Tag: Bahagia

  • Mengapa Kebahagiaan Tak Kunjung Diraih?

    Semua orang mungkin mengamini bahwasannya hidup ini hanya sekali.Dari tunawisma di kolong jembatan, Wakil Rakyat di Senayan, tukang loak di pasar tradisional, artis yang tiap hari mondar-mandir di layarkaca, da’i sejuta ummat, hingga tentu Anda sendiri. Oleh karenanya, setiap orang berlomba-lomba untuk mengejar mimpi sesuai kadar masing-masing.

    Mimpi seperti apa yang dikejar orang kebanyakan? Yang pasti, jawabannya akan relatif. Namun, jika boleh saya sarikan ada tiga hal besar. Ada yang mengejar ketiga hal sekaligus, ada yang dua diantaranya, ada juga yang hanya berkutat di satu hal.

    Pertama, pemburu harta benda. Secara naluriah, manusia digariskan untuk bekerja. Dengan bekerja, ia dapat menghasilkan pundi-pundi Rupiah yang digunakannya memenuhi segala macam kebutuhan. Baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kebugaran, rekreasi, dantakterhingga. Sayangnya, manusia memang memiliki kesamaan dengan binatang. Bersifat rakus, selalu merasa kurang, tidak pernah merasa puas, dan seringkali abai dengan moralitas. Apa contohnya? Lihat saja ratusan birokrat yang terjerumus kasus korupsi, pengusaha yang berani menggemplang pajak, orang-orang yang mencari ‘pesugihan’ untuk mereguk kekayaan dengan jalan pintas, atau maraknya perjudian.

    Kedua, pencari ketenaran. Kebutuhan untuk diakui, dikenal, dipuji, atau dielu-elukan merupakan hal lain yang dikejar orang. Biasanya ini dilalui jika hal pertama terpenuhi. Namun, sebagian kecil lainnya memang mengejar yang pertama dengan cara ini. Tengoklah di berbagai liputan media. Berapa ribu peserta setiap diadakan kontes Peagants, ajang pencarian bakat, atau perlombaan apa saja yang dilakukan media. Di sisi lain, berapa banyak politisi, pengusaha, atau tokoh masyarakat yang menggunakan segala cara untuk meningkatkan pamor. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang untuk mendongkrak publisitas.Tidak ada bedanya dengan mengiklankan produk atau jasa.Semuanya berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatan, memperlihatkan prestasi yang diraih, atau mensyiarkan kebaikan yang pernah dilakukan.

    Ketiga, pejuang kekuasaan. Hal ini dikejar jika yang pertama atau kedua telah digaet. Sebagian kecil fokus mengejarnya sejak kecil kendati hal pertama dan kedua tak terpikirkan. Contohnya mudah ditemui. Pengusaha yang masuk politik untuk melanggengkan imperium bisnisnya, public figure yang dipinang partai politik untuk memenangkan perolehan suara, aktivis sosial yang tergoda duduk dengan jabatan DPRD hingga DPR RI, dan sebagainya. Memang ada sih yang berpolitik secara idealis untuk memperjuangkan misi mulia. Namun sayangnya kebanyakan masih terbatas memenuhi syahwat kekuasaan yang bergelora.

    Untuk mencapai tiga hal di atas dengan patokan “sukses” di mata kebanyakan orang tidaklah mudah. Ada harga mahal yang harus dibayar.Mulai dari sulitnya waktu berkumpul dengan keluarga, jam tidur yang berantakan, kebugaran tubuh yang tergadaikan, percekcokan dengan kolega, atau kesalah pahaman orang-orang terdekat dengan sepak terjangnya. Akibatnya, hidup dipenuhi ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan keraguan yang tak berkesudahan.

    Sebenarnya, sebagian besar orang mengejar tiga hal di atas untuk mencapai kebahagiaan. Sayangnya, pengendalian emosi yang kurang baik justru semakin menjauhkannya. Ada orang yang berpikir harus kaya dulu sebelum bahagia, menjadikan ketenaran sebagai syarat bahagia, dan berkuasa baruba hagia. Masalahnya, ketiga hal di atas bukan penjamin kebahagiaan.

    Lantas, apakah mengejar harta benda, ketenaran, dan kekuasaan salah?Samas ekali tidak selama niatnya benar. Misalnya memburu harta benda agar bisa berderma lebih banyak, mengejar ketenaran supaya jalan hidupnya menjadi inspirasi, mengejar kedudukan untuk memperjuangkan misi kemanusiaan nan hakiki.

    Banyak orang tidak mengerti mengapa kebahagiaan yang dikejar tak kunjung diraih. Biasanya watak ‘keakuan’ atau ego yang mendominasi setiap gerak langkahnya. Jika tidak, mereka gagal mengendalikan keinginan yang tak berkesudahan. Akibatnya, ketidaktenangan batin atau kecemasan dalam hati sulit sulit keluar dari diri. Dengan demikian, apa resep untuk mereguk kebahagiaan? Sederhana sekali. Dalam memperjuangkan apapun, tanggalkan keakuan dan keinginan. Niatkan segala langkah untuk menebarkan manfaat kepada sesama, menciptakan nilai tambah, dan mengabdi kepadaTuhan.

    Dalam kamus falsafah Jawa, fenomena di atas disepadankan dengan peribahasa “mburu uceng kelangan deleg”. Uceng adalah salah satu jenis ikan berukuran kecil yang mudah ditemui di sungai-sungai di pedesaan Jawa. Adapun deleg adalah ikan berukuran besar yang biasanya dikenal dengan nama gabus. Uceng merupakan gambaran nikmat pemberian Tuhan yang besarnya hanya sepucuk jarum akan tetapi dikejar setiap waktu dengan pengerahan segala tenaga, pikiran, biaya dan upaya. Akan tetapi deleg, gambaran dari simbol Tuhan atau keagamaan terlupakan.

    Lantas, apa arti yang tersirat?  Kira-kira maknanya ialah jangan hanya mengejar hal-hal sekunder dengan melupakan hal primer. Sering kali kita memang berjuang habis-habisan untuk mengejar tiga hal di atas akan tetapi acuh dengan hal-hal yang sejatinya lebih penting seperti mengamalkan ajaran agama, mendidik anak, bersilaturrahmi, berderma, atau mengupayakan misi yang berdampak untuk orang banyak.

    Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Jika yang dikejar adalah kebahagiaan, memang sudah fitrahnya kita menyadari bahwa kenikmatan duniawi yang digambarkan “uceng”sebaiknya tidak melupakan kita kepada “deleg” yaitu Tuhan. Memang tidak mudah untuk memprioritaskan dan menyeimbangkan pengejaran uceng atau deleg. Tapi jika ada niat yang kuat, bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat mengejar (dan menikmati) kebahagiaan.

     

    Dimuat pertama kali di Inti Pesan, 30 Agustus 2017 

  • Apa Pelajaran Selama Masa Sabbatical?

    Sepanjang 2016 hidup saya bak drama. Betapa tidak. Rutinitas 9-5 tiada. Tiada bos, tiada bawahan. Yang ada hanyalah menjadi anak bolang. Seorang yang dengan sadar memilih untuk jeda sejenak dari hiruk-pikuk kejar-mengejar target hidup.

    Itulah Sabbatical. Satu pengalaman yang mungkin tidak terulang dua kali. Satu episode perjalanan yang sarat dengan hikmah.

    Lantas, apa yang kamu dapat Mas Agung? Bukannya kamu buang-buang waktu dan uang saja? Nggak sayang tuh tidak bekerja selama setahun?

    Heiiii, hidup memang butuh uang. Tapi bukan berarti semua aktivitas kita bisa dinilai dengan uang toh?

    Oke deh. Kali ini saya beberkan apa saja sih yang saya pelajari selama masa jeda. Yuk mareee …..

     

    Baca juga: Mau Jalani Sabbatical? Pikir-Pikir Dulu Deh . . .  *** Apa Yang Saya Lakukan Selama Masa Sabbatical?

    Hidup Adalah Perjalanan

    Klise sekali bukan? Yes, apa boleh buat. Begitulah kenyataannya. Manusia bisa berencana sekece badai apapun. Tapi toh kita nggak akan tahu persis apa yang benar-benar mengisi setiap episode hidup ini. Yang paling simple deh, bisa nggak lho menentukan kapan waktu lahir dan mati, nikah dan beranak, atau menghindari sakit? Mungkin merencanakan bisa aja ya. Tapi, hasil bukanlah wewenang kita.

    Seperti saya sendiri. 2016 ini harusnya saya sudah berada di negeri orang. Bergumul dengan buku dan jurnal lagi dalam misi Strata Tiga jika dicocokkan dengan rencana 2015.  Kenyataannya, saya justru mengurungkan niat untuk sekolah lagi karena satu dan lain hal. Hanya ikhlas yang menjadi obat untuk bahagia di titik  ini.

     

    Waktu Takkan Pernah Terbeli

    Yes, Tuhan paling adil kalau yang satu ini. Siapapun diberi jatah waktu yang sama. Satu hari ada 24 jam kan? Mana ada orang yang hanya diberi 20 jam atau 12 jam hanya karena Tuhan marah kepada mereka? Ehhehehe.

    Eh beneran deh. Waktu itu mahal sob. Makin banyak urusan, makin tinggi jabatan, makin besar pengaruh; waktu berasa begitu kurang.

    So, buat setiap detik bermakna dalam hidupmu. Apapun rencana, target, dan tujuan hidupmu. Karena waktu yang telah berlalu nggak akan bisa diputar ulang. Lantaran waktu nggak bisa dibeli. Misal gini deh, lho ditakdirkan Tuhan di usia 90 tahun. Sebanyak apapun uang yang kau miliki mana bisa lho membeli 1 atau 5 tahun untuk menunda kematian? Ya kali . . . . .

     

    Hidup Adalah Pilihan

    Setiap saat kita dihadapkan pada pilihan. Entah dari yang remeh temeh seperti mau makan apa, mau rapat jam berapa, atau mau pakai baju apa di pesta. Hingga urusan njlimet sekelas menentukan pekerjaan, rumah, dan jodoh. Kenyataannya, hidup memang serangkaian dari pilihan yang seakan tak berujung.

     

    Tujuan Hidup Itu Kompas

    Hidup ini singkat saudara-saudara. Kita nggak akan pernah tahu di usia berapa Tuhan mencabut nyawa ini. So, kalau mau hidupmu bermakna ya harus tahu tujuan hidup. Jika tidak ada tujuan, hidup kita akan “muter-muter” saja bak benang kusut.

    Misalnya gini deh. Lho sekarang lagi ada di Kota Jakarta. Lagi bingung nih mau balik ke mana. Sampai 1 abad pun lo akan muter-muter di Jakarta jika tak tahu arah pulang. Berbeda ceritanya jika lo udah mantap mau pulang ke Surabaya. Cara menuju ke Kota Pahlawan bisa via udara, darat, dan laut. Lewat darat pun masih bisa memilih dengan mobil pribadi, kereta api, jalan kaki, bus, hingga sepeda motor.

    Jadi, nggak berlebihan kan kalau tujuan hidup itu seperti kompas? Ya penunjuk arah ketika kita tersesat. Ia menjadi cahaya ketika kita berada dalam kegelapan. Ia menjadi energi ketika kita sedang terpuruk. Ia penunjuk jalan yang mengantarkan langkah-langkah kecil kita setiap hari.

     

    Bahagia Itu Sederhana

    Sebenarnya apa sih yang kita cari di dunia ini? Kita rela banget capek macet-macetan di jalan hingga berjam-jam. Di akhir pekan, tak jarang kita masih kejar setoran agar bisa lebih cepat memiliki A, agar bisa mencapai X, agar bisa mencapai G. Kita seringkali menggadaikan waktu-waktu emas bersama keluarga hanya untuk mengejar angan-angan yang seperti tak ada ujungnya. Apa sih yang kita mau sebenarnya?

    Golongan Satu mungkin sekarang berapi-api ingin bebas secara finansial. Karena menurut mereka jika harta sudah mencapai titik tertentu, mereka tinggal ongkang-ongkang kaki, kipas-kipas cantik sambil, berleha-leha di pantai sambil minum bir? Sesederhana itukah? Kayaknya nggak deh. Saya nggak percaya tuh dengan “kebebasan finansial”. Karena setajir apapun orang, nggak ada tuh ceritanya menganggur. Nggak ada tuh kata malas. Yang ada mereka bergerak, apapun yang dikerjakan.

    Sama seperti Bapak saya deh. Di usianya yang sudah mendekati 70, harusnya beliau nggak usah ngoyo. Diam saja di rumah. Tapi faktanya, beliau sebaliknya. Bekerja ialah panggilan hidupnya. Jadi mau bagaimanapun tiap saat harus ada yang dilakukan. Setali tiga uang dengan donor S1 saya. Beliau adalah salah satu dari 30 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Dengan pencapaian itu, mungkin kita pikir dia hanya menikmati masa tuanya dengan males-malesan di kasur, tidur-tiduran di pantai, atau foya-foya menghabiskan uangnya yang nggak terhitung jumlahnya. Kenyataannya tidak. Justru beliau makin rajin berderma. Menyumbangkan rizkinya untuk amal. Memberi beasiswa, menyantuni kaum miskin, dan memajukan gurita bisnisnya.

    So, omong kosong deh kalau bahagia itu mahal. Karena yang sebenarnya justru sebaliknya. Bahagia begitu sederhana. Nikmati aja apa yang kamu miliki sekarang. Nikmati saja peran kamu sekarang. Nikmati saja perjalanan hidupmu sekarang. Nggak perlu menunggu mencapai ini itu, memiliki ABC, atau menduduki kursi XYZ.

     

    Kunci Sukses

    Yes, setiap orang saya yakin pasti mau sukses. Lihat saja sejak kecil kita sudah bersaing ketat untuk meraih peringkat pertama di kelas. Menjadi yang terbaik! Ketika menjadi karyawan, berjuang mati-matian agar bisa segera naik ke level CEO. Ketika bisnis sendiri, kita berambisi seperti api agar usaha makin menggurita dengan keuntungan tak terbatas.

    Singkat kata, detik demi detik kita seperti dalam perlombaan. Seperti kesetanan dikejar anjing galak di tengah hutan rimba. Ya kali . . .

    Manusiawi memang. Setiap individu menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Entah kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan.

    Masalahnya, apa sih sukses itu? “Makanan” macam apa tuh? Apakah definisi suksesku sama dengan suksesmu? Apa parameter sukses?

    Yes, kunci sukses itu satu teman-teman. Menjadi diri sendiri. Bagi saya, sukses ialah ketika dari waktu ke waktu kita makin menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat kepada sesama, lebih menciptakan dampak positif, lebih dapat memberikan nilai tambah. Dan tentunya menjadi seseorang yang dari hari ke hari makin dicintai oleh Tuhan.

    Itu artinya apa? Sukses nggak perlu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Nggak ada parameter universalnya. Sukses adalah perjalanan hidup kita itu sendiri. Bagaimanapun alur ceritanya.

     

    Pada akhirnya, Sabbatical merupakan salah satu keputusan terbaik di usia 20an saya ini. Memang ya sih, ia tidak menawarkan materi yang berlimpah. Tidak pula menawarkan gaya hidup yang glamor. Tapi ia mengajarkan makna hidup nan hakiki. Juga menunjukkan kompas hidup  yang tidak bisa ditukar dengan Rupiah.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 3 Desember 2016