Pernah nggak sih lo ngerasa insecure gara-gara scrolling timeline? Gue pernah.

Di saat orang lain keliatan produktif banget—posting konten tiap hari, engagement ribuan, followers nambah terus—gue malah stuck mikirin: “Apa iya tulisan gue cukup berharga buat dibaca orang?”

Waktu itu gue kayak orang yang lagi bawa lilin di tengah kota penuh lampu neon. Lilin gue kecil, redup, gampang padam kena angin. Sementara di luar sana, media sosial kayak Times Square—terang benderang, riuh, dan semua orang pengen tampil paling mencolok.

Di situlah gue mikir: “Kalau lilin gue mau kelihatan, harus gue taruh di tempat yang tepat. Bukan sekadar di timeline yang keesokan harinya bakal ketiban konten lain.”

Dan di titik itulah gue sadar—buku adalah wadah lilin itu.

Era Digital = Ladang Emas, Tapi Juga Hutan Bising
Kita hidup di zaman yang luar biasa. Data dari We Are Social (2024) bilang, ada 5,35 miliar pengguna internet di dunia, dan 5,04 miliar di antaranya aktif di media sosial. Rata-rata orang Indonesia? 3 jam 5 menit sehari di sosmed.

Artinya? Peluang gede banget buat bangun personal branding di media sosial.

Tapi ada masalah serius: noisiness.

Setiap menit, ada:

500 ribu tweet baru di X,
1 juta postingan IG story,
30 juta pesan WhatsApp,
dan lebih dari 500 jam video diunggah ke YouTube.

Konten lo yang niat banget? Bisa lenyap begitu aja kayak butiran debu di badai.

Makanya, meskipun sosmed powerful, sifatnya instan dan sementara. Hari ini trending, besok basi.

Buku = Monumen Digital (dan Fisik)
Kalau sosmed itu kayak konser musik—rame, meriah, tapi cepat berlalu—buku itu kayak album studio yang bakal terus diputer meskipun konsernya udah selesai.

Buku bukan sekadar media. Dia adalah monumen personal branding. Kenapa? Karena:

Durability Postingan IG lo mungkin cuma hidup 24 jam di story, atau seminggu di timeline. Buku lo? Bisa ada di rak Gramedia, bisa dipinjem di perpustakaan, bisa jadi referensi akademis, bahkan bisa diwarisin ke anak cucu.
Authority Orang masih punya mindset gini: “Kalau dia nulis buku, berarti dia expert.” Data dari Nielsen BookScan nunjukin bahwa pembaca di Indonesia menilai penulis buku lebih kredibel dibanding sekadar influencer.
Intimacy Sosmed itu konsumsi cepat. Scroll → like → next. Buku? Orang butuh waktu, fokus, dan keterlibatan emosional. Itu bikin bonding lo sama pembaca jauh lebih dalam.

Biar nggak ngawang, gue kasih contoh.

Rene Suhardono dengan bukunya Your Job is Not Your Career. Sampai hari ini, tagline itu jadi brand positioning dirinya sebagai career coach.
Raditya Dika awalnya nulis buku Kambing Jantan. Dari situ, personal branding dia sebagai komika cerdas sekaligus storyteller kebentuk.
Najwa Shihab? Lewat Catatan Najwa, dia bukan sekadar presenter, tapi juga intelektual publik.

Dan banyak lagi penulis yang personal branding-nya makin kokoh karena punya buku sebagai legacy.

Buku Masih Dibaca Kok!
Lo mungkin mikir: “Tapi siapa sih yang masih baca buku sekarang? Semua orang kan maunya konten pendek.”

Eits, jangan salah.

Data Perpusnas 2023: minat baca masyarakat Indonesia meningkat jadi 65,36% (naik dari 59% di 2019). Penjualan buku di Gramedia digital juga tumbuh lebih dari 20% tahun ke tahun, terutama kategori self-improvement dan bisnis. Bahkan riset dari Pew Research Center (2023) bilang, 75% orang dewasa di dunia masih membaca minimal satu buku per tahun, meskipun bentuknya makin hybrid (ebook + audiobook).

Artinya, buku bukan barang jadul. Dia cuma bertransformasi.

Buku Itu Kayak Paspor
Bayangin lo mau jalan-jalan ke luar negeri. Bisa aja sih lo masuk tanpa paspor, tapi ribet dan sering nggak dianggap.

Nah, personal branding tanpa buku itu kayak masuk border tanpa paspor. Lo bisa jadi influencer di sosmed, tapi seringkali “authority” lo dipertanyakan.

Begitu lo punya buku, itu kayak stempel resmi. Orang langsung mikir: “Oke, dia serius. Dia punya kredibilitas.”

Jadi, Masih Relevan Nggak?
Jawaban pendeknya: YES, bahkan makin relevan.

Justru di tengah banjir konten instan, buku adalah cara lo untuk stand out. Lo nggak lagi sekadar jadi bagian dari keramaian, tapi lo bikin “monumen digital-fisik” yang tahan lama.

Di dunia yang serba cepat ini, kadang kita lupa: sesuatu yang tahan lama justru lebih bernilai. Sosmed bisa bikin lo viral semalam. Tapi buku bisa bikin lo diingat bertahun-tahun.

So, pertanyaannya bukan lagi: “Masih relevan nggak buku buat personal branding?” Tapi: “Kapan lo mulai nulis buku lo sendiri?”

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *