Pernah terpikir untuk menulis buku, tapi selalu mentok di halaman pertama?

Atau sudah mulai, tapi ujungnya draft-nya jadi file yang tidak pernah dibuka lagi?

Tenang. Anda tidak sendirian.

Sebagai ghostwriter selama 17 tahun, saya sudah membantu ratusan figur publik — dari pengusaha, artis, anggota DPR, hingga menteri — untuk mengubah ide mereka menjadi buku yang hidup, menyentuh, dan berdampak. Dan setelah sekian lama berkecimpung di dunia ini, saya menemukan satu hal: banyak calon penulis hebat gagal bukan karena mereka tak punya cerita, tapi karena mereka tak tahu bagaimana cara menulisnya dengan benar.

Itulah kenapa tulisan ini saya buat — khusus untuk Anda, para decision maker dan public figure yang punya cerita, pencapaian, dan visi luar biasa, tapi ingin menyampaikannya lewat buku dengan cara yang strategis, elegan, dan profesional.

Mengapa Buku Penting bagi Seorang Public Figure

Di era digital yang serba cepat, buku bukan sekadar kumpulan tulisan — tapi legacy document.
Sebuah karya yang menegaskan siapa Anda, apa yang Anda perjuangkan, dan bagaimana dunia bisa belajar dari perjalanan hidup Anda.

Bayangkan buku sebagai versi terbaik dari Anda yang bisa hadir kapan pun, di mana pun, tanpa Anda perlu bicara langsung. Ia menjadi alat pengaruh, media edukasi, dan sekaligus branding tool yang paling abadi.

  • Untuk pejabat atau politisi, buku menjadi cara membangun narasi dan menanamkan ide besar tanpa terjebak headline sesaat.

  • Untuk pengusaha, buku bisa memperkuat kredibilitas dan membangun positioning sebagai pemimpin pemikiran (thought leader).

  • Untuk influencer atau artis, buku membuka ruang untuk dikenal lebih dalam — bukan hanya lewat persona, tapi lewat makna.

Namun, menulis buku bukan sekadar “curhat panjang” atau “kumpulan quotes.”
Ada seni dan sains di baliknya. Dan di sinilah banyak penulis pemula, termasuk figur besar, sering tersandung.

DO’S: Hal yang Harus Anda Lakukan Saat Menulis Buku

1. Mulailah dari Niat dan Tujuan yang Jelas

Tanya diri Anda:

“Untuk siapa buku ini saya tulis?”
“Apa perubahan yang saya ingin pembaca rasakan setelah membaca buku saya?”

Karena tanpa arah, tulisan Anda hanya akan jadi kumpulan kalimat yang indah tapi kehilangan makna.
Tujuan inilah yang nanti akan menjadi kompas naratif Anda — menentukan tone, gaya bahasa, bahkan struktur bukunya.

2. Temukan “Big Idea” Anda

Setiap buku hebat lahir dari satu gagasan kuat.
Misalnya:

  • “Bahagia tidak harus kaya” (untuk buku pengusaha sukses)

  • “Politik adalah ruang untuk melayani, bukan menguasai” (untuk pejabat negara)

  • “Setiap manusia bisa bangkit dari titik terendah” (untuk public figure yang pernah jatuh)

Big idea bukan sekadar tagline, tapi jiwa buku Anda. Tanpanya, tulisan akan mudah melenceng.

3. Tulis dengan Suara Anda Sendiri

Buku yang autentik akan terasa hidup. Pembaca bisa merasakan kejujuran dari setiap paragraf.
Jangan mencoba terdengar seperti orang lain. Anda tidak perlu menjadi Paulo Coelho atau Tere Liye. Jadilah diri Anda — karena itu yang membuat buku Anda otentik.

Sebagai ghostwriter, tugas saya bukan mengubah Anda menjadi penulis lain, tapi menerjemahkan cara Anda berpikir menjadi narasi yang mudah dipahami dan berdaya ubah.

4. Gunakan Struktur Cerita (Storytelling Framework)

Setiap cerita hebat punya alur yang menggugah:

  • Awal: konflik dan latar belakang

  • Tengah: perjuangan dan titik balik

  • Akhir: pelajaran dan refleksi

Pendekatan ini bukan hanya untuk novel — tapi juga untuk non-fiction.
Buku biografi, bisnis, kepemimpinan, bahkan spiritual pun butuh cerita yang memancing emosi dan menggugah logika.

5. Bangun Kolaborasi dengan Penulis Profesional

Menulis buku bukan harus Anda lakukan sendirian.
Sebagai ghostwriter, saya sering menemukan ide-ide luar biasa dari klien yang “tidak bisa menulis” tapi punya visi kuat.
Dengan kerja sama yang tepat, buku Anda bisa selesai tanpa mengorbankan waktu, dan tetap terdengar seperti Anda sendiri.

Kolaborasi bukan kelemahan. Justru itu tanda profesionalisme.

6. Fokus pada Manfaat untuk Pembaca

Orang tidak membaca buku karena penasaran siapa Anda — tapi karena mereka ingin belajar sesuatu dari Anda.
Pastikan setiap bab menjawab satu kebutuhan, memberi inspirasi, atau menyentuh sisi emosional pembaca.
Buku yang “mendidik sambil menggerakkan” akan jauh lebih diingat daripada sekadar buku yang “memamerkan pencapaian.”

7. Konsisten dengan Tone dan Brand Persona Anda

Kalau Anda dikenal publik sebagai figur visioner dan bijak, pastikan bahasa buku Anda mencerminkan hal itu.
Sebaliknya, jika Anda dikenal energik dan hangat, jangan terlalu formal hingga kehilangan kepribadian.
Kuncinya: keselarasan antara isi buku dan citra diri. 

DON’TS: Hal yang Sebaiknya Dihindari Saat Menulis Buku

1. Jangan Menulis Hanya untuk Mencari Validasi

Banyak penulis pemula (terutama figur publik) menulis buku karena ingin “membuktikan sesuatu.”
Padahal buku terbaik justru lahir dari niat berbagi, bukan pembuktian.
Pembaca bisa merasakan ego di balik tulisan. Dan begitu itu terjadi, koneksi emosional pun hilang.

2. Jangan Menjejali Buku dengan Terlalu Banyak Cerita

Kadang karena terlalu banyak pengalaman, Anda ingin menulis semuanya.
Tapi ingat: buku yang baik tidak menceritakan “semua hal,” melainkan “hal yang paling penting.”
Less is more. Satu kisah yang kuat lebih berkesan daripada 20 kisah yang dangkal.

3. Jangan Takut Terlihat Rentan

Keterbukaan adalah kekuatan.
Ketika Anda berani menceritakan sisi rapuh Anda — kegagalan, keraguan, proses jatuh-bangun — pembaca akan melihat Anda lebih manusiawi.
Dan di situlah trust lahir.
Buku bukan tempat untuk menyombongkan kesempurnaan, tapi untuk berbagi perjalanan.

4. Jangan Terlalu Banyak “Mengajar”

Kalimat seperti “Anda harus…” atau “Kita wajib…” bisa membuat pembaca merasa digurui.
Lebih baik gunakan pendekatan reflektif:

“Saya belajar bahwa…”
“Saya dulu berpikir begini, tapi ternyata…”

Gaya ini lebih hangat, lebih mengundang, dan lebih mudah diterima.

5. Jangan Asal Menulis Tanpa Editor

Sehebat apa pun ide Anda, tanpa editor profesional buku Anda bisa kehilangan daya.
Editing bukan sekadar soal typo, tapi memastikan alur, tone, dan nilai buku tetap utuh.
Banyak buku bagus gagal bersinar hanya karena diedit asal-asalan.

Saya pernah membantu seorang pengusaha sukses menulis buku biografi bisnisnya. Awalnya, ia hanya ingin “menceritakan perjalanan dari nol sampai sukses.”
Tapi setelah beberapa sesi diskusi, kami ubah sudut pandangnya: bukan sekadar perjalanan bisnis, tapi perjalanan batin seorang pemimpin dalam menghadapi ketidakpastian.

Hasilnya?
Buku itu bukan hanya jadi bacaan inspiratif bagi wirausahawan muda, tapi juga jadi brand amplifier yang memperkuat citra kepemimpinannya.

Begitu juga dengan seorang pejabat publik yang saya bantu menulis buku tentang kebijakan daerahnya. Kami tidak fokus pada data teknis, tapi pada cerita manusia di balik kebijakan.
Dan itulah yang membuat pembaca tersentuh — karena mereka bisa merasakan dampaknya secara nyata.

Buku Anda Bisa Jadi Warisan Pikiran

Menulis buku bukan hanya soal menorehkan nama di sampul, tapi menanamkan makna dalam pikiran orang lain.
Sebagai figur publik, Anda punya kesempatan luar biasa untuk memengaruhi cara orang berpikir, bertindak, dan berani bermimpi.

Dan jika Anda merasa punya cerita yang perlu diceritakan, tapi belum tahu bagaimana cara menulisnya dengan efektif — saya bisa membantu.

Sebagai ghostwriter dengan pengalaman 17 tahun, saya membantu public figure, pejabat, dan pengusaha menulis buku yang:

  • terdengar otentik,

  • disusun secara strategis,

  • dan disajikan dengan narasi kuat yang mencerminkan kepribadian Anda.

Kalau Anda siap mengubah ide besar menjadi buku berpengaruh,
Mari kita bicara.
Hubungi saya untuk konsultasi pribadi dan jadikan buku Anda bukan hanya bacaan — tapi legacy yang menginspirasi. 

#MenulisBuku #Ghostwriting #PersonalBranding #PublicFigure #BukuInspiratif #Storytelling #BrandingStrategy #Kepemimpinan #PenulisBuku #AgungWibowo

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *