“Eh, lo udah lihat video Gus Miftah yang viral itu nggak? Gue jadi bingung, apa yang dilakukannya salah, atau cuma karena cara penyampaiannya aja yang salah?”

“Iya, gue juga sempat lihat! Ada yang bilang itu kasar banget, tapi menurut gue niatnya baik. Tapi pas Mbak Adita ngomong soal ‘rakyat jelata’, makin bikin panas aja, deh!”

Itulah percakapan yang pasti banyak kita dengar di media sosial akhir-akhir ini. Gus Miftah, yang dikenal sebagai seorang ulama, viral setelah sebuah video memperlihatkan dirinya memberi kritik terhadap seorang penjual es teh di Magelang. Dalam video tersebut, Gus Miftah mengkritik atau mengomentari seorang penjual es teh dengan maksud bercanda. Sayangnya, kritik tersebut dianggap terlalu kasar oleh sebagian orang, yang merasa bahwa cara penyampaian Gus Miftah tidak pantas, bahkan terkesan merendahkan.

Tak lama setelah video tersebut viral, Mbak Adita Irawati, juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, mengadakan konferensi pers untuk memberikan klarifikasi. Namun, sayangnya, penggunaan kata “rakyat jelata” dalam penjelasannya justru memicu kecaman lebih lanjut dari netizen yang merasa kata tersebut tidak pantas dan terkesan merendahkan.

Melihat peristiwa ini, kita seharusnya merenung, bagaimana kita berkomunikasi di era digital yang serba cepat dan penuh reaksi seperti sekarang ini? Apa yang salah dengan cara kita menyampaikan pesan dan bagaimana cara kita bisa memperbaiki hal itu agar tidak salah paham?

Konten dan Konteks dalam Komunikasi: Mengapa Itu Penting?

Sebelum kita menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, mari kita bahas terlebih dahulu tentang konten dan konteks dalam komunikasi. Dalam komunikasi, konten adalah pesan yang disampaikan, sementara konteks adalah cara dan situasi di mana pesan tersebut disampaikan. Keduanya adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan apakah pesan tersebut akan diterima dengan baik atau tidak.

Dalam kasus ini, Gus Miftah mungkin memiliki niat yang baik untuk memberikan kritik membangun kepada sang penjual es teh, namun cara penyampaiannya—yang terkesan tegas dan kurang lembut—dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Ini mengingatkan kita pada teori pathos dalam komunikasi, yaitu bagaimana emosi dan perasaan audiens dapat dipengaruhi oleh cara kita berbicara. Jika kritik disampaikan dengan nada yang keras atau kasar, meskipun tujuannya baik, bisa jadi audiens merasa tersinggung.

Sementara itu, ethos, yang berbicara tentang kredibilitas pembicara, juga penting untuk dipertimbangkan. Sebagai seorang tokoh yang dihormati, Gus Miftah memiliki etos yang kuat dalam menyampaikan pesan. Namun, ini tidak selalu menjamin bahwa semua orang akan menerima pesan tersebut dengan cara yang sama, karena konteks sosial dan audiens yang berbeda-beda.

Tak kalah penting adalah logos, yang berhubungan dengan logika atau alasan di balik pesan tersebut. Gus Miftah sebenarnya ingin menyampaikan pesan yang masuk akal: pentingnya kualitas produk dalam berdagang. Namun, dalam dunia komunikasi, logos saja tidak cukup; cara penyampaian dan pilihan kata yang tepat juga harus diperhatikan agar pesan tersebut tidak disalahartikan.

Mbak Adita dan Kontroversi “Rakyat Jelata”

Setelah kejadian tersebut, Mbak Adita Irawati, yang bertugas memberikan klarifikasi, menggunakan kata “rakyat jelata” untuk menggambarkan situasi yang dihadapi oleh penjual es teh tersebut. Sayangnya, penggunaan kata ini justru menambah kontroversi. Banyak netizen yang menganggap bahwa penggunaan diksi tersebut sangat tidak sensitif dan merendahkan, mengingat konotasi kata “jelata” yang identik dengan kelas bawah dan dianggap tidak sopan dalam konteks formal.

Hal ini mengingatkan kita pada temuan dalam penelitian oleh Brown & Duguid (2017), yang menunjukkan bahwa pilihan kata sangat berpengaruh dalam membangun persepsi audiens. Kata-kata yang tidak tepat dalam komunikasi publik, meski tidak bermaksud negatif, bisa menimbulkan reaksi yang besar. Klarifikasi yang baik seharusnya tidak hanya menjelaskan niat, tetapi juga memperhatikan bagaimana kata-kata yang dipilih dapat diterima oleh audiens dengan penuh empati.

Data dari penelitian Vosoughi et al. (2018) juga mengungkapkan bahwa di media sosial, kata-kata yang mengandung unsur kontroversial atau terkesan merendahkan bisa memperburuk keadaan, bahkan memperburuk citra pembicara. Dalam hal ini, kata “rakyat jelata” terbukti menjadi pemicu emosi negatif di kalangan netizen.

Ayo Berdiskusi!

Peristiwa ini tentu mengingatkan kita akan pentingnya kehati-hatian dalam berkomunikasi, terutama di media sosial. Jadi, apa pendapat kamu?

  1. Apakah menurut kamu cara Gus Miftah memberikan kritik sudah sesuai? Atau sebaiknya ada cara lain yang lebih lembut agar kritik tersebut bisa diterima dengan baik?
  2. Seberapa penting penggunaan diksi yang tepat dalam klarifikasi publik? Apakah kamu merasa kata “rakyat jelata” seharusnya tidak digunakan dalam konteks tersebut?
  3. Apakah kamu setuju kalau emosi (pathos) sangat mempengaruhi bagaimana kita menerima informasi, terutama di media sosial?
  4. Menurut kamu, bagaimana cara yang baik untuk menyampaikan kritik atau nasihat yang bisa diterima oleh semua orang, tanpa menyinggung atau merendahkan?
  5. Bagaimana seharusnya seorang figur publik menjaga citra diri mereka saat memberikan klarifikasi mengenai suatu kontroversi?

Yuk, bagikan pendapat kamu di kolom komentar! Setiap pendapat akan sangat membantu kita semua untuk lebih bijak dalam berkomunikasi di dunia maya yang cepat ini. Dengan berdiskusi, kita bisa menciptakan suasana yang lebih positif dan saling memahami. Jangan lupa untuk share artikel ini biar semakin banyak yang tahu!

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *