Jujur aja: saya juga pernah merasa waktu melawan saya.
Ada masa ketika kalender saya seperti monster yang menelan hari-hari saya.
Sebagai personal branding consultant, jadwal meeting berlapis. Sebagai author, saya harus menjaga jam menulis biar naskah nggak mandek. Lalu sebagai public speaker, weekend yang seharusnya buat recharge malah sering diisi acara.
Sampai suatu malam, saya sadar:
Saya terus berbicara di panggung tentang “menata hidup, membangun personal brand yang autentik”, tapi saya sendiri kehilangan kendali atas hidup saya. Ironi banget.
Saya merasa waktu melawan saya.
Saya pikir saya hanya kekurangan waktu. Tapi ternyata bukan itu masalahnya.
Masalahnya: saya nggak benar-benar tahu kemana waktu saya pergi.
Kita sering bilang, “Aku sibuk banget, nggak ada waktu.”
Padahal kalau jujur, kita ada waktu — cuma nggak sadar ke mana perginya.
Laura Vanderkam dalam bukunya “168 Hours: You Have More Time Than You Think” menulis satu kalimat yang jadi tamparan lembut buat saya:
“We don’t build the lives we want by saving time. We build the lives we want, and then time saves itself.”
Kita sering percaya mitos bahwa waktu itu “nggak cukup.”
Padahal bukan soal kekurangan jam, tapi kekurangan kesadaran.
Kita punya 168 jam setiap minggu. Tapi karena nggak dirancang, waktu itu bocor:
➡️ 2 jam scroll TikTok buat “refreshing” tapi malah capek.
➡️ 4 jam meeting yang bisa diganti satu email.
➡️ 3 jam ngerasa “sibuk” tapi nggak jelas hasilnya.
Waktu nggak pernah kurang. Kita aja yang kadang nggak tahu cara memakainya.
Coba bayangin kamu punya 168 juta rupiah tiap minggu.
Kamu bebas pakai buat apa aja — kerja, istirahat, keluarga, mimpi pribadi.
Tapi ada satu syarat:
Kalau kamu nggak pakai dengan bijak, uang itu hilang.
Nggak bisa disimpan, nggak bisa diulang.
Waktu juga begitu.
Setiap minggu kita “dapat” 168 jam segar, tapi karena nggak dikelola, dia lenyap tanpa bekas.
Dan sama seperti uang, waktu yang kita investasikan dengan sadar — ke hal yang benar-benar penting — akan memberi return paling tinggi: berupa makna, ketenangan, dan rasa puas yang nggak bisa dibeli.
Pelajaran yang saya ambil dari “168 Hours” dan gimana saya menerapkannya
Buku ini bukan sekadar tentang manajemen waktu. Ini tentang manajemen hidup.
Berikut empat pelajaran utama yang bener-bener mengubah cara saya melihat waktu — dan mungkin bisa juga buat kamu.
Pelajaran #1: Track dulu sebelum kamu mengubah
Waktu itu kayak uang — kamu nggak bisa mengatur apa yang kamu nggak tahu.
Laura menyarankan untuk mencatat selama satu minggu penuh ke mana waktu kamu pergi.
Saya coba, dan hasilnya bikin kaget.
Ternyata saya menghabiskan rata-rata:
-
9 jam seminggu di WhatsApp Groups (banyak yang nggak penting),
-
6 jam di perjalanan antar meeting (padahal bisa online),
-
dan hampir 4 jam seminggu “menunda nulis” tapi scrolling timeline.
Saya mulai sadar, saya nggak kekurangan waktu, saya cuma nggak mengarahkan waktu.
Aplikasi buat kamu:
Coba catat aktivitasmu 7 hari penuh.
Jujur aja ke diri sendiri.
Nanti kamu akan lihat: banyak jam yang bisa “diambil kembali”.
Pelajaran #2: Fokus ke “core competencies” pribadi
Vanderkam bilang:
“Do more of what only you can do.”
Sebagai personal branding consultant, ini jadi refleksi besar buat saya.
Saya sempat kejebak jadi “konsultan serba bisa”: mau handle semua, dari desain pitch deck sampai bantu klien bikin caption Instagram. Tapi itu bukan core competency saya. Core saya adalah membantu orang menemukan keunikan dan mengekspresikannya dengan berani.
Begitu saya sadar, saya stop ngurus hal teknis yang bisa didelegasikan.
Saya fokus di zona genius saya: thinking, writing, speaking.
Dampaknya luar biasa: produktivitas naik, kualitas kerja meningkat, dan energi mental jauh lebih stabil.
Aplikasi buat kamu:
Tanya diri sendiri:
“Kalau saya hanya boleh melakukan 3 hal minggu ini, apa yang benar-benar bikin saya maju?”
Sisanya? Delegasikan, sederhanakan, atau hilangkan.
Pelajaran #3: Blok waktu untuk yang penting — bukan cuma yang mendesak
Saya dulu tipe yang “selalu available.” Notifikasi hidup, WA aktif, semua bisa ganggu.
Sampai saya sadar: kalau saya nggak blok waktu buat hal penting, dunia akan mengisinya dengan hal mendesak.
