Lo pernah nggak, ketika lo punya ide keren—misalnya tulisan LinkedIn, konten video, service baru—mungkin lo udah excited banget.

Lo bayangin orang-orang baca, like, share, komentar: “Wow, keren!”

Tapi kenyataan: hanya beberapa orang aja yang nge-like, komentar pun standar—dan share? Hampir gak ada.

Lo mikir: “Kok bisa ya? Padahal ini bagus menurut gue…”


Saya pernah. Berkali-kali. Malah kadang ngerasa kalah sama orang yang sepertinya nggak lebih pintar atau nggak lebih kerja keras tapi… jadi rame. Frustasi, kan?
Nah, di momen itu saya ketemu buku “Contagious”. Dan itu bikin saya ngeliat: bukan soal ide bagus aja, tapi soal mengapa dan bagaimana ide itu bisa ‘menular’. Lo tahu gak—idea bisa aja bagus, tapi kalau nggak punya elemen yang bikin orang bilang “gue harus share ini!”, maka ya cuma ide bagus yang mati di feed.

Sebelum kita masuk ke inti buku dan pelajaran-nya, ayo kita bongkar dulu beberapa mitos yang sering bikin kita stuck:

Mitos #1: “Kalau ide gue bagus, orang otomatis bakal tahu dan share.”
Sayangnya nggak selalu. Menurut Berger: kualitas produk/ide memang penting, tapi bukan jaminan ide itu menular.
Contoh: Banyak konten bagus yang “tidak ditemukan” karena nggak punya mekanisme untuk tersebar.

Mitos #2: “Viral itu cuma karena ‘influencer besar’ atau ‘orang dengan banyak followers’ yang nge-share.”
Ternyata, bukan cuma itu. Berger menunjukkan bahwa ide yang menular bisa dari orang biasa—selama ide itu punya elemen yang tepat.
Jadi kita nggak harus jadi seleb atau punya jutaan followers untuk bikin konten yang viral.

Mitos #3: “Yang penting lo bikin banyak konten, terus semoga salah satunya meledak.”
Strategi volume saja kurang cukup. Lebih penting lo paham kenapa dan bagaimana konten itu menyebar. Tanpa itu, banyak konten yang bagus tapi “nggak keliatan”.

Oke, bayangin ini: Lo punya kearifan lokal yang luar biasa—misalnya resep warisan keluarga, cara unik membangun hubungan tim, atau metode transformasi budaya yang belum banyak orang tahu. Lo buka warung kecil di gang belakang—orang yang lewat bisa lihat papan nama lo, tapi karena gangnya sepi, pengunjung hanya beberapa saja tiap hari.

Sekarang bayangin lo pindahkan warung itu ke jalan raya yang ramai, pasang lampu neon, desain etalase yang eye-catching, lo kasih gratis sampel yang bikin orang ngomong: “Wah, ini beda!” Maka pengunjung mulai ramai, foto-foto, share ke temannya, dan warung lo jadi viral di kawasan itu.

Itu analogi dari buku “Contagious”. Ide lo ibarat warung tadi—untuk ‘menular’, lo butuh lokasi (visibility), signage (social currency), rasa yang bikin orang bilang ke temannya (emotion), dan elemen yang membuat orang mengingatkan teman-temannya (triggers). Buku ini ngasih kerangka yang jelas buat bikin “warung ide” lo tersebar.

Inti Pelajaran dari Contagious & Penerapannya

Dalam buku ini, Berger merinci 6 prinsip utama (akronim STEPPS) yang membuat ide/produk menjadi menular: Social Currency, Triggers, Emotion, Public, Practical Value, dan Stories. Berikut bagaimana saya mengaplikasikannya ke kehidupan profesional saya (dan bagaimana lo bisa juga) supaya kita bisa sukses dan bahagia—not hanya “viral”, tapi punya dampak dan arti.

1. Social Currency – “Biar orang merasa keren saat share ide kita”

Maksudnya: orang suka share hal yang bikin mereka tampak “smart”, “in-the-know”, “insider”.
Aplikasi:

  • Waktu saya membangun tulisan LinkedIn, saya mulai dengan insight yang jarang orang bahas—misalnya “kenapa transformasi budaya sering gagal walau teknologi oke”. Orang baca, lalu merasa “wow, gue baru tahu” dan akhirnya mereka share.

  • Buat lo: cari sudut pandang unik dari keahlian lo. Jangan cuma “5 tips produktivitas”—tapi “5 kesalahan rahasia yang bikin tim gagal produktivitas” (jadi pembaca merasa punya akses ke rahasia).

  • Sisipkan elemen “insider” atau “behind the scenes” yang orang lain nggak tahu.

2. Triggers – “Menghubungkan ide kita dengan pemicu sehari-hari”

Trigger = stimulus yang membuat ide kita muncul di pikiran orang pada momen tepat.
Aplikasi:

  • Saya mulai rutin membuat konten setiap Jumat sore dengan tema “Refresh & Reflect”—karena Jumat sore biasanya orang mikir “apa yang gue capai minggu ini?”. Maka ide saya otomatis “dipanggil”.

  • Untuk lo: pikirkan kapan audiens lo mikir tentang masalah yang lo selesaikan. Kira-kira kapan mereka butuh ide lo? Buat konten yang muncul pas momen itu.

3. Emotion – “Orang mau share karena mereka merasa sesuatu”

Buku ini bilang: bukan semua emosi sama. Yang bikin share adalah emosi dengan arousal tinggi (misalnya kegembiraan, kekaguman, kemarahan) bukan yang santai-tenang. 
Aplikasi:

  • Saya tulis cerita pengalaman transformasi yang gagal—sentuh frustrasi, kemarahan, tapi kemudian deg-degan dan kemenangan. Pembaca jadi “merasakan” bukan cuma “mengetahui”.

  • Buat lo: saat bikin artikel, jangan cuma “ini cara” tapi “ini cerita gue yang bikin lo ngerasain” (sehingga pembaca merasa ikut).

  • Gunakan visual atau kata-kata yang memancing emosi: “gugup”, “terkejut”, “bete”, “bangga”.

4. Public – “Biar ide kita kelihatan orang lain juga”

Kalau ide/produk lo terlihat sedang digunakan oleh banyak orang, maka orang lain akan tertarik ikut. Ini soal visibility/social proof.
Aplikasi:

  • Di postingan saya: saya share screenshot testimoni tim, hasil workshop, aktivitas nyata—bukan cuma kutipan ideal. Jadi orang lain bisa “lihat” bahwa metode saya dipakai.

  • Untuk lo: dokumentasikan working process lo, ambiente kerja lo, tim lo sedang praktek—biar publik tahu lo bukan cuma bicara tapi melakukan.

  • Jangan sembunyi di balik “kami” saja—tampilkan face, tangan, proses agar terlihat “real”.

5. Practical Value – “Buat konten lo berguna banget”

Orang suka share karena mereka merasa “ini berguna untuk orang lain”.
Aplikasi:

  • Saya tulis posting “3 alat gratis yang bisa tim lo pakai untuk tracking budaya tanpa software mahal”—langsung bisa dipraktekkan.

  • Lo: fokus pada one-tight tip atau insight yang bisa diterapkan segera. Hindari jargon berat.

  • Buat judul jelas: “Bagaimana saya…” atau “Cara sederhana…” supaya pembaca tahu ada nilai.

6. Stories – “Ide lo dibungkus dalam narasi yang mudah dibagikan”

Ide lo nggak cuma fakta—tapi cerita yang bisa diceritakan ulang.
Aplikasi:

  • Posting saya: mulai dengan “Waktu saya duduk di meja CEO dan merasa saya kehilangan makna…” lalu berkembang jadi solusi. Orang bisa ingat kisah itu dan akhirnya share.

  • Lo: buat konten dengan tokoh (bisa diri sendiri), tantangan, transformasi, hasil—jadi pembaca bisa bilang “Kamu harus baca ini…” ke temannya.

Misalnya saya punya ide “Mentoring LinkedIn untuk profesional yang merasa nggak dilihat”. Saya aplikasikan semua elemen di atas:

  • Social Currency: Saya tulis “3 rahasia profil LinkedIn yang HR itu gak pernah bilang tapi mereka cek tiap profil” → pembaca merasa punya akses ke rahasia.

  • Trigger: Saya posting setiap Senin pagi ketika banyak orang mulai kembali ke kerja setelah weekend—pas moment mereka mikir “gua harus lebih dilihat”.

  • Emotion: Saya mulai cerita dengan “Saya pernah ditolak klien karena profil saya nggak ‘nunjuk’. Lo bisa bayangin betapa kagetnya saya…” → emosi muncul.

  • Public: Saya share screenshot DM klien yang bilang “Thanks bro, akhirnya saya dapat klien lewat profil saya” → bukti nyata.

  • Practical Value: Saya kasih “Checklist 10-poin optimasi headline LinkedIn” yang bisa langsung dipakai.

  • Story: Saya tutup dengan kisah seorang profesional yang dulu terlupakan dan kemudian dapat tawaran kolaborasi besar setelah optimasi—jadi pembaca bisa ingat dan ceritakan.

Hasilnya? Engagement naik, orang mulai mention teman mereka, share posting, dan beberapa akhirnya daftar ke program saya. Dan yang hebat: saya nggak hanya “viral”, tapi punya dampak—dan itu bikin saya bahagia karena saya bisa bantu orang lain.

Kenapa Semua Ini Bisa Bikin Hidup Kita Sukses & Bahagia

Karena sering kita mengejar “viral” sebagai tujuan, bukan proses. Kita mau cepat terkenal, cepat banyak like—tapi banyak yang lupa bahwa sharing yang bermakna itu punya 2 dimensi: dampak dan konektivitas. Buku “Contagious” bukan cuma ngajarin cara konten tersebar—tapi bagaimana ide kita bisa nyambung ke orang lain, membuat mereka merasa dihargai, diberikan nilai, dan akhirnya kita juga merasa bahwa pekerjaan kita bermakna.
Ketika ide kita tersebar dengan benar, kita dapat :

  • Pengakuan (tapi bukan cuma “wow banyak like”, melainkan orang yang pantas melihat kita)

  • Relasi yang lebih dalam (teman, klien, partner yang benar-benar align)

  • Kebahagiaan karena kita nggak cuma “eksis”, tapi berdampak

Dan ketika kita bahagia dengan proses, bukan cuma hasil, maka kita bisa tahan saat hasil belum datang—karena kita tahu kita sedang menanam dan bukan sekadar berharap panen instan.

Penutup

Jadi teman-teman, kalau lo punya ide, karyamu, atau lo pengen naik level di LinkedIn—ingat ini: ide bagus saja nggak cukup. Lo butuh elemen yang bikin orang “gamau berhenti ngomongin ini”. Gunakan kerangka STEPPS dari buku “Contagious”: social currency, trigger, emotion, public, practical value, dan stories.
Mulai sekarang: bukan hanya bikin konten, tapi bikin ide yang menular. Bukan hanya diceritakan sekali, tapi dibawa ke diskusi, ke feed teman-teman lo, ke jaringan lo.

Lalu, bagaimana penerapannya di LinkedIn? Sudahkah lo memaksimalkan bercerita di LinkedIn untuk menarik peluang?

Kamu tahu nggak, di balik satu postingan cerita yang relate banget di LinkedIn… bisa tersembunyi proyek puluhan juta, ajakan kolaborasi, bahkan tawaran kerja?

Masalahnya, banyak orang masih mikir LinkedIn tuh cuma tempat pamer CV. Padahal sekarang, orang lebih pengen baca cerita jujur yang ngena — bukan caption sok profesional yang kaku dan nggak ada rasanya.

 

Kalau kamu pernah:

❌ Bingung mau nulis apa di LinkedIn

❌ Ngerasa punya cerita tapi takut “nggak penting”

❌ Udah posting, tapi nggak ada yang engage

❌ Pengen dapet cuan dari personal branding…

 

Berarti kamu wajib ikut sesi ini!

LinkedIn Storytelling: Menyulap Cerita Menjadi Peluang

 

Dalam 2 jam, kita bakal bahas:

✅ Gimana nulis cerita yang bikin orang ngeh dan nempel

✅ Formula storytelling yang nyambung ke goal (kerjaan, cuan, klien)

✅ Rahasia bikin CTA yang nggak maksa tapi ngena

✅ Studi kasus konten yang viral & hasilin proyek

 

Kamu nggak perlu jago nulis. Cukup punya niat bercerita, sisanya kita pelajari bareng-bareng.

Daftar sekarang, kursi terbatas. Karena cuan dimulai dari cerita — dan cerita kamu belum tentu bisa nunggu minggu depan.

Mari kita mulai dari satu ide kecil—yang dengan struktur dan eksekusi yang tepat bisa jadi gelombang besar. Jangan tunggu viral dengan sendirinya; bikinlah agar viral itu logis.

#Contagious #JonahBerger #Virality #PersonalBranding #LinkedInTips #IdeaSpread #ContentStrategy #Storytelling #SocialCurrency #Triggers

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *