Aku mau mulai dengan jujur: dulu aku sering merasa “ada yang salah” dalam diriku. Aku nggak bisa tidur nyenyak, kadang panik tanpa tahu kenapa, atau emosinya meledak-leduk ketika hal kecil terjadi. Tapi ketika aku bilang ke orang “Aku trauma,” rasanya… berat. Seakan-akan aku mengakui bahwa yang lain lebih “normal”, dan aku ini rusak.
Buku The Body Keeps the Score membuat aku merasa: ternyata bukan aku sendirian. Ternyata luka yang kita kira sudah terkubur, sebenarnya masih tinggal—di syaraf, otot, dan cara kita menarik napas. Dan itu bukan cuman “hal psikologis” abstrak — ia punya jejak fisik.
Jadi aku tulis ini bukan untuk jadi “orang yang paling tersembuh,” tapi sebagai suara yang bilang: “Hei, aku juga pernah (lagi) di situ. Yuk, kita pelan-pelan bangun kembali.”
Sebelum kita nyemplung lebih dalam, yuk kita pecahkan dulu mitos-mitos yang sering bikin kita salah langkah:
Mitos 1: “Trauma itu cuma kejadian ekstrem, orang biasa nggak punya trauma.”
Padahal, trauma bisa berupa pengabaian emosional, terus-menerus dihakimi, atau pengalaman soal merasa tidak diakui. Bessel van der Kolk menekankan: trauma bukan hanya tentang apa yang terjadi, melainkan apa yang tak terselesaikan (imprint-nya) dan bagaimana tubuh bereaksi.
Mitos 2: “Cukup ngomong soal masa lalu, semua akan baik.”
Pendekatan “talk therapy” memang punya tempat, tapi buku ini menegaskan bahwa hanya berbicara seringkali tidak cukup. Kenapa? Karena tubuh mengingatnya—otak limbik, amigdala, sistem syaraf otonom — semuanya ikut menyimpan “jejak” trauma.
Mitos 3: “Kalau sudah pulih, kamu nggak akan pernah merasa sakit lagi.”
Pemulihan bukan berarti “bebas sama sekali dari luka.” Justru aku belajar, pemulihan berarti “belajar bersahabat lagi dengan diri sendiri, untuk setiap getaran yang muncul.” Bukan meniadakan rasa sakit, tetapi integrasi dan transformasi.
Dengan membongkar mitos ini, kita bisa melihat bahwa trauma bukan musuh yang harus disembunyikan, tapi misteri yang perlu dipahami.
Arsip Emosional Tubuhmu
Bayangkan tubuhmu itu seperti hard disk komputer. Kamu punya folder “masa lalu” yang tak terlihat—folder di-level sistem operasi, tersembunyi dari antarmuka biasa. Banyak file di dalamnya yang ‘tidak sempat diproses,’ seperti foto hitam-putih yang korosi, pesan error, atau file sementara yang crash.
Kita mungkin berpikir: “Sudah hapus file-file itu,” tapi kenyataannya file-file tersebut tetap berada dalam level rendah hard disk—“bad sector”-nya masih ada. Dalam hidup, file-file itu adalah memori sensasi tubuh, ketegangan otot, denial rasa. Terus diamkan saja, lama-lama hard disk itu makin lemah — performa down, error muncul.
Untuk benar-benar membersihkan, kita butuh software khusus: defragmentasi, scanning, repair tools. Dalam konteks trauma, tools-nya bisa berupa yoga, EMDR, ekspresi kreatif, pernapasan sadar, dan hubungan aman. Buku ini menunjukkan bahwa tubuh — bukan hanya pikiran — butuh “repair tool.”
Analoginya: jangan biarkan data lama mengacau hidupmu. Proseslah, integrasikan, dan biarkan sistemmu kembali sehat.
“Jika tubuhmu menulis memo internal setiap hari — berapa banyak memo yang belum kau baca? Berapa banyak file trauma yang masih berjalan di background, menghambat performamu hari ini?”
Kalau kamu berhenti sejenak dan bertanya pada napasmu, jantungmu, ototmu — apa yang mereka ingin katakan?
