagia
Dalam pengertian saya dan mungkin banyak dari kita, sukses bukan hanya naik jabatan atau uang lebih banyak, tapi: “Bisa melakukan yang kita sukai, dalam kapasitas kita, sambil merasa damai dengan diri sendiri.”
Metode ini membantu:
-
Kita mengurangi beban pikiran “seharusnya” yang memperlambat kita.
-
Kita jadi lebih fokus pada pengerjaan (software) daripada terus-menerus menunggu kondisi ideal (hardware).
-
Kita jadi lebih resilient: ketika kondisi eksternal berubah (pekerjaan berubah, relasi berubah, ekonomi turun), kita punya alat untuk mengubah cara pandang sehingga tetap bahagia.
-
Kita meningkatkan kualitas keputusan karena bukan berasal dari ketakutan (“apa orang akan pikir saya gagal?”) tapi dari kejelasan pikiran (“apa yang benar bagi saya sekarang?”).
Tantangan & bagaimana menghadapinya
Tentunya, tidak semua berjalan mulus. Beberapa tantangan yang saya hadapi dan bagaimana saya coba menghadapinya:
-
Tantangan: Kebiasaan berpikir lama
Pikiran-story lama seperti “saya nggak cukup” sudah dipakai bertahun-tahun, jadi saat kita “menyentuh” itu muncul rasa resistensi, kebingungan, takut.
Cara menghadapi: Sabarlah. Sadari bahwa ini proses. Ingat analogi software: update butuh waktu, kadang restart. Beri ruang. -
Tantangan: Pikiran baru terasa “aneh”
Saat kita melakukan turnaround, pikiran baru terasa asing. “Ah nggak mungkin saya bisa santai aja jika hasil kurang bagus.”
Cara menghadapi: Coba dengan kasus kecil dulu. Jangan langsung di momen besar. Uji coba di situasi yang kurang berat supaya otot mental kita terbiasa. -
Tantangan: Lingkungan yang mendukung vs tidak
Kadang teman atau lingkungan kerjamu tidak “belajar self-inquiry” seperti ini, malah memperkuat narasi “kamu harus perform atau akan dianggap lemah”.
Cara menghadapi: Jadikan ini soal internal. Efeknya akan terlihat, dan lama-lama lingkungan bisa ikut berubah dalam cara mereka melihatmu dan meresponsmu.
Kesimpulan
Sebagai generasi yang tumbuh dengan cepatnya perubahan—teknologi, karier, ekonomi, sosial—kita sering merasa harus “cepat”, “lebih”, “seluruhnya”. Tekanan itu nyata. Buku Loving What Is hadir sebagai pengingat: kita tidak perlu menunggu semua “pas” untuk hidup dengan kualitas yang kita inginkan. Kita bisa mulai sekarang—dengan pikiran kita.
Ketika kita belajar men‐set software pikiran dengan cara yang lebih ringan, lebih jujur, lebih terbuka terhadap “apa adanya”, maka:
-
Beban mental kita berkurang.
-
Energi kita bisa dialokasikan ke tindakan sebenarnya, bukan drama internal.
-
Kebahagiaan dan sukses mulai terasa bukan sebagai target jauh di depan, tapi sebagai keadaan yang kita ciptakan setiap hari.
-
Kita jadi lebih autentik: hidup sesuai nilai kita sendiri, bukan nalar “orang lain/seharusnya”.
Jadi, jika kamu sedang berada di persimpangan: “Apakah saya sudah sukses?”, “Kenapa saya belum bahagia?”, “Kapan kondisi akan pas supaya saya bisa mulai?”, maka izinkan saya bilang: kamu bisa memulai sekarang. Dengan satu pikiran yang ditanyakan, satu kalimat yang ditulis, satu sesi kecil The Work.
Terima kasih sudah membaca dari hati ke hati. Semoga apa yang saya bagikan bisa menjadi cermin kecil—bahwa kamu tidak sendiri dalam proses ini, dan bahwa berbagi cerita sederhana bisa membuka jalan bagi perubahan sederhana tapi bermakna.
Kalau kamu tertarik, saya sangat senang mendengar cerita kamu: pikiran mana yang sedang “menahan” kamu hari ini? Yuk, kita mulai bersama-sama untuk mencintai “apa adanya”.
Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:
#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #LovingWhatIs #TheWorkByByronKatie #MindsetShift #KesejahteraanMental #SuksesDenganHati #GenZLeadership #PengembanganPribadi #SelfInquiry #BahagiaSehariHari
Leave a Reply