Stories

  • Cermin Diri

    Cermin. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?

    Mungkin kamu langsung teringat momen berdandan. Barangkali kamu menghubungkannya dengan kaca. Atau bisa jadi yang lainnya?
    Dalam hidup, segala masalah yang kita hadapi adalah cerminan diri. Pacar yang perhatian adalah bukti perhatian kita kepadanya. Atasan yang sering marah bisa jadi adalah indikator ketidakberesan diri kita. Anak yang bandel menggambarkan pola asuh yang kuranh tepat.
    Dalam bidang apa saja, kita mengenal hukum timbal balik. Seperti itulah kerja cermin.
    Apakah kamu merasa hidupmu tidak bahagia? Apakah kamu berpikir berada di tempat yang salah?
    Tidak ada salahnya untuk bercermin diri sekarang juga.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 3 Maret 2020

  • Musuh Itu Bernama Ego

    Konflik?

    Perselisihan?
    Permusuhan?
    Saya yakin kamu pernah mengalaminya. Kamu tahu apa penyebabnya?
    Biang keladinya memang beragam. Namun mungkin yang paling utama adalah ego.
    Ego adalah akar peperangan atas nama perebutan kekuasaan. Ego adalah akar perceraian atas nama kebenaran menurut masing-masing. Ego adalah akar pertengkaran antar tetangga atas nama ingin menang sendiri.
    Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu menjadi korban ego? Bisakah kamu mengendalikan ego?
    Egomu, nasibmu. Egomu, kebahagiaanmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 3 Maret 2020

  • The Spirit of Majapahit: Petulangan Menyaksikan Jejak Kebesaran Majapahit di Asia Raya

    Catatan sejarah dari berbagai sumber memang menyebutkan bahwa telah ada hubungan dagang antara Kerajaan Ryukyu yang terletak di Perfektur Okinawa Jepang dengan Kerajaan Majapahit yang terletak di Provinsi Jawa Timur Indonesia pada abad ke14. Hal ini diperkuat oleh penemuan sebilah keris kuno yang diduga peninggalan Majapahit di sebuah kuil purba bernama Engakuji di dasar lautan Okinawa. Bagian keris yang terbuat dari kayu memang telah hancur, sedangkan bagian yang terbuat dari logam masih utuh.

    Konon, Majapahit dan Ryukyu memang telah memiliki hubungan perdagangan di masa keemasan kedua kerajaan tersebut. Tepatnya antara abad ke-14 hingga abad ke-16. Salah satu bukti sederhana dari kedekatan tersebut dibuktikan dengan kosa kata bahasa Okinawa, champuruu yang berarti campur. Persis maknanya dengan kosakata bahasa Jawa. Sejarah mencatat bahwa Ryukyu pada akhirnya kelak dianeksasi Kekaisaran Jepang. Sementara itu kebesaran Majapahit mengilhami lahirnya Negara Kesehatan Republik Indonesia.

    Selain hubungan dagang, kedekatan Majapahit dan Ryukyu juga dipengaruhi oleh satu hal lain. Tidak lain ialah sama-sama berhasil mempertahankan kedaulatan dari serangan Kubilai Khan dari Kekaisaran Mongolia pada abad ke-13 M.

    The Spirit of Majapahit

    Buku ini merupakan catatan perjalanan penulis dalam mengikuti Ekspedisi Kapal Spirit of Majapahit yang (rencana awalnya) melewati rute Indonesia – Brunei Darussalam – Filipina – Jepang – Tiongkok – Hong Kong – Vietnam – Thailand – Singapura – Indonesia. Sebuah program “napak tilas” hasil kerja sama Japan Majapahit Association dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ditulis dengan bahasa yang begitu cair, buku ini memandang traveling dengan perspektif berbeda. Dari aspek sejarah, politik, hubungan internasional, budaya, pariwisata, filsafat, agama, hingga psikologi.

    Testimoni

    Membaca memoar ini seperti diajak penulisnya jalan-jalan menyisiri tempat-tempat eksotis di Indonesia dan negara-negara di Asia-Pasifik. Edukatif dan inspiratif!

    Khasan Ashari

    Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

    Penulis Buku Pernah Singgah: Inspirasi dari Perjalanan Keliling Eropa

     

    Hubungan diplomatik Jepang – Indonesia hari ini ternyata telah mulai dirajut dari hubungan Ryukyu – Majapahit ratusan tahun silam. Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang berjiwa petualang.

    Dr.Ir. Safri Burhanuddin, DEA

    Deputi Koordinasi Bidang SDM, IPTEK dan Budaya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi

     

    Indonesia dan Jepang tidak hanya sama-sama ditakdirkan sebagai bangsa maritim, namun jauh lebih dari itu. Temukan jawabannya dalam buku berbobot namun disajikan dengan santai ini!

    Prof. Bambang Suryanto., SE.,MM.,MSi.,Ak.Ph.D

    Ketua Dewan Pakar Dewan Pengurus Pusat DPP HIPKI

     

    Majapahit tidak hanya dikenal sebagai bangsa agraris, namun juga bangsa maritim. Buku ini agaknya menjadi salah satu buktinya. Hal ini juga menjadi keunikan bangsa Indonesia yang memang memiliki dua akar budaya yang sangat kuat yaitu budaya masyarakat darat dan budaya masyarakat laut.

    Mira Sartika, PhD

    Founder Chakra Cultural Foundation

     

    Jalan-jalan mengelilingi dunia dengan cara “mainstream” sudah banyak yang melakukannya. Namun, tidak banyak orang yang mau menempuh perjalanan laut dengan kapal tradisional yang minim fasilitas dengan misi merekatkan hubungan antarbangsa dan antarwarga. The Spirit of Majapahit memotret kebesaran Majapahit sebagai bangsa maritim dengan para pelautnya yang tangguh melewati samudera.

    Harry Waluyo

    Mantan Dirjen Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia

     

    Mengikuti ekspedisi budaya tidak seindah yang dibayangkan banyak orang. Mabuk laut, kebocoran kapal, kehabisan bekal makanan, dan badai yang menghadang adalah di antaranya. Buku ini adalah catatan perjalanan anak bangsa yang menikmati perjalanan dari Indonesia ke Jepang dengan menggunakan replica kapal kuno era Majapahit. Sebuah kapal layar bercadik ganda berbahan kayu dari abad ke-8 yang terinspirasi dari relief Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.

    Lie Xiang
    ABK Ekspedisi Kapal Borobudur 2003, Perancang Busana

     

    Untuk meramalkan masa depan sebuah bangsa, kita bisa menengok dari masa lalunya. Bung Agung berhasil mengingatkan kita semua akan kebesaran Kerajaan Majapahit di masa silam.

    Adhi Perwira
    ABK Ekspedisi Spirit of Majapahit 2010

     

     


  • Bahan Bakar Kehidupan

    “Aku lagi males nih.”

    “Hei, apa sih rahasiamu kok kelihatannya tak pernah lelah mengejar ambisi.”
    “Kamu itu gimana sih, mapan juga belom. Kok kurang greget?”
    Pernahkah mau mendengar atau mengucapkan kalimat di atas? Aku sendiri pernah, bahkan sering.
    Dulu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, aku begitu naif. Aku yang kutu buku, seringkali memandang rendah teman-temanku yang kelihatannya bandel. Mungkin teman-temanku juga memiliki persepsi tentangku yang kurang gaul atau tidak asyik.
    Belakangan, aku baru menyadari. Bahwa semuanya  bermuara pada motivasi. Saya menyebutnya bahan bakar kehidupan.
    Dulu aku menjadi kutu buku karena kupikir menjadi juara kelas bisa membuatku bahagia. Dulu teman-temanku SMA yang kuanggap bandel ternyata berprestasi di bidang musik, ada yang menempa diri di bidang olahraga hingga agama.
    Selepas kuliah, pengaruh motivasi semakin terlihat dari derajat kesuksesan yang sengaja ditampilkan di jagad media sosial. Temanku yang menganggap akademik penting saat ini banyak yang sudah bergelar doktor. Temanku yang mengedepankan uang kini banyak yang sudah menjadi pengusaha. Temanku yang mengagungkan keseimbangan hidup kini banyak yang sudah menetap di kampung halaman, meninggalkan Jakarta. Temanku yang memprioritaskan stabilitas kini sudah menikmati kariernya sebagai PNS. Temanku yang gila jabatan kini banyak yang sudah menduduki kursi di partai X bahkan sebagian menjadi anggota DPR.
    Teman, motivasi bersumber dari nilai atau apa yang kamu yakini dan anggap penting. Motivasimu berbeda denganku.  Itu mengapa caraku mengartikan kesuksesan dan kebahagiaan tidak sama denganmu.
    Sepeda motor membutuhkan bensin untuk bergerak. Kita memerlukan motivasi untuk mengejar impian.
    Sudahkah kamu mengetahui bahan bakar hidupmu?  Jika sudah, selamat ya! Jika belum, temukan sekarang juga!
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 5 Maret 2020

  • Buah dari Pengasuhan

    Apa yang ada di benakmu ketika mendengar pengasuhan?

    Aku sendiri baru belajar sungguh-sungguh ketika mengetahui bahwa istriku hamil. Lebih rajin lagi ketika anak pertamaku lahir.
    Pengasuhan seringkali dianggap remeh. Padahal ini jauh lebih penting daripada pendidikan formal dan pengaruh lingkungan.
    Memang, pendidikan dan pergaulan tidak kalah penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Namun, yang terpenting sejatinya adalah pola asuh orang tua. Karena di rumahlah cetak biru hingga peta jalan kehidupan dirancang.
    Kamu tahu mengapa perbedaan pendapat pada pasangan suami istri kerap terjadi? Tak lain adalah pola asuh orang tua yang tidak sama. Secara alami, anak akan meniru apa yang dilihat, didengar, dirasakan atau diajarkan orang tuanya.
    Anak ibarat kertas putih yang siap dilukis orang tuanya. Anak laksana masakan yang resepnya diracik oleh ayah ibunya.
    Tak terhitung berapa banyak masalah orang dewasa yang bersumber dari pola asuh orang tua. Dari LGBT, kebimbangan memilih karier, narkoba, pembunuhan, pencurian, KDRT hingga keputusan untuk menjomblo seumur hidup.
    Bagi kamu yang saat ini menjadi orang tua, bersyukurlah. Karena di luar sana banyak pasangan yang tidak kunjung diberi momongan. Namun, kamu perlu ingat bahwa anak adalah ujian yang kelak diminta pertanggungjawaban di alam akhirat.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 5 Maret 2020

  • Hanya Memberi, Tak Harap Kembali

    “Hanya memberi, tak harap kembali …”

    Apakah kamu mengenali penggalan lirik di atas?
    Lirik di atas mengingatkanku pentingnya memberi tanpa mengharap balas budi. Sebuah pesan sederhana namun bermakna begitu dalam.
    Memberi merupakan tindakan yang dapat mendatangkan kebahagiaan jika kita ikhlas. Sebaliknya, justru bisa mendatangkan kesengsaraan jika kita pamrih.
    Sunggug, mengharapkan balas budi hanya bisa mendatangkan petaka. Kekecewaan, kemarahan, penyesalan dan mungkin kekesalan. Ujung-ujungnya hal negatif yang kita terima.
    Sejatinya, hidup ini untuk memberi. Dari apa yang kita miliki dan ketahu. Dari apa yang dapat kita lakukan.
    Memberi tak harus dalam bentuk materi. Namun bisa umpan balik berwujud gagasan hingga tenaga.
    Sudahkah kamu memberi hari ini?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    9 Maret 2020