Pernah nggak lo ngerasa kayak semua yang lo lakuin tuh salah di mata orang lain? Gue pernah banget. Ada momen ketika gue merasa udah ngasih 100%, tapi tetep aja ada suara kecil di kepala yang bilang: “Eh, lo kurang ini… lo harusnya lebih gitu.” Rasanya kayak lagi bawa ransel berbatu kemana-mana. Berat, bikin capek, tapi ironisnya… nggak kelihatan sama sekali oleh orang lain.

Itu ironinya. Orang ngeliat lo fine-fine aja—kerja, ketawa, nongkrong, bahkan posting hal-hal keren di medsos. Tapi di dalam hati, lo dihantui satu hal yang halus tapi nyiksa: rasa bersalah.

Kalau gue analogiin, rasa bersalah itu mirip kayak notifikasi merah di HP. Awalnya cuma satu, kecil, nggak ganggu. Tapi lama-lama numpuk jadi ratusan. Lo nggak sempet buka satu-satu, tapi notif itu bikin kepala penuh, bikin gelisah, bikin ngerasa gagal jadi manusia produktif.

Dan sekarang pertanyaannya: Kalau notifikasi HP aja bisa kita mute, kenapa rasa bersalah nggak bisa?

Di titik ini gue ketemu bukunya Valorie Burton, Let Go of the Guilt. Honestly, ini buku bukan sekadar self-help biasa. Dia nyentil banget, kayak bilang: “Eh, lo sadar nggak sih, banyak rasa bersalah lo itu sebenarnya bukan salah lo?”

Kenapa Kita Sering Kebawa Rasa Bersalah?

Valorie Burton ngejelasin dengan simple: banyak rasa bersalah itu hasil konstruksi sosial. Misalnya, standar orang lain tentang “ibu yang baik”, “cowok sukses”, “anak berbakti”, atau “profesional ideal.” Kita kebawa masuk ke ekspektasi itu, lalu jadi nyalahin diri sendiri tiap kali nggak sesuai.

Contoh nyata:

  • Lo kerja keras buat keluarga, tapi abis itu disindir “nggak pernah ada di rumah.”

  • Lo nemenin anak sepanjang hari, tapi pas HP lo bunyi email kerja, langsung dibilang “nggak profesional.”

  • Lo pilih istirahat karena badan drop, tapi ujungnya ngerasa bersalah karena nunda deadline.

Gue yakin banyak dari kita pernah di situasi kayak gini. Akhirnya, kita jadi over-apologizer. Dikit-dikit minta maaf, padahal kadang nggak ada yang salah.

Pelajaran Inti dari Buku Ini

Buku ini ngajarin 3 hal penting yang gue rasa bisa langsung dipraktikkin di kehidupan sehari-hari:

  1. Bedain antara Rasa Bersalah Sehat vs Rasa Bersalah Palsu.
    Rasa bersalah sehat muncul kalau emang kita salah dan perlu bertanggung jawab. Kayak misalnya janji meeting tapi lo telat satu jam—ya wajar merasa bersalah. Tapi kalau lo nggak bisa datang karena anak sakit dan lo tetep nyalahin diri lo… itu udah masuk rasa bersalah palsu.

  2. Reframe Pikiran.
    Daripada mikir “Gue gagal,” coba tanya: “Apa yang bisa gue pelajari?” Dengan begitu, rasa bersalah jadi pintu ke pertumbuhan, bukan beban.

  3. Ngasih Ruang Buat Diri Sendiri.
    Burton bilang, kita berhak bilang no tanpa harus ngerasa berdosa. Kita boleh milih prioritas tanpa harus validasi ke semua orang.

Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-Hari

Gue coba praktekkin ini ke hidup gue sendiri. Misalnya, dulu gue gampang banget merasa bersalah kalau nggak bales chat kerjaan di luar jam kantor. Gue mikir, “Nanti dikira nggak profesional.” Padahal, jam 11 malam itu waktu buat istirahat, bukan kerja.

Pas gue coba pake prinsip let go of the guilt, gue belajar: kalau gue nggak recharge, besok malah jadi nggak produktif. Jadi lebih baik jujur ke diri sendiri, bukannya maksa demi nyenengin orang lain.

Contoh lain, di keluarga. Banyak orangtua merasa bersalah kalau sesekali milih me-time. Padahal justru dengan recharge, mereka bisa balik lebih sabar dan penuh kasih sayang. Itu yang disebut Burton sebagai healthy selfishness—egois sehat.

Zaman sekarang akses informasi gampang, tools produktivitas banyak, kesempatan terbuka lebar. Tapi kenapa tingkat stress dan anxiety malah naik? Jawabannya lagi-lagi balik ke rasa bersalah. Kita merasa belum cukup. Belum kaya cukup, belum pintar cukup, belum parenting cukup, belum sukses cukup.

Dan ini lucu tapi sedih: orang tua dulu bisa hidup bahagia dengan seadanya. Mereka nggak punya aplikasi habit tracker, nggak punya podcast motivasi, tapi hidup mereka lebih ringan. Kenapa? Karena mereka nggak bawa rasa bersalah sebanyak kita.

Bayangin lo adalah balon. Harusnya balon itu terbang tinggi. Tapi tiap kali lo ngerasa bersalah, lo nambahin satu kantong pasir kecil di bawahnya. Lama-lama balon itu nggak terbang, malah ketahan di tanah.

Nah, Let Go of the Guilt ngajarin kita: bukan berarti lo harus buang semua pasir. Ada pasir yang memang perlu—kayak tanggung jawab dan moralitas. Tapi lo juga harus bisa lepasin pasir-pasir palsu yang sebenernya nggak perlu. Baru deh lo bisa terbang sesuai kapasitas lo.

Misalnya? Gue pernah ngobrol sama temen yang kerja di startup. Dia sering lembur parah, sampai nggak punya waktu buat keluarganya. Dia cerita, tiap kali mau pulang cepat, selalu ada rasa bersalah: “Nanti dikira nggak loyal.” Padahal di kontrak jelas jam kerjanya udah lewat.

Akhirnya, dia burn out. Sampai harus cuti panjang. Ironinya, perusahaan tetap jalan walau dia nggak ada. Itu nunjukkin bahwa rasa bersalah dia sebenarnya nggak perlu.

Setelah dia baca buku ini juga, dia mulai bikin boundaries. Hasilnya? Dia malah lebih produktif, dan anehnya… lebih dihargai sama tim. Karena orang respect ke orang yang bisa ngejaga dirinya.

Kenapa Melepas Rasa Bersalah Itu Penting Buat Sukses dan Bahagia?

  1. Energi Lo Jadi Fokus.
    Rasa bersalah itu boros energi. Dengan lepasin yang nggak perlu, lo bisa fokus ke growth.

  2. Lo Jadi Lebih Autentik.
    Orang yang hidup tanpa pura-pura lebih gampang dipercaya. Itu kunci sukses di dunia profesional maupun personal.

  3. Mental Health Terjaga.
    Happiness bukan soal punya segalanya, tapi bisa hidup tanpa beban nggak perlu.

Closing Refleksi

Gue jadi mikir: mungkin selama ini kita nggak gagal karena kurang pintar, kurang kerja keras, atau kurang networking. Bisa jadi kita gagal karena terlalu sering ngerasa bersalah atas hal-hal yang bukan salah kita.

Valorie Burton ngajarin kita buat nyadar: rasa bersalah itu pilihan. Kita bisa memilih untuk nggak nyeret-nyeret rasa bersalah yang nggak relevan.

Jadi pertanyaannya sekarang: Notif mana yang mau lo mute duluan? Yang di HP lo, atau yang di hati lo? 


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #LetGoOfTheGuilt #ValorieBurton #PersonalGrowth #MentalHealthAwareness #WorkLifeBalance #MindsetShift #SelfLove #HappinessMatters #Leadership #GenZMindset

Comments

2 responses to “Kenapa Rasa Bersalah Bisa Jadi Beban Tak Kasat Mata yang Bikin Kita Gagal Bahagia?”

  1. Tony Sardjono Avatar
    Tony Sardjono

    Bagus sekali Kakak. Terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *