Pernah nggak lo merasa, kerja bareng tim itu lebih capek daripada kerja sendirian? Gue pernah banget. Bahkan ada masa di karier gue di mana pulang kantor rasanya kayak abis lari maraton, padahal seharian cuma meeting. Bukannya tambah semangat, malah jadi frustrasi. Ironisnya, justru kerja tim yang seharusnya bikin kita lebih ringan, malah jadi beban tambahan.

Kalau dipikir-pikir, ini mirip kayak naik kapal rame-rame. Harusnya seru, kan? Ada yang jaga layar, ada yang navigasi, ada yang jaga kemudi. Tapi kalau semua orang sibuk adu suara, atau lebih parah lagi, pura-pura setuju tapi diem-diem nggak mendayung, kapal itu bakal oleng. Gue ngalamin sendiri, rasanya kayak berada di kapal yang nggak jelas mau ke mana, sementara ombak makin gede.

Dari situ gue ketemu satu buku yang akhirnya jadi turning point dalam cara gue melihat tim: The Five Dysfunctions of a Team karya Patrick Lencioni. Buku ini bukan sekadar teori berat, tapi semacam cermin yang nyodorin kenyataan pahit—kenapa banyak tim gagal, bahkan yang isinya orang-orang pintar sekalipun. Patrick Lencioni ngebongkar ada lima penyakit utama yang bikin tim nggak jalan. Dan parahnya, penyakit ini sering kita anggap sepele.

Lima penyakit itu adalah: (1) absennya trust, (2) takut konflik, (3) kurang komitmen, (4) menghindari akuntabilitas, dan (5) cuek sama hasil. Kedengarannya sederhana, tapi begitu gue renungin, wah ini tuh kayak daftar dosa tim yang sering banget gue lihat sehari-hari.

Mari kita kupas satu-satu, sambil gue ceritain gimana relevansinya buat karier dan hidup kita.

1. Absennya Trust

Trust itu fondasi. Tanpa trust, tim kayak rumah tanpa pondasi—sekilas berdiri, tapi gampang roboh. Di banyak tim, orang-orang suka pakai “topeng profesionalisme”. Nggak mau kelihatan lemah, nggak mau ngaku salah, takut dibilang nggak kompeten. Gue pernah ada di tim yang semua orang sok tahu, padahal banyak yang bingung. Akhirnya? Ya keputusan yang diambil setengah matang.

Pelajaran yang gue ambil: trust itu muncul bukan dari sekadar sering bareng, tapi dari berani buka kelemahan. Ironisnya, justru saat kita jujur bilang “gue nggak ngerti” atau “gue butuh bantuan”, trust malah tumbuh. Dalam karier, ini ngajarin gue untuk lebih berani vulnerable. Misalnya, kalau gue stuck di proyek, gue ngomong. Nggak pake gengsi. Dan anehnya, justru itu bikin orang lain lebih respect.

2. Takut Konflik

Konflik itu ibarat bumbu. Tanpa konflik, diskusi jadi hambar dan penuh basa-basi. Tapi banyak tim yang alergi sama konflik. Semua maunya adem-adem aja, padahal di bawah permukaan, banyak unek-unek yang mendidih.

Gue inget satu proyek di mana semua orang selalu bilang “setuju, bagus tuh”. Tapi kenyataannya, banyak yang nggak puas. Akhirnya, masalah kecil meledak jadi drama gede. Dari buku ini gue belajar: konflik sehat itu penting. Bedanya sama konflik toxic adalah niatnya. Kalau niatnya cari solusi, bukan saling menjatuhkan, konflik justru bikin tim makin kuat.

Buat hidup pribadi, konflik itu juga kayak cermin. Lo berantem sama pasangan soal hal sepele? Bisa jadi itu tanda ada hal penting yang nggak pernah dibahas serius. Jadi daripada menghindar, mending belajar debat sehat.

3. Kurang Komitmen

Komitmen itu bukan cuma soal janji manis. Ini soal jelasnya arah. Banyak tim gagal karena orang-orangnya nggak benar-benar setuju, cuma ikut-ikutan arus. Kalau ditanya, “kita ke mana sih sebenarnya?” jawabannya kabur.

Gue pernah ada di tim yang bikin strategi keren banget, lengkap dengan presentasi bombastis. Tapi ketika eksekusi, banyak yang setengah hati. Kenapa? Karena dari awal, nggak ada komitmen jelas. Semua orang pulang meeting dengan interpretasi masing-masing. Hasilnya? Berantakan.

Pelajaran yang gue ambil: komitmen itu butuh kejelasan dan buy-in. Kalau lo sendiri nggak yakin sama tujuan lo, gimana orang lain mau percaya? Jadi dalam karier, gue belajar selalu nanya “kita sebenarnya mau ke mana?” dan pastikan semua orang bener-bener paham sebelum bubar jalan.

4. Menghindari Akuntabilitas

Akuntabilitas itu kayak kaca spion. Kadang nyebelin karena bikin lo sadar ada yang harus diperbaiki. Tapi tanpa itu, lo bisa nabrak. Banyak tim gagal karena orang-orangnya nggak saling mengingatkan. Semua sibuk jaga image masing-masing.

Di satu proyek, gue pernah lihat tim yang kalau ada deadline molor, semua saling tutup mata. Nggak enak menegur. Akhirnya, standar kerja makin turun, dan proyek makin kacau. Dari situ gue belajar: akuntabilitas itu tanda peduli. Kalau lo berani bilang “eh bro, kerjaan lo belum kelar nih”, itu bukan berarti lo nyolot, tapi lo sayang sama tim lo.

Dalam hidup juga sama. Misalnya, punya teman yang berani bilang, “lo tuh kebanyakan scroll TikTok, mending kerjain draft proposal lo.” Awalnya nyebelin, tapi lama-lama kita sadar, itu justru bentuk support.

5. Cuek Sama Hasil

Yang terakhir, banyak tim lebih peduli sama ego pribadi daripada hasil bersama. Orang lebih sibuk mikirin “gue keliatan keren nggak ya?” daripada “target kita tercapai nggak?”

Gue pernah lihat tim yang isinya bintang-bintang, tapi karena masing-masing sibuk cari spotlight, hasil akhirnya jauh dari harapan. Padahal kalau semua energi dipakai buat satu tujuan, hasilnya bisa dahsyat.

Dalam karier, ini ngingetin gue untuk nggak terlalu sibuk ngejar pengakuan pribadi. Kadang kemenangan sejati itu kalau tim lo sukses, walau nama lo nggak muncul di headline.

Tim Itu Kayak Band

Kalau gue boleh bikin metafora baru: tim itu kayak band. Lo bisa punya gitaris paling jago, drummer paling keren, vokalis paling nyaring. Tapi kalau mainnya nggak sinkron, hasilnya cuma berisik. Tapi kalau semua instrumen nyatu, musiknya bisa bikin orang merinding.

Hidup juga gitu. Lo bisa punya skill, IQ tinggi, atau networking luas. Tapi kalau lo nggak bisa main bareng orang lain, hasilnya nggak maksimal. Dan kadang, justru kolaborasi yang bikin karya lo meledak.

Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakuin?

Dari lima dysfunction ini, gue belajar kalau kunci sukses bukan cuma soal pinter, tapi soal berani vulnerable, terbuka sama konflik sehat, bikin komitmen jelas, saling ngingetin, dan fokus ke hasil bareng. Dan ini bukan cuma berlaku di kantor, tapi juga dalam hubungan pribadi, komunitas, bahkan keluarga.

Contoh kecil: lo punya circle temen. Kalau nggak ada trust, lo bakal jaim terus. Kalau takut konflik, lo nggak pernah ngomong jujur. Kalau nggak ada komitmen, nongkrong pun gampang batal. Kalau nggak ada akuntabilitas, janji ngumpul jam 7 jadi jam 9. Dan kalau cuek sama hasil, ya akhirnya circle itu bubar jalan. Sounds familiar?  

Akhirnya . . .

Patrick Lencioni mungkin nulis buat konteks bisnis, tapi menurut gue, The Five Dysfunctions of a Team itu kayak manual hidup. Karena pada akhirnya, hidup kita nggak pernah solo. Selalu ada “tim” yang nemenin perjalanan kita—entah itu di kantor, rumah, atau circle pertemanan.

Dan yang bikin gue makin yakin: keberhasilan terbesar bukan saat kita kelihatan paling hebat, tapi saat kita bisa bikin tim kita main harmonis. Kayak band yang bikin penonton teriak “encore!”, bukan karena solo gitarisnya doang, tapi karena musiknya nyatu.

Jadi pertanyaannya sekarang, lo mau jadi bagian dari band yang berisik, atau band yang bikin dunia merinding?


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#Leadership #Teamwork #CareerGrowth #PersonalDevelopment #GenZProfessional #PatrickLencioni #Collaboration #Trust #WorkCulture

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *