Tag: Pekerjaan

  • Menemukan Pekerjaan yang Cocok

    Entah kita sadari atau tidak, pekerjaan adalah salah satu hal yang paling penting bagi kehidupan setiap orang. Buktinya, dari kecil kita selalu ditanya oleh guru, teman atau orang tua kita

    “Nanti kalau udah gede pengen jadi apa?”

    “Apa cita-citamu nak?”

    Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh fenomena sengitnya kompetisi untuk bisa diterima di perguruan tinggi favorit. Karena menurut kebanyakan orang, dengan menggondol gelar di PTN/PTS favorit, masa depan bisa terjamin.

    Kita tentu juga sudah dengan fenomena masih tingginya animo masyarakat untuk menjadi seorang PNS atau ASN. Buktinya, tak sedikit yang rela merogoh kocek besar agar kelak bisa menikmati uang pensiun. Wow!

    Well, pekerjaan mungkin memang menyedot sebagian besar waktu kita. Meskipun rata-rata kita bekerja 8-10 jam perhari, kenyataannya bisa lebih dari itu jika kita menambahkan waktu tempuh dari dan ke kantor. Jika sehari kita memakan waktu 2-5 jam perhari saja di jalan, sudah kebayang kan berapa lama waktu kita habis untuk pekerjaan 8-15 jam bukan? Wow!

    Sayangnya, bagi sebagian orang – khususnya generasi kini — tidak mudah menemukan pekerjaan yang cocok. Alhasil fenomena menjadi “Kutu Loncat” masih jamak kita temui. Dan tingkat stres karena tidak menikmati pekerjaan sudah menjadi isu klise yang tetap relevan dari tahun ke tahun.

    Mengapa banyak orang yang tidak menikmati pekerjaannya?

    Apa ada yang salah?

    Tekanan kantor yang tidak lazim atau memang ada faktor lain?

    Tentu sangat kompleks faktornya.

    Sebagai pribadi yang pernah merasakan menderitanya menemukan pekerjaan yang cocok, saya sangat bersyukur sudah bisa mengenali apa yang saya inginkan dalam hidup. Bagi teman-teman yang kini tengah berjuang untuk menemukan pekerjaan yang cocok, jangan patah semangat ya.

    Tak ada salahnya untuk membaca buku The Calling karya saya sebagai inspirasi. Tertarik? Klik link berikut untuk mencari tahu atau membeli ya.

  • Memaknai Panggilan Hidup  

     

                    Untuk apa Anda hidup?

    Mengapa Anda melakukan apa yang Anda lakukan sekarang?

    Apakah Anda menikmati apa yang Anda lakukan sekarang?

    Mengapa Anda bekerja?

    Bagaimana Anda memaknai pekerjaan?

    Apa nilai yang dapat Anda berikan kepada sesama?

    Jika hari ini merupakan hari terakhir Anda, apa yang ingin Anda lakukan?

    Apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup?

    Apa yang diharapkan orang lain dari Anda?

    Di manakah Anda ingin menjadi “pahlawan”?

    Jika kelak Anda wafat, Anda ingin dikenal sebagai sosok yang seperti apa?

    Di atas ialah contoh pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri. Juga kepada siapa saja yang saya temui dalam riset panggilan hidup masyarakat Indonesia.

    Mengapa saya menjalankan penelitian tersebut? Karena saya pernah mengalami “krisis” ketika saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Lantaran saya pernah “kehilangan rasa” ketika melakukan apa yang saya lakukan. Mengingat saya pernah tidak bahagia dalam bekerja.

    Sejatinya apa sih panggilan hidup itu? Tidak ada definisi tunggal yang diamini oleh semua kalangan. Namun, jika boleh saya ringkas, panggilan hidup merupakan “alasan” keberadaan Anda di dunia. Maksudnya?

    Jika dikaitkan dengan pekerjaan, panggilan hidup berkaitan erat dengan misi. Artinya, Anda didorong oleh jiwa Anda sendiri untuk turut membantu permasalahan di sekitar dengan kemampuan yang Anda miliki.

    Misalnya saja nih. Anda merasa gelisah mengingat angka pengangguran yang begitu tinggi. Panggilan hidup Anda mungkin ingin turut membuka lapangan kerja, oleh sebab itu Anda menjadi pengusaha. Contoh lainnya ketika Anda merasa trenyuh melihat buruknya manajemen bisnis di level UMKM, panggilan hidup Anda tidak menutup kemungkinan menjadi konsultan atau penasehat para pelaku UMKM.

    Intinya, panggilan hidup berkaitan erat dengan “DNA” Anda. Ia sejalan dengan suara nurani. Berbanding lurus dengan apa yang diinginkan oleh jiwa Anda. Yang lebih penting, panggilan hidup bersifat personal sekaligus berorientasi spiritual. Maksudnya apa?

    Panggilan hidup bukan tentang diri sendiri. Akan tetapi untuk orang lain, bagi sesama. Sebisa mungkin kehadiran Anda bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Sehingga, apa yang Anda lakukan memang “linear” dengan yang Tuhan inginkan.

    Jadi, sudahkah Anda menemukan panggilan hidup Anda?

     

    Kebagusan, 15 Oktober 2018

  • Apa Yang Saya Pelajari Di Usia 20an?

                Katanya, waktu tidak bisa ditukar dengan Rupiah. Konon, pengalaman tak bisa dihargai dengan Dolar.  Bagi saya, keduanya tidak salah. Yang pasti, waktu tidak pernah kembali dan pengalaman akan terus menjadi memori.

    Tahun ini saya resmi meninggalkan usian 20an. Artinya, saya mulai menginjak angka 30 di tahun 2018.

    Ada perasaan senang dan sedih yang mengiringi. Senang karena banyak hal yang telah saya lalui dalam satu dasawarsa terakhir. Sedih lantaran saya belum bisa memanfaatkan waktu sebagaimana mestinya.

    Saya sangat bersyukur bisa melewati usia 20an dengan pengalaman penuh warna. Karena masih diberi “kepercayaan” oleh Tuhan untuk bernafas di alam dunia.

    Mungkin bagi sebagian orang ini berlebihan. Namun, tidak bagi saya. Lantaran tidak sedikit teman sekolah, saudara, maupun tetangga seusia saya atau bahkan yang lebih muda sudah lebih dahulu menghadap kepada-Nya.

    Saya yakin pengalaman setiap orang melewati fase ini pastilah unik. Begitu pula cara memaknainya. Namun, jika saya ditanya apa pelajaran yang dapat saya ceritakan di usia 20an, inilah jawabannya.

     

    Men Can Plan Well, But God is the Best Planner

    Saya kira ini pelajaran terpenting. Karena sehebat apapun kita berencana, pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.

    Dalam konteks saya pribadi, untuk pertama kalinya saya percaya takdir di usia ini.  Sejak kecil – karena didikan orang tua dan agama – saya tahu takdir memang ada. Namun, saya baru bisa benar-benar menghayati apa itu takdir dan nasib di fase ini.

    Jika ditarik ke belakang, saya masih ingat betul bagaimana dulu pernah “jatuh” karena pendidikan. Khususnya ketika gagal menjadi mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga dan PKN STAN di tahun 2007.

    Dalam konteks karir, saya begitu banyak “ditolak” oleh perusahaan. Di sisi lain, tidak kalah banyak saya “dibajak” atau tiba-tiba ditawari untuk bergabung perusahaan tertentu.

    Dalam konteks penjualan, saya bertubi-tubi ditolak calon pelanggan. Namun, tak sedikit juga yang tiba-tiba mendapatkan closing tanpa saya menawarkan.

    Dalam konteks perjodohan tidak kalah seru. Tak terhitung berapa orang yang ingin saya “dekati”, tapi ujung-ujungnya tidak mendapati kecocokan. Tak ingat lagi berapa orang yang telah menolak saya untuk menjadi bagian hidupnya – meski baru mengatakan “halo”. Yang pasti, tidak sedikit  yang begitu agresif mempengaruhi saya untuk menikah dengannya.

     

     

    Dalam Hidup Kita Memilih dan Dipilih

                Apakah hidup ialah pilihan? Ya, saya mengamini. Lebih tepatnya lagi merupakan kumpulan dari beragam pilihan yang seolah tak berkesudahan.

    Yang saya pelajari di fase 20an ialah tentang memilih dan dipilih. Ya, ada saatnya kita memang benar-benar berkuasa penuh dengan pilihan yang kita inginkan. Namun, ada momen-momen tertentu yang ternyata kita “dipilih” oleh Tuhan untuk menjadi, melakukan atau mempunyai hal tertentu.

    Pada tahun 2008 misalnya. Saya “dipilih” untuk menerima beasiswa penuh dari Theodore Permadi Rachmat di Universitas Paramadina di bidang yang dulu saya cintai – hubungan internasional. Juga terpilih untuk menerima beasiswa penuh di salah satu sekolah kedinasan di Yogyakarta.

    Di tahun 2012, lain lagi ceritanya. Saya memilih untuk menjadi mahasiswa Master di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Namun nasib berkata lain, saya gagal di “babak” terakhir. Sehingga membuat saya dipilih untuk menjadi mahasiswa Master di Universitas Indonesia melalui beasiswa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

    Masih di tahun 2013, saya dipilih oleh salah satu profesor manajemen di Amerika Serikat. Lebih tepatnya untuk menjadi mahasiswa MBA di salah satu kampus di Florida. Karena sudah lebih dulu terikat dengan beasiswa di Universitas Indonesia, saya melepas atau menolak tawaran studi di Negeri Paman Sam.

     

    Tentang Menemukan Jodoh

                Berbeda dengan sebagian laki-laki di luar sana, saya tidak pernah berpacaran. Itu mengapa saya sama sekali tidak memiliki cerita romantis dengan orang tertentu.

    Untuk urusan perjodohan, saya termasuk orang yang “mengalir”. Artinya, saya bukan tipe perencana seperti beberapa teman saya yang memang telah merancang dengan sangat baik kriteria pasangan, hingga kapan dan di mana harus menikah.

    Jodoh memang misteri. Kita sering mendengar bahwa lama atau tidaknya berpacaran tidak menjamin sepasang manusia terikat dalam institusi pernikahan. Sebaliknya, tidak ada jaminan juga pasangan yang mengambil “jalur” taaruf bisa langgeng sampai “kakek-nenek”. Begitu pun mereka yang menikah karena dijodohkan oleh keluarga seperti cerita Siti Nurbaya.

    Jalan hidup orang berbeda-beda. Ada yang menemukan jodohnya di tempat kerja, komunitas, kampus, dikenalkan teman, dijodohkan, taaruf, hingga melalui aplikasi tertentu.

    Bagi saya, menikah bukanlah kompetisi. Bukan siapa yang paling cepat menemukan pasangannya. Bukan pula hanya dipengaruhi faktor finansial dan mental.

    Percaya atau tidak, siapapun akan menemukan jodohnya di saat dan waktu yang tepat menurut Tuhan. Disadari atau tidak, siapa saja akan memperoleh pasangan seperti yang dipikirkan dan diharapkan. Jika sudah demikian, yang harus dilakukan oleh orang-orang yang melajang ialah cukup berusaha dan berdoa.

     

    Mengenai Rezeki

                Usia 20an mungkin merupakan fase terpenting dalam menentukan pekerjaan. Tak mengherankan, di masa ini ada berbagai banyak keputusan yang harus diambil. Mulai dari memilih perguruan tinggi, tempat magang, profesi, hingga bidang bisnis yang ingin ditekuni.

    Yang saya pelajari, usia 20an begitu dinamis. Ada banyak perubahan pola pikir di masa ini. Ada beragam kejutan yang tak disangka-sangka. Ada berderet orang yang mewarnai perjalanan hidup kita di  fase ini.

    Di usia 20an, kita mulai belajar kerasnya kehidupan. Saya tidak mengatakan di fase sebelum atau setelahnya tidak keras – sama sekali bukan. Namun, di periode ini kita memang sedang gencar-gencarnya berjuang menjemput, mengupayakan, atau mencari rezeki.

    Yang saya pahami, uang bukan satu-satunya tolok ukur rezeki. Karena sudah jamak terdengar orang yang kaya-raya tapi bunuh diri. Para pesohor yang memiliki puluhan juta penggemar mengakhiri hidup dengan tragis. Para pengusaha yang bergelimang kemewahan tidak memiliki waktu untuk anak. Para pejabat yang terlihat “enak” menyesal dalam penjara yang memalukan.

    Rezeki tentang keberkahan. Bukan dari seberapa banyak kita memperoleh. Rezeki ialah tentang memberi, bukan terhenti pada tahap memiliki.

     

    Kebahagiaan Yang Paling Didambakan

                Di usia 20an kita mulai diuji oleh berbagai pernak-pernik kehidupan. Khususnya mengenai karir, bisnis, rumah tangga, dan gaya hidup.

    Di fase ini, nilai-nilai kehidupan kita benar-benar diuji. Karena pengaruh dari luar diri kita begitu luar biasa untuk “menggoyang” apa yang sesungguhnya kita inginkan dalam hidup.

    Kendali ada pada diri kita. Apakah kita mau mengikuti apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup atau mengikuti apa yang orang lain inginkan dari diri kita?

    Kendali ada pada diri sendiri. Apakah kita mau mengikuti apa yang membuat kita bahagia atau didikte oleh orang tua, teman, institusi atau media.

    Di usia 20an, identitas kita benar-benar mulai diuji. Apakah kebahagiaan versi kita berbanding lurus dengan kekayaan, ketenaran dan kekuasaan? Atau bukan dari ketiganya?

    Yang pasti, apapun yang sebenarnya kita inginkan, itulah yang membuat diri kita bahagia. Jika kita sudah tahu apa itu, ikuti saja kata hati.

    Namun, kita juga harus ingat. Bahwa apa yang kita lakukan tidak melanggar. Baik dari sisi agama, hukum, sosial dan alam.

     

    Sebenarnya di luar 5 (lima) hal di atas, masih ada berderet pelajaran lain yang bisa saya tuturkan. Namun, saya kira kelimanya telah mewakili.

    Usia 20an ialah periode eksplorasi. Jadi, lakukan saja apapun yang kita inginkan. Kejar apa saja yang membuat kita bahagia.

    Di fase 20an, energi kita berada pada puncaknya. Jadi, jangan sampai ia berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang berarti dan kita banggakan di kemudian hari.

    Saya baru saja mengakhiri fase 20an. Ini cerita saya, bagaimana dengan Anda?

     

     

     

     

     

     

  • Memaknai Kembali Pekerjaan

    Bekerja ialah salah satu kegiatan utama setiap orang di sepanjang hidup. Sebagian besar orang menghabiskan setidaknya sepertiga waktu produktif untuknya. Sebagian lainnya bahkan lebih dari itu.

    Melalui pekerjaan, setiap individu “menyumbangkan” diri. Dari waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Dengan pekerjaan kita rela meneteskan darah, keringat dan air mata. Menguji ketulusan, kesabaran, ketekunan, pengorbanan, tanggungjawab, dan integritas. Berkat pekerjaan kita bisa menggapai mimpi dan cita (bahkan cinta).

    Menyadari berharganya pekerjaan, setiap insan berjuang setengah mati untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Dimulai dari kelulusan SMP. Saudara-saudara kita yang ingin cepat bekerja tentu memilih SMK, sesuai dengan vokasi yang diinginkan. Sementara itu yang memiliki hasrat untuk meneruskan ke perguruan tinggi, mempercayakan SMA dengan konsentrasi Ilmu Alam, Ilmu Sosial hingga Bahasa.

    Bagi yang beruntung bisa melanjutkan kuliah, “drama” pemilihan jurusan tak terelakkan lagi. Seringkali orang tua ikut campur tangan dalam menentukan program studi buah hati. Tidak jarang pilihan yang diambil mengabaikan aspek minat, bakat, potensi dan kepribadian. Banyak yang masih ikut-ikutan tren hingga mengambil jurusan tertentu hanya karena prospek pekerjaan. Tidak ada yang salah memang. Namun dari sini kita bisa mengerti, betapa pekerjaan menjadi isu penting yang tak bisa dipungkiri.

    Pekerjaan merupakan salah satu pilar dalam menentukan pasangan hidup. Beberapa orang mengidolakan calon jodoh dari profesi tertentu. Sebagian orang mematok calon pasangan, harus memiliki penghasilan dengan jumlah yang menurut mereka “wajar”. Sebagian lainnya sama sekali tidak mempermasalahkan profesi, asalkan bisa menghidupi.

    Pekerjaan ibarat pisau bermata dua. Bergantung dari cara individu menyikapi masalah bertubi-tubi yang mengiringi karirnya. Banyak figur publik mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sebagian dipenjara karena korupsi hingga mengkonsumsi narkotika. Tidak sedikit yang stres tiada henti karenanya. Sementara itu masih ada yang bahagia karena bekerja. Apapun rintangan yang dilaluinya.

    Lantas bagaimana kita memaknai pekerjaan? Jika kita ulik lagi, ada beberapa poin yang bisa disarikan.

    Pekerjaan Sebagai Beban

    Ini dirasakan oleh orang-orang yang belum mengenal dengan baik siapa dirinya. Mereka menganggap segala tanggungjawab yang dihadapi karena keterpaksaan. Mengeluh, menyalahkan orang lain, dan acuh tak acuh sudah menjadi kebiasaan orang di level ini. Mereka bekerja semata-mata ingin mendapatkan Rupiah. Seringkali mereka ingin menang sendiri, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan mengabaikan kata hati.

    Pekerjaan Sebagai Aktualisasi Diri

    Ini dirasakan oleh kebanyakan orang. Mereka bekerja secara profesional. Menyalurkan potensi, minat, bakat dan keterampilannya dalam keseharian. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan upah. Sistem reward & punishment cukup efektif dalam “memompa” semangat orang-orang di level ini. Mereka bekerja keras demi jenjang karir yang didambakan. Paada saat yang bersamaan, mereka terus tumbuh karena bertambahnya pengalaman. Didewasakan oleh masalah, ditempa dengan tugas yang dari hari ke hari makin besar.

    Pekerjaan Sebagai Cara untuk Melayani Sesama

    Mereka bekerja bukan karena keterpaksaan. Mereka berkarya bukan sekonyong-konyong karena uang. Namun mereka “ada” untuk melayani sesama. Semakin besar tanggung jawab yang dieemban, semakin besar pula “peluang” mereka untuk bahagia. Memberikan sebagian tenaga, waktu dan pikiran sudah menjadi denyut nadi. Membantu sesama telah menjadi citra diri. Mereka tidak tinggi hati ketika dipuji, dan tidak rendah diri ketika dicaci.

    Pekerjaan Sebagai Jalan untuk Memecahkan Masalah Orang Lain

    Pekerjaan sejatinya merupakan ujian yang wajib diselesaikan. Itu artinya, siapa saja yang bisa “lulus”, secara otomatis akan “naik kelas”. Dengan kata lain, cepat atau tidaknya perkembangan karir kita ditentukan oleh seberapa besar masalah yang kita pecahkan. Semakin tinggi posisi, semakin tinggi pula tantangan yang harus diredamkan. Semakin dahsyat kepuasan yang ditawarkan, semakin dahsyat pula resiko yang mengiringi. Menyadari hal itu, orang-orang yang berada pada level ini tidak pernah iri dengan pencapaian orang lain. Mereka percaya dengan hukum alam bahwa apa yang ditanam, itu pula yang akan dituai.

    Pekerjaan Sebagai Panggilan

    Ini merupakan “derajat” tertinggi dalam menghayati sebuah pekerjaan. Mereka berkarya bukan semata-mata karena kepentingan dunia. Melainkan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Hyang Widhi. Orang-orang ini berkarya karena ibadah. Jadi, mereka tidak lagi bekerja “hitung-hitungan”. Melainkan berusaha menciptakan nilai tambah dari masa ke masa. Mereka berhubungan dengan Tuhan sebaik berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu mereka yakin, bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bagi mereka, bekerja merupakan proses ibadah yang dengan suka cita dilaksanakan dengan “tujuan” mulia.

    Nah, di atas merupakan beberapa makna pekerjaan versi saya. Bisa jadi Anda memiliki definisi tersendiri. Namun itu tidak jadi soal. Karena pekerjaan merupakan cermin dari siapa kita. Jadi ingin menjadi sebaik apakah Anda dalam menyelami pekerjaan?

     

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 31 Juli 2017