Stories

  • Rahasia Sukses “Bermain” LinkedIn

    “Eh, bro, gimana bisa dapet promosi cepat gitu? Baru juga setahun di posisi lama!” tanya Reza pada Toni sambil melirik kagum.

    “Ah, gampang kok, Za. Kamu cuma perlu tahu caranya main LinkedIn.” Toni menjawab santai, tersenyum tipis sambil memandangi layar ponselnya.

    “LinkedIn? Itu kan kayak Facebook buat profesional doang, kan? Nyari lowongan, update pengalaman, udah. Emangnya bisa buat karier?” Reza tertawa kecil, tak yakin.

    Toni menatapnya, lalu berkata, “Justru itu, bro. Di era VUCA ini — di mana semua serba cepat, enggak pasti, rumit, dan ambigu — kita perlu cara yang beda buat muncul di radar bos, HR, atau calon klien. Nah, LinkedIn tuh kayak ‘panggung pribadi’ kita. Kalau dipakai cuma buat update profil doang, ya enggak jauh beda sama pakai baju rapi ke pesta tapi cuma duduk di pojok.”

    Reza masih tampak bingung. “Lalu apa? Posting setiap hari?”

    Toni tersenyum lebih lebar. “Itu langkah pertama, Za. Tapi bukan asal posting, ya. Bayangkan LinkedIn ini sebagai alat untuk menonjolkan expertise dan passion kamu. Dari situ, kamu bisa bikin konten-konten yang punya value. Orang mulai kenal kamu, tahu kamu ahli di bidang apa, dan mulai tertarik berkolaborasi. Terlihat aktif di LinkedIn itu kayak bilang ke dunia, ‘Hei, aku di sini, dan aku ngerti apa yang kulakukan!’”

    Reza mulai tertarik, “Oke, terus gimana cara kamu pakai LinkedIn buat naik karier atau bahkan dapet klien baru?”

    Rahasia Sukses Membuat Konten di LinkedIn untuk Meningkatkan Visibilitas dan Karier

    1. Bangun Personal Brand yang Konsisten

    Toni paham, personal brand adalah “identitas profesional” yang harus konsisten terlihat di LinkedIn. Ini bukan soal jabatan atau posisi saja, tapi bagaimana kamu ingin dikenal. Mulailah dengan memperjelas siapa dirimu di bio dan headline LinkedIn. Pakai kata-kata yang singkat, padat, tapi penuh makna. Buat orang yang baru sekali melihat profilmu langsung tahu bidang dan minat profesionalmu.

    2. Buat Konten Berkualitas dan Relevan

    Konten di LinkedIn bukan soal panjangnya, tapi nilai yang diberikan. Toni, misalnya, rutin berbagi insight soal tren industri, tips kerja efektif, atau kasus nyata dari pengalaman kerjanya. Semakin banyak kamu berbagi, semakin kamu dikenal sebagai sumber informasi di bidangmu. Orang akan mengingatmu sebagai orang yang bisa diandalkan untuk insight di area tersebut.

    3. Optimalkan Engagement dengan Orang-Orang di Industri yang Sama

    “Jangan cuma nulis, Za, tapi juga balas komen, kasih like, dan berbagi konten orang lain,” kata Toni. Interaksi ini bikin algoritma LinkedIn tahu kamu aktif, dan pos-posmu bakal muncul lebih sering di feed orang-orang yang relevan. Tambahkan pandangan unik atau ajukan pertanyaan di komentar — ini menarik perhatian lebih dan bisa memulai diskusi yang membangun jaringan.

    4. Gunakan Fitur LinkedIn untuk Berbagi Keahlian

    Misalnya, Toni memanfaatkan fitur LinkedIn Articles untuk menulis artikel panjang yang mengupas tuntas topik spesifik di bidangnya. Atau, dia sering bikin poll buat tahu pandangan rekan-rekan di industri yang sama. Kombinasi ini membuat profil Toni semakin sering dilihat, dan pengikutnya bertambah terus-menerus.

    5. Jadilah Solusi untuk Orang Lain

    Toni selalu memberi solusi di kontennya — tips, cara menghadapi tantangan kerja, atau trik produktivitas. Ini bikin orang-orang yang punya masalah serupa terinspirasi dan merasa terbantu. Toni juga rutin memberikan respons di forum diskusi industri. Akhirnya, banyak rekan kerja dan bahkan pihak luar perusahaan yang tahu bahwa Toni “menguasai permainan”.

