Pernah nggak lo merasa begini: kerja mati-matian, ikut semua meeting, lembur nggak kerasa, tapi ujung-ujungnya ngerasa nggak dihargai? Atau mungkin lo pernah ada di tim yang bikin lo ngerasa aman banget — bisa ngomong apa aja tanpa takut di-judge, bisa salah tanpa langsung disalahin. Bedanya? Pemimpinnya.

Yes, kita semua pernah ngalamin dua dunia itu: yang bikin semangat dan yang bikin pengen resign diam-diam.

Banyak orang percaya jadi pemimpin itu berarti punya semua jawaban, paling duluan dapat bagian, paling nyaman posisinya. Kayak kalau di pesta, si bos pasti duduk paling depan, piringnya paling penuh, dan disajikan paling dulu.

Tapi Simon Sinek nge-debunk habis mitos itu lewat bukunya Leaders Eat Last. Dia bilang, pemimpin sejati justru kebalikannya: mereka rela “makan terakhir.”

Pemimpin bukan soal siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling bertanggung jawab. Bukan tentang privilese, tapi keberanian buat jadi tameng. 

Bayangin lo naik kapal di tengah laut. Ada badai gede, ombak tinggi, petir nyambar-nyambar. Semua orang panik. Lo lihat ke kapten kapal. Kalau kaptennya tenang, matanya fokus, nggak egois mikirin dirinya doang, otomatis lo juga lebih tenang. Tapi kalau kaptennya teriak-teriak “selamatkan gua dulu!”, kira-kira apa yang bakal terjadi? Chaos.

Kepemimpinan tuh kayak jadi kapten kapal. Bukan tentang siapa yang pertama kali selamat, tapi siapa yang bikin semua orang merasa aman. 

Jadi pertanyaannya: kalau lo punya kesempatan jadi pemimpin — entah di kantor, komunitas, atau bahkan keluarga — lo mau jadi kapten kapal yang mana? Yang makan duluan, atau yang rela makan terakhir biar anak buahnya tenang? 

Apa yang Gue Pelajari dari Leaders Eat Last

Ada beberapa poin besar dari buku Simon Sinek yang bener-bener ngena:

  1. Lingkaran Keamanan (Circle of Safety)
    Pemimpin itu tugasnya bikin “zona aman” di mana orang nggak takut salah. Kalau orang udah merasa aman, kreativitas mereka keluar. Tapi kalau tiap hari kerja penuh rasa takut, output bakal medioker.
    Aplikasi: Lo bisa mulai dari hal simpel, kayak dengerin dulu pendapat tim sebelum lo kasih keputusan.

  2. Kimia Otak: Dopamin, Endorfin, Serotonin, Oksitosin
    Sinek pakai analogi hormon buat jelasin kenapa tim bisa solid.

    • Dopamin bikin kita termotivasi capai target.

    • Endorfin bikin kita tahan banting.

    • Serotonin bikin kita dihormati.

    • Oksitosin bikin kita percaya.
      Tapi kalau yang dipompa cuma dopamin (target-target terus), tim jadi kejar-kejaran angka tapi kosong. Pemimpin sejati ngerti balance ini.

  3. Pemimpin = Pelindung, bukan Predator
    Ada banyak “bos” yang lebih mirip predator: nuntut, nge-judge, tapi nggak pernah cover tim. Pemimpin sejati justru rela ambil tanggung jawab kalau ada masalah, biar timnya berani ambil risiko.
    Aplikasi: Lo bisa mulai dari hal simpel kayak nggak lempar kesalahan tim ke atasan lo, tapi lo backup dulu, baru cari solusi bareng.

  4. Kebahagiaan Bukan dari Jabatan, tapi dari Meaning
    Buku ini ngajarin kalau kesuksesan bukan cuma soal naik jabatan atau gaji gede, tapi tentang punya makna: gue ada buat orang lain. Itu yang bikin kita bahagia jangka panjang.

Contohnya apa? Banyak sih.

  • Startup Culture: Gue pernah lihat startup kecil yang pemimpinnya bener-bener “makan terakhir.” Dia rela gajinya ditunda dulu biar timnya tetap digaji. Efeknya? Timnya loyal, rela lembur bukan karena disuruh, tapi karena merasa dihargai.

  • Keluarga: Lo pernah lihat bapak/ibu yang rela nggak beli barang buat dirinya, tapi nabungin buat pendidikan anaknya? Itu contoh paling nyata dari “leaders eat last.”

  • Pergaulan: Bahkan di tongkrongan, ada aja orang yang selalu pastiin semua orang kebagian makanan sebelum dia ambil. Orang kayak gini otomatis jadi “leader informal.”

Lo mungkin mikir, “Gue kan bukan CEO.” Tapi leadership itu bukan soal jabatan.

  • Di kantor: lo bisa jadi pemimpin dengan bikin orang lain nyaman brainstorming bareng lo.

  • Di keluarga: lo bisa jadi pemimpin dengan lebih dulu sabar, baru ngomong.

  • Di diri sendiri: lo bisa jadi pemimpin dengan rela “makan terakhir” alias nggak melulu mikirin ego pribadi.

Karena pada akhirnya, sukses dan bahagia itu datang dari rasa berarti buat orang lain. Lo mungkin dapet gaji gede, tapi kalau hidup lo kosong, lo bakal cepat burn out. Tapi kalau lo tau hidup lo bikin orang lain tumbuh, itu yang bikin hati penuh.

So, next time lo duduk di meja makan — literally atau metafora — tanya lagi ke diri lo:
Lo mau jadi yang ngeraup duluan, atau yang rela makan terakhir biar orang lain aman?

Karena leadership bukan soal kursi, tapi tentang keberanian buat jadi tameng. Dan seringkali, itulah tiket menuju sukses sekaligus bahagia.

Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #LeadersEatLast #SimonSinek #Leadership #GrowthMindset #CareerDevelopment #PeopleFirst #GenZLeadership #HappinessAtWork #EmpathyInLeadership #WorkCulture

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *