Aku pernah—dan mungkin kamu juga—merasa stuck.
Di pagi hari, aku bangun, buka ponsel, lalu geser feeds: teman tampak sukses, kolega naik jabatan, konten motivasi penuh energi. Tapi di balik semua itu, aku merasa hampa.
Kadang aku bertanya ke diri sendiri: “Sudahkah aku benar-benar bahagia? Atau hanya tampak bahagia?”

Ada malam di mana aku menumpahkan air mata kecil karena merasa gagal: gagal memuaskan ekspektasi sendiri, gagal merasa dihargai, gagal merasakan bahwa hidup ini punya makna yang cukup. Rasanya, semua pencapaian—apapun yang kulakukan—kadang terasa kosong kalau bukan bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Itu kerentanan yang sulit dikatakan di LinkedIn (di mana orang suka share keberhasilan). Tapi saya percaya: dari tempat rapuh itulah kita bisa mulai membangun sesuatu yang kuat.

Sebelum membaca buku  berjudul Flourish karya Martin E.P. Seligman, aku juga percaya mitos ini: kalau aku sukses—pangkat naik, gaji bertambah, followers banyak—maka aku akan bahagia. Happy ending otomatis.

Tapi Seligman mengajak kita berpikir ulang: jangan hanya mengejar “kebahagiaan” sebagai tujuan tunggal. Dalam Flourish, Seligman mengatakan bahwa kita harus menggeser fokus dari “bahagia” ke “kesejahteraan (well-being)”. 

Bahagia itu bisa sementara, bisa dipicu oleh faktor eksternal yang rapuh. Sedangkan kesejahteraan adalah kondisi lebih holistik—itu bukan sekadar “merasa senang”, tapi hidup yang penuh makna, keterhubungan, prestasi, dan keterlibatan.

Jadi mitosnya: “Kalau sukses → bahagia” harus diganti menjadi “Kalau membangun kesejahteraan → sukses dan bahagia berjalan beriringan.” 

Bayangkan tumbuhan: kita semua punya pot (life container) dan tanah (kondisi hidup). Jika tanah miskin nutrisi, akar sulit menancap, daun bisa layu, bunga tak muncul. Kita bisa siram air (kesenangan, hiburan), bisa kasih pupuk (prestasi, pengakuan), bisa pindah tempat (lingkungan baru). Tapi kalau akar belum sehat, tanaman itu tak bisa tumbuh optimal.

Dalam hidup, “tanah” kita itu well-being — struktur dari banyak elemen. Tanpa memperkuat akar kesejahteraan, kita bisa saja punya momen sukacita yang indah, tapi tetap mudah goyah ketika badai datang.

Nah—Flourish mengajarkan rumus agar akar kita kuat: struktur kesejahteraan yang disebut model PERMA.

Apa yang saya pelajari dari Flourish, dan bagaimana menerapkannya

Dalam Flourish, Seligman memperkenalkan teori Well-Being yang lebih kaya dibandingkan paradigma “bahagia saja”. Dia menyatakan bahwa kesejahteraan terdiri dari lima elemen utama, disingkat PERMA:

  1. Positive Emotion (Emosi positif)

  2. Engagement (Keterlibatan / flow)

  3. Relationships (Hubungan positif)

  4. Meaning (Makna / purpose)

  5. Accomplishment (Prestasi / pencapaian)

Setiap elemen itu bukan “alat” untuk mencapai bahagia, melainkan “komponen intrinsik” dari kesejahteraan itu sendiri.

Berikut penjabaran + aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari (terstruktur + naratif + contoh nyata):

1. Positive Emotion

Apa itu: pengalaman emosi positif seperti kegembiraan, rasa syukur, optimisme, kekaguman.
Pelajaran: kita perlu “menyimpan kredit positif” agar saat kita menghadapi tantangan, kita punya modal emosional.

Aplikasi sehari-hari:

  • Mulai dan akhiri hari dengan catatan tiga hal yang kamu syukuri. (Misalnya: “syukur bisa ngobrol dengan sahabat”, “syukur hujan menyegarkan”, “syukur proyek kecil selesai”).

  • Meditasi atau pernapasan sejenak ketika pikiran negatif muncul: catat sisi baiknya dan ubah narasi.

  • Rayakan “kemenangan kecil”—selesaikan tugas tepat waktu? Beri apresiasi ke diri sendiri.

Contoh:
Katanya, saat aku berada dalam proyek besar yang penuh tekanan, aku sempat merasa cemas—tapi aku tetap menyempatkan 2 menit untuk melihat daftar syukur. Aku ingat bahwa aku punya tim yang mendukung, punya kesehatan, dan punya kesempatan belajar. Hal itu mengangkat mood, reduksi stres, dan akhirnya membuatku bisa berpikir lebih jernih.

