Apa yang membuatmu bahagia
Tag: Apa Guna Berkejar-Kejaran
-
Tentang Kebangkitan
Mangga Indramayu manis rasanyaCocok disantap bersama keluargaJalanilah dengan sepenuh jiwaBeras cianjur lezat rasanyaApalagi jika baru dipanen dari ladangnyaKesenangan bersifat sementaraKetentraman ada karena hidup untuk-NyaBerwisata ke PrabumulihMenginap semalam di BaturajaDalam hidup kita memilih dan dipilihMewarnai perjalanan takdir kitaBermain api terbakar, bermain air basahBermain tanah di kolam tetanggaApa guna berkeluh kesahLebih baik bersyukur sepanjang masaPergi ke Balikpapan demi bekantanTitik awal mengelilingi KalimantanHidup adalah perjuanganUntuk menjalankan misi TuhanMega Kuningan di JakartaItu Kawasan AntarbangsaAyo bangunkan jiwamu wahai pemudaDemi masa depan kita -
Followership Yang Terlupakan
Belum lama ini saya bertukar pikiran dengan salah satu mitra. Sebut saja bernama Peter. Ia merupakan Direktur Pengembangan Bisnis di sebuah perusahaan telekomunikasi asal negeri jiran.
Tiga bulan terakhir Peter pusing bukan kepalang. Pasalnya, berbagai pelatihan kepemimpinan yang diikuti oleh para bawahannya (setingkat Kepala Divisi) seolah sia-sia saja. Padahal ia telah memfasilitasi berderet program untuk mengasah jiwa kepemimpinan mereka.
Kepercayaan diri Peter pelan-pelan meredup. Kendati ia telah mengikuti program Executive Coaching di salah satu firma konsultasi ternama. Ia merasa kemampuan kepemimpinannya sendiri lemah. Karena para bawahan yang diharapkan bisa membantunya memenuhi target-target perusahaan tidak berkinerja.
Cerita Peter mungkin terdengar sangat klise. Betapa di luar sana para pemimpin di berbagai level dibuat frustasi oleh kinerja bawahannya. Mereka berlomba-lomba mengikutsertakan bawahannya dalam berbagai program. Dari training hingga coaching, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Menjadi pemimpin di era disruptif memang tidak mudah. Terlebih lagi jika di dalam organisasi tersebut komposisi antar generasi cukup berwarna. Entah Baby Boomer, Gen X, ataupun yang terutama Millennial. Karena pola pikir, cara pandang, dan orientasi karirnya bisa jadi berbeda satu sama lainnya.
Sebagai mitra, saya tentu tidak bisa serta merta menghakimi Peter. Karena sebagai seorang Direktur, saya yakin ia telah berusaha memberikan yang terbaik untuk mewujudkan misi dan visi perusahaannya. Terlebih lagi jika saya lihat dari jejak rekam pendidikan, pengalaman organisasi, dan gaya kepribadiannya yang begitu mengesankan. Hampir tidak ada celah bagi saya untuk memberikan umpan balik yang berarti.
Saya justru menangkap permasalahan Peter dari sisi lain. Karena saya pikir ia merupakan pemimpin yang baik. Namun, bagaimana dengan bawahannya? Apakah ia memiliki jiwa “kepengikutan” (followership) yang baik juga? Nah, ini yang masih menjadi tanda tanya.
Seseorang bisa dikatakan sebagai pemimpin jika memiliki pengikut. Oleh karena itu, sejak kita kecil seolah-olah kita sudah didoktrin oleh pendidikan formal, masyarakat, maupun keluarga untuk menjadi pemimpin.
Tidak ada yang salah memang. Karena setiap orang dilahirkan sebagai pemimpin dengan kadar masing-masing. Minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarga. Alangkah baiknya jika bisa memimpin dalam skala lebih luas seperti perusahaan, organisasi nirlaba, atau pemerintahan.
Namun, yang sering terlupakan ialah kepengikutan (followership). Karena seolah-olah pengikut dianggap memiliki “kasta” lebih rendah daripada pemimpin. Padahal, sejatinya sama saja. Pemimpin dan pengikut bagaikan dua sisi koin.
Setiap orang ialah pemimpin. Setiap orang pada dasarnya juga merupakan pengikut dalam ruang dan waktu tertentu. Karena tidak akan ada pemimpin yang baik tanpa memiliki pengalaman kepengikutan yang baik.
Kepengikutan ialah kemauan untuk bekerjasama mencapai misi, yang ditunjukkan dengan kerjasama tim yang tinggi, guna membangun kohesi di antara anggota organisasi. Dalam kacamata manajemen modern, pengikut merupakan bawahan yang memiliki power, wewenang, dan pengaruh lebih kecil dibandingkan dengan atasannya.
Konsep kepengikutan di Indonesia mungkin belum setenar kepemimpinan. Karena dari buku-buku, seminar, pelatihan, konferensi, lokakarya, maupun pendidikan formal hampir semuanya ingin mencetak pemimpin yang hebat. Setidaknya yang saya alami sendiri. Saya belum pernah menemukan satu pun buku panduan terbitan lokal atau forum yang mengajarkan saya sebagai “pengikut yang baik” di sepanjang 18 tahun belajar di bangku formal dan 6 tahun di dunia kerja.
Jika Anda sekarang dipercaya sebagai pemimpin, jangan sekal-kali meremehkan para bawahan Anda. Karena bukan tidak mungkin di suatu hari kelak, mereka akan berada di posisi setara atau lebih berpengaruh daripada Anda.
Jika Anda sekarang “hanya” sebagai pengikut, jangan berkecil hati. Karena Anda bisa belajar banyak dari pemimpin di organisasi atau di luar organisasi Anda bekerja. Manfaatkan kesempatan emas tersebut untuk menjadikan diri Anda pemimpin yang kredibel di kemudian hari.
Akhir kata, saya ingat pesan Mike Bonem dan Roger Patterson bahwa “If you believe lack of authority prevents you from leading effectively, it is time to rethink your understanding of leadership.” Sudahkah Anda menjadi pengikut yang baik?
*Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 20 Agustus 2018
-
Apa Guna Berkejar-Kejaran?
Tabik.
Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan sahabat lama saya. Sebut saja bernama Sekar. Kami pernah sama-sama bekerja di salah satu organisasi nirlaba papan atas Indonesia yang tidak lain adalah “kantor” resmi pertama saya sebelum menamatkan sarjana.
Sekar saat ini belajar dan tinggal di Denmark. Ia berstatus sebagai mahasiswa penerima beasiswa Pemerintah Denmark sekaligus satu dari segelintir diaspora nusantara di sana.
Sekar merupakan potret kelas menengah atas Ibukota. Ia lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang “berada”. Ayahnya seorang pengusaha, sedangkan kakeknya adalah seorang Duta Besar RI untuk Italia di era Soeharto. Sejak kecil, ia sudah terbiasa berkeliling dunia mengikuti kerja sang ayah dan kakeknya. Tak mengherankan jika ia merupakan polygot (orang yan menguasai beragam bahasa).
Sekar berparas ayu. Jika dari samping, wajahnya benar-benar mirip dengan Dian Sastro Wardoyo. Ia hanya terpaut beberapa centimeter lebih pendek dari pemeran Cinta tersebut.
Sebagai gadis Ibukota dari keluarga papan atas, sejak belia Sekar mendapatkan fasilitas terbaik dari kedua orang tuanya. Ia lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi dari sebuah kampus di pinggiran Jakarta. Sebelum lulus, ia sempat magang di PBB Kantor Jakarta sebelum bergabung dengan kantor tempat kami berjumpa.
Sekar sempat berpacaran dengan George (bukan nama sebenarnya). Seorang pria jebolan Institut Teknologi Bandung jurusan Arsitektur dan MBA dari Cambridge University, Inggris. Setamat dari Tanah Eropa, George mendirikan sebuah Think Tank yang didukung oleh salah satu tokoh nasional. Singkat cerita, Sekar dan George benar-benar seperti pasangan ideal. Dilihat dari sudut pandang apapun. Berparas apik, mapan secara finansial, berpendidikan tinggi, datang dari keluarga terpandang, dan mandiri. Benar-benar sempurna.
Namun, nasib orang tiada yang tahu. Setelah bertahun-tahun menjalin ikatan asmara, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Sebagai “tindak lanjut” dari statusnya yang menjomblo, baru-baru ini Sekar menulis sebuah status di Facebook yang membuat heboh. Pasalnya, ia mengungkapkan pesan di saat yang tepat bernama lebaran.
Alih-alih “terpukul” karena ditanya ini-itu, ia memiliki ide cemerlang untuk “membalas balik” ketika momen silaturrahmi khas Idul Fitri datang.
- Ketika ditanya, “kapan menikah”. Serang balik dengan “apa saja pencapaian setahun terakhir?”
- Ketika ditanya, “kapan punya anak”. Serang balik dengan “resolusi mana yang belum terwujud?”
- Ketika ditanya, “kapan puya mobil baru”. Serang balik dengan “sudah liburan ke mana saja setahun terakhir?”
- Ketika ditanya, “kapan renovasi rumah”. Serang balik dengan “apa yang telah Anda lakukan untuk orang-orang di sekeliling kita”
Jurus serang balik di atas sama sekali bukan untuk menyombongkan diri atau sikap negatif. Namun, hanya untuk afirmasi diri. Menyikapi hidup dengan benar.
Mengapa saya tekankan seperti itu?
Momen lebaran yang datang hanya setahun sekali bukan malah untuk menyambung tali komunikasi secara tulus. Tapi telah ternodai dengan pola komunikasi yang destruktif.
Para jomblo “tertampar” ketika ditanya kapan nikah. Para pengantin baru “terpukul” karena didesak untuk segera memiliki momongan. Para ayah “tersinggung” ketika disindir atas kepemilikan kendaraan hingga tempat tinggal. Para remaja “tersungkur” karena merasa tersaingi oleh rekan-rekannya yang baru saja membeli gawai keluaran terburu. Para ibu “tertekan” ketika mendengar orang-orang sekaumnya baru saja bepergian ke tempat-tempat wah.
Momen-momen berkumpul seperti lebaran dan reuni sudah mulai kehilangan ruhnya. Sudah bukan lagi ajang untuk menyambung ikatan persaudaraan dan pertemanan. Tapi sudah melenceng sebagai ajang pamer status kekayaan, kekuasaan dan ketenaran. Sudah menjadi wadah untuk sok-sokan.
Mungkin ini tidak terjadi di setiap tempat. Tapi setidaknya sering kita jumpai di sekitar kita. Entah disadari atau tidak.
Pada akhirnya, cepat atau lambat kita akan tersadar. Bahwa hidup bukanlah tentang kejar-mengejar. Karena toh jalan hidup individu berbeda-beda.
Setiap orang memiliki orbit masing-masing. Apa guna silau dengan pencapaian tetangga?
Rezeki telah digariskan oleh Sang Hyang Widi Wasa. Apa guna iri dengan kepemilikan duniawi rekan-rekan terdekat?
Setiap pribadi memiliki masalah tersendiri. Apa guna diperbandingkan hasilnya?
Daripada capek mengurusi orang lain. Mengapa kita tidak berintropeksi diri? Bukankah umur kita di dunia makin pendek dari hari ke hari? Bukankah kebahagiaan ada di dalam diri? Untuk apa semua yang kita perjuangkan di dunia ini? Saya yakin nurani Anda sudah memiliki jawaban terbijak.
Artikel ini pertama kali dimuat di HR Plasa, 5 September 2017