Tag: Agung Setiyo Wibowo

  • Mengusir Kebosanan

    Bosan. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?

    Aku tak mengenalmu satu persatu. Namun aku yakin semua pernah mengalami titik bosan di beberapa episode hidupnya.
    Bosan terjadi ketika kamu merasa tak berdaya, tak memiliki tantangan, dan tak berharga.
    Bosan adalah indikator zona nyamanmu. Bosan adalah  bukti bahwa dirimu tak memiliki sasaran yang jelas untuk diperjuangkan. Bosan adalah salah satu tanda bagimu untuk menetapkan target baru. Bosan adalah sinyal untuk melakukan perubahan.
    Apakah kamu pernah merasa bosan? Jika ya, seberapa sering?
    Bagaimana kamu memandang kebosanan?
    Sikapmu menentukan kualitas hidupmu. Caramu memandang kebosanan menentukan nasibmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 10 Februari 2020
  • Pola Pikir Keseimbangan

    Klise. Mungkin kata ini tepat untuk menggambarkan keseimbangan dalam hidup. Ya, kita mungkin bahkan sudah bosan mendengarnya.

    Namun, alam memiliki hukum tersendiri. Terlepas kita suka maupun tidak.
    Ada siang ada malam. Ada manis ada pahit. Ada hujan ada kemarau. Ada suka ada duka. Ada tangis ada tawa.
    Kita tak bisa menikmati jabatan tatkala sebelumnya kita tak bersusah payah memperjuangkannya. Kita mungkin tidak bangga melihat anak sukses berkarier manakala kita tak mendapati masalah ketika mengasuhnya. Kita tak bisa melihat indahnya pelangi jika sebelumnya tak ada hujan petir bahkan badai.
    Kenikmatan mensyaratkan penderitaan untuk mencapainya. Kesenangan meminta kesengsaraan untuk meraihnya. Benarkah demikian?
    Sejujurnya segala hal di dunia ini bersifat netral. Kitalah yang menilainya secara positif dan negatif. Kitalah yang menghakiminya dengan keyakinan, persepsi, dan nilai-nilai tertentu.
    Terlepas dari itu, aku meyakini keseimbangan. Karena segala sesuatu di dunia ini dirancang Tuhan berpasangan.
    Jangan lengah ketika dirimu diberi kenikmatan yang melenakan. Jangan gundah tatkala dirimu diuji dengan kesulitan. Karena hidup ini tentang keseimbangan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 11 Februari 2020
  • Menikmati Sisa Umur

    Tahukah kamu apa satu-satunya kepastian di dunia ini? Menurutku adalah kematian.

    Harta benda, ketenaran, kekuasaan, dan orang-orang tersayang di sekelilingmu hanyalah ujian. Semuanya fana.
    Kita seringkali merisaukan masa depan. Kita kadang-kadang  menyesali masa silam yang dirasa belum maksimal dimanfaatkan. Kita senantiasa lupa dengan saat ini.
    Teman, hidup ini misteri. Selagi hayat masih dikandung badan, angan-angan mengiringi. Keinginan kita tak ada habisnya. Padahal, kemelekatan kita padanya adalah sumber kesengsaraan.
    Kita seringkali kalah dengan ego. Keakuan merajai. Nurani terkalahkan.
    Teman, sudah siapkah kamu menghadapi kematian? Ia datang tiba-tiba. Tak bisa dimajukan, tak bisa dimundurkan.
    Teman, apa bekalmu untuk memasuki kematian? Sudah mantap kah? Seberapa besar upayamu?
    Semakin bertambah umur, ambisi duniawi kita semakin bergelora. Padahal, sisa umur kita makin menipis. Sadarkah?
    Teman, nikmati sisa umurmu. Jangan lupa bahagia.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 11 Februari 2020
  • Memulai Dulu

    “Memulai itu sulit! Lebih mudah menyelesaikannya.”

    “Memulai itu mudah. Lebih sulit menyelesaikannya!”
    Dari dua pernyataan tersebut, mana yang kamu yakini? Aku tak berwenang untuk menghakimimu.
    Dari pengalamanku, memulai lebih sulit. Karena disitulah kita terpaksa keluar dari nyaman.
    Misalnya, kamu terbiasa bangun pagi pukul enam pagi. Apa yang kamu rasakan ketika mulai bangun pukul empat pagi?
    Menurut teori perubahan perilaku, butuh waktu tidak sedikit untuk membentuk kebiasaan. Ada yang percaya 21 hari, sebagian meyakini 30 hari, tak sedikit yang mengamini 40 hari.
    Di awal, kitalah yang mulai membentuk kebiasaan. Pada akhirnya, kebiasaanlah yang mulai membentuk diri kita.
    Kebiasaan membentuk karakter. Karakter membentuk nasib. Begitulah dogma para konsultan yang pernah kutahu.
    Menurutmu bagaimana? Menurutku, mulai saja dulu. Karena hidup adalah tentang pengalaman, proses, dan perjalanan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 12 Februari 2020
  • Sisi Positif

    Dunia ini adalah ladang ujian. Ujian bagi kita semua. Untuk kembali kepada-Nya kelak.

    Ya namanya juga ujian. Tak selamanya sesukai kehendak kita. Bahkan seringkali kita anggap melenceng dari angan.
    Katanya ujian mematangkan diri kita. Ketika kita berhasil melewati ujian, artinya kita naik kelas. Laksana ujian sekolah yang menjadi kunci untuk naik ke level berikutnya.
    Ujian di dunia datang kapan saja. Bentuknya beragam. Seringkali kita tak menyadarinya karena terlalu sibuk meratapinya, bukan mencari jalan keluarnya.
    Ujian katanya menguatkan bagi yang bisa menyikapi dengan arif. Memandang dari sisi positif untuk mengembangkan diri sesuai dengan sasaran.
    Sebaliknya, ujian mungkin menjadi momok bagi pecundang. Mereka yang terus mengeluh, menyalahkan orang lain, dan memandang segala sesuatu dari sisi negatif.
    Kata pakar, segala sesuatu itu bersifat netral. Kitalah yang mempersepsikannya menjadi negatif dan positif. Kitalah yang menghakiminya sebagai hal yang baik dan buruk.
    Jika memang demikian mengapa kita takut, resah, gelisah, bimbang dan galau karena ujian? Bukankah kita boleh memandangnya sebagai peluang, hadiah dan berkah?
    Hidup ini ada dua sisi laksana koin. Alangkah baiknya jika kita memandangnya dari sisi positif. Bukankan demikian?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 12 Februari 2020
  • Nurture Vs Nature

    Nurture Vs Nature

    “Ih, lo kok pendiem sih?”
    “Eh dia persis banget dengan emaknya ya.”
    “Tahu nggak sih, Dedi tuh anak kyai tapi kelakuannya kayak bandar narkoba akibat salah pergaulan.”
    Pernah kamu mendapati pertanyaan mirip di atas? Atau mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan itu?
    Jika ya, barangkali kamu masih ingat dengan perdebatan Nurture Vs Nature? Maksudnya, kelompok pertama percaya bahwa kepribadian dan karakter individu paling dipengaruhi oleh pola asuh, interaksi sosial, pengalaman dan pendidikan yang diperolehnya. Sedangkan kelompok kedua mengamini bahwa faktor yang paling mewarnai dengan “identitas” seseorang adalah gen alias bawaan dari lahir yang tak bisa diubah.
    Ahli perilaku manusia, psikologi hingga pendidikan tentu memiliki perspektif berbeda-beda. Menurutku, keduanya saling berpengaruh. Hanya saja, semua bergantung kepada individu yang bersangkutan.
    1. Sebesar apa keinginannya untuk mengubah keadaan?
    2. Sekuat apa kemauannya untuk belajar?
    3. Sebaik apa pengetahuannya tentang jati diri?
    Menurutku, tiga pertanyaan sederhana tersebut bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi diri. Apakah kamu memiliki pola pikir bertumbuh yang dinamis? Ataukah kamu puas dengan status quo?
    Teman, hidup adalah pilihan. Kendali hidupmu ada di tanganmu.
    Jadi, mana yang paling kamu percayai? Nurture atau Nature?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Februari 2020