Tag: kebahagiaan

  • The Islamic Way of Happiness

    Apa yang perlu kamu pelajari dari Islam untuk bisa berbahagia, bahkan jika kamu bukan seorang Muslim sekali pun

     

    Kebahagiaan adalah dambaan semua orang. Apa yang kita kejar, perjuangkan, dan lakukan detik demi detik merupakan cara kita memaknainya. Apa yang kita butuhkan untuk mencapai titik bahagia sesungguhnya sudah ada pada diri kita masing-masing. Sayangnya, manusia senantiasa mematok standar sendiri-sendiri yang justru menjauhkannya. Kebahagiaan sejatinya tanpa syarat. Kita sendiri saja yang mensyaratkan harus menjadi ini itu, mencapai ini itu, atau memiliki ini itu untuk bisa berbahagia. Buku ini membeberkan bagaimana Islam mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi bahagia. Yang menarik, semua ajaran tersebut dapat dibuktikan oleh riset dari berbagai perspektif sains. Mulai kedokteran, kesehatan, psikologi, biologi, filsafat, hingga neurosains.

     

    TESTIMONI

    Kunci bahagia itu sederhana. Manusia saja yang sering membuatnya ribet. Buktinya, Islam maupun sains modern telah membeberkannya dengan lugas. Masih ragu? Makin penasaran? Atau malah bingung? Temukan jawabanmu di buku ini.

    Ali Akbar Hutasuhut
    Co-Founder Fuluzz dan Director PT Dinar Madani Sentosa

     

    Di dalam tradisi Islam klasik banyak karya terkait kebahagiaan seperti Tahdzib al Akhlaq karangan Ibn Miskawaih atau Tahshil al-Sa’adah karangan al-Naraqi. Untuk konteks saat ini buku The Islamic Way karangan Agung akan memperkaya khazanah Islam tentang kebahagiaan yang isinya jauh lebih kekinian dan mengandung pesan-pesan universal yang applicable oleh siapapun. Bahasanya mengalir jelas sehingga mudah untuk menjadi bacaan serta panduan hidup kita sehari-hari. Selamat membaca dan menemukan kunci kebahagiaan hidup.

    Aan Rukmana
    Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

     

    Buku ini bagus untuk dibaca. Inspiratif dan mencerahkan.

    Muhammad Alfan Alfian
    Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

     

    Sejauh ini, Literatur tentang kebahagiaan datang dari perspektif Psikologi Mainstream. Padahal, jauh sebelum itu banyak tokoh psikologi Islam di Abad Pertengahan yang membahas tentang kebahagiaan. Buku yang luar biasa berharga ini menjadi jawaban dari hipotesis tersebut yang bisa membuat raga, akal, ruh dan hatimu berpadu dalam harmoni kebahagiaan.

    Dr. Ghozali, S.Psi, M.Si

    Dosen Pascasarjana SKSG UI, Paramadina serta Penggagas Ilham Therapy Al-Ghazali

     

    Kebahagiaan sesungguhnya tanpa syarat. Sayangnya, manusia senantiasa mensyaratkan harus menjadi, memiliki atau mencapai titik tertentu sebagai parameternya. Alhasil, syarat tersebut tidak pernah terpenuhi. Buku ini laksana oase di tengah gurun yang ditunggu-tunggu oleh kita semua yang mendambakan kebahagiaan. Kebahagiaan juga harus berasal dari kekuatan internal tanpa harus menunggu kekuatan eksternal.

    Dr. Febrizal Rahmana, MM
    Dosen Universitas Bina Nusantara

    (more…)

  • Sekedar Tamu

    Belum lama ini saya bertemu Dewa (bukan nama sebenarnya). Ia merupakan mentor saya di bidang spiritual. Karena sulit untuk menemukan jadwal bertemu langsung, saya pun menelponnya sekitar 90 menit melalui aplikasi Whatsapp.

    Sore itu, obrolan saya awalnya tidaklah istimewa. Kami hanya saling menanyakan kabar. Basa-basilah namanya.

    Untungnya, di 30 menit terakhir saya mendapatkan “pencerahan” yang mengubah cara pandang saya. Apalagi kalau bukan mengenai kebahagiaan.

    Mengapa sebagian besar orang di bumi ini tidak bahagia?

    • Mereka pikir, uang bisa membeli segalanya. Ternyata tidak. Sebanyak apapun uang yang dimiliki, tetap saja merasa kurang dan kurang.
    • Mereka pikir, jabatan bisa membuat hati sejuk. Kenyataannya tidak. Mereka yang telah mendapatkan jabatan level 1, akan merasa bahagia jika mencapai level 2. Mereka yang berada di level 6, akan merasa bahagia jik a mencapai level 7. Mereka tak menikmati apa yang dimiliki saat ini. Mereka tak bersyukur.
    • Mereka pikir, pengakuan dan ketenaran adalah yang utama. Ironisnya, hari demi hari mereka lalui dengan keresahan. Mereka mencari segala cara untuk mencari likes, followers, comments, appreciations, atau apapun itu namanya. Mereka tidak menyadari bahwa kedamaian hati bersumber dari dalam diri. Bukan karena pemberian orang lain.

     

    Tentu jawabannya bisa “mengular” tak berujung. Karena yang dikejar oleh masing-masing individu berbeda satu sama lain.

    Guru saya mengibaratkan manusia di dunia ini sebagai tamu. Sementara itu yang Tuhanlah yang menjadi tuan rumah.

    Seenak apapun hidangan untuk tamu, tidaklah jadi soal. Karena berapa lama sih durasi atau waktu kita bertamu? Bukankah sebentar saja? Tidak salah jika orang Jawa menganggap hidup berdunia ini mung mampir ngombe atau “hanya mampir minum air”.

    Sebernilai apapun pemberian tuan rumah untuk tamu, tidak bisa kita intervensi. Mana ada tamu “memesan” barang X, Y, atau Z untuknya? Demikianlah dengan kepemilikan kita terhadap harta benda, anak, jabatan dan seterusnya. Semua hanyalah “titipan” yang kelak akan diminta pertanggungjawaban.

    Yang pasti, waktu bertamu begitu pendek. Kitalah musafir sejati. Kitalah traveler di dunia ini. Karena  kita setelah ajal tiba, kelak kita menuju alam keabadian yang bernama akhirat. Di sanalah kebahagiaan hakiki berada.

    Apa yang dinikmati oleh traveler di sepanjang jalan seharusnya tidak membuatnya terlena. Karena toh semua bersifat sementara.

    Apa yang disuguhkan tuan rumah untuk tamu tidaklah abadi. Karena hidangan hanya bisa dinikmati di tempat. Lantaran si tamu tak bisa mendikte seberharga apa hidangan untuknya.

    So, mengapa kita seringkali resah? Mengapa kita acapkali gundah? Mengapa kita tidak kunjung bahagia?

    Karena kita semua merasa memiliki. Karena kita lupa dengan tuan rumah yang senantiasa kita lupakan yaitu Tuhan.

    Semua yang kita miliki saat ini hanyalah titipan. Semua sasaran yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan hanyalah bersifat sementara. Semua cuma “terlewat” dalam episode kehidupan ini.

    Jadi, apakah Anda merasa telah menjadi tamu yang baik? Mikir!

    Depok, 6 April 2019

  • Segera Terbit: CALLING

    Panggilan hidup ialah apa yang menggerakkan diri Anda. Ini merupakan pilihan sadar tentang apa, di mana, dan bagaimana Anda bisa membuat perbedaan.

      Panggilan hidup merupakan alasan yang sangat kuat dari dalam diri. Inilah yang membuat Anda benar-benar ingin memberikan manfaat, menolong sesama, menciptakan nilai tambah, dan menyelesaikan masalah.

      Panggilan hidup adalah apa  yang paling Anda gelisahkan, pedulikan, dan anggap penting. Sehingga, Anda benar-benar terdorong untuk menjadi “pahlawan” di dalamnya untuk dunia yang lebih baik.

    Banyak orang meninggal yang masih menyimpan “musik” di dalam dirinya. Dalam metafora ini, musik merupakan panggilan dari jiwa Anda. Identitas diri Anda yang otentik.

    Ketika Anda menemukan musik – apa yang membuat Anda bergerak – hidup sungguh-sungguh memancarkan energi baru. Karena ruh musik Anda begitu kuat, Anda hampir tidak mampu menahan diri untuk mengikuti iramanya. Lantaran itulah yang mendorong Anda untuk turut “menari”. Untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Tuhan dan dunia dari Anda.

    Hanya diri Anda sendirilah yang bisa mendengarkan “panggilan musik” dari jiwa Anda. Itu mengapa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan Anda untuk menemukan, menyadari, dan menjalani panggilan hidup Anda.

    Buku ini memandu Anda untuk mencari tahu apa yang benar-benar Anda inginkan di dalam hidup. Sebuah panggilan hakiki yang memancarkan cara Anda mengekspresikan jati diri. Panggilan untuk memenuhi apa yang Tuhan dan dunia inginkan dari Anda.

     

    The Calling

    Apa Yang Perlu Anda Tahu? 

    Sebagai informasi, buku ini merupakan salah satu “buah” dari refleksi panjang saya selama setahun penuh dalam jeda (tidak bekerja) dalam misi SabbaticalSebuah periode yang saya manfaatkan untuk berpetualang di beberapa pulau dan kota Indonesia. Sebuah masa yang saya manfaatkan untuk mengenali jati diri sekaligus melakukan riset independen.

     

    Ya, saya mewawancarai lebih dari 1200 responden yang tersebar di 40 kota lapis pertama dan kedua  di  tanah air. Belum termasuk para diaspora Indonesia yang tersebar di New York, Kuala Lumpur, Penang, Singapura, Bangkok, Amsterdam, London, Jeddah, Sydney, New Delhi, Tokyo,  Hong Kong, hingga Bandar Seri Begawan. Profesi (dan jabatan) mereka beragam mulai dari mantan Menteri, anggota DPR, motivator, humas, akuntan, pemuka agama, perencana keuangan, agen asuransi, akuntan, pengacara, penerjemah, arsitek, pegawai negeri sipil, konsultan, dokter, insinyur, bankir, guru, dosen, diplomat, wartawan, peneliti, penyunting, pekerja lepas, seniman, penulis, inovator, juru bicara presiden, musisi, perawat, psikolog, polisi, tentara, pembawa acara berita, pengusaha, pedagang, pelatih, peneliti, petani, hingga buruh.

     

    Saya mencari tahu bagaimana manusia-manusia Indonesia memandang hidup. Mulai dari kapan mereka menemukan “panggilan”, apa yang mereka cari dalam hidup, apa  yang paling penting dalam hidup mereka, bagaimana mereka memandang keberhasilan, bagaimana mereka mengartikan kebahagiaan, hingga mengapa mereka bekerja. Pada akhirnya, saya bisa memetakan panduan untuk membantu sesama untuk mengenali apa yang benar-benar inginkan, gelisahkan, dan pedulikan dalam hidup sekaligus apa yang benar-benar menggerakkan dan paling penting untuk diperjuangkan. Sebuah titik di mana apa yang Tuhan inginkan selaras dengan dorongan dari dalam diri mereka.

     

     

    Apa Kata Mereka? 

    “Semoga buku ini membantu kita semua untuk menemukan panggilan yang sesuai Passion. Seperti saya yang memang sangat kuat dengan Passion for Knowledge dan dituangkan dalam kegiatan mengajar di berbagai kesempatan. Mudah-mudahan Passion ini juga menjadi ‘bahan bakar’ bagi kita semua dalam menghadapi tantangan zaman NOW!”

    Hermawan Kartajaya
    Founder & Executive Chairman MarkPlus, Inc.

     

    “Tidak ada yang semua serba kebetulan di dunia ini. Begitu pula dengan kehadiran Anda di muka bumi ini. Anda diutus Sang Maha Pencipta dengan misi tertentu: mensyi’arkan nilai-nilai kemanusiaan, menebarkan keluhuran budi, menyebarkan rahmat & salam untuk semesta alam. Buku ini adalah sahabat terbaik yang menemani Anda untuk mengenali jati diri.”

    Priyo Budi Santoso

    Wakil Ketua DPR-RI 2009-2014

    Chief & Founder of Pridem Center

    Owner Edensor Wellness Center

     

    “Apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup? Agaknya buku ini bisa memandu Anda untuk menjawab pertanyaan penting yang seringkali terlupakan. Baca buku ini, perjuangkan mimpi Anda dan berkaryalah bagi negara kita tercinta. Indonesia, Pasti Bisa!”

    Miss Merry Riana
    Entrepreneur, Influencer, Educator
    Tokoh Inspirasi Buku & Film ‘MERRY RIANA: Mimpi Sejuta Dolar’
    TV Host ‘I’m Possible’ on Metro TV
    Radio Host ‘The Merry Riana Show’ on Sonora Network

     

    “Setiap orang terlahir unik.  Tapi, yang pasti setiap orang yang normal mendambakan kehidupan yang sukses dan bahagia.  Buku ini memandu Anda untuk mencari tahu apa itu makna hidup sukses dan bahagia yang hakiki, dan bagaimana cara menggapainya.  Saya yakin buku ini bisa menjadi sahabat terbaik Anda untuk mengenali jati diri dan memotivasi kehidupan Anda.”

    Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

    Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB

    Menteri Kelautan dan Perikanan-RI (2001 – 2004)

     

    “Orientasi orang bekerja ada tiga yaitu job orientation work (berfokus pada material), career orientation work (berfokus pada kemajuan dalam bekerja), dan calling orientation work (fokus pada tujuan yang lebih besar). Apabila kita memiliki calling orientation work, maka dua orientasi lainnya akan didapatkan juga. Itulah positive meaning  sesungguhnya karena tidak banyak orang yang dapat mencapainya.

    Melalui buku ini pembaca akan mendapatkan banyak inspirasi bagaimana menemukan jalan tersebut. Sehingga hidup kita lebih berarti, secara psikis menjadi lebih banyak didominasi emosi positif, flow dan secara fisik memiliki vitalitasBukankah menyenangkan? Jadi, membaca buku ini menjadi penting.”

     Dr. Nurlaila Effendy, M.Si

    Ketua Umum Asosiasi Psikologi Positif Indonesia

    Konsultan Corporate Culture  Performance Management System

    Dosen Psikologi Industri & Organisasi

     

    “Setiap orang terlahir unik. Kendati demikian, kita sama-sama diciptakan Tuhan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Buku ini bisa dijadikan panduan praktis untuk Anda mencari tahu dan dapat memahami apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup dan bagaimana cara mewujudkannya.”

    Siddharta Moersjid

    CEO Emergenetics International – Indonesia

     

    “Bacalah, resapi dalam-dalam, dan praktikkan sesegera mungkin!”

    Rama “Abah Rama” Royani

    Founder Talents Mapping

     

    “Buku ini, insya Allah menjawab beberapa rasa penasaran atau pertanyaan yang sering muncul. Khususnya, “Apa yang Anda cari?”, “Apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup?”, dan “Apa yang membuat Anda bahagia?”.  Semoga buku karya Mas Agung ini bisa membantu. Buku yang kaya akan makna sebagai hasil diskusi dengan banyak pihak.”

    Ari Wijaya

    VP of Property Management & General Affairs PT. Elnusa, Tbk.

    Penulis buku “Cost Killer” dan “KEY”

     

    “Apabila Anda merasakan pekerjaan adalah beban dan Anda tidak menemukan ‘jiwa’ di dalamnya, maka inilah saatnya Anda menemukan ‘musik dalam diri Anda’ yang menggairahkan untuk merasakan petualangan dan passion yang membuat Anda merasa unstoppable.  Saya melarang Anda membaca buku ini, karena kalau Anda membacanya dan menjadi unstoppable, itulah risiko dan bahayanya. Sekali lagi jangan baca buku ini. BERBAHAYA!”

    Yoseph Anastasius Didik Cahyanto

    Komisioner Independen PT. Bumi Resources, Tbk.

     

    “Banyak orang yang hidup dalam kepura-puraan, kepalsuan, kebingungan, kegelisahan dan ketidakbenaran yang seolah-olah tak berkesudahan. Alhasil, yang mereka peroleh tidak lebih dari kesenangan sesaat – bukan kedamaian hati dan kebahagiaan hakiki. Buku ini sangat tepat untuk menemani Anda untuk melakukan perjalanan dalam diri sendiri. Pada akhirnya, Anda akan mampu menyadari apa yang benar-benar Anda pedulikan dan perjuangkan di dunia.”

    Andi MS

    Vice President Director PT Tang Mas

     

    “Saya sangat mengapresiasi penulisan buku ini karya saudaraku Agung Wibowo yang syarat makna dan penuh muatan filosofis yang langsung menembus ke dalam jantung kehidupan. Sebuah karya hasil kontemplasi diri dengan penjelajahan sepanjang garis batas negeri ini, tentu akan menghasilkan karya yang luar biasa.

    Banyak orang yang terjebak pada cara sehingga tersesat di tujuan. Maksudnya keinginan setiap orang itu pasti sama yaitu ingin hidup bahagia. Persoalannya seringkali kebahagiaan itu disimplikasi secara salah oleh manusia, lalu dimanifestasikan dalam wujud materi. Seolah – olah kalau ingin bahagia itu harus banyak uang dulu, dan kalau ingin banyak uang ya tentu harus punya jabatan tinggi. Sebelum punya jabatan tinggi ya harus mengikuti berbagai tingkat pendidikan yang harus dilalui. Inilah algoritma berpikir kebanyakan orang.

    Jika begitu algoritma berpikirnya, maka akan banyak yang salah cara sehingga pasti tujuannya tersesat. Bahagia yang dituju, tapi kegersangan hati yang ia peroleh. Kenapa? Karena sejak awal seperti itu seringkali salah untuk menuju tujuannya. Mental yang dibangun adalah mental kompetisi, bukan mental kolaborasi. Saling menjatuhkan dianggap sebagai bagian dari konsekuensi kalau ingin menang, bukan bahu-membahu untuk mencapai sukses bersama.

    Buku ini mengulas filosofis kehidupan secara mendalam. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan saya bangga semoga banyak orang yang memperoleh manfaat dari penulisan buku ini. Selamat Mas Agung, semoga sukses selalu.”

    Dede Farhan Aulawi

    Komisioner Komisi Kepolisian Nasional 2016-2020

     

    “Baca buku ini segera jika Anda ingin menemukan apa yang selama ini Anda cari. Baca dan terapkan buku sahabat saya Agung Setiyo Wibowo.”

    Tom MC Ifle

    Founder & CEO Top Coach Indonesia

    Best Selling Author Go start up, Profit is King dan Big Brain Big Money

     

    “Hidup dan pekerjaan akan menjadi menyenangkan bahkan membahagiakan jika sesuai dengan penggilan hidup Anda yang unik, berbeda satu dengan yang lainnya. Namun untuk menemukan apa panggilan hidup Anda tidaklah mudah. Buku Mas Agung Setiyo Wibowo ini dapat membantu dan memandu Anda bagaimana menemukan panggilan hidup Anda yang sejati, bahkan Anda dapat menemukan jati diri Anda yang sesungguhnya. Buku yang lengkap dan hebat. Bacalah dan temukan panggilan hidup sejati Anda, jadikan seluruh kehidupan Anda menyenangkan dan membahagiakan.”

    Ery Prasetyawan

    Pembelajar Kehidupan

     

    “Berdasarkan pengalaman kami berinteraksi dengan dunia Kerja baik sebagai profesional maupun konsultan, saya menemukan banyak orang yang terlihat sukses bekerja dan berkarir. Tapi sayangnya tidak banyak dari mereka yang tulus dan jujur menjalani panggilan hidupnya. Akibatnya, jiwa mereka kering dan hampa meski kekayaan, ketenaran, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi telah diperolehnya. Buku ini mengajak kita semua untuk menemukan kembali apa yang dinamakan dengan tujuan hidup, sehingga kita mampu ‘hidup kembali’ meraih prestasi karir dan kehidupan.”

    Jazak Yus Afriansyah

    Author, Coach, Trainer

    Founder and Principal of Manuver Corp

    www.manuvercorp.com

     

    “Banyak orang yang nampak sukses bekerja dan berkarir. Tapi tidak banyak yang benar-benar menjalani panggilan hidupnya. Akibatnya, jiwa mereka kering meski kekayaan, ketenaran, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi telah diperolehnya. Buku ini mengajak kita semua untuk mempertanyakan kembali apa yang dinamakan dengan tujuan hidup.”

    Marulam Sitohang

    Executive Coach

     

     

    “Buku ini akan menjelaskan kepada Anda bagaimana sebuah proses menemukan identitas diri yang tepat dan sesuai dengan apa yang Anda inginkan dalam hidup. Mulai dalam penemuan nilai-nilai diri dan keyakinan yang ditemukan dalam sebuah proses pengalaman hidup yang akan menimbulkan motivasi kuat untuk Anda meraih sukses. Kenali siapa diri Anda dan apa yang Anda inginkan dalam hidup dengan membaca tuntas buku ini.”

    Margetty Herwin

    Executive & Business Coach

     

                “Dalam Al-Qur’an surat Al ‘Alaq ayat 1 (satu) berbunyi : Iqra’ yang berarti ‘bacalah!’ menjadi kunci ilmu pengetahuan bagi manusia di bumi. Iqra’ adalah kata pertama yang diturunkan Allah SWT kepada manusia, Nabi Muhammad SAW (570-632 M) di Kota Mekkah. Beliau menerima firman Allah SWT di Gua Hira untuk pertama kalinya setelah Allah SWT berhenti ‘berbicara’ dengan hamba-Nya Nabi Isa AS ±6 SM s.d. ±30 SM. Jadi ada rentang waktu ±600 tahun kemudian Allah SAW mau berbicara kembali dengan hamba-Nya, manusia. Pada saat itu, Allah SWT  memilih Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

    Iqra’ hingga saat ini telah menghasilkan kemajuan di berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi di muka Bumi. Iqra’ berlaku lintas agama, budaya, logika, dialektika, dan peradaban ummat manusia kemarin, hari ini, dan nanti hingga akhir zaman. Iqra’ telah berhasil meningkatkan harkat dan martabat umat manusia, semula tulang, jantung, paru, liver, usus, lambung, limpa, pangkreas, empedu, ginjal, hingga alat kelamin, hanya dibungkus dengan daging dan kulitnya. Saat itu, mereka mendiami gua-gua dan pohon-pohon besar di berbagai sudut bumi guna menghindari serangan binatang buas yang mematikan. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, umat manusia mulai membungkus dan menghiasi badan mereka dengan tekstil dan lain sebagainya. Pendek kata, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan hidup jasmaniah dan rohaniah umat manusia. Ini kita sebut sebagai tingkat pencapaian peradaban umat manusia tertinggi yang paling kharismatik. Realitas sosial ini menjadi berkah sekaligus menolak  menjadi kutukan bagi umat manusia.

    Karena itu Iqra’ membimbing ummat manusia untuk hijrah dari ‘alam kegelapan’ ke ‘alam terang benderang’ guna mencegah kerusakan di muka bumi ini. Manusia yang memiliki kemampuan Iqra’ yang tinggi, mereka bisa menjadi suluh bagi semua umat manusia di muka bumi –terutama melalui karya tulis sebagai tanda manusia bermanfaat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik pada tataran regionalisme, maupun pada tataran globalisme yang ditandai oleh kemajuan ilmu dan teknologi industri transportasi, industri teknologi telekomunikasi, industri teknologi kesehatan, dan industri teknologi pertahanan, serta industri teknologi pangan. Capaian ini telah dipelopori oleh bangsa Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan Finlandia serta lainnya.

    Buku berjudul Calling: Bekerja Dengan Jiwa, Berkarya Dengan Makna; juga tak bisa lepas dari rujukan Iqra’ dari Allah SWT yang, untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW di atas. Buku ini membawa misi ajakan kepada generasi kini untuk aktif membaca  fenomena sosial dan fenomena alam untuk ditulis kemudian disebarluaskan kepada masyarakat umat manusia; setidaknya di Indonesia dalam rangka mencapai makna kehidupan yang sejalan dengan ajaran Allah SWT dan ajaran agama yang dianutnya agar hidupnya bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa, umat, dan negara Kesatuan Republik Indonesia yang Pancasilais, yang dilatari oleh filsafat Bhinneka Tunggal Ika. Pada mana di dalamnya dikuatkan oleh kohesi sosial Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Jadi SARA adalah berkah bagi bangsa Indonesia dan bukan teror bagi kehidupan sosial di Indonesia. Masih ragukah? Iqra’ atau bacalah!”

    M.D. La Ode, S.IP; M.Si

    Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Eksekutif CISS

     

    “Sebuah perjalanan pencarian diri yang tidak semua orang berani untuk melakukannya –berhenti dari semua aktifitas dan memulai pencarian. Semua itu hanya untuk menjawab pertanyaan ‘siapa saya? Buat apa saya ada di dunia ini?’ dan…. Mas Agung Setiyo Wibowo berhasil menemukan jawaban pertanyaan tersebut untuk dirinya dan sudah menemukan jawabannya, sekaligus menemukan #versiTERBAIK-nya. Dalam buku ini kita akan dapat mengetahui proses pencariannya, bagaimana dia melakukan dan mewujudkannya. Ini adalah buku referensi yang bagus bila kita ingin mempersingkat waktu dan cara dalam pencarian jati diri kita.“

    Aviantara Budi Prasetyo

    Career OPTIMIZER Coach │ www.aviantara.com

     

    “Kebanyakan dari kita tidak menjiwai apa yang kita lakukan. Bahkan tidak benar-benar menjiwai hidup kita.

    Karena sudah terlalu sering kita abaikan ‘kompas sanubari’ dan sudah terlalu lama kita tutup rapat ‘jendela mental’ dari berbagai rancangan terindah Tuhan atas hidup kita, lewat berbagai berkat dalam keseharian maupun berbagai cobaan atas jalan hidup kita.

    Jati diri kita yang paling hakiki seringkali kita temukan dalam keheningan malam, khusyuknya perenungan, dan syahdunya kesendirian kita bersama alam semesta.

    Dalam setiap momen pencarian jati diri itu, pastikanlah kita ada bersama orang yang tepat dan juga buku yang tepat; yaitu buku ini…”

    Peter Febian

    Personal Branding Evangelist & Social Impact Practitioner

     

    “Buku ini mengingatkan saya ke masa lalu. Masa ketika saya hanya ikut dalam barisan domba, seakan-akan hanya jalur domba tersebut yang tersedia. Masa ketika hanya mengejar uang dan jabatan, karena begitulah dunia dalam perspektif kaca mata kuda yang dulu saya pakai. Kalau saja buku ini sudah ada dari dulu, mungkin saya lebih cepat menemukan ‘Panggilan’ saya. Saat ini saya lebih bahagia dan yang terpenting, lebih hidup.”

    Aditiyo Indrasanto 

    Founder & Lead Consultant Career Guide Indonesia

     

    “Sarat dengan wawasan spiritual, kisah nyata para tokoh nasional maupun internasional, dan ditaburi dengan berderet panduan yang tidak menggurui; buku ini akan membantu Anda menemukan panggilan Anda, suara Anda dan siapa tahu, bahkan diri sejati Anda.”

    Ridwan Mukri, S.Psi

    Penulis Buku Best Seller FAST: Personality for Success

    Direktur Eksekutif PT. Aida Tourindo Wisata

     

     

    “Apa yang benar-benar menggerakkan diri Anda? Apa motivasi terkuat Anda dalam berkarya? Jika Anda sudah tahu jawabannya, selamat! Jika belum, buku ini patut dipertimbangkan untuk dibaca dengan seksama. Selamat menikmati prosesnya!”

    Erbe Sentanu

    Pendiri Katahati Institute

    Penulis Buku Best Seller Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati

     

    “Pekerjaan (job) dan panggilan (calling) memang berbeda bagaikan bumi dan langit. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar panggilan Tuhan dalam hidupnya dan hidup menurut panggilan-Nya. Buku karya Agung Setiyo Wibowo ini adalah salah satu buku yang menarik untuk dibaca dan dilakukan, bila Anda ingin mencari panggilan dalam hidup Anda, dan menikmati hidup sesuai rencana-Nya!”

    Coach Yohanes G. Pauly

    World’s Top Certified Business Coach

    Founder, CEO & Master Coach of Gratyo.com

    GRATYO World’s Leading Practical Business Coaching

     

     

    “Buku Calling karangan Saudara Agung Setiyo Wibowo merupakan buku yang sangat menarik dan di bidang penelitian bisa disebut sebagai Novelty (keterbaruan). Ditulis berdasarkan wawancara dengan 1.200 responden yang datang dari berbagai negara dan beragam profesi. Substansi buku ini penting sekali bagi orang yang ingin mengevaluasi dirinya dan melakukan kontemplasi, agar bisa memperoleh ‘pencerahan. Karena hidup kita harus bisa bermanfaat bukan hanya untuk diri kita dan orang-orang terdekat kita, tetapi juga bagi sebanyak mungkin sesama manusia.”

    Sukrisno Agoes

    Dosen dan Praktisi Audit

     

    “Buat saya, buku ini menarik karena mempertegas panggilan hidup saya untuk berjuang di bidang sumber daya manusia khususnya lapangan kerja dan pengembangan karir. Teruntuk itu terima kasih atas karyanya yang selalu mencerahkan Mas Agung.”

    Anggoman Wahyutomo

    Managing Director TGN Recruitment Indonesia

     

     

    “Another masterpiece from Agung Setiyo Wibowo. Another book to read. Brilliant….and I was inspired with this Book.”

    Yasier Utama

    CEO PT. Inti Perubahan Diri

     

    “Buku ini akan membantu Anda untuk menemukan apa sebenarnya tujuan hidup Anda. Dalam kehidupan selalu memiliki pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Apapun pilihan Anda,  ‘panggilan’ yang kuat akan memandu Anda kepada tujuan hidup yang Anda inginkan. Maka temukenalilah panggilan yang sebenarnya. Sehingga, seluruh alam semesta akan mendukung apa yang Anda inginkan. Selamat membaca dan menikmati cerita perjalanan dari orang-orang yang menemukan panggilannya.”

    M Kurnia Siregar, PCC

    Executive Coach

    Co-Founder Loop Institute of Coaching

    www.loop-indonesia.com

     

    The Calling

    Berapa Harganya? 

    Rp 72.000, 00 (belum termasuk ongkos kirim). Beli 10 gratis 1.

     

    Mau Pesan?

    Segera isi formulir pemesanan di sini atau bit.ly/POCalling

     

    Mau Informasi Lebih Lanjut?

    Hubungi +62 812-9382-6120 (Miss Atu)

  • Apa Yang Saya Pelajari Di Usia 20an?

                Katanya, waktu tidak bisa ditukar dengan Rupiah. Konon, pengalaman tak bisa dihargai dengan Dolar.  Bagi saya, keduanya tidak salah. Yang pasti, waktu tidak pernah kembali dan pengalaman akan terus menjadi memori.

    Tahun ini saya resmi meninggalkan usian 20an. Artinya, saya mulai menginjak angka 30 di tahun 2018.

    Ada perasaan senang dan sedih yang mengiringi. Senang karena banyak hal yang telah saya lalui dalam satu dasawarsa terakhir. Sedih lantaran saya belum bisa memanfaatkan waktu sebagaimana mestinya.

    Saya sangat bersyukur bisa melewati usia 20an dengan pengalaman penuh warna. Karena masih diberi “kepercayaan” oleh Tuhan untuk bernafas di alam dunia.

    Mungkin bagi sebagian orang ini berlebihan. Namun, tidak bagi saya. Lantaran tidak sedikit teman sekolah, saudara, maupun tetangga seusia saya atau bahkan yang lebih muda sudah lebih dahulu menghadap kepada-Nya.

    Saya yakin pengalaman setiap orang melewati fase ini pastilah unik. Begitu pula cara memaknainya. Namun, jika saya ditanya apa pelajaran yang dapat saya ceritakan di usia 20an, inilah jawabannya.

     

    Men Can Plan Well, But God is the Best Planner

    Saya kira ini pelajaran terpenting. Karena sehebat apapun kita berencana, pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.

    Dalam konteks saya pribadi, untuk pertama kalinya saya percaya takdir di usia ini.  Sejak kecil – karena didikan orang tua dan agama – saya tahu takdir memang ada. Namun, saya baru bisa benar-benar menghayati apa itu takdir dan nasib di fase ini.

    Jika ditarik ke belakang, saya masih ingat betul bagaimana dulu pernah “jatuh” karena pendidikan. Khususnya ketika gagal menjadi mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga dan PKN STAN di tahun 2007.

    Dalam konteks karir, saya begitu banyak “ditolak” oleh perusahaan. Di sisi lain, tidak kalah banyak saya “dibajak” atau tiba-tiba ditawari untuk bergabung perusahaan tertentu.

    Dalam konteks penjualan, saya bertubi-tubi ditolak calon pelanggan. Namun, tak sedikit juga yang tiba-tiba mendapatkan closing tanpa saya menawarkan.

    Dalam konteks perjodohan tidak kalah seru. Tak terhitung berapa orang yang ingin saya “dekati”, tapi ujung-ujungnya tidak mendapati kecocokan. Tak ingat lagi berapa orang yang telah menolak saya untuk menjadi bagian hidupnya – meski baru mengatakan “halo”. Yang pasti, tidak sedikit  yang begitu agresif mempengaruhi saya untuk menikah dengannya.

     

     

    Dalam Hidup Kita Memilih dan Dipilih

                Apakah hidup ialah pilihan? Ya, saya mengamini. Lebih tepatnya lagi merupakan kumpulan dari beragam pilihan yang seolah tak berkesudahan.

    Yang saya pelajari di fase 20an ialah tentang memilih dan dipilih. Ya, ada saatnya kita memang benar-benar berkuasa penuh dengan pilihan yang kita inginkan. Namun, ada momen-momen tertentu yang ternyata kita “dipilih” oleh Tuhan untuk menjadi, melakukan atau mempunyai hal tertentu.

    Pada tahun 2008 misalnya. Saya “dipilih” untuk menerima beasiswa penuh dari Theodore Permadi Rachmat di Universitas Paramadina di bidang yang dulu saya cintai – hubungan internasional. Juga terpilih untuk menerima beasiswa penuh di salah satu sekolah kedinasan di Yogyakarta.

    Di tahun 2012, lain lagi ceritanya. Saya memilih untuk menjadi mahasiswa Master di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Namun nasib berkata lain, saya gagal di “babak” terakhir. Sehingga membuat saya dipilih untuk menjadi mahasiswa Master di Universitas Indonesia melalui beasiswa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

    Masih di tahun 2013, saya dipilih oleh salah satu profesor manajemen di Amerika Serikat. Lebih tepatnya untuk menjadi mahasiswa MBA di salah satu kampus di Florida. Karena sudah lebih dulu terikat dengan beasiswa di Universitas Indonesia, saya melepas atau menolak tawaran studi di Negeri Paman Sam.

     

    Tentang Menemukan Jodoh

                Berbeda dengan sebagian laki-laki di luar sana, saya tidak pernah berpacaran. Itu mengapa saya sama sekali tidak memiliki cerita romantis dengan orang tertentu.

    Untuk urusan perjodohan, saya termasuk orang yang “mengalir”. Artinya, saya bukan tipe perencana seperti beberapa teman saya yang memang telah merancang dengan sangat baik kriteria pasangan, hingga kapan dan di mana harus menikah.

    Jodoh memang misteri. Kita sering mendengar bahwa lama atau tidaknya berpacaran tidak menjamin sepasang manusia terikat dalam institusi pernikahan. Sebaliknya, tidak ada jaminan juga pasangan yang mengambil “jalur” taaruf bisa langgeng sampai “kakek-nenek”. Begitu pun mereka yang menikah karena dijodohkan oleh keluarga seperti cerita Siti Nurbaya.

    Jalan hidup orang berbeda-beda. Ada yang menemukan jodohnya di tempat kerja, komunitas, kampus, dikenalkan teman, dijodohkan, taaruf, hingga melalui aplikasi tertentu.

    Bagi saya, menikah bukanlah kompetisi. Bukan siapa yang paling cepat menemukan pasangannya. Bukan pula hanya dipengaruhi faktor finansial dan mental.

    Percaya atau tidak, siapapun akan menemukan jodohnya di saat dan waktu yang tepat menurut Tuhan. Disadari atau tidak, siapa saja akan memperoleh pasangan seperti yang dipikirkan dan diharapkan. Jika sudah demikian, yang harus dilakukan oleh orang-orang yang melajang ialah cukup berusaha dan berdoa.

     

    Mengenai Rezeki

                Usia 20an mungkin merupakan fase terpenting dalam menentukan pekerjaan. Tak mengherankan, di masa ini ada berbagai banyak keputusan yang harus diambil. Mulai dari memilih perguruan tinggi, tempat magang, profesi, hingga bidang bisnis yang ingin ditekuni.

    Yang saya pelajari, usia 20an begitu dinamis. Ada banyak perubahan pola pikir di masa ini. Ada beragam kejutan yang tak disangka-sangka. Ada berderet orang yang mewarnai perjalanan hidup kita di  fase ini.

    Di usia 20an, kita mulai belajar kerasnya kehidupan. Saya tidak mengatakan di fase sebelum atau setelahnya tidak keras – sama sekali bukan. Namun, di periode ini kita memang sedang gencar-gencarnya berjuang menjemput, mengupayakan, atau mencari rezeki.

    Yang saya pahami, uang bukan satu-satunya tolok ukur rezeki. Karena sudah jamak terdengar orang yang kaya-raya tapi bunuh diri. Para pesohor yang memiliki puluhan juta penggemar mengakhiri hidup dengan tragis. Para pengusaha yang bergelimang kemewahan tidak memiliki waktu untuk anak. Para pejabat yang terlihat “enak” menyesal dalam penjara yang memalukan.

    Rezeki tentang keberkahan. Bukan dari seberapa banyak kita memperoleh. Rezeki ialah tentang memberi, bukan terhenti pada tahap memiliki.

     

    Kebahagiaan Yang Paling Didambakan

                Di usia 20an kita mulai diuji oleh berbagai pernak-pernik kehidupan. Khususnya mengenai karir, bisnis, rumah tangga, dan gaya hidup.

    Di fase ini, nilai-nilai kehidupan kita benar-benar diuji. Karena pengaruh dari luar diri kita begitu luar biasa untuk “menggoyang” apa yang sesungguhnya kita inginkan dalam hidup.

    Kendali ada pada diri kita. Apakah kita mau mengikuti apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup atau mengikuti apa yang orang lain inginkan dari diri kita?

    Kendali ada pada diri sendiri. Apakah kita mau mengikuti apa yang membuat kita bahagia atau didikte oleh orang tua, teman, institusi atau media.

    Di usia 20an, identitas kita benar-benar mulai diuji. Apakah kebahagiaan versi kita berbanding lurus dengan kekayaan, ketenaran dan kekuasaan? Atau bukan dari ketiganya?

    Yang pasti, apapun yang sebenarnya kita inginkan, itulah yang membuat diri kita bahagia. Jika kita sudah tahu apa itu, ikuti saja kata hati.

    Namun, kita juga harus ingat. Bahwa apa yang kita lakukan tidak melanggar. Baik dari sisi agama, hukum, sosial dan alam.

     

    Sebenarnya di luar 5 (lima) hal di atas, masih ada berderet pelajaran lain yang bisa saya tuturkan. Namun, saya kira kelimanya telah mewakili.

    Usia 20an ialah periode eksplorasi. Jadi, lakukan saja apapun yang kita inginkan. Kejar apa saja yang membuat kita bahagia.

    Di fase 20an, energi kita berada pada puncaknya. Jadi, jangan sampai ia berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang berarti dan kita banggakan di kemudian hari.

    Saya baru saja mengakhiri fase 20an. Ini cerita saya, bagaimana dengan Anda?

     

     

     

     

     

     

  • Mengapa Kebahagiaan Tak Kunjung Diraih?

    Semua orang mungkin mengamini bahwasannya hidup ini hanya sekali.Dari tunawisma di kolong jembatan, Wakil Rakyat di Senayan, tukang loak di pasar tradisional, artis yang tiap hari mondar-mandir di layarkaca, da’i sejuta ummat, hingga tentu Anda sendiri. Oleh karenanya, setiap orang berlomba-lomba untuk mengejar mimpi sesuai kadar masing-masing.

    Mimpi seperti apa yang dikejar orang kebanyakan? Yang pasti, jawabannya akan relatif. Namun, jika boleh saya sarikan ada tiga hal besar. Ada yang mengejar ketiga hal sekaligus, ada yang dua diantaranya, ada juga yang hanya berkutat di satu hal.

    Pertama, pemburu harta benda. Secara naluriah, manusia digariskan untuk bekerja. Dengan bekerja, ia dapat menghasilkan pundi-pundi Rupiah yang digunakannya memenuhi segala macam kebutuhan. Baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kebugaran, rekreasi, dantakterhingga. Sayangnya, manusia memang memiliki kesamaan dengan binatang. Bersifat rakus, selalu merasa kurang, tidak pernah merasa puas, dan seringkali abai dengan moralitas. Apa contohnya? Lihat saja ratusan birokrat yang terjerumus kasus korupsi, pengusaha yang berani menggemplang pajak, orang-orang yang mencari ‘pesugihan’ untuk mereguk kekayaan dengan jalan pintas, atau maraknya perjudian.

    Kedua, pencari ketenaran. Kebutuhan untuk diakui, dikenal, dipuji, atau dielu-elukan merupakan hal lain yang dikejar orang. Biasanya ini dilalui jika hal pertama terpenuhi. Namun, sebagian kecil lainnya memang mengejar yang pertama dengan cara ini. Tengoklah di berbagai liputan media. Berapa ribu peserta setiap diadakan kontes Peagants, ajang pencarian bakat, atau perlombaan apa saja yang dilakukan media. Di sisi lain, berapa banyak politisi, pengusaha, atau tokoh masyarakat yang menggunakan segala cara untuk meningkatkan pamor. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang untuk mendongkrak publisitas.Tidak ada bedanya dengan mengiklankan produk atau jasa.Semuanya berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatan, memperlihatkan prestasi yang diraih, atau mensyiarkan kebaikan yang pernah dilakukan.

    Ketiga, pejuang kekuasaan. Hal ini dikejar jika yang pertama atau kedua telah digaet. Sebagian kecil fokus mengejarnya sejak kecil kendati hal pertama dan kedua tak terpikirkan. Contohnya mudah ditemui. Pengusaha yang masuk politik untuk melanggengkan imperium bisnisnya, public figure yang dipinang partai politik untuk memenangkan perolehan suara, aktivis sosial yang tergoda duduk dengan jabatan DPRD hingga DPR RI, dan sebagainya. Memang ada sih yang berpolitik secara idealis untuk memperjuangkan misi mulia. Namun sayangnya kebanyakan masih terbatas memenuhi syahwat kekuasaan yang bergelora.

    Untuk mencapai tiga hal di atas dengan patokan “sukses” di mata kebanyakan orang tidaklah mudah. Ada harga mahal yang harus dibayar.Mulai dari sulitnya waktu berkumpul dengan keluarga, jam tidur yang berantakan, kebugaran tubuh yang tergadaikan, percekcokan dengan kolega, atau kesalah pahaman orang-orang terdekat dengan sepak terjangnya. Akibatnya, hidup dipenuhi ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan keraguan yang tak berkesudahan.

    Sebenarnya, sebagian besar orang mengejar tiga hal di atas untuk mencapai kebahagiaan. Sayangnya, pengendalian emosi yang kurang baik justru semakin menjauhkannya. Ada orang yang berpikir harus kaya dulu sebelum bahagia, menjadikan ketenaran sebagai syarat bahagia, dan berkuasa baruba hagia. Masalahnya, ketiga hal di atas bukan penjamin kebahagiaan.

    Lantas, apakah mengejar harta benda, ketenaran, dan kekuasaan salah?Samas ekali tidak selama niatnya benar. Misalnya memburu harta benda agar bisa berderma lebih banyak, mengejar ketenaran supaya jalan hidupnya menjadi inspirasi, mengejar kedudukan untuk memperjuangkan misi kemanusiaan nan hakiki.

    Banyak orang tidak mengerti mengapa kebahagiaan yang dikejar tak kunjung diraih. Biasanya watak ‘keakuan’ atau ego yang mendominasi setiap gerak langkahnya. Jika tidak, mereka gagal mengendalikan keinginan yang tak berkesudahan. Akibatnya, ketidaktenangan batin atau kecemasan dalam hati sulit sulit keluar dari diri. Dengan demikian, apa resep untuk mereguk kebahagiaan? Sederhana sekali. Dalam memperjuangkan apapun, tanggalkan keakuan dan keinginan. Niatkan segala langkah untuk menebarkan manfaat kepada sesama, menciptakan nilai tambah, dan mengabdi kepadaTuhan.

    Dalam kamus falsafah Jawa, fenomena di atas disepadankan dengan peribahasa “mburu uceng kelangan deleg”. Uceng adalah salah satu jenis ikan berukuran kecil yang mudah ditemui di sungai-sungai di pedesaan Jawa. Adapun deleg adalah ikan berukuran besar yang biasanya dikenal dengan nama gabus. Uceng merupakan gambaran nikmat pemberian Tuhan yang besarnya hanya sepucuk jarum akan tetapi dikejar setiap waktu dengan pengerahan segala tenaga, pikiran, biaya dan upaya. Akan tetapi deleg, gambaran dari simbol Tuhan atau keagamaan terlupakan.

    Lantas, apa arti yang tersirat?  Kira-kira maknanya ialah jangan hanya mengejar hal-hal sekunder dengan melupakan hal primer. Sering kali kita memang berjuang habis-habisan untuk mengejar tiga hal di atas akan tetapi acuh dengan hal-hal yang sejatinya lebih penting seperti mengamalkan ajaran agama, mendidik anak, bersilaturrahmi, berderma, atau mengupayakan misi yang berdampak untuk orang banyak.

    Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Jika yang dikejar adalah kebahagiaan, memang sudah fitrahnya kita menyadari bahwa kenikmatan duniawi yang digambarkan “uceng”sebaiknya tidak melupakan kita kepada “deleg” yaitu Tuhan. Memang tidak mudah untuk memprioritaskan dan menyeimbangkan pengejaran uceng atau deleg. Tapi jika ada niat yang kuat, bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat mengejar (dan menikmati) kebahagiaan.

     

    Dimuat pertama kali di Inti Pesan, 30 Agustus 2017