Apa yang Aku Pelajari & Bagaimana Menerapkannya
Berikut struktur insight + praktik nyata berdasarkan The Body Keeps the Score, yang aku garap agar bisa kita jalani dalam kehidupan nyata:
1. Tubuh dan Pikiran Adalah Tim, Bukan Musuh
Pelajaran: Trauma memutus komunikasi antara “pikiran yang rasional” dengan “tubuh yang merasakan.” (Mind–Body dissociation)
Implikasi praktis:
-
Setiap pagi, sebelum buka HP, duduk diam 2–3 menit sambil merasakan “di mana tubuhmu berada”—apakah bahu menegang, dada sesak, kaki dingin?
-
Kalau kamu merasa gelisah atau stuck saat bekerja, berhenti sebentar dan tanyakan: di bagian mana tubuhku memberi sinyal?
-
Latihan mindfulness sederhana: rasakan napas, fokus ke sensasi di bagian tubuh tertentu (tangan, kaki), biarkan ia berbicara.
2. Trauma Mewujud dalam Bentuk Fisiologis
Pelajaran: Ketika sistem syaraf “alarm” (misalnya, amigdala) terlalu aktif, tubuh kita sering hidup dalam mode fight-or-flight, bahkan ketika ancaman nyata tidak ada.
Implikasi praktis:
-
Pelajari teknik “grounding” sederhana: rasakan tanah di bawah kakimu, pijakkan dengan penuh kesadaran.
-
Tubuhkan ritual pernapasan: 4-7-8 breathing (tarik napas 4 hitungan, tahan 7, keluarkan 8).
-
Gerakan ringan: peregangan, goyang badan, jalan kaki lama-lama — ini menyerap kelebihan energi yang terjebak karena reaktivitas tubuh.
Misalnya, seorang klien trauma anak-anak sering mengalami ketegangan di rahang dan bahu. Setelah menerapkan latihan body scan tiap malam, dia baru sadar bahwa setiap kali dia “diset” untuk perform, bahunya otomatis mengeras seperti “tameng.” Perlahan, dia belajar merilis bahu itu saat berpresentasi—bukan memaksa menahan.
3. Metode Body-Based (Somatic) Healing
Pelajaran: Pemulihan trauma melibatkan pendekatan “bottom-up” (tubuh ke pikiran), bukan hanya “top-down” (pemikiran bicara). Van der Kolk merekomendasikan yoga, sensorimotor work, EMDR, teater, dan teknik ekspresi tubuh.
Implikasi praktis:
-
Ikut kelas yoga trauma-informed (bukan yoga “fitnes”) yang fokus pada kesadaran tubuh, bukan pose yang ekstrem.
-
Coba gerakan ekspresif: tari bebas, goyang-goyang tangan, praktik ritual sederhana seperti mengetuk tubuh, memberi pijatan ringan sendiri.
-
Gunakan journaling yang memasukkan pertanyaan “bagaimana tubuhku merasakannya?” — bukan sekadar “apa yang saya pikirkan?”
Catatan kritis:
Walaupun metode-metode ini didukung oleh banyak pengalaman klinis, ilmu psikologi masih menilai metode somatik sebagai pendekatan yang membutuhkan riset lebih lanjut. Kita harus cermat memilih dan kalau perlu dibantu profesional.
4. Membentuk Hubungan Aman & Attachment
Pelajaran: Salah satu “obat” trauma adalah interaksi aman—pengalaman difahami, diterima, disentuh, berbicara dengan suara lembut — karena ikatan sosial punya kekuatan menyembuhkan. Van der Kolk menulis bahwa hubungan manusia bisa menyembuhkan luka tubuh dan pikiran.
Implikasi praktis:
-
Temukan satu “teman aman”—orang yang bisa kau ceritakan perasaanmu tanpa takut dihakimi.
-
Dalam pertemuan (meeting, ngobrol santai), coba fokus mendengarkan bukan merespon cepat — memberi ruang bagi lawan bicara untuk “bernapas.”
-
Ciptakan ritus “checkpoint emosional” dalam tim/kawan dekat—“gue hari ini gimana?”—untuk saling mengakui beban, tidak cuma prestasi.
