Stories

  • Menakar Meritokrasi

                    Meritokrasi.

    Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata yang satu itu?

    Mungkin Anda langsung menghubungkannya dengan “unjuk gigi”. Barangkali Anda mengaitkannya dengan sistim kerja berdasarkan prestasi. Atau bisa jadi transparansi?

    Apapun itu, meritokrasi merupakan topik yang sangat saya sukai. Khususnya, jika disambungkan dengan renjana saya untuk turut mengembangkan sumber daya manusia Indonesia.

    Dalam era yang sudah sangat disruptif ini, menerapkan budaya organisasi berbasis meritokrasi sudah menjadi keharusan. Pasalnya, hanya dengan itu suatu institusi dapat mengepakkan sayap lebih luas secara berkelanjutan.

    Apa jadinya jika BUMN di berbagai bidang industri tidak menerapkan meritokrasi? Sudah bisa dipastikan akan kalah jauh dengan perusahaan swasta dalam negeri maupun perusahaan multinasional.

    Apa jadinya kalau budaya meritokrasi belum diterapkan dengan baik di kalangan birokrasi? Ya, mau sampai kapan pun berbagai program tidak dapat dievaluasi dengan baik. Berderet proyek tak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Mengingat perencanaan, koordinasi, kerjasama, kolaborasi hingga penilaian masih berdasarkan “Asal Bapak Senang” maupun pendekatan “kurang sehat” lainnya.

    Meritokrasi tidak dapat dijalankan sendiri-sendiri. Namun harus dilembagakan. Karena penerima manfaatnya bukan individu, maupun tim, namun juga organisasi dan masyarakat luas.

    Meritokrasi bisa memacu siapapun untuk berkinerja. Tak peduli agama apa yang dianut, di kota mana ia berasal, dari etnis apa dilahirkan, jabatan apa yang dipegang, orientasi seks yang dipilih, dan afiliasi politik yang dimiliki.

    Meritokrasi merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh Gen Y ketika memilih perusahaan. Juga pilar yang sangat diperhitungkan oleh para investor sebelum mengucurkan dana.

    Jadi, bagaimana dengan organisasi Anda? Sudahkah meritokrasi dijalankan?

     

    Kawasan Antar Bangsa Mega Kuningan, 16 Oktober 2018

     


  • Memaknai Panggilan Hidup  

     

                    Untuk apa Anda hidup?

    Mengapa Anda melakukan apa yang Anda lakukan sekarang?

    Apakah Anda menikmati apa yang Anda lakukan sekarang?

    Mengapa Anda bekerja?

    Bagaimana Anda memaknai pekerjaan?

    Apa nilai yang dapat Anda berikan kepada sesama?

    Jika hari ini merupakan hari terakhir Anda, apa yang ingin Anda lakukan?

    Apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup?

    Apa yang diharapkan orang lain dari Anda?

    Di manakah Anda ingin menjadi “pahlawan”?

    Jika kelak Anda wafat, Anda ingin dikenal sebagai sosok yang seperti apa?

    Di atas ialah contoh pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri. Juga kepada siapa saja yang saya temui dalam riset panggilan hidup masyarakat Indonesia.

    Mengapa saya menjalankan penelitian tersebut? Karena saya pernah mengalami “krisis” ketika saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Lantaran saya pernah “kehilangan rasa” ketika melakukan apa yang saya lakukan. Mengingat saya pernah tidak bahagia dalam bekerja.

    Sejatinya apa sih panggilan hidup itu? Tidak ada definisi tunggal yang diamini oleh semua kalangan. Namun, jika boleh saya ringkas, panggilan hidup merupakan “alasan” keberadaan Anda di dunia. Maksudnya?

    Jika dikaitkan dengan pekerjaan, panggilan hidup berkaitan erat dengan misi. Artinya, Anda didorong oleh jiwa Anda sendiri untuk turut membantu permasalahan di sekitar dengan kemampuan yang Anda miliki.

    Misalnya saja nih. Anda merasa gelisah mengingat angka pengangguran yang begitu tinggi. Panggilan hidup Anda mungkin ingin turut membuka lapangan kerja, oleh sebab itu Anda menjadi pengusaha. Contoh lainnya ketika Anda merasa trenyuh melihat buruknya manajemen bisnis di level UMKM, panggilan hidup Anda tidak menutup kemungkinan menjadi konsultan atau penasehat para pelaku UMKM.

    Intinya, panggilan hidup berkaitan erat dengan “DNA” Anda. Ia sejalan dengan suara nurani. Berbanding lurus dengan apa yang diinginkan oleh jiwa Anda. Yang lebih penting, panggilan hidup bersifat personal sekaligus berorientasi spiritual. Maksudnya apa?

    Panggilan hidup bukan tentang diri sendiri. Akan tetapi untuk orang lain, bagi sesama. Sebisa mungkin kehadiran Anda bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Sehingga, apa yang Anda lakukan memang “linear” dengan yang Tuhan inginkan.

    Jadi, sudahkah Anda menemukan panggilan hidup Anda?

     

    Kebagusan, 15 Oktober 2018


  • Menghadirkan Diri Di Tempat dan Waktu Sekarang

                    Sore itu ponsel saya berdering. Tidak seperti biasanya, saya mendapati panggilan dari nomor yang tak dikenal. Awalnya saya ragu untuk menerimanya, namun setelah beberapa detik berpikir, akhirnya saya angkat juga.

    Saya: Haaaaa lllloooo.

    Penelpon: Ya, dengan Pak Agung ya?

    Saya: Ya benar, saya sendiri. Btw, dengan siapa saya bicara? Ada yang bisa dibantu?

    Penelpon: Perkenalkan saya Dewa dari Singaraja. Saya mendapatkan kontak Pak Agung dari buku Anda yang berjudul “Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Krisis Seperempat Baya”. Bisa menggangu waktunya sebentar?

    Saya: Oh, kalau memang dibutuhkan, why not?

    Penelpon:  Begini. Saya seorang dua dengan dua anak. Umur saya 50 tahun. Saat ini saya benar-benar merasa terpuruk. Dulu saya pikir, bercerai merupakan pilihan terbaik karena rumah tangga saya dengan mantan istri benar-benar mengerikan. Percekokan hampir saban hari kami lakukan. Sekarang secara keuangan saya memang tidak ada masalah. Namun, mengurusi dua anak yang masih remaja tidak semudah yang dibayangkan. Saya kepikiran ingin mencari istri lagi, namun saya takut jika nanti anak-anak tidak suka. Sekarang saya benar-benar stres Pak Agung.

    Saya: Ehmmm, terus? Apa yang bisa saya bantu?

    Penelpon: Apa sih resep agar bisa bahagia?

    Saya: Sederhana saja. Kebahagiaan sama sekali tidak ditentukan oleh sesuatu yang datang dari luar diri Anda. Bukan karena kejadian, benda, ataupun orang. Anda bisa bahagia karena diri Anda sendiri. Karena kebahagiaan ialah pilihan. Anda bisa berbagia dalam kondisi yang terpuruk sekalipun jika Anda memutuskannya.

    Penelpon: Hah? Masak sih?

    Saya: Ya, Dewa. Resep kebahagiaan sederhana saja. Yaitu menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang. Ketika Anda fokus menjalani apa yang ada di depan Anda dengan keikhlasan, maka Anda akan terhindarkan dari kekhawatiran tentang masa depan dan penyesalan atas masa lalu. Yang ada adalah kebermaknaan.

    Penelpon: Wah, benar juga ya. Untuk saat ini, sudah dulu ya Pak Agung. Bolehlah ya kapan-kapan saya “ganggu lagi”?

    Saya: Oh tentu.

    **

    Apa yang dialami Dewa di atas saya rasa begitu dekat dengan keseharian kita. Banyak orang yang mengejar kebahagiaan dari sesuatu yang datang dari luar diri. Oleh karena itu, berapun besar uang yang diperoleh tak menjadikan hati tentram. Setinggi apapun jabatan yang diemban tak membuat diri nyaman. Sepopuler apapun brand seseorang, tak lantas membuat dirinya bersyukur.

    Sekarang, bagaimana dengan diri Anda? Sudahkah hari ini Anda berbahagia?

     

    Kebagusan, 14 Oktober 2018


  • Hidup Yang Bermakna

                    Belum lama ini saya berjumpa dengan Tom. Beliau ialah salah satu mentor pengembangan diri saya. Kami bertemu di sebuah kedai di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

    Di mata saya, Tom merupakan sosok yang paripurna. Sukses secara finansial. Anak istrinya terlihat bahagia. Badannya bugar. Pengaruhnya di industri yang digeluti begitu besar. Kesalihan spiritualnya tidak diragukan. Perannya di masyarakat tak kalah keren. Karyanya pun di mana-mana.

    Sebagai seorang millennial yang baru aka merenda bahtera rumah tangga, saya begitu takjub dengan Tom. Bagaimana tidak, di usianya yang baru menginjak 50 ia benar-benar telah menjadi sosok yang sangat mengagumkan? Setidaknya, mendekati imaginasi saya untuk menjadi pribadi dengan pencapaian tertentu.

    Setelah saya “telanjangi” selama 120 menit, akhirnya terpenuhi sudah rasa penasaran saya. Ternyata, Tom memiliki satu “kata kunci” yang kebetulan sejalan dengan  nilai yang saya pegang. Apa itu?

    Hidup yang bermakna.  Apa artinya? Sederhana saja. Yaitu hidup yang benar-benar hidup. Bukan sekedar hidup. Hidup yang memiliki tujuan yang jelas. Sehingga, tidak terlewatkan sedetik pun yang sia-sia.

    Hidup yang bermakna mungkin definisinya berbeda satu sama lain. Namun, secara umum dianggap sebagai hidup yang memiliki alasan yang kuat. Sebuah kehidupan yang dilalui untuk kebermanfaatan orang lain – bukan untuk memuaskan syahwat diri sendiri.

    Hidup yang bermakna sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan dari kita. Juga berbanding lurus dengan apa yang dibutuhkan orang lain atau masyarakat dari kita.

    Hidup yang bermakna mendorong kita untuk melalui hari-hari dengan ikhlas. Karena hidup, mati, dan di antara keduanya hanyalah untuk Tuhan.

    Hidup yang bermakna dimulai dari pengenalan diri sendiri. Dari mana kita berasal, untuk apa kita ada, apa yang benar-benar kita inginkan, dan bagaimana cara kita mengisi waktu di dunia.

    Hidup yang bermakna membuat kita punya alasan yang sangat kuat dari dalam diri untuk melakukan sesuatu. Bukan hidup seperti robot yang tidak ada ruh, nirjiwa.

    Bagi saya, hidup yang bermakna berarti hidup yang sejalan dengan panggilan hidup. Bisa mengekspresikan diri saya guna memecahkan masalah di sekitar, bermanfaat banyak untuk sesama, dan diridhai Tuhan.

    Kalau Anda bagaimana?

    Kebagusan, 12 Oktober 2018


  • Pantun Di Kebagusan  

     

    Merantau ke Ibukota

    Tidak lupa mampir ke Kota Tua

    Hei kawan-kawanku semua

    Mari bersihkan hati dan jiwa

     

    Mampirlah awak ke Tanjungpinang

    Meski sebentar senangnya bukan kepalang

    Ayo saudaraku waktu jangan sampai terbuang

    Karena tak mungkin diputar ulang

     

    Ane tinggal di Tanah Abang

    Surganya tekstil semua orang

    Jika ragamu terasa meriang

    Itu saatnya rehat dengan yang tersayang

     

    Berkompetisi di Surabaya

    Sambil pelesiran ke Kota Malang

    Kebahagiaanlah tujuan utama

    Bukan senang yang cepat meradang

     

    Menjadi santri di Kabupaten Nganjuk

    Tinggal di asrama yang begitu menawan

    Jika adik-kakak mengantuk

    Itu pertanda segera ke peraduan

     

    Untuk apa Anda hidup

    Jika kebahagiaan jauh dari kenyataan

    Jika jantung Anda sering berdegup

    Saatnya Anda perhatikan kesehatan

     

    Kebagusan, 11 Oktober 2018


  • Ikhlas Tanpa Syarat

                    Ikhlas. Apa yang ada di benak Anda jika mendengar kata yang satu ini? Saya yakin jawabannya gado-gado yah.

    Yang pasti, ikhlas tidak asing di telinga kita. Pasalnya, setiap saat saya maupun Anda senantiasa diuji oleh berbagai tantangan yang mengharuskan bersikap seperti itu.

    Baru-baru ini misalnya. Saya berjumpa dengan kawan SMA yang hampir depresi karena bisnis yang digelutinya bangkrut. Ia down karena “merasa” telah berusaha sebaik mungkin, tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Lain lagi dengan rekan S1 saya yang secara mengejutkan cukup kecewa dengan tabiat pasangannya. Ia “merasa” telah memberikan yang terbaik, namun tidak mendapatkan “balasan” yang setimpal.

    Dalam Islam, ikhlas sering disebut  sebagai intisadari dari iman. Itu mengapa dalam salah satu ayat kitab suci disebutkan bahwa sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan mati kita hanya untuk Tuhan.

    Konon, orang yang ikhlas cenderung lebih bahagia daripada yang terlalu “hitung-hitungan”. Pasalnya, mereka senantiasa berusaha ikhtiar yang terbaik tanpa “terikat” dengan hasil akhir.

    Ikhlas mungkin sepele di mata Anda. Namun, ia merupakan dasar dari “cinta”. Karena apa yang kita lakukan untuk orang lain semata-mata untuk Tuhan. Bukan agar mendapatkan balasan, imbalan, keuntungan dan semacamnya.

    Di dunia yang sungguh disruptif ini, saya agak kesulitan menemukan orang yang benar-benar ikhlas dalam kesehariannya. Segala sesuatu nampaknya bersifat transaksional atau bersifat bisnis.

    Coba tengok. Berapa politisi yang benar-benar tulus melayani publik? Susahkah Anda mendapati pemuka agama yang tidak “sok ngartis”?

    Ya, jika dipikir-pikir lagi, semua orang memang ada “maunya”. Tidak salah memang. Namun, jika niat agar mendapatkan “sesuatu” terlalu mendominasi, sulit rasanya untuk mencapai titik bahagia.

    Karena bahagia ada dalam keikhlasan. Dalam cinta. Dalam melayani, mengasihi, memberi, mengabdi, dan berbagi. Bukan dalam mental “mengharapkan”.

    Sekarang, renungkan saja hidup Anda. Sudahkah ibadah dan berkarya Anda telah benar-benar ikhlas? Hanya Anda yang bisa menjawab.

     

    Kebagusan, 10 Oktober 2018