    Hasilnya?

    Dalam setahun, Toni bukan hanya lebih dikenal di perusahaan, tapi juga di luar. Dia mendapat tawaran kolaborasi dari profesional lain, masuk daftar nominasi di acara industri, dan menerima undangan jadi pembicara di webinar. Bahkan, calon klien dan investor pun mulai menghubunginya langsung lewat LinkedIn. Promosi dan tawaran proyek akhirnya datang dengan sendirinya.

    LinkedIn bukan sekadar “media sosial untuk karier” — ini adalah alat untuk membangun visibilitas dan menunjukkan kemampuanmu di era yang serba cepat dan kompetitif ini.

    “Za, di LinkedIn ini, yang terlihat itulah yang ‘hidup’. So, daripada cuma bikin profil, yuk bikin impact. Biar LinkedIn tahu kalau kamu tuh eksis dan punya sesuatu buat ditawarkan ke dunia!” Toni menutup obrolan dengan tersenyum.

    Reza mengangguk mantap, akhirnya paham bahwa untuk sukses di era VUCA ini, LinkedIn bukan hanya tempat untuk mencari pekerjaan — tetapi panggung untuk menyuarakan jati diri profesionalmu.


  • Menyiapkan Anak untuk Sukses dan Bahagia: Sebuah Kisah Orang Tua yang Bijak

    Mari kita mulai cerita ini dengan sebuah pertanyaan sederhana, namun begitu dalam: Apa yang benar-benar kita inginkan untuk anak-anak kita? Jika kita jujur, mungkin jawabannya adalah gabungan dari dua hal: kita ingin mereka sukses dan bahagia. Kedua hal ini seringkali dianggap sama, padahal sebenarnya berbeda.

    Bayangkan seorang anak, sebut saja namanya Dika, yang suatu sore bertanya pada orang tuanya, “Ma, Pa, apakah aku harus selalu menjadi yang terbaik agar bisa bahagia?” Pertanyaan ini menghentikan langkah orang tuanya. “Hmm… mengapa, Nak?” tanya sang ibu dengan lembut.

    “Aku dengar temanku bilang, kalau kita gak jadi juara atau gak masuk sekolah favorit, kita gak akan bahagia.”

    Dika adalah anak yang cerdas, namun mungkin seperti banyak anak-anak lainnya, ia sudah merasakan tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik sejak kecil. Orang tuanya pun mulai menyadari bahwa ada yang harus diubah.

    Bahagia dan Sukses Bukanlah Dua Hal yang Sama

    Dalam mendidik anak, sering kali kita terpaku pada tolak ukur “sukses” yang kaku: nilai akademis yang tinggi, masuk sekolah favorit, atau mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Namun, penelitian dari Harvard Study of Adult Development, salah satu studi terpanjang tentang kebahagiaan, menunjukkan bahwa kesuksesan eksternal sering kali tidak menjamin kebahagiaan. Penelitian ini justru menekankan pentingnya hubungan baik dan kesehatan mental dalam mencapai kebahagiaan sejati.

    Di Jepang, misalnya, ada fenomena karoshi, atau kematian akibat kerja berlebihan. Para pekerja ini mungkin “sukses” di mata masyarakat, tetapi di balik semua pencapaian tersebut, ada harga yang harus dibayar. Banyak dari mereka terjebak dalam tekanan untuk sukses dan kehilangan keseimbangan hidup.

    Kembali ke Indonesia, kita bisa belajar dari kisah keluarga sederhana yang berhasil membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih dan kebijaksanaan. Ibu Sri, seorang ibu rumah tangga dari Yogyakarta, memiliki dua anak yang kini sukses di bidangnya masing-masing. Namun, kesuksesan mereka tidak hanya dinilai dari posisi atau gaji, melainkan dari kebahagiaan dan kedewasaan yang mereka capai.

    “Saya selalu mengajarkan anak-anak saya untuk menghargai proses,” ujar Ibu Sri. “Saya beritahu mereka bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keikhlasan akan membawa mereka ke jalan yang baik, walaupun hasilnya kadang tak seperti yang kita inginkan.” Kedua anaknya kini menjadi sosok yang dicintai dalam komunitas mereka dan menjalani kehidupan yang penuh makna. Mereka sukses, tapi yang terpenting, mereka bahagia.

