Tag: Hidup

  • Dijalani Aja

    Hidup itu hanya sekali. Ya, hanya sekali, kawan.

    Sayangnya, kita seringkali menyia-nyiakan hidup ini. Entah membuang waktu untuk hal yang tak berfaedah atau terjerembab dalam hal negatif yang merugikan.

    Hidup memang ujian.

    Dikatakan ujian karena jika kita mampu melewati berbagai tantangannya, kita akan “naik kelas” atau “naik derajat”. Sebaliknya, jika kita gagal; kita tentu akan merugi.

    Hidup  itu berwarna. Ada suka, ada duka, Ada tawa, ada lara.

    Seperti pelangi, hidup akan membosankan jika sewarna. Menyadari hal itu, kita semestinya sadar bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini bukanlah kebetulan.

    Tugas kita sejatinya hanyalah menjalani sebaik yang kita bisa. Biarkan Allah yang menilai. Karena toh pada akhirnya, segala hal yang kita lakukan itu ada “harga”-nya. Kita akan menerima rapor kelak.

    Kawan-kawanku semua. Mari jalani hidup ini dengan penuh syukur. Tak usah resah dengan apa yang terjadi esok. Jangan sesali apa yang terjadi kemarin.

    Jalani saja masalah yang kita temui. Nikmati prosesnya. Dan cintai dirimu.

     

    Salam bahagia.

    Agung Setiyo Wibowo

    Jakarta, 27 Juni 2022

     

    Sumber foto: https://unsplash.com/

  • Suratan Takdir

    Hidup ini begitu singkat. Setiap orang memiliki batas yang berbeda-beda. Dari garis start hingga finish. 

    Sayangnya, kita sering kali lupa. Kita mengejar dunia habis-habisan. Seolah-olah kita hidup selamanya.

    Seringkali malah kita mengabaikan keluarga, kesehatan, spiritual, dan yang lainnya. Padahal hidup yang seimbang itu pada akhirnya merugikan kita juga.

    Manusia memang lucu.

    Seringkali kita mengejar kebahagiaan, tapi malah kita lupa menikmati perjalanan dalam proses mewujudkannya. Padahal sejatinya kebahagiaan itu ada dalam proses. Dari detik ke detik. Bukan pada hasil akhir. Tak mengherankan bila kebanyakan dari kita senantiasa bilang bahwa saya bahagia jika sudah punya ini itu, memiliki A hingga Z, atau merasakan X dan Y.

    Oh betapa ruginya orang semacam itu. Mereka lalai bahwa bahagia itu tanpa syarat. Karena yang menentukan bahagia atau tidaknya adalah diri kita sendiri. Ya, bahagia adalah pilihan.

    Bahagia atau tidak bergantung sikap diri kita pada kejadian yang kita alami. Bukan pada orang, benda atau peristiwa yang kita hadapi.

    O ya, yang tidak kalah kita lupakan adalah misteri takdir. Ya, suka atau tidak suka; setiap anak manusia tercipta dengan takdirnya masing-masing.

    Kita tidak pernah tahu rezeki, jodoh, atau umur yang telah ditetapkan pada kita. Memang, kita punya andil berikhtiar atau memperjuangkannya. Tapi, pada akhirnya, takdir itu nyata.

    Jadi, sudahkah kita memaksimalkan sisa umur hidup kita?

    Sudahkah kita menjadi orang baik & benar sesuai alasan kita diciptakan Tuhan?

    Sudahkah kita menjadi versi terbaik diri kita?

    Takdirmu, takdirmu tidak mungkin sama.

    Masalahmu, masalahku tentu berbeda.

    Jalan hidupmu, jalan hidup kita semua ditakdirkan beragam.

    Cintai takdirmu.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bandung, 15 Juni 2022

     

     

    Sumber gambar: Inc.com

  • Mengapa Banyak Orang Tidak Bahagia?

    Hidup ini hanya sekali, guys. Tatkala kita mati, kita tidak bisa mengulagi apa yang telah terjadi. Kecuali, kamu percaya dengan reinkarnasi.

    Entah kamu sadari atau tidak, apa yang kamu kejar selama ini untuk menggapai apa yang disebut dengan kebahagiaan. Harta, tahta, ketenaran, atau apapun itu namanya.

    Sayangnya, kebanyakan orang fokus pada hasil akhir. Mereka lupa dengan prosesnya. Jadi, di sepanjang hidupnya mereka justru tidak bahagia.

    Yang lebih lucu, kebanyakan orang tidak bisa membedakan kesenangan dengan kebahagiaan. Bedanya apa, dong?

    Kesenangan itu bersifat sesaat, guys. Naik jabatan, senang. Mendapatkan cuan, senang. Bisa beli barang mewah, senang. Bisa keliling dunia, senang. Bisa berhubungan badan, senang. Dan seterusnya, tak berujung.

    Lalu, apa kebahagiaan itu guys? Kebahagiaan itu tidak berhubungan dengan benda atau peristiwa yang terjadi di luar diri kita. Namun, justru datang dari dalam diri, guys.

    Kebahagiaan itu adalah pilihan. Jadi, ketika kita mendapatkan “ujian”, kita bisa bahagia. Tatkala kita mendapatkan “keberuntungan”, kita pun bisa bahagia. Mengapa begitu?

    Karena hidup ini tentang keseimbangan, guys. Tak selamanya hidup kita senantiasa diliputi yang indah-indah. Tak seterusnya hidup kita diliputi rasa malang. Semuanya bersifat sementara. Tak ada yang abadi. Semua terjadi silih berganti.

    So, apa dong kunci untuk bisa berbahagia Mas Agung?

    Sederhana saja kok. Pertama, banyak bersyukur guys. Karena semua yang kita alami ini tidak ada yang kebetulan. Jadi, kita harus bisa menyadari hal ini. Jangan lupa menghitung anugerah yang Tuhan berikan dari detik ke detik.

    Kedua, jangan membanding-bandingkan guys. Di era digital ini, kita gampang sekali melihat linimasa orang lain. Sepertinya kehidupan orang lain lebih wah. Nampaknya mereka lebih dan lebih dari kita. Padahal, apa yang mereka tampilkan seringkali belum tentu sesuai kenyataan guys. Ingat ya. Akan selalu ada orang yang lebih kaya, lebih cantik, lebih tampan, lebih cuan, lebih terkenal, lebih hebat, lebih pintar, lebih berkuasa, lebih berpengaruh, dan seterusnya. Jadi, yang benar adalah bukan membandingkan diri kita dengan orang lain guys. Tapi membandingkan diri kita hari ini dengan diri kita hari kemarin. Apakah diri kita sudah lebih baik atau belum? Apakah sudah ada progress dalam mewujudkan mimpi? Catet ya guys.

    Ketiga, teruslah berupaya guys. Kalau kata salah satu Guru saya, bahagia itu kita dapatkan ketika kita memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. So, lakukan saja apa yang membuatmu bisa bahagia guys. Tak usah risaukan hari esok, dan tak usah sesali apa yang telah terjadi. Hiduplah di saat ini, apapun yang terjadi. Terimalah segalanya, jalani saja. Jangan banyak menghakimi. Tak usah banyak mengeluh. Karena pada akhirnya segala hal yang kita lakukan nanti akan dinilai oleh Tuhan. Ingat ya, fokus pada prosess atau progress; bukan hasil akhir ya guys. Karena kita tidak akan pernah tahu, kapan garis akhir kita tiba. Selama kita hidup, masalah akan selalu ada. Semua yang terjadi pada diri kita adalah ujian untuk “naik kelas”. Selama kita tidak mampu menyelesaikan atau melaluinya dengan baik, kita akan senantiasa dihadapkan pada masalah serupa.

    Keempat, perbanyak berbagi guys. Ini bentuknya bermacam-macam. Bisa uang, tenaga, waktu, pikiran atau yang lainnya. Intinya, kita membagikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Tak percaya? Buktikan sendiri.

    Kelima, ingat mati guys. Mungkin ini terdengar aneh ya? Tapi, percayalah bahwa dengan mengingat mati kita akan senantiasa ingat bahwa hidup ini singkat guys. Kita akan terdorong untuk melakukan hal yang baik dan benar. Kita akan termotivasi untuk nothing to loose. Kita akan terangsang untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Pada akhirnya, kita akan senantiasa mengevaluasi diri untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.

    Di luar itu, masih ada seabrek tips untuk menjadi bahagia. Karena kita semua tahu kan ya, versi bahagia kita tidak mungkin sama. Setiap orang memiliki makna masing-masing.

    Yang pasti, hidup ini begitu singkat guys. Temukan apa yang membuatmu bahagia. Fokuslah memperjuangkan apa yang membuatmu bahagia. Karena kebahagiaan adalah perjalanan hidup kita itu sendiri.

    Selamat mengarungi kebahagiaan guys.

    Agung Setiyo Wibowo

    Depok. 6 Juni 2022.

     

  • Tentang Hidup

     Ada takdir, ada nasib

    Kadang menerima, kadang memberi

    Siapa tidak kenal Ali Bin Abi Thalib

    Paman Nabi yang baik hati

     

    Beli bunga di Cipanas

    Menginap semalam di Cianjur

    Janganlah adik suka memelas

    Jika ingin bernasib mujur

     

    Tekuni hobi, geluti kerja

    Jangan lupa hidup bahagia

    Hidup di dunia begitu singkatnya

    Janganlah sia-siakan begitu saja

     

    Seminggu berlibur ke Pulau Bali

    Dengan membawa anak dan istri

    Oh indahnya itu pelangi

    Mensyukuri nikmat Tuhan yang tak terperi

     

    Katakan Horas ketika di Medan

    Sampaikan Assalamu’alaikum di Banyuwangi

    Jangan sia-siakan kesempatan

    Karena konon tidak datang dua kali

     

    Mega Kuningan, 24 Oktober 2018

  • Hidup Yang Bermakna

                    Belum lama ini saya berjumpa dengan Tom. Beliau ialah salah satu mentor pengembangan diri saya. Kami bertemu di sebuah kedai di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

    Di mata saya, Tom merupakan sosok yang paripurna. Sukses secara finansial. Anak istrinya terlihat bahagia. Badannya bugar. Pengaruhnya di industri yang digeluti begitu besar. Kesalihan spiritualnya tidak diragukan. Perannya di masyarakat tak kalah keren. Karyanya pun di mana-mana.

    Sebagai seorang millennial yang baru aka merenda bahtera rumah tangga, saya begitu takjub dengan Tom. Bagaimana tidak, di usianya yang baru menginjak 50 ia benar-benar telah menjadi sosok yang sangat mengagumkan? Setidaknya, mendekati imaginasi saya untuk menjadi pribadi dengan pencapaian tertentu.

    Setelah saya “telanjangi” selama 120 menit, akhirnya terpenuhi sudah rasa penasaran saya. Ternyata, Tom memiliki satu “kata kunci” yang kebetulan sejalan dengan  nilai yang saya pegang. Apa itu?

    Hidup yang bermakna.  Apa artinya? Sederhana saja. Yaitu hidup yang benar-benar hidup. Bukan sekedar hidup. Hidup yang memiliki tujuan yang jelas. Sehingga, tidak terlewatkan sedetik pun yang sia-sia.

    Hidup yang bermakna mungkin definisinya berbeda satu sama lain. Namun, secara umum dianggap sebagai hidup yang memiliki alasan yang kuat. Sebuah kehidupan yang dilalui untuk kebermanfaatan orang lain – bukan untuk memuaskan syahwat diri sendiri.

    Hidup yang bermakna sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan dari kita. Juga berbanding lurus dengan apa yang dibutuhkan orang lain atau masyarakat dari kita.

    Hidup yang bermakna mendorong kita untuk melalui hari-hari dengan ikhlas. Karena hidup, mati, dan di antara keduanya hanyalah untuk Tuhan.

    Hidup yang bermakna dimulai dari pengenalan diri sendiri. Dari mana kita berasal, untuk apa kita ada, apa yang benar-benar kita inginkan, dan bagaimana cara kita mengisi waktu di dunia.

    Hidup yang bermakna membuat kita punya alasan yang sangat kuat dari dalam diri untuk melakukan sesuatu. Bukan hidup seperti robot yang tidak ada ruh, nirjiwa.

    Bagi saya, hidup yang bermakna berarti hidup yang sejalan dengan panggilan hidup. Bisa mengekspresikan diri saya guna memecahkan masalah di sekitar, bermanfaat banyak untuk sesama, dan diridhai Tuhan.

    Kalau Anda bagaimana?

    Kebagusan, 12 Oktober 2018

  • Menyelami “Panggilan” Dalam Keseharian

    Belum lama ini saya mendapatkan pesan singkat melalui surat elektronik dari seseorang. Sebut saja bernama Krishna. Secara pribadi, saya belum pernah mengenal namanya – apalagi bertemu. Oleh karena itu, ketika ada surat masuk, saya langsung membacanya secara seksama.

    Selidik demi selidik, Krishna merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Mesin di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Akhir April lalu, ia menyelesaikan membaca buku saya terbitan 2017 yang berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Krisis Seperempat Baya.

    Singkat kata, Krishna merasa tercerahkan setelah membaca buku. Sebagai calon Sarjana, ia mengaku beruntung sekali mendapatkan semacam “pencerahan” karenanya. Namun, di saat yang bersamaan ia meminta nasehat untuk membuat peta jalan karir yang akan dilaluinya kelak.

    Krishna mungkin hanya satu dari jutaan lulusan perguruan tinggi yang setiap tahunnya dihadapkan pada fase terpenting dalam perjalanan hidup. Tidak lain ialah menentukan cetak biru karir. Ya, Krishna tidak sendirian. Jangankan fresh graduate, para profesional berusia 40 atau yang telah melewati titik paruh baya juga tidak jarang dirisaukan dengan urusan berkarya.

    Mencermati hal ini, saya langsung teringat dengan survei independen yang saya lakukan pada kurun 2016-2018. Sebuah riset yang melibatkan lebih dari 1000 orang di 100 kota di Indonesia, Asia – Pasifik, Eropa Utara, dan Amerika. Survei itu bertajuk panggilan hidup.

    Dari hasil temuan yang saat ini masih dalam proses pengolahan, lebih dari 90 persen responden mengaku bahwa karir merupakan salah satu aspek terpenting dalam hidup. Hal itu tidak mengherankan mengingat sebagian besar waktu produktif kita dihabiskan pada aspek tersebut.

    Yang menarik, lebih dari separuh responden mengatakan kurang puas dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini. Akibatnya, kebahagiaan cukup terusik. Ketentraman apa lagi. Kenyataan ini menyebabkan mereka mulai mendefinisikan kembali apa yang paling diinginkan dalam hidup, apa yang dianggap paling penting, apa yang paling diprioritaskan, apa yang membuat hidup bermakna, dan bagaimana mereka bisa menjadi “pribadi baru” di kemudian hari.

    Dari temuan riset yang kelak akan saya beberkan lagi dalam bentuk buku, rupanya hanya sebagian responden yang benar-benar menyelami “panggilan” dalam berkarya dan menjalani hidup dengan “hidup”. Akibatnya, sebanyak apapun penghasilan yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Konsekuensinya, sekeras apapun usaha yang dikerahkan untuk mencapai goal, menjadikan mereka cepat bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Pemaknaan “panggilan” antar individu memang beragam. Pasalnya, seringkali berkaitan dengan perjalanan intristik. Tidak lain merupakan titik temu antara minat, bakat, keterampilan, passion, apa yang benar-benar digelisahkan, dan bidang apa yang paling sungguh-sungguh ingin digeluti untuk memecahkan masalah di sekitar.

    Dari ribuan orang yang saya temui, “panggilan” memang salah satu pilar kunci yang menentukan bahagia atau tidaknya seorang individu. Pasalnya, orang yang menyelami “panggilan”, akan senantiasa terdorong untuk menciptakan nilai tambah, memberikan solusi, bermanfaat kepada sesama, dan membuat perbedaan dalam bidang-bidang yang kurang dipikirkan oleh orang lain.

    Orang yang memiliki “panggilan” pada umumnya tidak rentan bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Karena tujuan mereka berkarya (dan hidup) bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk memberi atau melayani orang lain sesuai dengan potensi.

    Orang yang menyelami “panggilan” berkarya dengan jiwa dan hati. Tidak hanya dengan otak yang seringkali berkutat pada masalah “untung-rugi”. Lantas, sudahkah Anda menyadari “panggilan” hidup Anda sendiri? Kalaupun belum, tidak usah khawatir. Karena panggilan tersebut sudah Ada di dalam diri. Anda hanya perlu traveling inside. Lebih tepatnya lagi, traveling within yourself. Selamat mencoba.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 16 Mei 2018