5. Integrasi & Praktik Harian: Pendidikan Trauma dalam Kehidupan
Pelajaran: Pemulihan trauma bukan target satu kali—melainkan proses integrasi berkelanjutan. Bessel van der Kolk menyebut bahwa kita perlu “mengintegrasikan keadaan aman sekarang dengan jejak masa lalu.”
Implikasi praktis:
-
Setiap minggu, buat “waktu refleksi tubuh” — 10–15 menit menanyakan: “Apa yang muncul di tubuhku minggu ini?”
-
Catat pola: misalnya, saat mau meeting besar, selalu ada ketegangan di tulang rusuk kanan — ini bisa jadi “kode tubuh” yang bisa kau antisipasi.
-
Bangun ritual kecil: senyum ke diri di kaca pagi-pagi, tarik napas penuh sebelum makan, peluk diri sendiri — sebagai sinyal ke tubuh bahwa “aman” itu nyata.
Contohnya? Aku punya kebiasaan “10 langkah grounding” tiap malam sebelum tidur: berhenti, merasakan tanah, gerakkan lutut & pergelangan kaki, tarik napas panjang, lepaskan. Setelah sebulan, gak hanya stres hari kerja mulai mereda — aku jadi lebih “nyambung” sama intuisi tubuhku sendiri: kapan butuh istirahat, kapan bisa push.
Bagaimana Ini Membantu Kita Sukses dan Bahagia
Kamu mungkin bertanya: “Oke, ini penting untuk kesehatan mental. Tapi kok kaitannya dengan ‘sukses’ dan ‘bahagia’?”
Menurutku:
-
Kapabilitas regulasi emosional meningkat
Karena kamu mulai paham sinyal tubuhmu, kamu bisa mengantisipasi “reaksi otomatis” — misalnya, panik menjelang deadline. Kamu bisa merespon dengan strategi grounding, bukan overreaction. -
Kehadiran penuh (presence) makin kuat
Saat tubuh dan pikiran tersambung, kamu jadi lebih sadar dengan momen sekarang — meningkatkan kualitas kerja, relasi, kreativitas. -
Keputusan lebih aligned
Bukan cuma berdasarkan “apa yang dipikirkan,” tapi juga “apa yang tubuh rasakan sebagai benar.” Ini membantu memilih proyek, hubungan, arah karier yang tidak memicu konflik internal berat. -
Ketahanan hidup (resilience) tumbuh
Luka masa kecil atau pengalaman kelam bukan jadi akar gagapmu selamanya — melainkan sumber kekuatan yang, melalui pemahaman dan integrasi, bisa kamu ubah menjadi pondasi kebijaksanaan. -
Kebahagiaan lebih autentik
Karena bukan kebahagiaan yang memaksakan diri terus senang, melainkan kebahagiaan yang tumbuh dari pengertian, kelegaan, dan hubungan aman. Kamu makin bisa meresapi tawa, cinta, ketenangan tanpa rasa takut “nanti luka lagi.”
Epilog
Mungkin kamu membaca ini sambil sesekali berhenti, menoleh ke tubuhmu — meraba bahu, tenggorokan, jantung. Itu sah. Aku pun dulu sering berhenti menulis karena rasa “ada yang mau keluar” dari dada.
Aku nggak pernah berpura-pura sudah “bebas trauma.” Tapi aku berani berkata bahwa sekarang aku lebih punya ruang untuk rasa — rasa takut, sedih, ragu — tanpa mereka mendikte hidupku.
Jika kamu merasa perlawanan muncul (“Ah ini cuma teori, susah dipraktekkan”), aku kasih kawan bicara: mulai dari satu napas sadar, satu gerakan lembut, satu teman aman. Kecil tapi tulus, itu sudah langkah nyata.
Kalau kamu mau, di postingan berikutnya aku bisa share skema harian trauma-healing, atau contoh workbook yang aku pakai (versi sederhana). Mau aku kirim itu?
Semoga esai ini jadi oase kecil — tempat kamu tahu bahwa luka tidak harus jadi belenggu, dan tubuhmu tak selamanya diam. Ia bisa diajak bicara, dipahami, dan disembuhkan.
Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:
Leave a Reply