Tag: Agung Setiyo Wibowo

  • Mengelola Ekspektasi

    Kita memang tak dapat menentukan dari mana kita berasal: di mana kita lahir, siapa ibu yang melahirkan dan bagaimana kondisi sosial di sekitar dll. Namun, kita semua bisa menentukan jalan hidup seperti apa yang ingin kita tempuh.

    Ada orang yang dididik keras oleh orang tuanya untuk menjadi yang terbaik di setiap fase kehidupan. Mereka biasanya tumbuh menjadi pribadi yang penuh ambisi. Sebagian lainnya digulowentah untuk senantiasa mensyukuri hidup. Mereka seringkali tumbuh menjadi pribadi yang bahagia — terlepas bagaimana derajat kesuksesan di mata orang lain.
    Nasib manusia ditentukan oleh pikirannya. Tak mengherankan jika ada orang yang kelihatannya sukses sekali, namun justru depresi karena merasa jadi orang gagal. Di sisi lain, tak sedikit orang yang kelihatannya nelongso. Namun justru bahagia sekali hidupnya, besar sekali kontribusinya kepada masyarakat di sekitar.
    Ekspektasi kita mencerminkan siapa diri kita. Bagaimana respons kita memaknai pencapaian demi pencapaian hidup menggambarkan kualitas diri kita yang sebenarnya.
    Apakah kamu merasa menjadi korban dari ekspektasimu sendiri? Ataukah justru menjadi sahabat dari ekspektasimu? Hidup adalah pilihan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 3 Februari 2020
  • Makna Keturunan

    “Hei, sudah punya momongan belum?”

    Pertanyaan ini begitu klise untuk dibahas. Namun, begitulah kenyataannya. Bagi pasangan yang hidup di alam budaya Indonesia, mendapati pertanyaan tersebut pasti tidak mengagetkan.
    Mungkin maksud si penanya baik. Namun, tak banyak yang menyikapi secara berbeda. Khususnya bagi yang ingin memilili keturunan namun belum diberi “kepercayaan”.
    Ya, bagiku anak adalah amanah. Sebuah tanggungjawab yang kelak akan diadili. Mengapa demikian?
    Karena sekeras apapun kita berjuang mendapatkan anak kalau Tuhan tidak merestui, ya tidak akan ada anak. Namun, sekuat apapun kita menolak kehadirannya kalau Tuhan menguji kita ya hadir juga si kecil.
    Kamu sering mendengar temanmu yang “kebobolan” meskipun telah memakai “pengaman” a.k.a KB? Kamu punya tetangga yang berkali-kali mencoba bayi tabung tapi mendapati kegagalan?
    Begitulah hidup. Semua adalah kehendaknya.
    Ada yang menikah langsung “diganjar” anak. Ada yang sudah 10 tahun berusaha mati-matian “membuat anak” tapi tetap belum kelihatan hasilnya. Ada yang menikahi duda/janda beranak. Ada yang mengadopsi bayi.
    Anak adalah ujian. Ia bisa menjadi berkah maupun kutukan. Keberkahan datang bagi orang tua yang mendidik dengan benar sesuai ajaran agama. Kutukan akan hadir bagi orang tua yang menelentarkannya, tak mengenalkan dengan agama, atau yang menyalahgunakannya.
    Anakmu adalah titipan. Ia datang mengujimu. Untuk mendekatkanmu kepada-Nya.
    Bagaimana menurutmu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 4 Februari 2020
  • Merasa Bisa, Bisa Merasa

    Dulu aku pernah tinggal di “penjara suci”, sebutan untuk pondok pesantren. Disebut penjara karena bagi teman-teman yang bandel, asrama laksana jeruji yang sarat dengan aturan. Disebut sucu karena misi lembaga pendidikan Islamnya.

    Aku menikmati empat tahun sebagai santri. Setahun pertama hanya untuk mendalami pelajaran khas pesantren. Tiga tahun berikutnya juga mempelajari “ilmu duniawi”.
    Bagiku, hidup di pesantren adalah dalah satu fase terindah dalam hidup. Meskipun ada begitu banyak drama yang mengiringi. Peralihan dari masa remaja ke dewasa menjadikannya makin tak terlupakan.
    Tak terhitung ilmu dan pengalaman yang kudapatkan di asrama. Namun yang terpenting adalah mengenai fondasi ketuhanan, bermasyarakat, dan pengembangan diri.
    Salah satu pesan bermakna yang masih kuingat hingga kini adalah “Janganlah merasa bisa, tapi bisalah merasa.” Maksudnya?
    Tak baik bagi manusia untuk mengakui bahwa kita bisa. Karena sejatinya kita lemah, Tuhanlah yang sesungguhnya bisa. Seharusnya kita bersyukur diberi kemampuan untuk menjadi, melakukan atau memiliki sesuatu.
    Merasa bisa berarti keakuan yang menonjol. Egolah yang menguasai. Itulah sumber kejahatan, kemungkaran, ketakutan, kecemasan, kegalauan, keraguan dan seterusnya.
    Jadi, seharusnya bagaimana? Kita semestinya bisa merasa. Artinya merasa bahwa kita lemah. Kita sejatinya fana. Semua yang kita miliki atau bisa lakukan hanyalah ujian dari-Nya. Segalanya adalah titipan. Tak lebih dari pinjaman.
    Jadi, apa guna merasa bisa? Bisalah merasa!
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 4 Februari 2020
  • Penerimaan Diri

    Stres?

    Kecewa?
    Sakit hati?
    Menyesal?
    Depresi?
    Marah?
    Kesal?
    Saya yakin kamu pernah mengalami setidaknya salah satu dari keadaan di atas. Sebagaimana halnya saya.
    Dalam hidup, kita tak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi. Kita pun tak dapat mengontrol sikap orang lain. Kabar baiknya, kita bisa sepenuhnya menentukan respons kita.
    Misalnya kamu tak ingin terlambat pergi ke kantor. Oleh karena itu, kamu mengantisipasi segala cara agar bisa datang tepat waktu. Namun, di tengah jalan kamu mendapati kemacetan jalan karena imbas kecelakaan beruntun. Bagaimana sikapmu? Apakah mengeluh atau menerimanya dengan lapang dada?
    Contoh lainnya, kamu ingin mencari jodoh. Kamu berusaha mati-matian untuk memantaskan diri. Memperbaiki penampilan, memperbaiki mental, mengikuti seminar pra-pernikahan, meningkatkan kemapanan, mendekati lawan jenis, meminta bantuan makcomblang hingga memohon untuk dijodohkan. Setelah bertahun-tahun, kamu mendapati hasil nol. Bagaimana responmu? Apakah makin down atau justru bersemangat untuk menemukan separuh jiwamu?
    Saya yakin, kamu punya contoh unik. Demikian halnya orang lain di luar sana.
    Teman, penerimaan diri adalah salah satu kunci kebahagiaan. Di titik itu kamu tidak menilai atau menghakimi apapun yang menghampirimu. Kamu tidak berekspektasi. Namun kamu menerima tanpa syarat segala pengalaman hidup yang dihadiahkan untukmu.
    Penerimaan diri adalah syarat kebahagiaanmu. Sudahkah kamu membuktikannya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 5 Februari 2020
  • Ilusi Kepemilikan

    “Sudah 10 tahun merantau, lo sudah punya apa aja?”

    Itu adalah pertanyaan yang kulontarkan kepada diri sendiri. Di abad digital seperti sekarang agaknya sebagian besar orang memamerkan kepemilikannya yang ditampilkan di akun-akun media sosialnya. Mereka pikir, orang lain bisa takjub atau setidaknya bilang “Wow!”.
    Bagaimana denganmu? Apakah kamu merasa menjadi “remah-remah” ketika membandingkan kepemilikan diri sendiri dengan orang lain? Pernahkah kamu merasa down karena tak memiliki harta benda berarti?
    Dalam salah satu fase kehidupan, jujur saya pun pernah mengalaminya. Namun setelah melewati titik balik, kepemilikan bukan menjadi isu yang saya pedulikan lagi. Apa pasal?
    Semua yang kita miliki tak lebih dari titipan. Segala harta benda yang kita bangga-banggakan cuma “numpang lewat”. Apa guna diagung-agungkan? Apa manfaatnya menuhankan kepemilikan?
    Sejatinya dunia dan segala isinya ini fana. Sesungguhnya yang berwujud di alam ini adalah Tuhan. Jadi, jika kita masih merasa memiliki itu artinya ego atau keakuan kita yang mengendalikan diri. Dan itulah sumber kesengsaraan.
    Alih-alih menumpuk kepemilikan, mengapa kita tidak memperkaya pengalaman? Daripada menuhankan segala hal yang fana, mengapa kita tidak menuhankan pencipta segala hal?
    Ilusi kepemilikan. Sudahkah kamu menyadarinya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 5 Februari 2020
  • Mendobrak Batas: Strategi Kuliah Minim Biaya Dari Orang Tua

    Mendobrak Batas

    Kuliah memang bukan satu-satunya faktor yang menjamin kesuksesan seseorang.  Namun, kuliah ialah salah satu jalan terbaik untuk mengubah nasib.

    Perguruan tinggi ibarat kawah candradimuka untuk menaikkan “derajat”.  Baik dalam perspektif sosial, finansial, politik atau yang lainnya.

    Memang benar, banyak pengusaha sukses yang tidak menamatkan pendidikan tingginya. Sebut saja Steve Jobs (Apple), Michael Dell (Dell Technologies), Bill Gates (Microsoft), Mark Zuckerberg (Facebook), Larry Ellison (Oracle) dan seterusnya. Namun kalau boleh jujur, ada lebih banyak orang sukses  di semua bidang yang pernah merasakan bangku kuliah – terlepas mau menyelesaikannya atau keluar di tengah jalan.

    Sayangnya, biaya pendidikan tinggi tidak mudah. Sehingga, setiap tahunnya jutaan anak Indonesia mengubur mimpinya untuk menikmati perkuliahan.

    Buku ini hadir untuk memotivasi pembaca agar tidak cepat menyerah dalam memperjuangkan pendidikan tinggi.  Yaitu dengan memaparkan berderet strategi kuliah tanpa membebani orang tua. Mulai dari beasiswa, bekerja  dulu – kuliah kemudian, kuliah sambil kerja, pinjaman pendidikan dan sekolah kedinasan.

     

    Apa Yang Dibahas Dalam Buku Ini?

    • 31 Kisah Pejuang Diploma dan Sarjana Dari Sabang sampai Merauke
    • Jurus Meraih Beasiswa Penuh dan Parsial Dari Lembaga Pemerintah, Perguruan Tinggi, Individu, dan Swasta
    • Tips Bekerja Lepas (dan Paruh Waktu) Sambil Kuliah
    • Rahasia Memilih Pinjaman Dana Pendidikan
    • Trik Menembus Sekolah Kedinasan

     

    Keunggulan Naskah

    • Menguraikan 5 strategi kuliah tanpa (atau minim) biaya orang tua yaitu beasiswa, pinjaman lunak, kerja sambil kuliah, kerja dulu-kuliah kemudian dan sekolah kedinasan. Karena selama ini buku yang ada di pasaran hanya fokus pada inspirasi beasiswa.
    • Memberikan motivasi kepada para lulusan SMA/sederajat untuk melanjutkan pendidikan Diploma dan Sarjana. Karena selama ini kebanyakan buku yang ada di pasaran fokus pada inspirasi mengejar S2 di luar negeri.
    • Menampilkan 31 profil para pejuang ilmu lintas jurusan, angkatan, dan perguruan tinggi dari seluruh Indonesia yang pernah kuliah tanpa (atau minim) biaya orang tua

     

    Testimoni

    “Pendidikan ialah hak semua anak bangsa. Namun, kita tidak serta-merta tanggungjawab dibebankan oleh pemerintah karena keterbatasan sumber daya. Buku ini menyadarkan kita untuk turut melunasi salah satu janji kemerdekaan.”

    Prof. Suyanto, Ph.D

    Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta

     

    “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini asalkan kita yakin dengan pertolongan Allah dan tujuan kita. Dobraklah batasmu hingga kamu tahu betapa luar biasanya potensi dalam diri. Semua pasti bisa kuliah.”

     Boimin

    Penerima Beasiswa LPDP & Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pangan  University of Massachusetts (UMASS) Amherst, Amerika Serikat

     

    “Buku ini tidak mengajak kita untuk mengabaikan tetapi untuk memahami dan menyiasati batas. Bahwa hidup manusia memang ada keterbatasannya tetapi itu bukan alasan untuk berhenti dan menyerah. Buku ini mengajak para mutiara bangsa untuk melampaui batas itu dengan cara yang kreatif dan menginspirasi.”

    I Made Andi Arsana, PhD
    Head, Office of International Affairs  Universitas Gadjah Mada

     

    “Seperti yang mereka katakan, bakat didistribusikan secara merata, tetapi kesempatan tidak. Banyak anak muda Indonesia yang cemerlang tidak memiliki kesempatan untuk berkembang karena kurangnya akses informasi dan dukungan keuangan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Sejak 2010, melalui pengembangannya di KampusGw.com dan banyak buku lainnya serta ceramah, Agung telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada generasi muda untuk mengatasi hambatan dalam melanjutkan pendidikan tinggi. Dari cara mendapatkan beasiswa, bekerja sambil kuliah, memilih jurusan, pengembangan diri hingga manajemen karier. Buku ini memberikan informasi dan inspirasi yang sangat dibutuhkan bagi mereka yang membutuhkannya, dan yang paling diuntungkan darinya.”

    Dr. James Gifford

    Pendiri dan mantan Direktur Eksekutif UN Principles for Responsible Investment  (UNPRI)

    Senior Fellow University of Zurich

     

    “Menurut saya #MendobrakBatas merupakan buku pedoman terlengkap yang mengenai strategi melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tanpa merepotkan atau membebani biaya orang tua. Harus dibaca, dituturkan kembali dan disebarluaskan kepada para calon pejuang penimba ilmu.”

    Naba Aji Notoseputro

    Founder BSI Group