Stories

  • Menikmati Sisa Umur

    Tahukah kamu apa satu-satunya kepastian di dunia ini? Menurutku adalah kematian.

    Harta benda, ketenaran, kekuasaan, dan orang-orang tersayang di sekelilingmu hanyalah ujian. Semuanya fana.
    Kita seringkali merisaukan masa depan. Kita kadang-kadang  menyesali masa silam yang dirasa belum maksimal dimanfaatkan. Kita senantiasa lupa dengan saat ini.
    Teman, hidup ini misteri. Selagi hayat masih dikandung badan, angan-angan mengiringi. Keinginan kita tak ada habisnya. Padahal, kemelekatan kita padanya adalah sumber kesengsaraan.
    Kita seringkali kalah dengan ego. Keakuan merajai. Nurani terkalahkan.
    Teman, sudah siapkah kamu menghadapi kematian? Ia datang tiba-tiba. Tak bisa dimajukan, tak bisa dimundurkan.
    Teman, apa bekalmu untuk memasuki kematian? Sudah mantap kah? Seberapa besar upayamu?
    Semakin bertambah umur, ambisi duniawi kita semakin bergelora. Padahal, sisa umur kita makin menipis. Sadarkah?
    Teman, nikmati sisa umurmu. Jangan lupa bahagia.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 11 Februari 2020

  • Memulai Dulu

    “Memulai itu sulit! Lebih mudah menyelesaikannya.”

    “Memulai itu mudah. Lebih sulit menyelesaikannya!”
    Dari dua pernyataan tersebut, mana yang kamu yakini? Aku tak berwenang untuk menghakimimu.
    Dari pengalamanku, memulai lebih sulit. Karena disitulah kita terpaksa keluar dari nyaman.
    Misalnya, kamu terbiasa bangun pagi pukul enam pagi. Apa yang kamu rasakan ketika mulai bangun pukul empat pagi?
    Menurut teori perubahan perilaku, butuh waktu tidak sedikit untuk membentuk kebiasaan. Ada yang percaya 21 hari, sebagian meyakini 30 hari, tak sedikit yang mengamini 40 hari.
    Di awal, kitalah yang mulai membentuk kebiasaan. Pada akhirnya, kebiasaanlah yang mulai membentuk diri kita.
    Kebiasaan membentuk karakter. Karakter membentuk nasib. Begitulah dogma para konsultan yang pernah kutahu.
    Menurutmu bagaimana? Menurutku, mulai saja dulu. Karena hidup adalah tentang pengalaman, proses, dan perjalanan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 12 Februari 2020

  • Sisi Positif

    Dunia ini adalah ladang ujian. Ujian bagi kita semua. Untuk kembali kepada-Nya kelak.

    Ya namanya juga ujian. Tak selamanya sesukai kehendak kita. Bahkan seringkali kita anggap melenceng dari angan.
    Katanya ujian mematangkan diri kita. Ketika kita berhasil melewati ujian, artinya kita naik kelas. Laksana ujian sekolah yang menjadi kunci untuk naik ke level berikutnya.
    Ujian di dunia datang kapan saja. Bentuknya beragam. Seringkali kita tak menyadarinya karena terlalu sibuk meratapinya, bukan mencari jalan keluarnya.
    Ujian katanya menguatkan bagi yang bisa menyikapi dengan arif. Memandang dari sisi positif untuk mengembangkan diri sesuai dengan sasaran.
    Sebaliknya, ujian mungkin menjadi momok bagi pecundang. Mereka yang terus mengeluh, menyalahkan orang lain, dan memandang segala sesuatu dari sisi negatif.
    Kata pakar, segala sesuatu itu bersifat netral. Kitalah yang mempersepsikannya menjadi negatif dan positif. Kitalah yang menghakiminya sebagai hal yang baik dan buruk.
    Jika memang demikian mengapa kita takut, resah, gelisah, bimbang dan galau karena ujian? Bukankah kita boleh memandangnya sebagai peluang, hadiah dan berkah?
    Hidup ini ada dua sisi laksana koin. Alangkah baiknya jika kita memandangnya dari sisi positif. Bukankan demikian?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 12 Februari 2020

  • Pentingnya Keseimbangan

    Persaingan!

    Deadline!
    Buruan!
    Kejar target!
    Apa yang ada di benakmu mendengar empat pernyataan tersebut? Apakah kamu pernah mengalaminya sendiri?
    Ya, kita hidup di abad digital. Irama kompetisi makin tinggi.  Semua orang nampaknya berlari dengan orbit masing-masing untuk mengejar apa yang disebut dengan kesuksesan.
    Sayangnya, kita senantiasa lalai. Kita seringkali mengabaikan beberapa aspek ketika mengejar mimpi. Sehingga, kita gemilang di mata orang pada satu sisi. Namun, begitu terpuruk pada sisi lain.
    Manusia sering lupa bahwa hidup perlu keseimbangan. Tanpa keseimbangan, kebahagiaan yang kita dambakan justru semakin menjauh.
    Ada yang kaya harta tapi anak rakus narkoba. Ada yang bisnisnya sukses tapi pasangannya selingkuh. Ada yang jabatannya mentereng tapi sakit-sakitan. Ada yang menjadi figur publik tapi imannya tergadaikan.
    Aku tak tahu apa mimpimu. Aku tak mengerti apa tujuan hidupmu. Aku hanya mengingatkan diri sendiri untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam hidup.
    Seberapa penting keseimbangan bagimu? Hidup adalah pilihan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 3 Februari 2020

  • Nurture Vs Nature

    Nurture Vs Nature

    “Ih, lo kok pendiem sih?”
    “Eh dia persis banget dengan emaknya ya.”
    “Tahu nggak sih, Dedi tuh anak kyai tapi kelakuannya kayak bandar narkoba akibat salah pergaulan.”
    Pernah kamu mendapati pertanyaan mirip di atas? Atau mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan itu?
    Jika ya, barangkali kamu masih ingat dengan perdebatan Nurture Vs Nature? Maksudnya, kelompok pertama percaya bahwa kepribadian dan karakter individu paling dipengaruhi oleh pola asuh, interaksi sosial, pengalaman dan pendidikan yang diperolehnya. Sedangkan kelompok kedua mengamini bahwa faktor yang paling mewarnai dengan “identitas” seseorang adalah gen alias bawaan dari lahir yang tak bisa diubah.
    Ahli perilaku manusia, psikologi hingga pendidikan tentu memiliki perspektif berbeda-beda. Menurutku, keduanya saling berpengaruh. Hanya saja, semua bergantung kepada individu yang bersangkutan.
    1. Sebesar apa keinginannya untuk mengubah keadaan?
    2. Sekuat apa kemauannya untuk belajar?
    3. Sebaik apa pengetahuannya tentang jati diri?
    Menurutku, tiga pertanyaan sederhana tersebut bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi diri. Apakah kamu memiliki pola pikir bertumbuh yang dinamis? Ataukah kamu puas dengan status quo?
    Teman, hidup adalah pilihan. Kendali hidupmu ada di tanganmu.
    Jadi, mana yang paling kamu percayai? Nurture atau Nature?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Februari 2020

  • The Islamic Way of Happiness

    Apa yang perlu kamu pelajari dari Islam untuk bisa berbahagia, bahkan jika kamu bukan seorang Muslim sekali pun

     

    Kebahagiaan adalah dambaan semua orang. Apa yang kita kejar, perjuangkan, dan lakukan detik demi detik merupakan cara kita memaknainya. Apa yang kita butuhkan untuk mencapai titik bahagia sesungguhnya sudah ada pada diri kita masing-masing. Sayangnya, manusia senantiasa mematok standar sendiri-sendiri yang justru menjauhkannya. Kebahagiaan sejatinya tanpa syarat. Kita sendiri saja yang mensyaratkan harus menjadi ini itu, mencapai ini itu, atau memiliki ini itu untuk bisa berbahagia. Buku ini membeberkan bagaimana Islam mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi bahagia. Yang menarik, semua ajaran tersebut dapat dibuktikan oleh riset dari berbagai perspektif sains. Mulai kedokteran, kesehatan, psikologi, biologi, filsafat, hingga neurosains.

     

    TESTIMONI

    Kunci bahagia itu sederhana. Manusia saja yang sering membuatnya ribet. Buktinya, Islam maupun sains modern telah membeberkannya dengan lugas. Masih ragu? Makin penasaran? Atau malah bingung? Temukan jawabanmu di buku ini.

    Ali Akbar Hutasuhut
    Co-Founder Fuluzz dan Director PT Dinar Madani Sentosa

     

    Di dalam tradisi Islam klasik banyak karya terkait kebahagiaan seperti Tahdzib al Akhlaq karangan Ibn Miskawaih atau Tahshil al-Sa’adah karangan al-Naraqi. Untuk konteks saat ini buku The Islamic Way karangan Agung akan memperkaya khazanah Islam tentang kebahagiaan yang isinya jauh lebih kekinian dan mengandung pesan-pesan universal yang applicable oleh siapapun. Bahasanya mengalir jelas sehingga mudah untuk menjadi bacaan serta panduan hidup kita sehari-hari. Selamat membaca dan menemukan kunci kebahagiaan hidup.

    Aan Rukmana
    Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

     

    Buku ini bagus untuk dibaca. Inspiratif dan mencerahkan.

    Muhammad Alfan Alfian
    Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

     

    Sejauh ini, Literatur tentang kebahagiaan datang dari perspektif Psikologi Mainstream. Padahal, jauh sebelum itu banyak tokoh psikologi Islam di Abad Pertengahan yang membahas tentang kebahagiaan. Buku yang luar biasa berharga ini menjadi jawaban dari hipotesis tersebut yang bisa membuat raga, akal, ruh dan hatimu berpadu dalam harmoni kebahagiaan.

    Dr. Ghozali, S.Psi, M.Si

    Dosen Pascasarjana SKSG UI, Paramadina serta Penggagas Ilham Therapy Al-Ghazali

     

    Kebahagiaan sesungguhnya tanpa syarat. Sayangnya, manusia senantiasa mensyaratkan harus menjadi, memiliki atau mencapai titik tertentu sebagai parameternya. Alhasil, syarat tersebut tidak pernah terpenuhi. Buku ini laksana oase di tengah gurun yang ditunggu-tunggu oleh kita semua yang mendambakan kebahagiaan. Kebahagiaan juga harus berasal dari kekuatan internal tanpa harus menunggu kekuatan eksternal.

    Dr. Febrizal Rahmana, MM
    Dosen Universitas Bina Nusantara

    (more…)