2. Engagement

Apa itu: keterlibatan penuh, berada dalam flow — ketika kita tenggelam dalam aktivitas yang menantang tapi sesuai kekuatan.
Pelajaran: bukan semua aktivitas produktif langsung memberikan kebahagiaan; kita perlu mendesain pekerjaan/hobi agar memicu flow.

Aplikasi:

  • Temukan aktivitas yang “menantang tapi bisa dilakukan” (misalnya menulis, coding, desain, memainkan alat musik) yang memicu fokus penuh.

  • Potong gangguan (notifikasi, multitasking) sebanyak mungkin agar bisa “masuk zona”.

  • Sesuaikan tugas harian agar sesuai “strengths” kamu: kalau kamu orang yang suka kreativitas, alokasikan waktu untuk ekspresi kreatif dalam pekerjaaan.

Contoh:
Aku suka menulis. Karena sadar ini strength-ku, aku menyisihkan waktu pagi (jam dua jam) hanya untuk menulis — tanpa buka email atau notifikasi. Di situ, aku sering “terseret” sampai lupa waktu—itu tanda flow sedang bekerja. Setelah itu, energi kreatif mengalir ke tugas lain juga.

3. Relationships

Apa itu: hubungan yang positif, saling mendukung, empati dan kepercayaan.
Pelajaran: manusia adalah makhluk sosial—kesejahteraan kita sangat tergantung kualitas hubungan kita.

Aplikasi:

  • Investasi waktu ke hubungan intim: telepon orang tua/saudara/teman lama.

  • Praktikkan mendengarkan dengan empati, bukan sekadar menunggu gilir bicara.

  • Bangun komunitas: temui orang yang punya visi sama, dukung mereka, ajak kolaborasi.

Contoh:
Dalam periode tekanan kerja, aku sempat menarik diri dari teman-teman karena “sibuk”. Tapi setelah menyadari ini berbahaya, aku mulai kirim pesan singkat: “Hey, kapan ngopi?” atau “Gimana kabarnya?” Ternyata itu cukup untuk menjaga keterikatan, dan teman-teman jadi sumber dukungan moral ketika aku stres.

4. Meaning

Apa itu: merasa bahwa hidup ini punya tujuan lebih besar dari diri sendiri — “kenapa aku di sini?”.
Pelajaran: prestasi tanpa makna bisa kosong. Makna memberi jiwa ke apa yang kita lakukan.

Aplikasi:

  • Tanyakan: “Apa kontribusi yang ingin aku wariskan?”

  • Sinkronkan pekerjaan/hobi dengan nilai-nilai pribadi (misalnya: pendidikan, pemberdayaan, kreativitas)

  • Terlibat dalam aktivitas sosial/volunteer yang selaras dengan passion-mu

Contoh:
Aku pernah merasa bahwa pekerjaanku “hanya sekadar” membuat konten pemasaran. Tapi ketika aku menautkannya ke visi yang lebih besar—misalnya: menyebarkan pengetahuan, membantu orang menemukan karier bermakna—ada energi baru yang muncul. Aku mulai menerima proyek yang lebih selaras dengan misi itu, dan hasilnya terasa lebih memuaskan.

5. Accomplishment (Prestasi)

Apa itu: pencapaian dan sense of mastery; meraih target/tujuan yang berarti bagi diri sendiri.
Pelajaran: pencapaian bukan sekadar nominal (uang, penghargaan), tapi realisasi visi diri.

Aplikasi:

  • Tetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang (OKR, milestone)

  • Rayakan kemajuan — bahkan ketika belum “final”

  • Gunakan kekuatan (strengths) untuk mengejar tujuan supaya pencapaian terasa alami dan bukan memaksa

Contoh:
Aku membagi target besar (misalnya: menyelesaikan buku) menjadi milestones kecil mingguan (500 kata per hari). Tiap minggu aku cek progres—kalau terpenuhi, aku beri reward kecil (nonton film favorit, makan yang enak). Lama-lama, target besar terasa lebih terjangkau dan memperkuat rasa percaya diri.

Setiap elemen PERMA itu seperti bagian akar tanaman tadi: kalau satu bagian lemah, keseimbangan bisa goyah. Tapi kalau kita rawat semuanya secara simultan (atau bertahap), akar kita kokoh.

Awal-awal mungkin terasa aneh atau “ada waktu untuk bersyukur? ada waktu untuk makna? padahal deadline numpuk.” Tapi inilah paradox: justru dengan memberi ruang ke kesejahteraan, performa kita malah makin stabil dan produktif.

Saat aku menerapkan PERMA secara konsisten (memulai hari dengan gratitude, memasukkan sesi flow pagi, menjaga hubungan, mengevaluasi makna pekerjaan, menetapkan target kecil), aku merasakan bahwa stres tetap ada — tapi sekarang aku punya “cadangan batin” untuk menanganinya. Semua terasa lebih mulus, bukan karena tantangan hilang, tapi karena aku lebih siap menghadapi.

Tips agar penerapannya konsisten (bukan sekadar ide bagus)

  1. Mulai dari satu elemen dulu
    Misalnya pilih Positive Emotion — praktik syukur harian selama 21 hari (habit). Setelah terasa agak wajar, tambahkan Engagement, dst.

  2. Gunakan reminder & ritual
    Kalender, alarm, sticky note — sebagai pengingat ritual kesejahteraan. Misalnya, “jam 10 pagi: 2 menit syukur” atau “jam 6 sore: chat singkat dengan teman”.

  3. Refleksi periodik
    Setiap akhir pekan atau bulan, evaluate:

    • Di elemen mana aku paling lemah?

    • Apa tindakan kecil konkret yang bisa aku tambahkan minggu depan?

  4. Sinkronisasi elemen
    Temukan aktivitas yang bisa memenuhi lebih dari satu elemen sekaligus. Contoh: proyek sosial (Meaning + Relationship + Accomplishment), kelas seni (Engagement + Positive Emotion), mentoring (Meaning + Relationships + Accomplishment).

  5. Kesabaran & fleksibilitas
    Ada fase bertumbuh, fase mundur, fase stagnan. Jangan dikejar sempurna—fokus pada progres kecil tapi konsisten.

Izinkan aku berbagi momen nyata: ketika pandemi melanda dan semua menjadi tidak pasti, aku merasa seperti dikunci dalam pot gelap. Tugas kerja berganti, interaksi sosial terbatas, ketidakpastian merajalela.

Tapi aku memutuskan: aku akan berusaha flourish, bukan hanya bertahan.

  • Positive Emotion: setiap hari aku mencatat setidaknya satu hal sederhana yang menyenangkan — kopi pagi, chat lucu teman, suara hujan.

  • Engagement: aku mengambil kursus online tiba-tiba (menari, ilustrasi) yang menantang tapi menyenangkan.

  • Relationships: aku memperdalam quality time virtual dengan teman lama, mentoring junior, ikut grup diskusi.

  • Meaning: aku memutuskan bahwa tulisanku akan lebih banyak fokus ke tema kesehatan mental, berbagi pengalaman, agar ada kontribusi ke orang lain.

  • Accomplishment: aku membuat target menulis 1 artikel seminggu, dan validasi lewat feedback pembaca.

Hasilnya: ya, tetap ada lelah, cemas, rindu tatap muka. Tapi aku merasa “terkoneksi, tumbuh, punya alasan kuat bergerak.” Itu yang membedakan antara merasa “bertahan karena terpaksa” vs “berdiri karena ingin tumbuh”.

Epilog

Jika kamu baca ini, aku ingin mengajak kamu sebuah pertanyaan sederhana: Apakah akar kesejahteraanmu sudah kuat?

Karena kalau akar itu rapuh—meskipun kamu punya pencapaian besar—angin kencang (krisis, kegagalan, konflik) bisa menggoyangmu lebih parah. Tapi kalau akarmu kuat—bahkan kalau badai datang—kamu punya kapasitas untuk tetap berdiri, bahkan mungkin tumbuh lebih tinggi.

Flourish dari Seligman mengajarkan bahwa kita tidak boleh malas merawat akar kita sendiri. Kita butuh elemen positif, keterlibatan, hubungan, makna, dan prestasi secara seimbang.

Mari mulai dari langkah kecil:
— Hari ini, catat 3 hal yang kamu syukuri
— Mulai aktivitas yang kamu nikmati tanpa gangguan sebentar
— Kirim pesan ke seseorang yang berarti
— Merenung: “Apa arti pekerjaanku bagi diriku dan orang lain?”
— Buat target kecil yang kamu bisa capai dalam 1 minggu

Kalau kamu mau, kamu bisa transformasi perlahan-lahan. Aku bahkan percaya: ketika akar kita makin kuat, “sukses” dan “bahagia” bukan lagi dua hal terpisah, tapi dua dimensinya satu kehidupan yang utuh.

Terima kasih sudah membaca. Semoga ini bukan cuma wacana, tapi langkah nyata ke arah flourish versi kamu sendiri.


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #Flourish #PERMA #WellBeing #PsikologiPositif #HidupMenyeluruh #Kesejahteraan #GrowthMindset

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *