Pernahkah Anda punya keinginan kuat untuk menulis buku, tapi selalu terhenti di pertanyaan yang sama: “Harus mulai dari mana, ya?”
Mungkin Anda sudah mencoba menulis beberapa paragraf, lalu berhenti karena bingung bagaimana melanjutkannya. Atau ide-ide sudah menumpuk di kepala, tapi ketika jari-jari mulai mengetik di laptop, semuanya mendadak hilang. Bahkan ada juga yang sudah menyiapkan outline dengan rapi, namun akhirnya terbengkalai karena rutinitas pekerjaan yang tak ada habisnya.

Rasa frustrasi itu nyata. Banyak orang akhirnya menyerah, padahal mereka punya kisah hidup, pengalaman, bahkan pemikiran berharga yang layak diabadikan dalam sebuah buku. Sayangnya, hambatan seperti keterbatasan waktu, kebingungan langkah teknis, sampai rasa ragu apakah tulisannya cukup layak, membuat impian memiliki buku terus tertunda.

Perkenalkan, Saya Agung
Halo, saya Agung Setiyo Wibowo. Seorang Ghostwriter, Personal Branding Consultant dan juga mentor penulis. Saya telah membantu ratusan public figure—mulai dari politisi, artis, pengusaha, CEO, konsultan, coach dan motivator—menulis buku kebanggaan mereka. Buku tersebut berhasil saya bawa terbitkan di penerbit terkemuka seperti Penerbit Buku Kompas, Gramedia Pustaka Utama, Elex Media Komputindo, Erlangga, Tiga Serangkai, Andi Publisher, Pustaka Obor Indonesia, Raja Grafindo Persada, IPB Press dan seterusnya.

Saya tahu betul bagaimana rasanya terjebak di fase “ingin menulis tapi tak pernah selesai”. Karena jujur saja, dulu saya pun pernah berada di posisi itu. Saya menatap layar kosong, kursor yang berkedip, seolah-olah mengejek. Mau mulai dari mana, kalimat pertama seperti apa, bagaimana membuat alurnya menarik—semuanya terasa buntu.

Sampai akhirnya saya belajar, menulis buku itu seperti membangun rumah. Kita butuh fondasi (ide utama), butuh denah (outline), dan butuh tukang yang telaten (proses penulisan). Kalau semua itu dikerjakan sendirian, apalagi tanpa pengalaman, wajar saja kalau prosesnya terasa lambat dan melelahkan.

Kenapa Banyak Orang Gagal Menyelesaikan Buku?
Ada tiga alasan utama yang sering saya temui ketika mendampingi klien menulis:

Waktu yang Tidak Pernah Cukup Banyak profesional, pengusaha, dan pemimpin organisasi sebenarnya punya banyak cerita inspiratif. Sayangnya, agenda harian mereka sudah penuh. Menulis membutuhkan ruang khusus, dan tidak semua orang punya kemewahan waktu itu.
Tidak Tahu Harus Mulai dari Mana Ide melimpah, tapi tanpa kerangka, tulisan hanya jadi serpihan-serpihan paragraf yang tidak nyambung. Inilah yang membuat banyak orang berhenti di tengah jalan.
Ragu dengan Kualitas Tulisan Sendiri Pertanyaan klasik: “Apa tulisan saya cukup bagus? Apa ada orang yang mau baca?” Rasa tidak percaya diri ini sering kali membuat naskah berhenti bahkan sebelum lahir.

Kalau Anda merasa pernah mengalami salah satunya, percayalah, Anda tidak sendirian. Dan kabar baiknya: ada cara untuk melewati itu semua.

Di Sini Peran Ghostwriter
Ghostwriter itu ibarat arsitek dan kontraktor sekaligus. Anda punya lahan dan mimpi tentang rumah yang ingin dibangun, sementara ghostwriter membantu menuangkan visi itu menjadi nyata. Bedanya, rumah itu berupa buku.

Sebagai ghostwriter, tugas saya bukan hanya menulis. Lebih dari itu: saya mendengar, menggali cerita, memahami nilai yang ingin Anda sampaikan, lalu menerjemahkannya ke dalam tulisan yang mengalir, enak dibaca, dan tetap merefleksikan suara Anda.

Banyak orang mengira ghostwriter berarti “orang lain menulis, kita tidak berperan apa-apa”. Padahal, kenyataannya, klien tetap jadi sumber utama cerita. Ghostwriter hanya membantu mengemas dengan bahasa yang tepat, struktur yang kokoh, dan gaya yang sesuai target pembaca.

Kenapa Buku Itu Penting?
Buku adalah bentuk legacy. Ia bukan sekadar kumpulan kata, melainkan jejak pemikiran, pengalaman, dan nilai hidup yang Anda wariskan. Dalam dunia profesional, buku juga menjadi personal branding yang sangat kuat.

Seorang pengusaha yang menulis buku tentang perjalanannya membangun bisnis akan lebih kredibel dibanding hanya menceritakannya di seminar. Seorang pemimpin organisasi yang menuliskan filosofi kepemimpinannya akan lebih dihargai dibanding hanya menyampaikannya dalam pidato.

Buku membuat gagasan Anda bertahan lebih lama, menembus ruang dan waktu. Bahkan, bisa jadi buku Anda akan dibaca orang yang belum pernah bertemu langsung dengan Anda. Itulah kekuatan sebuah karya tulis.

Cerita Nyata dari Klien
Saya pernah mendampingi seorang direktur perusahaan yang ingin menuliskan perjalanan hidupnya. Awalnya ia ragu, “Apa kisah saya cukup menarik?” Setelah beberapa sesi wawancara, saya mulai menemukan benang merah: ternyata banyak keputusan sulit yang ia ambil bisa jadi inspirasi bagi orang lain.

Begitu naskah jadi, respons pembaca luar biasa. Bukan hanya rekan bisnisnya yang terkesan, tetapi juga karyawannya merasa lebih dekat dan memahami sisi humanis dari sang direktur. Buku itu menjadi jembatan antara dia dengan lingkungannya.

Ada juga seorang ibu rumah tangga yang ingin menuliskan pengalaman mendidik anak-anaknya. Ia merasa tulisannya sederhana saja. Tapi justru dari kesederhanaan itu lahir buku yang hangat dan relatable, membuat banyak pembaca merasa “akhirnya ada yang menuliskan apa yang saya alami juga”.

Menulis Buku Itu Perjalanan, Bukan Sprint
Banyak orang mengira menulis itu soal duduk, mengetik, lalu selesai. Faktanya, prosesnya panjang. Ada riset, ada diskusi, ada editing berkali-kali. Tidak jarang, butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya naskah siap terbit.

Karena itu, punya teman perjalanan sangatlah penting. Ghostwriter hadir bukan untuk mengambil alih cerita Anda, tapi untuk menemani, memberi struktur, dan memastikan perjalanan itu tidak terhenti di tengah jalan.

Bagaimana Saya Bekerja
Proses saya biasanya sederhana tapi mendalam:

Eksplorasi Ide – Mendengarkan cerita Anda, menggali nilai yang ingin dibawa.
Menyusun Outline – Membuat kerangka bab demi bab.
Wawancara Mendalam – Mengumpulkan detail pengalaman, kisah, dan insight.
Proses Penulisan – Menyusun naskah dengan gaya bahasa yang sesuai dengan karakter Anda.
Revisi & Polishing – Menyempurnakan hingga hasilnya layak terbit.

Hasil akhirnya adalah buku yang benar-benar merepresentasikan Anda—meski ditulis oleh ghostwriter, suaranya tetap milik Anda.

Menulis Buku Bukan Untuk Semua Orang, Tapi…
Mungkin ada yang berpikir: “Ah, saya tidak perlu menulis buku. Cukup media sosial saja.” Itu sah-sah saja. Tapi bedanya, media sosial cepat tenggelam, sedangkan buku memberi bobot dan daya tahan yang berbeda.

Apakah semua orang harus punya buku? Tidak. Tapi kalau Anda merasa punya sesuatu yang layak dibagikan, entah itu pengalaman, pemikiran, atau kisah hidup, maka buku bisa menjadi medium yang paling elegan.

Dan kabar baiknya, Anda tidak harus melakukannya sendiri.

Pada Akhirnya . . .
Menulis buku memang bukan perkara mudah. Banyak yang gagal di tengah jalan, banyak pula yang tidak pernah memulai. Tapi jika Anda merasa punya cerita, jangan biarkan ia hilang begitu saja.

Saya percaya, setiap orang punya “buku” dalam dirinya. Pertanyaannya tinggal: apakah Anda ingin membiarkannya tetap terkunci di kepala, atau ingin melihatnya hidup di tangan pembaca?

Kalau Anda memilih yang kedua, izinkan saya menemani perjalanan itu.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *