Pernah nggak lo mikir, kenapa ada orang yang punya segalanya tapi tetap nggak bahagia, sementara ada orang yang kelihatannya biasa-biasa aja tapi hidupnya ringan, adem, kayak selalu puas dengan apa yang ada?

Ironisnya, sering kali yang kita kira bikin bahagia—duit, status, jabatan, punya barang branded—justru cuma bikin hidup tambah riweh. Kayak ngejar sesuatu yang nggak pernah kelar.

Dan kalau hidup itu ibarat pohon, banyak dari kita sibuk metik buahnya, ngambil daunnya, bahkan nebang batangnya, tapi lupa buat sekadar duduk di bawahnya, nikmatin teduhnya.

Nah, metafora inilah yang nendang banget pas gue baca ulang buku The Giving Tree karya Shel Silverstein. Sebuah kisah anak-anak sederhana, tapi maknanya dalem banget.

Cerita Singkat The Giving Tree

Biar kita satu frame dulu:

Buku ini cerita tentang pohon apel yang selalu memberi apa aja ke seorang anak kecil yang dia sayang. Awalnya si anak bahagia cuma main, manjat, makan apel, tidur di bawah rindangnya. Tapi makin gede, dia makin nuntut.

Pohon ngasih apel buat dijual, batang buat bikin rumah, bahkan akhirnya pohon rela ditebang jadi perahu supaya anak itu bisa berlayar. Sampai pohon itu tinggal tunggul. Dan di akhir, si anak yang udah tua datang lagi, cuma pengen tempat buat duduk. Pohon pun senang, meski tinggal tunggul.

Sederhana, tapi bikin mikir keras: apakah bahagia itu berarti rela ngasih sampai habis? Atau justru ada pelajaran lain di baliknya?

Apa yang Gue Pelajari

Ada tiga insight besar yang gue tangkap dari The Giving Tree, yang menurut gue relevan banget buat kita—entah lo entrepreneur, profesional korporat, atau sekadar manusia yang lagi nyari makna hidup.

1. Bahagia Itu Soal Memberi, Bukan Punya

Pohon dalam cerita ini selalu bahagia setiap kali bisa memberi. Bukan karena dia punya buah, ranting, atau batang, tapi karena ada yang bisa dia bagikan.

Ini jadi reminder buat kita: lo bisa punya banyak hal, tapi kalau cuma lo tumpuk buat diri sendiri, ya lo cuma kaya doang, belum tentu bahagia.

Contoh paling dekat? Gue punya temen yang sibuk banget kerja, ngejar gaji besar. Tapi tiap kali ada kesempatan traktir orang tua, bantu temen yang kesusahan, atau sekadar kasih waktu buat dengerin curhatan orang lain, dia bilang perasaan “ringan” itu nggak ada bandingannya.

Jadi, bahagia bukan di having, tapi di giving

2. Tapi… Memberi Tanpa Batas Bisa Bikin Habis

Nah, di sisi lain, buku ini juga nyentil keras: pohon itu habis total karena selalu ngasih, tanpa mikirin dirinya sendiri.

Kita sering salah kaprah: mikir kalau jadi orang baik itu berarti ngasih terus-terusan, bahkan sampai nyakitin diri sendiri. Padahal, gimana lo bisa ngasih kalau lo sendiri kosong?

Analogi gampangnya kayak masker oksigen di pesawat: lo harus pake dulu sebelum nolong orang lain. Kalau lo pingsan duluan, siapa yang mau nolong?

Ini pelajaran penting: memberi itu mulia, tapi lo juga harus punya batas sehat, supaya nggak berubah jadi “tumbal”. 

3. Hidup Itu Tentang Siklus, Bukan Transaksi

Anak itu datang ke pohon hanya pas butuh sesuatu. Transaksional banget. Tapi pohon tetap memberi karena dia melihat hubungan itu sebagai siklus: dari kecil main bareng, gede butuh papan, tua butuh tempat duduk.

Gue jadi mikir, banyak hubungan kita sekarang kayak anak sama pohon itu: cuma inget pas butuh. Entah ke orang tua, ke temen, bahkan ke diri sendiri.

Kalau mau bahagia, kita harus belajar ngerawat hubungan itu secara siklikal, bukan cuma transaksional. Artinya, bukan cuma “ngambil saat butuh”, tapi juga hadir, menghargai, dan berbagi bahkan ketika kita nggak butuh apa-apa. 

Aplikasinya Buat Hidup Kita

Oke, sekarang gimana cara ngehidupin insight dari The Giving Tree ke keseharian? Gue coba breakdown jadi tiga langkah aplikatif:

 1. Memberi dari Kelimpahan, Bukan Kekurangan

Kalau lo punya waktu 1 jam, jangan kasih semua. Sisain buat diri sendiri. Kalau punya duit lebih, jangan sampe ngutang demi nolong orang lain. Memberilah dari kelimpahan, biar lo nggak habis.

Contoh: gue pernah lihat seorang founder startup yang tiap bulan bikin sesi “open mentoring” gratis buat mahasiswa. Dia kasih insight, kasih waktu. Tapi dia juga batasi: cuma 2 jam per bulan. Jadi dia tetap sehat, tapi orang lain tetap kebagian manfaat.

2. Latih Gratitude Muscle

Anak di cerita itu nggak pernah bener-bener bersyukur. Dia cuma ambil-ambil-ambil. Nah, jangan sampe kita jadi kayak gitu.

Mulai dari hal kecil: tiap malam tulis 3 hal yang bikin lo bersyukur hari itu. Mungkin sekadar bisa sarapan enak, ketemu temen lama, atau kerjaan lo kelar sebelum deadline. Itu bikin lo sadar bahwa hidup lo udah “penuh” sebelum lo minta lagi.

3. Bangun Hubungan Siklus, Bukan Sekadar Transaksi

Kalo sama orang tua, jangan nunggu butuh duit baru nelpon. Kalo sama temen, jangan nunggu ada project baru ngajak ngobrol. Kalo sama diri sendiri, jangan nunggu burnout baru istirahat.

Coba bikin kebiasaan: “hadir tanpa agenda.” Nelpon nyokap cuma buat bilang makasih. Ngajak nongkrong temen cuma buat catch up. Atau sekadar me-time baca buku favorit tanpa harus ada alasan produktif.

Gue kasih tiga kisah inspiratif yang relevan sama semangat The Giving Tree:

  1. Bill Gates – dia bukan cuma kaya raya, tapi juga konsisten memberi lewat Gates Foundation. Bedanya, dia nggak bikin dirinya habis. Dia tetap jaga kehidupan pribadinya, tetap berkembang.

  2. Ibu rumah tangga di komplek gue – tiap Jumat dia bikin nasi bungkus buat driver ojol. Nggak banyak, cuma 10 bungkus. Tapi dia bilang, “Saya senang karena bisa berbagi dari rezeki lebih, bukan maksa.”

  3. Diri kita sendiri – coba inget kapan terakhir kali lo berbagi tanpa pamrih. Bisa jadi sekadar senyum ke satpam, kasih donasi kecil, atau sharing ilmu di LinkedIn. Kecil buat lo, tapi gede buat orang lain.

 Pohon Itu Ada di Dalam Diri Kita

The Giving Tree ngingetin gue bahwa dalam diri kita ada dua peran: si anak yang selalu butuh, dan si pohon yang selalu memberi.

Kalau kita cuma jadi anak, kita bakal serakah dan nggak pernah puas. Kalau kita cuma jadi pohon, kita bakal habis terkuras.

Hidup yang bahagia adalah ketika kita bisa nemuin titik seimbang: memberi dari kelimpahan, menerima dengan syukur, dan menghargai siklus hubungan, bukan sekadar transaksi.

Dan di situ, kita bakal sadar: bahagia itu bukan soal punya apa, tapi soal apa yang kita bagi.

Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #TheGivingTree #Leadership #PersonalGrowth #Happiness #Mindfulness #Storytelling #LifeLessons #LinkedInNewsletter

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *