Pernah nggak sih, lo buka LinkedIn dengan semangat, bikin postingan keren, tapi… view-nya cuma segitu-gitu aja? Atau lebih nyesek lagi: udah DM orang rapi-rapi, ending-nya malah ignored. Gue pernah, dan rasanya kayak ngobrol sendiri di ruangan kosong.
Padahal dulu gue percaya banget kalau rajin posting = auto laku. Nyatanya, engagement rendah, network stagnan, bisnis juga nggak banyak berkembang. Gue sempat mikir: “Apa gue yang kurang pinter? Atau LinkedIn emang nggak cocok buat jualan?”
Eh, ternyata kebalik. Justru masalahnya ada di cara gue main. Gue selama ini sibuk “jualan” di tempat orang sibuk “nyari value”.
Jadi pertanyaannya: kenapa ada orang yang bisa viral, dapet klien, bahkan jadi thought leader di LinkedIn… sementara sebagian dari kita cuma jadi “penonton setia”?
Jawabannya gue temuin di buku Social Selling | 10 Essential Strategies To Prospect, Position & Present Using Social Media karya Tom Abbott. Buku ini bener-bener mindblowing, karena ngebongkar bahwa LinkedIn (dan sosial media lain) itu bukan tempat nge-push produk, tapi tempat lo membangun kepercayaan. Dan kepercayaan itu ibarat mata uang digital: semakin tinggi nilainya, makin gampang lo “dibeli”.
Nah, gue mau cerita apa aja yang gue pelajarin dari buku ini, dan gimana aplikasinya biar lo juga bisa sukses bukan cuma di LinkedIn, tapi juga di kehidupan sehari-hari.
1. Social Selling Bukan Tentang Jualan, Tapi Tentang Jadi Manusia
Tom Abbott bilang: orang beli dari orang yang mereka suka, percaya, dan kenal. Simple, kan? Tapi sering kita lupa.
Contoh: lo lebih milih beli dari temen yang lo percaya atau dari orang asing yang tiba-tiba nyepam inbox lo? Jawabannya udah jelas.
Di LinkedIn, social selling artinya lo hadir dulu sebagai manusia, baru sebagai penjual. Itu berarti lo perlu bikin konten yang nunjukin siapa lo, apa yang lo percaya, dan gimana lo bisa bantu orang lain.
Misalnya: daripada posting “Produk kami diskon 50%”, lo bisa share cerita:
“Dulu klien gue struggling banget nge-manage tim remote. Akhirnya kita bantu dengan tools X, dan sekarang komunikasi mereka lebih lancar.”
Hasilnya? Orang jadi ngerasa relate, bukan risih.
2. Personal Branding: Lo Adalah Produk Utama
Buku ini ngasih highlight penting: LinkedIn bukan cuma CV digital, tapi etalase diri lo.
Kalau profil lo kosong, fotonya nggak jelas, atau headline lo generik (“Staff at XYZ Company”), ya jangan heran kalau orang lewat aja.
Tom Abbott ngajarin bahwa lo harus positioning diri lo sebagai solusi. Artinya, lo harus bisa jawab pertanyaan: “Kenapa gue harus connect sama lo?”
Contoh praktis di LinkedIn:
-
Headline → bukan “Sales Executive”, tapi “Helping SMEs Grow Revenue Through Digital Solutions”
-
About section → bukan cuma sejarah kerja, tapi cerita perjalanan lo, struggle lo, dan value yang lo bawa.
-
Konten → bukan sekadar “laporan mingguan”, tapi insight, tips, atau cerita yang nunjukin expertise lo.
Kalau branding lo kuat, lo jadi magnet. Orang bukan cuma baca, tapi juga nyari lo.
3. Listening Before Talking: Jadi Pendengar yang Peka
Ini yang sering ke-skip: kita kebanyakan posting, tapi jarang listening. Padahal social selling itu kayak ngobrol. Bayangin lo ketemu temen lama, terus lo langsung curhat panjang lebar tanpa nanya kabarnya. Awkward, kan?
Di LinkedIn, “listening” bisa berupa:
-
Follow influencer di industri lo → biar tau trend apa yang lagi hot.
-
Baca komentar di postingan orang lain → insight real-time tentang masalah yang orang hadapi.
-
Engage dengan cara meaningful → bukan cuma “nice post ”, tapi komentar yang bener-bener nambah perspektif.
Dengan begitu, lo bisa tau pain point audiens lo, dan akhirnya lo lebih gampang masuk sebagai solusi.
4. Konsistensi = Kunci
Ini agak klise, tapi Tom Abbott tekankan banget: lo nggak bisa ekspektasi hasil instan. Social selling butuh marathon mindset.
Banyak orang berhenti karena ngerasa nggak ada hasil. Padahal, algoritma (dan manusia) butuh waktu buat percaya.
Tips praktis:
-
Tentuin “ritme posting” → misalnya 3x seminggu.
-
Bikin 3 kategori konten: story personal, insight profesional, engagement ringan (polling, QnA, humor).
-
Evaluasi tiap bulan → liat mana yang bikin interaksi paling tinggi.
Lama-lama, audiens lo bakal nungguin postingan lo, kayak nungguin episode baru series Netflix.
5. Dari Online ke Offline: Build Relationship, Not Just Follower
Social selling nggak berhenti di like, comment, atau DM. Ujungnya adalah relationship nyata.
Misalnya lo udah sering interaksi sama orang di LinkedIn. Next step? Ajak ngobrol lebih jauh lewat Zoom, ngopi bareng, atau minimal voice call.
Banyak deals gede justru lahir dari percakapan yang awalnya cuma “sekadar komentar di postingan”.
Contoh: Gue pernah connect sama seseorang gara-gara kita debat sehat di komentar soal digital marketing. Dari situ lanjut DM, tuker insight, ketemuan, eh malah jadi partner bisnis.
Itulah kekuatan social selling: dari likes bisa jadi contracts.
6. Authenticity Beats Perfection
Salah satu poin favorit gue dari Tom Abbott adalah ini: orang lebih suka lo yang jujur daripada lo yang sempurna.
Di LinkedIn, jangan takut keliatan rapuh atau vulnerable. Justru cerita gagal lo yang bikin orang respect, karena mereka liat lo manusia, bukan robot autopost.
Misalnya, lo bisa cerita tentang project yang gagal, apa pelajaran yang lo ambil, dan gimana itu bikin lo lebih baik. Itu bukan bikin lo lemah, tapi bikin lo relatable.
Karena akhirnya, social selling bukan soal jualan produk, tapi jualan diri lo sebagai manusia yang bisa dipercaya.
Aplikasi di Kehidupan Nyata
Yang bikin buku ini relevan banget, bukan cuma buat LinkedIn. Social selling juga berlaku di kehidupan sehari-hari.
-
Di kantor: lo nggak bisa cuma push ide lo → lo harus bangun kepercayaan tim dulu.
-
Di keluarga: lo nggak bisa maksa orang tua langsung percaya sama keputusan lo → lo perlu tunjukin konsistensi dan tanggung jawab.
-
Di komunitas: lo lebih didengar kalau lo udah terbukti hadir, bukan cuma sekali muncul.
Artinya, prinsip social selling itu universal: People buy people first.
Jangan Jualan, Jadilah Manusia
Kalau dirangkum, isi buku Tom Abbott itu ngajarin kita hal simpel tapi sering dilupain: orang beli karena percaya, bukan karena lo paling kenceng teriak jualan.
Di LinkedIn, sukses bukan soal posting paling banyak atau DM paling banyak. Sukses itu soal gimana lo jadi manusia yang konsisten, autentik, dan relevan buat orang lain.
Dan ketika lo ngerti itu, LinkedIn bukan lagi sekadar platform cari kerja atau jualan. LinkedIn jadi arena buat lo membangun warisan digital: siapa lo, apa value lo, dan gimana lo ninggalin jejak baik di dunia profesional.
Nah, kalau lo pengen buat LinkedIn lo sebagai “magnet” yang bisa narik recruiter, klien, investor, atau calon business partners, nggak ada salahnya lo ikutan LinkedIn that Works. Di sini lo akan tahu cara monetize LinkedIn dari 0. Jika lo pengen tahu cara menenun cerita menjadi peluang di LinkedIn, lo bisa ikutan kelas LinkedIn Storytelling.
Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:
Leave a Reply