    Mengubah Paradigma — Dari IQ ke EQ

    Pada tahun 1995, seorang psikolog bernama Daniel Goleman mempopulerkan konsep Emotional Intelligence (EQ) atau kecerdasan emosional. Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sering kali lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kesuksesan jangka panjang dibanding IQ (Intelligence Quotient). Banyak penelitian mendukung pandangan ini, termasuk sebuah studi dari Stanford University yang menemukan bahwa 85% kesuksesan dalam hidup bergantung pada keterampilan sosial dan kemampuan memahami diri sendiri, bukan sekadar nilai akademis.

    Anak yang memiliki EQ tinggi cenderung lebih mampu mengelola stres, membangun hubungan yang kuat, dan menghadapi kegagalan dengan lebih baik. Mereka belajar untuk mengenali dan mengelola emosi, serta memahami perspektif orang lain — keterampilan yang penting untuk menghadapi kehidupan nyata.

    Langkah-langkah Praktis dalam Mendidik Anak yang Bahagia dan Sukses

    Bagaimana kita bisa mendidik anak agar sukses sekaligus bahagia? Berikut adalah beberapa praktik yang telah terbukti efektif:

    1. Tanamkan Pentingnya Proses, Bukan Hasil

    Anak-anak perlu diajari bahwa keberhasilan sejati adalah proses menuju tujuan, bukan hanya hasil akhir. Di Finlandia, yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, para guru tidak menekankan pada nilai dan peringkat. Sebaliknya, mereka menanamkan rasa ingin tahu dan cinta belajar yang tulus, yang akhirnya membawa kesuksesan jangka panjang bagi siswa.

    2. Fokus pada Keseimbangan Hidup

    Sangat penting bagi anak-anak untuk menikmati waktu luang mereka, mengembangkan hobi, dan mengeksplorasi minat pribadi. Di Jepang, pemerintah bahkan kini mendorong agar perusahaan mengurangi jam kerja untuk mengatasi tingginya tingkat karoshi. Seimbangkan aktivitas belajar dengan kegiatan yang menyenangkan agar anak merasa hidupnya penuh dan seimbang.

    3. Beri Kebebasan untuk Membuat Kesalahan

    Kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Seorang profesor dari Stanford University, Carol Dweck, dalam teorinya tentang growth mindset, menunjukkan bahwa anak-anak yang diberi kesempatan untuk mencoba dan gagal cenderung lebih tangguh dan termotivasi dalam hidup. Dengan mendukung mereka saat gagal, kita mengajarkan ketahanan dan keterampilan mengatasi tantangan.

    4. Ajarkan Nilai-nilai dan Etika yang Baik

    Kecerdasan akademis akan menjadi lebih bermakna bila didukung oleh karakter yang baik. Ajarkan anak untuk menghargai orang lain, menghormati perbedaan, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Di negara-negara Skandinavia, pendidikan karakter seperti empati dan solidaritas ditanamkan sejak dini, dan ini terbukti menghasilkan masyarakat yang harmonis dan sejahtera.

    5. Tunjukkan Dukungan Tanpa Syarat

    Salah satu cara terbaik mendukung anak adalah dengan memberikan cinta dan dukungan tanpa syarat. Pastikan anak tahu bahwa Anda bangga pada mereka bukan karena prestasi mereka, tapi karena siapa mereka. Dukungan ini akan menjadi sumber kekuatan ketika mereka menghadapi tekanan atau kekecewaan.

     Mengajarkan Makna Sukses yang Sejati pada Dika

    Kembali ke cerita Dika. Setelah obrolan panjang bersama orang tuanya, ia mulai memahami bahwa sukses tidak selalu berarti menjadi yang terbaik dalam segala hal, tetapi menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia belajar bahwa kebahagiaan datang dari rasa syukur, hubungan yang bermakna, dan kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik.

    Di kemudian hari, ketika Dika berhadapan dengan tantangan besar — entah dalam studi, pekerjaan, atau hubungan sosial — ia akan ingat bahwa menjadi “sukses” tidak berarti tanpa kegagalan. Ia belajar bahwa setiap orang punya jalan dan ritme berbeda dalam mencapai kebahagiaannya.

    Penutup: Mendefinisikan Ulang Kesuksesan dan Kebahagiaan

    Sebagai orang tua, kita memiliki kesempatan besar untuk membantu anak-anak kita memahami bahwa hidup tidak hanya tentang mengejar pencapaian, tetapi juga tentang menikmati proses dan menjadi pribadi yang utuh. Seperti kata pepatah lama, “Success is getting what you want; happiness is wanting what you get.”

    Dengan mendidik anak-anak untuk memahami bahwa kebahagiaan dan kesuksesan bisa dan harus berjalan beriringan, kita memberi mereka kekuatan untuk menghadapi dunia ini dengan penuh percaya diri dan hati yang damai. Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan adalah hadiah terbaik yang bisa kita berikan pada anak-anak kita.

    Bagi Anda yang ingin tahu cara mendidik anak yang sukses dan bahagia, segera terbit buku Super Child, Happy Child: Pola Asuh Mendidik Anak dan Bahagia dan SuksesKlik di sini untuk memesan!

  • Misteri Takdir

    Dalam hidup ada hal-hal sudah digariskan kepada kita. Itulah takdir.

    Sekeras apapun kita berupaya jika memang bukan untuk kita, ya bukan untuk kita. Tapi setidak niat apa pun kita jika Tuhan telah berkehendak, kita akan mendapatkan sesuatu.

    Hidup memang tidak sesederhana itu.

    Mana bisa kita membedakan mana yang memang sudah menjadi “bagian” kita versus mana yang bukan?  Tentu, tak seorang pun yang bisa “membaca”-nya.

    Sebagai contoh terkait kematian. Saya sudah mendapati salah satu orang di lingkaran terdekatan saya meninggal secara tiba-tiba. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tahu-tahu sudah menghadap Sang Khaliq. Semua sanak keluarga menangisi kepergiannya. Mungkin jika sebelumnya sudah bertahun-tahun sakit, mereka akan lebih cepat legowo. Namun, jika tidak ada “warning”  yang mendahului, itulah yang membuat mereka bersedih.

    Contoh lainnya sederhana sekali. Ada seorang laki-laki milenial yang berani mengambil cicilan KPR dengan nilai begitu tinggi karena memang pendapatan bulanannya “masuk”. Ia adalah seorang karyawan tetap di perusahaan asing dengan side hustle yang lumayan. Namun, apa mau dikata, tiba-tiba ia menjadi bagian dari korban layoff. Langit seperti mau runtuh, dunia berubah seketika. Laki itu merasa bersalah, menyesal, hingga down karena akibat cicilan tersebut beban hidupnya terlihat besar.

    Saya yakin kita semua memiliki cerita tentang misteri takdir yang beragam. Entah terkait kematian, jodoh, kesempatan, rezeki, bisnis, pekerjaan atau yang lainnya.

    Namun, itulah hidup. Sangat beralasan jika manusia tidak dapat “membaca” suratan takdirnya sendiri. Karena jika bisa, tentu jalan hidup kita datar-datar saja karena kita tinggal mengikuti “skenario” dari Sang Sutradara Kehidupan.

    Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita. Orang-orang yang kita temui, masalah-masalah yang menguji iman kita, kesempatan-kesempatan yang kelak akan datang tiba-tiba, atau kejadian-kejadian yang membuat kita kaget.

    Manusia hanya bisa menjalani takdir-Nya. Itu bukan berarti pasif atau pasrah. Kita boleh membuat gol atau target yang memotivasi. Namun, kita tidak sepenuhnya mengendalikan hasilnya.

    Kita hanya diminta untuk berusaha semaksimal mungkin yang kita bisa. Sisanya biarkan Tuhan yang berkuasa.

    Takdirmu. Takdirku.

    Sawangan, 22 Maret 2024


  • Terapi Menulis: Menggali Kesehatan Mental Melalui Kata

    Terapi menulis adalah metode psikologis yang memanfaatkan proses menulis sebagai cara untuk mengeksplorasi emosi, pemikiran, dan pengalaman. Melalui tulisan, individu dapat mengekspresikan diri dengan cara yang mungkin sulit dilakukan secara verbal. Terapi ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti menulis jurnal, puisi, atau cerita pendek, dan ditujukan untuk membantu seseorang memahami dan mengatasi masalah emosional serta psikologis.

    Pentingnya Terapi Menulis

    Terapi menulis memiliki sejumlah manfaat signifikan, antara lain:

    1. Ekspresi Emosi: Menulis memungkinkan individu untuk mengekspresikan perasaan yang terpendam, membantu meredakan tekanan emosional.
    2. Refleksi Diri: Proses ini mendorong individu untuk merenungkan pengalaman hidup, membantu mereka menemukan makna dan memahami diri sendiri lebih baik.
    3. Pengurangan Stres dan Kecemasan: Menulis dapat menjadi alat untuk mengurangi stres, memberikan saluran untuk mengatasi kecemasan dan ketegangan.
    4. Meningkatkan Kreativitas: Terapi menulis sering kali memicu proses kreatif, memberikan perspektif baru untuk menghadapi tantangan.

    Penelitian Tentang Terapi Menulis

    Berbagai penelitian mendukung efektivitas terapi menulis. Salah satu studi oleh James Pennebaker, seorang psikolog dari University of Texas, menunjukkan bahwa menulis tentang pengalaman traumatis dapat membantu mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam sesi menulis memiliki peningkatan dalam kesehatan mental dan fisik dibandingkan dengan mereka yang tidak.

    Studi lain juga menunjukkan bahwa menulis secara teratur dapat memperbaiki suasana hati dan meningkatkan kepuasan hidup. Menulis tidak hanya membantu individu memahami perasaan mereka, tetapi juga memberi mereka rasa kontrol atas pengalaman yang sulit.

    Cara Melakukan Terapi Menulis

    Untuk memulai terapi menulis, ikuti langkah-langkah berikut:

    1. Siapkan Alat Tulis: Gunakan jurnal, buku catatan, atau aplikasi menulis yang nyaman untuk Anda.
    2. Pilih Waktu dan Tempat: Tentukan waktu dan tempat yang tenang dan nyaman untuk menulis, sehingga Anda dapat fokus.
    3. Tuliskan Pikiran dan Perasaan Anda: Mulailah dengan menulis bebas tentang apa pun yang terlintas di pikiran. Tidak ada batasan dalam hal tema atau bentuk tulisan.
    4. Jangan Khawatir tentang Kualitas: Fokus pada proses menulis, bukan pada hasil akhir. Biarkan diri Anda mengekspresikan apa yang dirasakan.
    5. Lakukan Secara Rutin: Jadikan menulis sebagai kebiasaan harian, meskipun hanya selama 10-15 menit.

    Tips untuk Pemula

    1. Mulai dengan Pertanyaan: Jika Anda bingung, ajukan pertanyaan kepada diri sendiri. Misalnya, “Apa yang membuat saya bahagia?” atau “Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini?”
    2. Gunakan Prompt Menulis: Cari ide atau tema untuk ditulis agar lebih mudah memulai. Banyak buku dan situs web menyediakan prompt untuk inspirasi.
    3. Baca Kembali dan Refleksikan: Setelah beberapa waktu, coba baca kembali tulisan Anda untuk melihat bagaimana Anda telah berkembang.
    4. Berbagi dengan Orang Terdekat: Jika merasa nyaman, pertimbangkan untuk membagikan tulisan Anda dengan teman atau keluarga. Ini bisa membuka diskusi yang mendalam dan mendukung.
    5. Bersikap Fleksibel: Sesuaikan terapi menulis dengan gaya dan kebutuhan Anda. Tidak ada cara yang benar atau salah.

    Contoh Public Figure yang Mempraktikkan Terapi Menulis

    Beberapa public figure terkenal telah memanfaatkan terapi menulis sebagai cara untuk mengatasi tantangan emosional dan berbagi pengalaman mereka:

    1. Maya Angelou: Penyair dan penulis terkenal ini menggunakan tulisan sebagai sarana untuk mengatasi trauma masa lalu dan memperjuangkan hak asasi manusia. Karyanya, seperti “I Know Why the Caged Bird Sings,” adalah contoh kuat dari bagaimana menulis dapat menjadi bentuk penyembuhan.
    2. J.K. Rowling: Penulis seri Harry Potter ini pernah berbagi bahwa dia menggunakan menulis untuk mengatasi depresi. Proses menulis membantu Rowling menemukan cara untuk memahami dan mengatasi perasaannya.
    3. Elizabeth Gilbert: Penulis “Eat, Pray, Love” ini sering membahas bagaimana menulis membantunya menghadapi kesedihan dan kebangkitan setelah pengalaman pribadi yang sulit.
    4. Michelle Obama: Dalam bukunya “Becoming,” mantan Ibu Negara AS ini menggunakan menulis untuk menceritakan kisah hidupnya dan bagaimana ia mengatasi berbagai tantangan.

    Kesimpulan

    Terapi menulis adalah alat yang ampuh untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan. Dengan menjadikan menulis sebagai praktik rutin, Anda dapat menggali emosi, memahami diri sendiri lebih baik, dan menemukan ketenangan dalam proses. Cobalah untuk memulai perjalanan ini dan nikmati manfaat yang dapat diberikan oleh terapi menulis.

    Writing Heals: Seni Menulis untuk Kesehatan Mental dan Kebahagiaan adalah salah satu buku komprehensif tentang terapi menulis yang dapat Anda pertimbangkan. Buku ini sudah tersedia di Gramedia di seluruh Indonesia. Juga di lokapasar populer seperti Tokopedia, Shopee, Lazada dan seterusnya.

     

     


  • Mengapa Terapi Menulis Efektif?

    Menulis sering kali dipandang hanya sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran atau sebagai keterampilan yang perlu dikuasai, tetapi lebih dari itu, menulis memiliki kemampuan untuk menjadi alat terapi yang luar biasa. Terapi menulis atau “writing therapy” adalah teknik untuk mengungkapkan emosi, memahami diri sendiri, dan mengatasi masalah pribadi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa menulis dapat membantu mengurangi kecemasan, depresi, serta meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan.

    Artikel ini akan membahas beberapa teknik terapi menulis yang efektif, lengkap dengan contoh nyata dari public figure yang telah mempraktikkannya.

    1. Journaling atau Catatan Harian: Mengungkap Pikiran dan Emosi

    Journaling adalah teknik yang paling umum dalam terapi menulis. Journaling berfungsi sebagai wadah untuk menuangkan pikiran dan perasaan sehari-hari tanpa ada tekanan. Ini bisa menjadi langkah pertama yang ringan namun berdampak besar, karena membantu kita memahami emosi yang mungkin sulit diutarakan. Dengan menulis jurnal, kita bisa melacak perasaan kita, mengenali pemicu stres, dan berproses menghadapinya.

    Contoh nyata: Emma Watson, pemeran dalam film Harry Potter, sering berbicara tentang journaling sebagai alat untuk menjaga kesehatan mentalnya. Dia menyatakan bahwa menulis jurnal membantunya menenangkan diri, mengeksplorasi pikiran dan perasaan, serta menghadapi stres akibat tekanan pekerjaan dan popularitas. Bagi Emma, journaling adalah tempat aman untuk berbicara dengan dirinya sendiri tanpa ada penilaian dari pihak luar.

    2. Expressive Writing: Menulis Tentang Trauma atau Pengalaman Mendalam

    Expressive writing adalah teknik yang fokus pada pengalaman mendalam atau trauma. Tujuannya adalah untuk menulis secara bebas tentang perasaan yang mungkin menyakitkan atau sulit. Teknik ini dapat membantu seseorang memproses emosi kompleks terkait trauma, mengurangi tekanan batin, dan memberi rasa lega.

    Contoh nyata: Penyanyi Lady Gaga telah menggunakan expressive writing untuk menyalurkan trauma masa lalunya, termasuk pelecehan seksual yang pernah dialaminya di usia muda. Ia mengatakan bahwa menulis lagu-lagunya yang penuh emosional membantu dirinya mengatasi rasa sakit dan bangkit dari pengalaman kelam. Lagu-lagu seperti “Till It Happens to You” menjadi bukti nyata bagaimana expressive writing dapat menjadi sarana penyembuhan.

    3. Gratitude Journal: Menghitung Rasa Syukur

    Menulis jurnal rasa syukur atau gratitude journal adalah cara sederhana namun kuat untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental. Dengan mencatat tiga hingga lima hal yang kita syukuri setiap hari, kita dapat memusatkan perhatian pada hal-hal positif dan meminimalisir fokus pada masalah atau kekurangan.

    Contoh nyata: Oprah Winfrey adalah salah satu penggemar besar dari gratitude journal. Setiap hari, dia mencatat hal-hal yang ia syukuri, meski terkadang hal-hal tersebut sangat sederhana seperti waktu tenang di pagi hari atau percakapan menyenangkan dengan teman. Oprah meyakini bahwa menulis tentang rasa syukur telah membantunya mengatasi stres dan menjaga perasaan positif yang konsisten dalam hidupnya.

    4. Unsent Letter: Menulis Surat Tanpa Mengirimnya

    Unsent letter adalah teknik terapi menulis di mana kita menulis surat yang tidak akan dikirim. Surat ini bisa ditujukan kepada orang yang memiliki peran penting dalam hidup kita, seperti mantan pasangan, orang tua, atau bahkan diri sendiri. Teknik ini membantu kita mengungkapkan hal-hal yang sulit diutarakan secara langsung, seperti kemarahan, pengampunan, atau perasaan terluka.

    Contoh nyata: Aktor Will Smith mengakui bahwa ia sering menulis surat kepada ayahnya yang sudah meninggal. Surat-surat tersebut tidak ia kirimkan atau bagikan, tetapi ia menyimpan sebagai bentuk pengingat dan terapi pribadi. Menulis surat kepada ayahnya yang sudah tiada membantunya mengatasi kesedihan dan perasaan kehilangan, sekaligus memberi ruang bagi dirinya untuk refleksi dan pemahaman diri.

    5. Stream of Consciousness Writing: Menulis Bebas Tanpa Struktur

    Stream of consciousness writing adalah teknik menulis bebas tanpa mengatur atau mengedit tulisan. Seseorang bisa menulis segala sesuatu yang muncul di benaknya tanpa memikirkan struktur atau kaidah bahasa. Teknik ini sering digunakan untuk mengosongkan pikiran atau sebagai bentuk relaksasi, membantu seseorang mengeluarkan beban mental dan kecemasan.

    Contoh nyata: Rapper dan penulis lirik Kendrick Lamar menggunakan teknik ini saat menciptakan lirik-lirik lagunya yang personal dan emosional. Kendrick mengatakan bahwa ia sering menulis dalam bentuk aliran pikiran tanpa memikirkan apakah hasilnya akan menjadi lirik atau tidak. Teknik ini memungkinkan Kendrick untuk mengekspresikan dirinya dengan jujur, mengatasi stres, dan menemukan kelegaan emosional melalui karya seninya.

    6. Goal Writing: Menulis Tujuan dan Harapan

    Goal writing adalah teknik terapi menulis yang fokus pada tujuan atau harapan kita. Menuliskan tujuan kita dapat membantu kita lebih fokus, mengurangi kecemasan, serta memberi motivasi untuk bertindak. Menulis tujuan jangka pendek maupun jangka panjang juga bisa memberi arah dan tujuan hidup, khususnya bagi mereka yang merasa “terjebak” atau kehilangan arah.

    Contoh nyata: Penulis dan motivator, Tony Robbins, selalu menekankan pentingnya menuliskan tujuan dalam hidup. Robbins memiliki kebiasaan mencatat tujuan jangka pendek maupun jangka panjang dalam bukunya dan bahkan mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Baginya, menuliskan tujuan bukan hanya membantu meningkatkan fokus, tetapi juga memberikan perasaan puas karena setiap tujuan yang tercapai menjadi bukti nyata dari kemajuan pribadi.

    Mengapa Terapi Menulis Efektif?

    Terapi menulis efektif karena memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Melalui menulis, kita dapat memperjelas pikiran dan memahami perasaan, yang mungkin sulit dilakukan jika hanya disimpan di dalam kepala. Menulis juga membantu kita melepaskan emosi negatif dan berfokus pada aspek positif, membuat kita lebih siap menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.

    Memulai Terapi Menulis Sendiri

    Anda tidak perlu menjadi penulis profesional untuk mencoba teknik-teknik ini. Anda hanya butuh komitmen dan keberanian untuk mengekspresikan diri secara jujur. Cobalah salah satu teknik yang paling menarik bagi Anda, seperti gratitude journal untuk memulai hari dengan rasa syukur, atau journaling di malam hari untuk melepaskan pikiran-pikiran yang mengganggu. Seiring waktu, Anda akan merasakan manfaat dari menulis sebagai terapi, baik untuk kesehatan mental maupun kebahagiaan Anda.

    Terapi menulis bukan hanya soal menghasilkan tulisan, tetapi lebih tentang proses mengenal diri dan bertransformasi. Semoga teknik-teknik di atas menginspirasi Anda untuk mencoba menulis sebagai cara menemukan kedamaian batin.

    Bagi Anda yang ingin belajar mengenai terapi menulis, buku Writing Heals sudah tersedia di Gramedia di seluruh Indonesia. Buku ini cocok bagi Anda yang ingin mendalami teori dan praktik terapi menulis.


  • Refleksi 3 Bulan Menjadi Self-Employee

    Tak terasa sudah lebih dari tiga bulan saya menjadi Self-Employee. Bukan waktu yang mudah untuk dijalani. Tapi saya begitu bersyukur bisa mencapai titik ini.

    Terbiasa berjibaku dengan kemacetan Jakarta pulang-pergi kini sudah tidak kurasakan lagi. Menahan haus dan lapar di jalan tidak lagi kualami. Kehujanan maupun pandangan silau ketika berkendara tak lagi kutemui.

    Sepertinya di rumah enak ya Mas?

    Ada enaknya, ada tantangannya juga. Karena saya percaya apapun itu sepaket. Tak ada yang benar-benar menyenangkan. Nggak ada yang benar-benar menyedihkan.

    Saya percaya dalam kondisi apapun kita bisa memilih. Untuk ceria atau murung. Untuk berprasangka baik atau buruk. Untuk sabar atau terpancing emosi. Untuk lebih termotivasi atau justru makin down.

    Dulu ketika bekerja ada sosok atasan yang setidaknya mengingatkan kita untuk mencapai to do list ini dan itu. Senggaknya ada rekan kerja yang kita ajak curhat tentang keseharian. Kini itu tinggal kenangan.

    Kendali Diri

    Hanya diri sendirilah yang membuat semangat. Hanya diri sendirilah yang mendorong saya bosan. Hanya diri sendirilah yang menciptakan suasana menjadi nyaman atau sebaliknya.

    Jadi, ketika saya sedang bosan, saya ingat lagi tagihan demi tagihan yang perlu kubayar.

    Ketika saya lagi down, saya merenungkan lagi perjuangan ayah dan ibu yang membesarkan saya.

    Ketika saya sedang galau, saya mengingat lagi alasan awal saya meninggalkan kampung halaman.

    Ketika saya hampir menyerah, saya ingat lagi tumbuh kembang anak saya.

    Dan ketika saya merasa hilang arah, saya ingat lagi Tuhan. Karena ini adalah sumber motivasi terbesar.

    Mengingat Kematian

    Saya merasa tiga bulan terakhir merupakan fase yang tidak mudah dilalui. Berbagai “drama” datang bertubi-tubi silih berganti.

    Andai saja saya bukan self-employee, rasanya sulit meminta izin seminggu untuk merawat kedua orang tua yang sakit bersamaan di rumah sakit berbeda.

    Andai saja saya masih orang kantoran, tidak mungkin saya secara bebas berlama-lama di rumah ketika ayah mertua wafat secara mendadak.

    Andai saja saya masih mengikuti pola 9-6, mustahil saya bisa mengantar dan menjemput anak dengan leluasa.

    Mengingat kematian sungguh menjadi pelecut. Karena untuk apa kita melakukan apa yang kita lakukan? Untuk siapa  kita berkarya? Mengapa kita perlu takut, cemas, dan bosan?

    Bukankah itu semua kelak tidak artinya ketika ajal datang?

    Ya Tuhan, ampuni saya. Selama ini saya masih jauh untuk dikatkaan sebagai orang baik. Saya masih belum bijak mengisi waktu saya.

    Saya yakin saya bisa memperbaiki diri untuk mengikuti kehendak-Mu.

    Saya berterima kasih atas rahmat-Mu selama ini.

    Saya pasrahkan hidupku kepada-Mu.

    Saya ikuti semua skenario-Mu.

    Sawangan, 21 Maret 2024