Di banyak sekolah dasar negeri, terutama di pelosok Indonesia, anak-anak masih datang ke kelas dengan perut kosong. Ada yang hanya sarapan teh manis, ada pula yang menunggu jam istirahat dengan menahan lapar. Pemandangan itu, sayangnya, masih menjadi kenyataan di negara yang menyebut dirinya sebagai lumbung pangan tropis.
Karena itu, ketika pemerintah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), banyak dari kita menyambutnya dengan harapan besar. Akhirnya, negara hadir di meja makan anak-anak. Akhirnya, kita bicara tentang gizi bukan hanya di seminar, tapi di dapur sekolah.
Namun di balik semangat besar itu, ada kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Anggaran MBG yang membengkak dari Rp 71 triliun tahun ini menjadi Rp 335 triliun pada 2026 menimbulkan tanya yang sahih: apakah birokrasi kita siap mengelola program sebesar itu secara efektif, akuntabel, dan berkelanjutan?
Hingga Agustus 2025, serapan anggaran baru mencapai 18,3 persen. Angka itu seperti sinyal bahwa kita sedang berlari dengan sepatu yang belum terikat rapat. Uang ada, niat baik ada, tapi sistem belum siap. Di sinilah letak ujian terbesarnya: bagaimana menjadikan kebijakan ini bukan sekadar proyek politis, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan manusia Indonesia.
Sejatinya, Makan Bergizi Gratis bukan program bantuan sosial. Ia adalah strategi pembangunan manusia. Di balik setiap kotak makan siang yang dibagikan, tersimpan upaya menekan angka stunting, meningkatkan daya belajar, dan memperkuat keadilan sosial. Tapi sebagaimana banyak niat baik di negeri ini, idealisme sering kali tersandung pada realitas.
Distribusi di wilayah 3T masih jauh dari merata. Akses logistik terbatas, dapur umum belum siap, dan banyak daerah yang bahkan tidak punya tenaga ahli gizi. Jika ini tidak segera diatasi, maka anak-anak di perkotaan akan makan daging ayam, sementara mereka di pulau terluar masih menunggu beras datang dengan kapal logistik yang terlambat.
Belum lagi persoalan akuntabilitas. Dengan dana sebesar itu, celah penyimpangan akan selalu terbuka. Tanpa sistem pengawasan publik yang kuat, MBG bisa berubah dari “makan bergizi” menjadi “makan anggaran.” Karena itu, transparansi dan partisipasi masyarakat bukan pilihan, melainkan keharusan moral.
Pelajaran dari Negara-Negara Lain
Untuk belajar, kita bisa menengok ke luar negeri. Brasil, misalnya, sudah menapaki jalan ini sejak 1940-an melalui Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE). Program mereka kini menjangkau lebih dari 40 juta siswa dan wajib membeli sebagian bahan pangan dari petani lokal. Artinya, setiap kali anak Brasil makan di sekolah, petani di desanya ikut hidup. Sistem mereka sederhana, tapi filosofinya dalam: gizi untuk anak, kesejahteraan untuk rakyat.
India juga punya kisah serupa. Melalui Mid-Day Meal Scheme, lebih dari 100 juta anak menerima makan siang gratis setiap hari. Dampaknya nyata: tingkat kehadiran siswa naik, putus sekolah menurun, dan prestasi belajar meningkat. Namun India juga belajar keras—mereka sempat menghadapi kasus keracunan massal karena lemahnya standar sanitasi. Dari situ, pemerintahnya membenahi sistem pelatihan dapur sekolah dan memperketat pengawasan pangan.
Dari Finlandia hingga Swedia, negara-negara maju juga menjadikan makan siang sekolah sebagai bagian dari sistem kesejahteraan publik. Menariknya, riset di Inggris menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapat makan siang gratis bukan hanya lebih sehat, tapi juga memiliki kemampuan membaca yang lebih baik. Sebuah bukti sederhana bahwa gizi dan literasi berjalan seiring.
Lalu bagaimana dengan kita?
PR Besar Indonesia
Indonesia tentu tak bisa meniru mentah-mentah model luar negeri, tapi kita bisa belajar semangatnya: mulai dari yang kecil, bertahap, dan berbasis lokal. Tidak semua kabupaten siap menjalankan program ini dengan kapasitas yang sama. Maka, daripada menggulirkan program nasional serentak, akan lebih bijak jika MBG dimulai sebagai pilot project di wilayah-wilayah dengan kesiapan tertinggi—sambil menyiapkan daerah lain melalui pelatihan, pembangunan dapur sekolah, dan pendampingan SDM.
Kita juga perlu memastikan bahan pangan berasal dari sekitar sekolah. Kalau beras, sayur, dan ikan datang dari petani dan nelayan lokal, maka program ini bukan hanya menyehatkan anak, tapi juga menggerakkan ekonomi desa. Gizi yang baik seharusnya tidak datang dari impor, tapi dari tanah yang kita pijak sendiri.
Ada satu hal lagi yang sering terlupa: pendidikan gizi.
Program sebesar ini tidak akan bertahan lama jika masyarakat tidak memahami mengapa gizi penting. Anak-anak perlu diajari mencintai sayur, mengenal sumber protein, dan menghargai makanan sehat. Sekolah, keluarga, dan pemerintah seharusnya berjalan seiring dalam membangun budaya makan sehat—bukan sekadar membagikan porsi harian.
Karena itu, keberhasilan MBG tidak diukur dari berapa juta kotak makan dibagikan, tetapi dari berapa banyak anak yang tumbuh lebih sehat, lebih cerdas, dan lebih peduli terhadap tubuh serta lingkungannya.
Sebagai warga, saya tidak ingin program ini gagal hanya karena tergesa-gesa. Kita sudah terlalu sering menyaksikan program besar berakhir sebagai laporan administrasi, bukan perubahan nyata. MBG bisa menjadi tonggak sejarah, tapi juga bisa menjadi catatan pahit jika dijalankan tanpa kesiapan.
Kuncinya ada pada tata kelola, transparansi, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu menggandeng ahli gizi, akademisi, petani lokal, hingga organisasi masyarakat sipil untuk mengawal program ini. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban fiskal yang tidak produktif.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar keberhasilan program, melainkan masa depan bangsa.
Sebab dari piring-piring kecil itulah lahir generasi besar.
Dan dari cara negara memberi makan anak-anaknya, kita bisa menilai seberapa serius ia mencintai rakyatnya.
Leave a Reply