Lo pernah nggak sih ngerasain momen di mana semua orang di sekitar lo kelihatan happy sama pasangan masing-masing, tapi lo sendiri ngerasa kok hubungan gue malah makin hambar?

Gue pernah. Dan lucunya, puncak drama itu justru bukan ketika ada konflik gede, tapi ketika semuanya terlihat “baik-baik aja.” Kayak rumah tangga lagi adem-ayem, tapi dalam hati lo ngerasa: “Lah, ini beneran adem atau cuma mati rasa?”

Ironis banget, kan? Karena di luar, orang bisa lihat kita pasangan ideal—foto mesra di Instagram, dinner bareng, bahkan temen-temen suka bilang, “Wih, couple goals!”. Tapi di dalam, realitanya bisa berantakan: komunikasi macet, pertengkaran kecil yang numpuk, sampai akhirnya jadi bom waktu.

Nah, gue jadi mikir: apakah cinta aja cukup buat bikin pernikahan awet dan bahagia? Kalau cinta udah ada, kenapa banyak orang tetep gagal?

Pertanyaan ini yang bikin gue kepo banget pas pertama kali nemu buku The Seven Principles for Making Marriage Work karya John Gottman. Dia ini bukan sekadar penulis self-help, tapi peneliti yang literally bisa memprediksi apakah sebuah pernikahan bakal langgeng atau bubar hanya dengan mengamati interaksi pasangan selama 15 menit. Gokil, kan?

Dari situlah gue belajar bahwa pernikahan itu nggak cukup cuma modal cinta dan chemistry. Ada framework—yes, kayak manajemen proyek atau bisnis—yang bisa bikin hubungan lo nggak cuma bertahan, tapi juga sehat, sukses, dan bahagia. Dan yang lebih penting: ternyata prinsip-prinsip ini bisa banget dipraktikkin, bukan teori doang.

Prinsip #1: Enhance Your Love Maps – Kenal Pasangan Lebih Dalam

Kita sering banget mikir kita udah tau segalanya soal pasangan. Padahal, orang itu kan terus berkembang. Cita-cita dia bisa berubah, ketakutannya bisa nambah, bahkan playlist Spotify favoritnya pun bisa update tiap bulan.

Contoh real: gue punya temen, sebut aja Raka. Dia udah nikah 5 tahun, tapi suatu hari kaget karena istrinya tiba-tiba bilang pengen resign dan buka usaha sendiri. Raka bengong, “Loh, sejak kapan lo punya mimpi ini?” Nah, itu bukti kalau love maps-nya udah outdated.

Gottman ngajarin: rajinlah update “peta cinta” pasangan lo. Sesimpel nanya:

  • “Apa hal yang bikin lo excited minggu ini?”

  • “Kalau lo punya libur 1 bulan full, lo pengen ngapain?”

Hal-hal remeh kayak gini bikin kita terus terhubung, kayak lo update aplikasi biar nggak nge-bug. 

Prinsip #2: Nurture Fondness and Admiration – Jangan Pelit Pujian

Ironi lain dalam hubungan: di awal pacaran, semua hal kecil bisa bikin lo jatuh cinta. Pasangan lupa nutup botol air aja lo bisa bilang, “Gemes banget sih.” Tapi setelah bertahun-tahun, hal kecil itu malah jadi sumber cekcok.

Gue belajar bahwa pujian itu kayak vitamin. Kalau nggak dikasih rutin, hubungan bisa gampang sakit. Gottman bilang, kunci fondasi pernikahan yang kuat adalah saling kagum dan menghargai, bahkan untuk hal-hal receh.

Misalnya: pasangan lo nyuci piring tanpa diminta → bilang aja, “Thanks ya, aku jadi bisa rebahan sebentar.” Simple, tapi efeknya gede.

Prinsip #3: Turn Toward Each Other Instead of Away – Respons Itu Segalanya

Bayangin pasangan lo lagi cerita panjang lebar soal drama kantor, tapi lo sibuk scroll TikTok. Respon kayak gitu sama aja kayak bilang: “Gue nggak peduli.”

Padahal, respons kecil adalah investasi besar. Ketika pasangan bilang, “Eh, liat deh sunset-nya cakep banget,” lo punya pilihan:

  • Cuekin,

  • Atau ikut nengok dan bilang, “Iya ya, keren banget.”

Terdengar sepele, tapi Gottman nemuin pasangan bahagia itu punya ritual responsiveness. Mereka selalu turn toward each other. Dan ini berlaku juga buat kerjaan, pertemanan, bahkan networking di LinkedIn—respons lo nunjukkin lo care atau nggak. 

Prinsip #4: Let Your Partner Influence You – Jangan Sok Tau

Kebanyakan orang jatuh ke jebakan ego: “Gue lebih tau yang terbaik.” Padahal, salah satu indikator hubungan sehat adalah ketika lo mau mendengar dan menerima pengaruh pasangan, bukan ngegas doang.

Contoh: lo pengen beli mobil baru, pasangan bilang, “Eh, mungkin kita lebih butuh renovasi rumah dulu deh.” Kalau lo langsung ngeyel, yang ada konflik makin melebar. Tapi kalau lo buka ruang diskusi, bisa ketemu solusi win-win.

Intinya: partnership > dictatorship. 

Prinsip #5: Solve Your Solvable Problems – Nggak Semua Harus Dibikin Drama

Ada dua jenis masalah: yang bisa diselesaikan, dan yang perpetual alias bakal terus ada. Misalnya: lo orangnya detail, pasangan lo tipe santai. Itu nggak bakal bisa diubah 100%. Jadi jangan buang energi buat “mengubah orang,” tapi cari cara buat manage differences.

Gue belajar bikin checklist ala-ala project manager. Kalau ada konflik, tanyain dulu:

  1. Ini masalah bisa diselesaikan nggak?

  2. Kalau bisa, ayo cari solusi.

  3. Kalau nggak bisa, ayo kompromi dan kelola ekspektasi.

Prinsip #6: Overcome Gridlock – Mimpi Lo vs Mimpi Pasangan

Gridlock itu kayak macet di jalan tol: bikin frustrasi, bikin capek, tapi sebenarnya bisa cair kalau ada jalan alternatif.

Gottman bilang, konflik sering muncul karena di balik perbedaan, ada impian yang belum tersampaikan. Misalnya: pasangan lo ngotot pindah ke luar kota. Mungkin bukan soal kota itu sendiri, tapi karena dia pengen hidup lebih dekat sama keluarganya atau pengen punya lingkungan yang lebih tenang.

Kuncinya: gali makna di balik keinginan. Dengan begitu, lo bisa bikin kompromi yang bukan sekadar solusi teknis, tapi juga emosional.

Prinsip #7: Create Shared Meaning – Bangun Narasi Bersama

Yang bikin hubungan tahan lama bukan cuma soal bagi tugas atau punya anak. Tapi juga soal: “Apa arti keluarga buat kita?”

Pasangan yang bahagia biasanya punya narasi bersama. Bisa sesederhana: “Kita adalah tim petualang, yang tiap tahun wajib punya trip bareng.” Atau: “Kita keluarga yang value-nya kejujuran, jadi selalu cerita apa adanya.”

Shared meaning ini bikin lo merasa berada di kapal yang sama, bukan sekadar dua orang yang numpang tinggal bareng.

Aplikasi dalam Hidup Sehari-hari

Nah, kalau lo pikir ini cuma buat pasangan nikah, lo salah. Prinsip-prinsip ini bisa banget dipakai di kehidupan lain:

  • Di kerjaan: lo bisa bikin love maps sama tim lo (kenal mereka bukan cuma soal KPI, tapi juga motivasi personal).

  • Di pertemanan: jangan pelit pujian, apalagi kalau temen lo lagi struggling.

  • Di networking: respons cepat dan tulus itu bikin orang ngerasa dihargai.

Misalnya? Gue kenal satu pasangan muda yang baru nikah 2 tahun. Mereka rutin bikin ritual kecil: setiap malam sebelum tidur, mereka cerita 3 hal yang mereka syukuri dari hari itu. Kadang receh banget, kayak, “Thanks udah bikinin mie instan.” Tapi dari kebiasaan kecil ini, mereka jadi punya budaya positif di rumah tangga.

Itulah bukti bahwa teori Gottman itu bukan sekadar konsep, tapi bisa banget dipraktikkan—dan hasilnya nyata.

Intinya . . .

Pada akhirnya, hubungan itu bukan sekadar soal siapa yang benar atau siapa yang menang. Tapi soal bagaimana lo bisa terus tumbuh bareng, saling menghargai, dan menciptakan makna bersama.

Kalau bisnis aja butuh strategi, masa pernikahan yang lebih kompleks nggak? Jangan tunggu hubungan lo “rusak” dulu baru cari manual book. Mulai sekarang, update love maps lo, kasih vitamin pujian, respons pasangan lo, dan ingat: lo bukan musuh, lo partner.


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #MarriageGoals #JohnGottman #RelationshipAdvice #PersonalGrowth #LoveAndLife #LinkedInCommunity #MindfulLiving #HappyMarriage #GenZWisdom

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *