Tag: Bekerja

  • Memaknai Purpose Dalam Bekerja

    Bekerja. Apa yang di benak Anda ketika mendengar kata itu? Sekedar aktivitas untuk mengisi waktu? Rutinitas 8-5 yang membosankan? Kegiatan untuk mewujudkan dapur tetap mengebul? Aktualisasi diri? Atau mungkin wujud pengabdian kepada Tuhan?

    Apapun pendapat Anda, sah-sah saja. Karena mau-tidak mau, suka-tidak suka, setiap individu digariskan oleh Sang Pencipta untuk bekerja.

    Lagi pula, bekerja merupakan aktivitas utama yang Anda sadari atau tidak menyedot sebagian besar waktu dalam hidup. Jika standar “kerja kantoran” kata banyak orang adalah 8 jam dan kemacetan jalan “memakan” 1-3 jam, berapa lama waktu yang Anda korbankan untuknya? Itu belum termasuk lembur yang kadang-kadang tidak menentu.

    Bekerja memang menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup kita. Meski tidak selalu, ia sering menjadi “identitas” diri.

    Bekerja bisa  dikatakan sebagai “impian” anak muda. Teliti saja kalau tidak percaya. Bukankah para mahasiswa ketika mengambil jurusan tertentu memiliki berderet motivasi untuk menjalani profesi tertentu?

    Bekerja merupakan “harapan” bagi jutaan saudara kita yang sedang menganggur lantaran terbatasnya lapangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah mati-matian untuk mendapatkannya. Dari menebar riwayat hidup, mondar-mandir dalam bursa kerja, hingga berjejaring di platform sekelas Linkedin.

    Bekerja merupakan faktor pendorong urbanisasi. Cek saja daerah asal orang-orang yang berkantor di kota-kota besar. Bukankah mereka para pendatang?

    Menyadari hal itu, sudah semestinya setiap orang bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena alangkah ruginya jika dikerjakan asal-asalan belaka.

    Menurut penelitian saya tiga tahun terakhir, ada tiga tingkatan seseorang dalam bekerja.         Pertama, menganggap pekerjaan hanya sebagai kewajiban. Orang-orang semacam ini memandang pekerjaan sebagai “beban”. Mereka menghabiskan waktu di tempat kerja tidak lebih dari sekedar mencari uang untuk hidup. Mereka sering bosan, mengeluh, menyalahkan keadaan, dan gampang putus asa. Tak mengherankan jika karier mereka biasa-biasa saja. Mereka adalah potret dari sebagian besar pekerja di dunia.

    Kedua, menganggap pekerjaan sebagai karya. Orang-orang di tingkatan ini sadar akan potensi diri mereka. Dari kekuatan, minat, bakat, passion, dan peluang. Ambisi mereka luar biasa. Berbagai kursus, kuliah bergelar maupun non-gelar, sesi networking, hingga seminar, lokakarya, atau segala jenis forum diikutinya untuk mengembangkan diri. Orientasi mereka ialah karier. Tak mengejutkan, jika mereka adalah para “bintang” di bidang masing-masing. Mereka seringkali ialah orang-orang yang Anda anggap “sukses” dari sisi keuangan, jabatan, popularitas, atau sisi duniawi lainnya. Meskipun oleh orang lain telah dianggap mencapai derajat  “sukses”, kebahagiaan masih sulit mereka wujudkan. Karena orientasi mereka masih berkutat untuk diri sendiri, memuaskan ego sendiri, atau mendapatkan pengakuan dari orang lain.

    Ketiga, menganggap pekerjaan sebagai panggilan. Orang-orang yang berada pada tingkatan ini berkarya karena “terpanggil” untuk memecahkan masalah, melayani sesama, membantu orang lain, atau menciptakan nilai tambah. Mereka bekerja bukan semata-mata untuk mencari nafkah, tapi bekerja sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan. Merekalah orang-orang yang telah “selesai” dengan (atau melampaui) diri sendiri. Karena orientasinya ialah Sang Pencipta – bukan lagi uang, pengakuan manusia, jabatan, popularitas atau hal-hal duniawi lainnya. Mereka cenderung lebih berbahagia karena prinsip hidupnya ialah memberi, berbagi, atau melayani orang lain.

    Sekarang, jujurlah dengan diri Anda sendiri. Masuk dalam tingkatan yang manakah Anda?        Akhir kata, saya jadi teringat dengan petuah salah satu mentor saya. Untuk berkarya dengan purpose (tujuan). Bukan bekerja karena diharuskan, lantaran diawasi atasan, atau takut tidak mendapatkan nafkah.

    Bukankah sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat untuk orang lain? Dan kunci kebermanfaatan itu bisa kita temukan dalam bekerja.(*)

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 12 April 2019

  • Menyelami “Panggilan” Dalam Keseharian

    Belum lama ini saya mendapatkan pesan singkat melalui surat elektronik dari seseorang. Sebut saja bernama Krishna. Secara pribadi, saya belum pernah mengenal namanya – apalagi bertemu. Oleh karena itu, ketika ada surat masuk, saya langsung membacanya secara seksama.

    Selidik demi selidik, Krishna merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Mesin di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Akhir April lalu, ia menyelesaikan membaca buku saya terbitan 2017 yang berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Krisis Seperempat Baya.

    Singkat kata, Krishna merasa tercerahkan setelah membaca buku. Sebagai calon Sarjana, ia mengaku beruntung sekali mendapatkan semacam “pencerahan” karenanya. Namun, di saat yang bersamaan ia meminta nasehat untuk membuat peta jalan karir yang akan dilaluinya kelak.

    Krishna mungkin hanya satu dari jutaan lulusan perguruan tinggi yang setiap tahunnya dihadapkan pada fase terpenting dalam perjalanan hidup. Tidak lain ialah menentukan cetak biru karir. Ya, Krishna tidak sendirian. Jangankan fresh graduate, para profesional berusia 40 atau yang telah melewati titik paruh baya juga tidak jarang dirisaukan dengan urusan berkarya.

    Mencermati hal ini, saya langsung teringat dengan survei independen yang saya lakukan pada kurun 2016-2018. Sebuah riset yang melibatkan lebih dari 1000 orang di 100 kota di Indonesia, Asia – Pasifik, Eropa Utara, dan Amerika. Survei itu bertajuk panggilan hidup.

    Dari hasil temuan yang saat ini masih dalam proses pengolahan, lebih dari 90 persen responden mengaku bahwa karir merupakan salah satu aspek terpenting dalam hidup. Hal itu tidak mengherankan mengingat sebagian besar waktu produktif kita dihabiskan pada aspek tersebut.

    Yang menarik, lebih dari separuh responden mengatakan kurang puas dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini. Akibatnya, kebahagiaan cukup terusik. Ketentraman apa lagi. Kenyataan ini menyebabkan mereka mulai mendefinisikan kembali apa yang paling diinginkan dalam hidup, apa yang dianggap paling penting, apa yang paling diprioritaskan, apa yang membuat hidup bermakna, dan bagaimana mereka bisa menjadi “pribadi baru” di kemudian hari.

    Dari temuan riset yang kelak akan saya beberkan lagi dalam bentuk buku, rupanya hanya sebagian responden yang benar-benar menyelami “panggilan” dalam berkarya dan menjalani hidup dengan “hidup”. Akibatnya, sebanyak apapun penghasilan yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Konsekuensinya, sekeras apapun usaha yang dikerahkan untuk mencapai goal, menjadikan mereka cepat bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Pemaknaan “panggilan” antar individu memang beragam. Pasalnya, seringkali berkaitan dengan perjalanan intristik. Tidak lain merupakan titik temu antara minat, bakat, keterampilan, passion, apa yang benar-benar digelisahkan, dan bidang apa yang paling sungguh-sungguh ingin digeluti untuk memecahkan masalah di sekitar.

    Dari ribuan orang yang saya temui, “panggilan” memang salah satu pilar kunci yang menentukan bahagia atau tidaknya seorang individu. Pasalnya, orang yang menyelami “panggilan”, akan senantiasa terdorong untuk menciptakan nilai tambah, memberikan solusi, bermanfaat kepada sesama, dan membuat perbedaan dalam bidang-bidang yang kurang dipikirkan oleh orang lain.

    Orang yang memiliki “panggilan” pada umumnya tidak rentan bosan, hampa, dan kehilangan motivasi. Karena tujuan mereka berkarya (dan hidup) bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk memberi atau melayani orang lain sesuai dengan potensi.

    Orang yang menyelami “panggilan” berkarya dengan jiwa dan hati. Tidak hanya dengan otak yang seringkali berkutat pada masalah “untung-rugi”. Lantas, sudahkah Anda menyadari “panggilan” hidup Anda sendiri? Kalaupun belum, tidak usah khawatir. Karena panggilan tersebut sudah Ada di dalam diri. Anda hanya perlu traveling inside. Lebih tepatnya lagi, traveling within yourself. Selamat mencoba.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 16 Mei 2018 

     

  • Memaknai Kembali Pekerjaan

    Bekerja ialah salah satu kegiatan utama setiap orang di sepanjang hidup. Sebagian besar orang menghabiskan setidaknya sepertiga waktu produktif untuknya. Sebagian lainnya bahkan lebih dari itu.

    Melalui pekerjaan, setiap individu “menyumbangkan” diri. Dari waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Dengan pekerjaan kita rela meneteskan darah, keringat dan air mata. Menguji ketulusan, kesabaran, ketekunan, pengorbanan, tanggungjawab, dan integritas. Berkat pekerjaan kita bisa menggapai mimpi dan cita (bahkan cinta).

    Menyadari berharganya pekerjaan, setiap insan berjuang setengah mati untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Dimulai dari kelulusan SMP. Saudara-saudara kita yang ingin cepat bekerja tentu memilih SMK, sesuai dengan vokasi yang diinginkan. Sementara itu yang memiliki hasrat untuk meneruskan ke perguruan tinggi, mempercayakan SMA dengan konsentrasi Ilmu Alam, Ilmu Sosial hingga Bahasa.

    Bagi yang beruntung bisa melanjutkan kuliah, “drama” pemilihan jurusan tak terelakkan lagi. Seringkali orang tua ikut campur tangan dalam menentukan program studi buah hati. Tidak jarang pilihan yang diambil mengabaikan aspek minat, bakat, potensi dan kepribadian. Banyak yang masih ikut-ikutan tren hingga mengambil jurusan tertentu hanya karena prospek pekerjaan. Tidak ada yang salah memang. Namun dari sini kita bisa mengerti, betapa pekerjaan menjadi isu penting yang tak bisa dipungkiri.

    Pekerjaan merupakan salah satu pilar dalam menentukan pasangan hidup. Beberapa orang mengidolakan calon jodoh dari profesi tertentu. Sebagian orang mematok calon pasangan, harus memiliki penghasilan dengan jumlah yang menurut mereka “wajar”. Sebagian lainnya sama sekali tidak mempermasalahkan profesi, asalkan bisa menghidupi.

    Pekerjaan ibarat pisau bermata dua. Bergantung dari cara individu menyikapi masalah bertubi-tubi yang mengiringi karirnya. Banyak figur publik mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sebagian dipenjara karena korupsi hingga mengkonsumsi narkotika. Tidak sedikit yang stres tiada henti karenanya. Sementara itu masih ada yang bahagia karena bekerja. Apapun rintangan yang dilaluinya.

    Lantas bagaimana kita memaknai pekerjaan? Jika kita ulik lagi, ada beberapa poin yang bisa disarikan.

    Pekerjaan Sebagai Beban

    Ini dirasakan oleh orang-orang yang belum mengenal dengan baik siapa dirinya. Mereka menganggap segala tanggungjawab yang dihadapi karena keterpaksaan. Mengeluh, menyalahkan orang lain, dan acuh tak acuh sudah menjadi kebiasaan orang di level ini. Mereka bekerja semata-mata ingin mendapatkan Rupiah. Seringkali mereka ingin menang sendiri, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan mengabaikan kata hati.

    Pekerjaan Sebagai Aktualisasi Diri

    Ini dirasakan oleh kebanyakan orang. Mereka bekerja secara profesional. Menyalurkan potensi, minat, bakat dan keterampilannya dalam keseharian. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan upah. Sistem reward & punishment cukup efektif dalam “memompa” semangat orang-orang di level ini. Mereka bekerja keras demi jenjang karir yang didambakan. Paada saat yang bersamaan, mereka terus tumbuh karena bertambahnya pengalaman. Didewasakan oleh masalah, ditempa dengan tugas yang dari hari ke hari makin besar.

    Pekerjaan Sebagai Cara untuk Melayani Sesama

    Mereka bekerja bukan karena keterpaksaan. Mereka berkarya bukan sekonyong-konyong karena uang. Namun mereka “ada” untuk melayani sesama. Semakin besar tanggung jawab yang dieemban, semakin besar pula “peluang” mereka untuk bahagia. Memberikan sebagian tenaga, waktu dan pikiran sudah menjadi denyut nadi. Membantu sesama telah menjadi citra diri. Mereka tidak tinggi hati ketika dipuji, dan tidak rendah diri ketika dicaci.

    Pekerjaan Sebagai Jalan untuk Memecahkan Masalah Orang Lain

    Pekerjaan sejatinya merupakan ujian yang wajib diselesaikan. Itu artinya, siapa saja yang bisa “lulus”, secara otomatis akan “naik kelas”. Dengan kata lain, cepat atau tidaknya perkembangan karir kita ditentukan oleh seberapa besar masalah yang kita pecahkan. Semakin tinggi posisi, semakin tinggi pula tantangan yang harus diredamkan. Semakin dahsyat kepuasan yang ditawarkan, semakin dahsyat pula resiko yang mengiringi. Menyadari hal itu, orang-orang yang berada pada level ini tidak pernah iri dengan pencapaian orang lain. Mereka percaya dengan hukum alam bahwa apa yang ditanam, itu pula yang akan dituai.

    Pekerjaan Sebagai Panggilan

    Ini merupakan “derajat” tertinggi dalam menghayati sebuah pekerjaan. Mereka berkarya bukan semata-mata karena kepentingan dunia. Melainkan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Hyang Widhi. Orang-orang ini berkarya karena ibadah. Jadi, mereka tidak lagi bekerja “hitung-hitungan”. Melainkan berusaha menciptakan nilai tambah dari masa ke masa. Mereka berhubungan dengan Tuhan sebaik berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu mereka yakin, bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bagi mereka, bekerja merupakan proses ibadah yang dengan suka cita dilaksanakan dengan “tujuan” mulia.

    Nah, di atas merupakan beberapa makna pekerjaan versi saya. Bisa jadi Anda memiliki definisi tersendiri. Namun itu tidak jadi soal. Karena pekerjaan merupakan cermin dari siapa kita. Jadi ingin menjadi sebaik apakah Anda dalam menyelami pekerjaan?

     

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 31 Juli 2017 

  • Hindari Tujuh Kesalahan Ini, Agar Sukses Berkarir

    Memiliki karir cemerlang rasanya sudah menjadi impian banyak orang. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat persaingan di dunia kerja makin begitu sengit dari hari ke hari. Sehingga untuk menapaki tangga demi tangga kemajuan, mensyaratkan upaya yang tidak mudah .

    Sayangnya kegagalan sebagian besar orang berkarir bukan disebabkan karena ia malas atau kurang berkomitmen. Namun justru bermuara pada  hal-hal mendasar yang sering kali tidak terpikirkan. Nah, berikut ialah beberapa tujuh kesalahan karyawan yang perlu dihindari dalam berkarir. Khususnya bagi  mereka yang ingin menjadi “Super Star”. Apapun jenis industri dan profesi yang dipilih.

    Tidak Mengenali Potensi Diri

    Ini merupakan langkah pertama yang tak bisa dilewati. Mengetahui minat, bakat, kekuatan, kelemahan, hingga kepribadian bisa menjadi kunci sekaligus katalisator untuk percepatan karir. Sayangnya poin ini sering diabaikan. Bahkan sebelum si fulan menentukan jurusan atau program studi di perguruan tinggi. Bagaimana mungkin seseorang mampu sukses berkarir jika “peta” dan kompas diri saja masih buta?

    Mengabaikan Goal Tertulis

    Mimpi hanyalah angan-angan kosong, jika tidak ada komitmen untuk mencapainya. Target hanyalah target, jika tidak ada kesungguhan untuk mendapatkannya. Itu mengapa menulis “goal” sudah menjadi suatu keharusan. Pasalnya dengan menuliskannya seseorang bisa terus-menerus teringat dengan apa yang diinginkan. Terlebih lagi tulisan tersebut dipasang di kamar, meja kantor, atau dibuat versi digitalnya. Sehingga bisa dipajang di layar telepon genggam, laptop hingga ipad.

    Malas Melakukan Riset

    Dalam setiap sesi wawancara, seorang recruiter maupun calon atasan, pasti menanyakan hal-hal mendasar. Mulai dari mengapa Anda tertarik bekerja di perusahaan X? Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan Y? Apa yang Anda ketahui tentang dinamika industri di sektor Z? Hingga seberapa mahal Anda ingin dibayar? Untuk menjawab berderet pertanyaan tersebut sekilas memang mudah. Tapi jika tidak melakukan riset, bagaimana mungkin bisa “mencuri perhatian” pewawancara? Itu berlaku untuk para fresh graduate. Bagi karyawan berpengalaman, riset merupakan salah satu strategi jitu untuk mengembangkan karir. Mulai dari menentukan jenis industri mana yang tren ke depannya akan berkembang, budaya perusahaan seperti apa yang cocok dengan values, hingga keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk menduduki level tertentu.

    Mispersepsi Tujuan Bekerja

    Rata-rata setiap orang di seluruh dunia menghabiskan setidaknya delapan jam bekerja di sepanjang hidupnya. Itu artinya bekerja merupakan salah satu aktivitas pokok dalam kehidupan siapapun. Namun bekerja bukan satu-satunya aktivitas yang dapat dilakukan di dunia. Masih ada kehidupan lain yang harus diperhatikan, seperti berinteraksi dengan keluarga, mendekatkan diri kepada Tuhan, hingga bersosial. Hasil riset dari berbagai lembaga di dunia menunjukkan, ketidakbahagiaan, konflik dalam rumah tangga hingga masalah kesehatan bermuara pada pekerjaan. Itu mengapa setiap individu harus mendefinisikan kembali niatnya dalam bekerja. Apakah hanya sekedar untuk bertahan hidup, sebagai sarana untuk mengamalkan ilmu, atau justru pengisi waktu semata?

    Mengejar Status, Bukan Kontribusi

    Kekayaan, kekuasaan dan ketenaran adalah tiga poin utama yang dikejar oleh sebagian orang dalam bekerja. Ketiganya memang menjadi dorongan positif untuk berprestasi. Namun jika tidak pandai mengendalikan emosi, justru menjadi pemicu utama stres. Oleh karena itu, jangan pernah mengejar status yang bersifat semu. Mulailah bersikap untuk menjadikan bekerja, sebagai sarana untuk berkontribusi kepada sesama. Menjadi orang yang mampu menaburkan manfaat dengan apa yang kita bisa lakukan.

    Enggan Aktif di Komunitas

    Komunitas ialah tempat di mana orang-orang yang memiliki kesamaan tujuan berkumpul. Entah karena hobi, minat, pekerjaan, almamater, hingga latar belakang pendidikan. Dalam komunitas, orang-orang secara sukarela aktif untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan bersama. Ini merupakan wadah yang tepat untuk meluaskan jejaring. Entah untuk pengembangan bisnis, atau kemajuan karir. Oleh karena itu untuk menjadi karyawan super, aktif di komunitas yang sesuai dengan panggilan hati tidak bisa ditawar lagi untuk dilakukan.

    Nihilnya Mentor

    Orang-orang yang sukses biasanya memiliki mentor. Pasalnya seorang mentor mampu mengarahkan si fulan untuk menjadi lebih baik. Ia bisa mengkritik secara pedas namun konstruktif. Ia bisa memberikan saran kepada si fulan berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya – bukan masukan normatif seperti yang dibaca di buku-buku ilmiah. Jadi umpan balik yang ditawarkan mentor biasanya lebih berdampak, karena ada hubungan secara pribadi yang diikat dengan trust. Jadi bagi Anda yang belum memiliki mentor, carilah segera orang-orang yang Anda anggap lebih berpengalaman atau yang Anda dikagumi. Orang-orang yang secara pribadi Anda jadikan panutan.

    Nah, di atas ialah beberapa kesalahan yang terlihat sepele, tapi berdampak besar dalam perkembangan karir Anda. Cobalah untuk menerapkan satu demi satu solusinya secara berkesinambungan. Karena keberhasilan dalam berkarir merupakan proses panjang sebagaimana maraton, bukan lari jarak pendek (sprint). Sehingga yang terpenting bukanlah kecepatan, melainkan daya tahan tiada henti dalam mengarungi setiap “lintasan”. (***)

     

    *** Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 8 Juli 2017

     

     

  • Menemukan “Panggilan” Dalam Bekerja

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Inti Pesan, 21 Juni 2017

                 Setiap individidu memiliki motivasi unik dalam bekerja. Sebagian mendambakan kekayaan. Beberapa di antaranya mengejar kekuasaan. Tidak sedikit yang mencari ketenaran. Sebagian lainnya berupaya mereguk keberhasilan yang sifatnya relatif.

    Sebenarnya, mengapa kita bekerja? Apa yang kita cari dalam bekerja? Bagaimana bekerja dapat membantu pencapaian mimpi kita? Tiga pertanyaan mendasar ini meski terdengar begitu klise, masih tetap relevan dalam menganalisis perilaku manusia.

    Karena memiliki hasrat yang bergelora, saya mengambil Sabbatical selama setahun penuh di sepanjang 2016. Satu keputusan yang kurang populer di mata masyarakat tanah air – khususnya generasi Y.  Saya  isi hari demi hari dengan mencoba hal-hal baru, menekuni hobi, membaca, bertemu ribuan orang, jalan-jalan, hingga menjadi relawan selama enam bulan di salah satu pulau terluar yang hanya memakan waktu 2 jam perjalanan via ferry dari Singapura  dan Malaysia.

    Di sela-sela masa kontemplasi yang dikenal dengan Gap Year tersebut, saya menyempatkan diri untuk melakukan riset independen. Saya mencari tahu bagaimana manusia-manusia Indonesia memandang hidup. Mulai dari kapan mereka menemukan “panggilan”, apa yang mereka cari dalam hidup, apa  yang paling penting dalam hidup mereka, bagaimana mereka memandang keberhasilan, bagaimana mereka mengartikan kebahagiaan, hingga mengapa mereka bekerja.

    Secara rinci, saya mewawancarai lebih dari 1100 responden yang tersebar di 40 kota lapis pertama dan kedua  di  tanah air. Belum termasuk para diaspora Indonesia yang tersebar di New York, Kuala Lumpur, Penang, Singapura, Bangkok, Amsterdam, London, Jeddah, Sydney, New Delhi, Tokyo,  Hong Kong, hingga Bandar Seri Begawan. Profesi (dan jabatan) mereka beragam mulai dari mantan Menteri, anggota DPR, motivator, humas, akuntan, pemuka agama, perencana keuangan, konsultan, dokter, insinyur, bankir, guru, dosen, diplomat, wartawan, peneliti, pengacara, seniman, penulis, inovator, juru bicara presiden, pembawa acara berita, pengusaha, petani, hingga buruh.

    Hasil riset yang lebih mendalam akan saya rilis dalam bentuk buku kelak, namun berikut beberapa (ringkasan) temuan menarik yang dapat disimak.

    Pertama, bekerja merupakan salah satu pengejawantahan “panggilan” hidup.  Temuan ini sama sekali tidak mengejutkan saya, mengingat sekurang-kurangnya 8 jam dihabiskan untuk bekerja setiap harinya. Itu mengapa orang yang menganggur dan pensiunan yang tidak beraktivitas cenderung kurang bahagia dalam hidupnya. Karena meski mengharuskan adanya pengorbanan, bekerja menjadi salah satu dorongan untuk menemukan “makna” dalam hidup.

    Kedua, pemaknaan bekerja manusia Indonesia beragam. Sebagian semata-mata bekerja untuk menumpuk bongkahan berlian, memburu habis jabatan tertentu, dan mencari segala cara untuk menjadi pesohor. Namun sebagian besar bekerja sebagai “ladang ibadah”, sarana aktualisasi ilmu, melayani (atau membantu) sesama, memberikan nilai tambah, dan memecahkan masalah orang lain.

    Ketiga, yang paling diinginkan manusia Indonesia ialah kebahagiaan. Meski  makna kebahagiaan relatif, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menempatkannya sebagai salah satu aspek utama dalam menjalani hidup – khususnya dalam bekerja. Kebahagiaan tersebut dapat direguk ketika turut menolong sesama sehingga merasa diri mereka “ada” dan bermanfaat. Dengan kata lain, bekerja merupakan salah satu pertanda eksistensi manusia.

    Keempat, kesuksesan memang penting tapi bukan segalanya. Sukses ialah mendapatkan apa yang kita  inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita  dapatkan. Karena tidak ada patokan yang disepakati untuk mengukur kesuksesan, takaran satu-satunya (mungkin) ialah syukur. Itu mengapa orang yang paling bahagia ialah orang-orang yang paling pandai bersyukur. Sehingga sama sekali tidak ada hubungannya dengan ukuran yang dapat dinalar seperti keuangan, jabatan, popularitas atau strata pendidikan.

    Kelima, setiap individu memiliki “orbit” masing-masing. Salah satu motivasi terbesar saya mengambil “jeda bekerja” selama setahun penuh (career break) ialah menemukan passion hingga “panggilan” hidup. Yang mengagetkan, jawaban lebih dari 1000 responden penelitian saya begitu berbeda-beda ketika ditanya kapan mereka menemukan renjana dan tujuan hidup. Ada seorang cendekiawan yang menemukannya ketika masih duduk di bangku SMA, ada seorang pengusaha ternama yang mencapainya di usia 35, ada seorang motivator yang mengenali dirinya di usia 30, ada seorang CEO yang mendapatkannya di usia  40, dan ada pula seorang pembicara papan atas yang meyakini panggilan hidupnya di usia 9 tahun. Jadi, bagi saudara-saudara sekalian yang belum menemukan passion-nya, janganlah berkecil  hati. Karena setiap orang memiliki jalan hidup  yang berbeda-beda. Renjana dan panggilan hidup akan ditemukan ketika kita mengenali siapa diri kita dan untuk apa kita ada di dunia. Sehingga, bisa dikatakan sebagai sebuah perjalanan sepanjang hayat.

    Sebagian intisari dari riset di atas, telah saya paparkan dalam buku saya yang telah terbit beberapa waktu lalu berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life Crisis. Yang terpenting bagi Anda sekarang tentu saja mencari tahu apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup, nilai-nilai apa yang paling Anda pegang, apa yang membuat Anda bahagia dalam bekerja, dan menemukan jawaban “mengapa” Anda ada di jagad raya. Semua pertanyaan klise yang bermuara pada pengenalan jati diri kita sebagai manusia.

                Akhir kata, saya jadi teringat pelajaran paling berharga selama setahun menjalani Sabbatical. Bahwa hidup adalah memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana. Doa saya untuk Anda adalah agar segera menemukan “panggilan” hidup, sehingga bisa mereguk makna bekerja dan kebahagiaan hakiki. Selamat mudik bagi yang menjalankan, semoga selamat sampai tujuan. Selamat berlebaran.

     

  • Wahai Millennial! Jangan (Hanya) Mengikuti “Passion”

    Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di RumahMilennials.com, di sini.  

     

    Dalam beberapa  tahun terakhir, kata “passion” (baca: renjana) sepertinya makin populer saja. Betapa tidak, kata ini kerap dijadikan salah satu parameter untuk menilai karir hingga kesuksesan. Lantas, apa hubungannya?

    Banyak orang mengatakan bahwa orang yang bekerja sesuai passion akan jauh lebih produktif. Passion dianggap menjadi driver yang memungkinkan individu bekerja tidak “hitung-hitungan”. Sehingga bekerja laksana bermain. Lantaran dinilai sesuai dengan hobi, kesukaan, atau minat.

    Orang yang memiliki renjana dinilai lebih sukses berkarya dibandingkan orang yang bekerja semata-mata berorientasi Rupiah.  Contoh yang sederhana ialah penyanyi, artis, desainer, pelukis, hingga penulis.

    Makin dikenalnya kata passion nampaknya sejalan dengan fenomena Gen Y. Suatu generasi dinamis yang dianggap kurang setia bekerja di satu tempat. Suatu generasi yang suka berpindah-pindah profesi atau kantor karena dinilai cepat bosan. Suatu generasi cinta gadget yang bisa multitasking. Suatu generasi yang bekerja tidak semata-mata karena uang. Tapi lebih menyeimbangkan antara pemanfaatan keterampilan, passion, keseimbangan bekerja, dan aktualisasi diri.

    Masalah paling mendasar tentu tidak (atau belum) semua orang tahu apa passionnya. Kalaupun sudah tahu, tidak sedikit yang bisa mencari penghidupan darinya. Sehingga, bekerja tidak harus sesuai dengan passion agar dapur tetap mengebul. Apalagi, passion cenderung self-oriented. Dalam artian, korelasinya paling bisa dirasakan pertama kali oleh si fulan. Dari aspek kepuasan bathin atau kebahagiaan misalnya.

    Jadi, bagi teman-teman yang sekarang tengah gundah mencari passion, tenang saja. Anda tidaklah sendirian. Toh, apa tujuan kita bekerja? Bukankah sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Hyang? Bukankah agar aktualisasi diri bermanfaat untuk sesama? Bukankah untuk menciptakan nilai tambah? Bukankah untuk melayani orang lain? Bukankah untuk memberi?

    Passion memang salah satu “modal” awal untuk mereguk kesuksesan. Tapi untuk mencapai titik sukses, mengandalkan passion saja tidaklah cukup.

    Memang dengan mudah kita jumpai orang-orang yang sukses karena mengikuti passion. Tapi jika boleh jujur, ada lebih banyak lagi orang yang sukses karena tidak (hanya) mengikuti passion.

    Buktinya? Sebutkan saja satu persatu. Banyak penemu, pebisnis, aktivis sosial, hingga politisi kelas dunia yang sukses karena tidak  semata-mata mengikuti passion. Mereka sukses karena membantu memecahkan masalah orang lain.  Misalnya saja Steve Jobs dan Bill Gates sukses karena memudahkan manusia untuk berkarya dengan komputer. Gandhi dan Bunda Teresa sukses karena welas asihnya untuk sesama.

    Lantas, apa pesan moralnya? Temukan masalah di sekitar kita yang menurut Anda “penting” untuk diselesaikan. Masalah yang membuat hati Anda gelisah. Masalah yang benar-benar Anda pedulikan. Masalah yang sejalan dengan nilai-nilai hidup Anda.

    Lalu, apa kuncinya? Sederhana saja. Jangan egois. Tapi, buat kehadiran Anda bermanfaat orang lain. Buat keberadaan Anda membantu orang lain. Buat eksistensi Anda menciptakan nilai tambah. Buat diri Anda dibutuhkan orang banyak. Buat diri Anda pemecah masalah.

    Benang merahnya apa? Jika sekarang teman-teman pusing karena belum menemukan passion, tenang saja. Alih-alih galau yang membuat Anda tidak produktif, lebih baik terus memikirkan bagaimana caranya agar keberadaan kita bermanfaat kepada sesama. Karena sebaik-baik anak manusia ialah yang paling bermanfaat untuk orang lain.

    Sekali lagi, jangan (hanya) mengikuti passion. Sebagaimana petuah Travis Bradberryl yang menegaskan bahwa, “Grit is that ‘extra something’ that separates the most successful people from the rest. It’s the passion, perseverance, and stamina that we must channel in order to stick with our dreams until they become a reality.”