Aku nggak akan bohong: pernah banget gue merasa gagal.
Lulus kuliah dengan statistik OK, kerja keras kirim ratusan lamaran, bikin portofolio. Tapi entah kenapa—seringnya jawaban “terima kasih atas minat Anda”.
Kenyataannya, gue mikir: “Kenapa bukan gue yang dipanggil?”
Gue merasa kayak pesepakbola cadangan—standby, tapi nggak pernah dapat giliran main.
Dan pas malam itu, di sudut kamar, sambil scroll feed Instagram teman yang udah “sukses”, gue nanya ke diri sendiri:
“Apa memang gue nggak beruntung?”
Saat itulah gue ketemu buku The Luck Factor, dan seakan lampu sorot menyinari sudut gelap yang selama ini gue hindari: keberuntungan bukan hanya soal ‘ketemu orang tepat’ atau ‘dapat panggilan kerja aja’. Iya, sebagian besar kita punya mitos tentang “lucky-kid” yang tiba – tiba sukses. Tapi buku ini bilang: tidak seperti itu.
Mitos 1: “Orang sukses itu sudah lahir beruntung.”
➡️ Wiseman menemukan bahwa nggak ada perbedaan signifikan dari sisi IQ atau kemampuan “magis” antara yang merasa beruntung dan yang nggak.
Mitos 2: “Kalau belum berhasil, berarti kurang kerja keras.”
➡️ Memang kerja keras penting, tapi mereka yang “beruntung” punya pola pikir & kebiasaan yang terstruktur — bukan cuma kerja keras acak.
Mitos 3: “Keberuntungan itu soal kesempatan aja.”
➡️ Kesempatan memang faktor, tapi apa yang dilakukan setelahnya (action) yang jadi pembeda besar.
Jadi, kalau selama ini kamu bilang “ya sudahlah, mungkin aku nggak beruntung saja”, yuk kita ubah narasi itu.
Bayangin deh: kamu punya papan skate. Banyak orang cuma berdiri saja dan berharap skateboard nya berjalan sendiri. Tapi yang “beruntung” bukan hanya punya papan—mereka mendorongnya, mereka melatih keseimbangan, mereka melihat rintangan sebagai tempat trik, bukan penghalang.
Dalam analogi ini:
-
Papan skate = hidup kita dengan segala potensi & kesempatan.
-
Dorongan = kebiasaan yang dibangun.
-
Rintangan = kegagalan, tantangan, “tidak dipanggil-panggi.”
-
Trik-nya = pola pikir + aksi + disiplin.
Buku The Luck Factor menunjukkan bahwa orang yang merasa “beruntung” melakukan keempat hal ini secara konsisten.
Inti: Pelajaran Utama dari The Luck Factor
Berdasarkan riset Wiseman, ada empat prinsip utama yang dilakukan orang beruntung.
Dan gue akan ceritain tiap satu—plus bagaimana lo bisa terapkan di hidup sehari‐hari:
1. Maximise Chance Opportunities (Menciptakan & Mengenali Peluang)
Orang yang beruntung aktif mencari peluang: ngobrol dengan orang baru, ikut acara, mencoba hal baru.
Contoh aplikatif:
Setiap minggu, lo tentukan “target mini” misalnya: “Aku akan ngobrol dengan dua orang di LinkedIn yang punya latar berbeda.” Nggak usah mikir besar—mulai dari kopi virtual, komentar tulus. Detik demi detik, koneksi lo melebar dan lo mungkin nemu peluang yang nggak lo duga.
2. Listen to Lucky Hunches (Percaya pada Intuisi)
Banyak “beruntung” punya naluri yang mereka dengar—mereka nggak selalu tunggu “bukti lengkap.”
Contoh aplikatif:
Ketika ada insting kecil dalam dirimu bilang: “Mungkin aku harus kirim email ke X” walau belum 100 % yakin—ya lakukan saja. Siapa tahu itu lead yang berubah jadi kolaborasi. Catat setelahnya: apa hasilnya? Nilai apakah intuisi itu benar. Latihan bikin naluri makin tajam.
3. Create Self-Fulfilling Prophecies via Positive Expectations (Ekspektasi Positif)
Mereka yang merasa “beruntung” punya keyakinan bahwa akan terjadi hal baik—ini bukan sekadar harapan kosong, tapi motivasi untuk bertindak.
Contoh aplikatif:
Setiap pagi, sempatkan diri 1 menit bilang ke diri sendiri: “Hari ini aku terbuka buat peluang, aku pantas mengalami keberhasilan.” Nggak usah berlebihan, cukup konsisten. Keyakinan kecil itu bikin kamu lebih energik, lebih aktif, lebih siap bertindak.
4. Turn Bad Luck into Good (Mengubah Kendala Jadi Peluang)
Kegagalan itu bukan akhir. Orang “beruntung” sering melihat sisi baik dari situasi buruk—dan bergerak dari sana.
Contoh aplikatif:
Misal kamu ditolak suatu proyek atau nggak dapat job yang kamu pengen. Alih-alih nyalahin diri sendiri, tanyakan: “Apa yang bisa aku belajar? Siapa yang bisa aku hubungi selanjutnya? Bagaimana aku bisa memperbaiki?” Dengan mindset ini, ‘penolakan’ jadi titik start baru.
Kenapa Ini Penting Buat Kita?
Karena banyak dari kita nunggu “sinyal luar” untuk mulai—“nanti kalau ada orang,” “kalau ada kesempatan,” “kalau keberuntungan datang.” Padahal buku ini ngajarin: kamu bisa menciptakan keberuntunganmu sendiri lewat kebiasaan + pikiran + aksi.
Gue sendiri sejak mengenal empat prinsip ini mulai menerapkannya:
-
Rutin ikut acara networking, dan justru lebih memilih acara kecil karena jadi lebih gampang ngobrol.
-
Ketika ada firasat bahwa sebuah topik tulisan gue harus diubah arah, gue dengarkan—ternyata jadi artikel yang banyak dibaca.
-
Ketika proyek gagal, gue nggak larut sedih—gue cek ulang, gue adaptasi, lalu cari peluang baru yang lebih pas buat gue.
Hasilnya? Gradually peluang muncul, kolaborasi datang, dan rasa “beruntung” dalam arti bukan sekadar keberuntungan luar, tapi “aku bikin keberuntunganku sendiri.”
Tips Praktis Buat Kamu Mulai Sekarang Juga
-
Buat daftar kecil mingguan: satu orang baru yang akan kamu hubungi, satu ide baru yang akan kamu eksekusi, satu refleksi atas kegagalan kemarin.
-
Catat intuisi atau firasat yang muncul—dan lakukan satu langkah kecil darinya.
-
Tuliskan satu hal positif yang kamu harapkan terjadi minggu ini—lalu rencanakan aksi untuk itu.
-
Ketika hal nggak berjalan sesuai harapan: jangan berhenti. Tanyakan “Apa yang bisa kuubah?” lalu coba lagi.
Penutup
Gue pengen lo tahu: bukan soal gimana nasib lo dari lahir. Tapi gimana lo respon terhadap hidupmu.
Mulai dari sekarang, lihat dirimu bukan sebagai korban “tak beruntung,” tetapi sebagai pembuat peluang, pendengar intuisi, pembawa ekspektasi positif, dan pejuang yang nggak takut gagal.
Karena keberuntungan sebenar-benarnya bukan hanya soal “dipilih,” tapi soal “memilih.”
Kamu memilih untuk bertindak, memilih untuk terbuka, memilih untuk terus bangkit.
Dan ketika lo mulai jalanin itu—entah lo merasa “beruntung” atau nggak—lo akan tahu: yang selama ini lo tunggu sebenarnya ada di dalam diri lo sendiri.
Leave a Reply