Sekarang, saya punya 3 ritual waktu sakral tiap minggu:
-
Creative Block (Selasa pagi, 09.00–11.00) — hanya untuk menulis atau riset ide baru. No meeting.
-
Mentoring Block (Kamis sore, 16.00–18.00) — coaching 1-2 orang mentee.
-
Recharge Block (Sabtu pagi) — waktu tanpa gadget, cuma buat olahraga dan refleksi.
Tiga blok kecil ini membuat hidup saya terasa “utuh”.
Saya kembali merasa punya kendali — bukan dikuasai jadwal.
Aplikasi buat kamu:
Buka kalendermu. Pilih 3 waktu di minggu depan.
Tulis di sana:
1 blok untuk growth,
1 blok untuk connection (keluarga/teman),
1 blok untuk rest.
Lindungi blok itu kayak kamu melindungi janji penting.
Pelajaran #4: Desain hidup, bukan sekadar isi waktu
Buku ini bikin saya sadar: life design itu nyata.
Waktu bukan cuma wadah, tapi alat untuk membangun hidup yang kamu mau.
Kita sering nunggu “nanti kalau udah sempat”.
Padahal waktu nggak pernah ngasih “sempat” kalau kita nggak ngambilnya sendiri.
Sekarang saya desain minggu saya kayak bikin playlist:
-
Ada lagu “energi tinggi” (kerja, coaching, speaking).
-
Ada lagu “chill” (waktu baca, journaling).
-
Ada lagu “healing” (waktu bareng keluarga atau nonton konser).
Dengan ritme itu, saya bisa kerja keras tapi tetap bahagia.
Saya bisa produktif tapi tetap punya ruang untuk jadi manusia — bukan robot performa.
Biar lebih real: kisah “Dina”, klien saya yang selalu bilang ‘aku nggak punya waktu’
Dina, seorang marketer di startup besar, datang ke saya dan bilang:
“Mas Agung, aku pengen bangun personal branding di LinkedIn, tapi nggak punya waktu nulis.”
Saya tanya:
“Berapa jam kamu pakai buat scroll LinkedIn tiap hari?”
Dia jawab, “Mungkin 1 jam?”
Saya senyum.
“Itu artinya kamu punya 7 jam seminggu. Cukup buat 2 artikel dan 3 posting.”
Kita bikin plan sederhana:
-
30 menit tiap pagi buat brainstorming ide,
-
1 jam Sabtu pagi untuk nulis,
-
dan 15 menit Senin sore untuk posting & engage.
Dua bulan kemudian, posting-nya konsisten, followers naik, dan—yang paling penting—dia bilang, “Aku sekarang ngerasa hidupku lebih rapi, bukan cuma branding-ku.”
Itulah intinya: bukan sekadar manajemen waktu, tapi manajemen energi dan arah.
Reality check: semua ini perlu disiplin dan keberanian bilang “tidak”
Nggak semua orang bisa langsung fleksibel.
Tapi yang pasti: semua orang bisa lebih sadar.
Menata waktu bukan berarti kamu harus jadi super-produktif.
Artinya kamu berani menolak hal-hal yang tidak penting, agar bisa memberi tempat untuk yang penting.
Dan kadang yang penting itu bukan kerja, tapi…
tidur, ngobrol sama pasangan, atau jalan kaki tanpa earphone.
Itu pun bagian dari 168 jam-mu.
Dan itu sah.
Akhirnya saya sadar: waktu bukan musuh, waktu itu cermin.
Dia menunjukkan apa yang sebenarnya penting buat kita.
Kalau minggu ini kamu nggak punya waktu buat hal yang kamu bilang penting —
mungkin hal itu belum benar-benar penting buatmu sekarang.
Dan itu nggak apa-apa.
Yang penting kamu sadar.
Karena begitu kamu sadar, kamu bisa memilih.
Dan begitu kamu memilih, kamu mulai punya arah.
Saya nggak lagi mau hidup dalam ilusi “waktu tak cukup”.
Saya mau hidup dalam kesadaran bahwa setiap minggu, Tuhan kasih saya 168 jam —
dan terserah saya mau isi dengan apa.
Dari saya, untuk kamu yang sering merasa kejar-kejaran dengan waktu
Saya tahu rasanya kehilangan arah di tengah kesibukan.
Tapi percayalah: kamu nggak butuh lebih banyak waktu.
Kamu cuma butuh lebih banyak kejelasan.
Dan kalau kamu bisa memaknai waktu bukan sebagai beban,
tapi sebagai ruang untuk tumbuh, mencipta, dan berbagi —
kamu nggak cuma akan lebih produktif,
tapi juga lebih hidup.
Challenge buat kamu minggu ini
-
Catat waktu kamu selama 7 hari.
-
Tentukan 3 hal yang paling penting buat kamu.
-
Jadwalkan mereka duluan di kalendermu.
Lihat perubahan yang terjadi.
Kamu akan kaget: ternyata waktu memang selalu cukup,
asal kamu nggak ngisinya dengan hal yang salah. –
Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:
#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #PersonalBranding #TimeManagement #168Hours #SelfDevelopment #LifeDesign #WorkLifeBalance #Productivity #MindfulLiving #LinkedInIndonesia #AgungWibowoWrites
Leave a Reply