Stories

  • “Ngapain Bikin Personal Branding di LinkedIn? Kan Bukan Influencer!” – Salah Besar! Ini Dia Pentingnya Bangun Branding di LinkedIn Buat Semua Orang

    “LinkedIn mah buat yang cari kerja aja, nggak penting buat gue.”
    Pernah nggak sih lo denger kalimat kayak gitu dari temen, atau malah dari mulut lo sendiri? Nah, fix, saatnya kita bahas kenapa mindset itu harus dibuang jauh-jauh. Personal branding di LinkedIn tuh nggak cuma buat pencari kerja, Sob! Baik lo rekruiter, pebisnis, konsultan, atau bahkan self-employed freelancer, it’s your time to shine di LinkedIn!

    Bayangin gini deh: Lo buka LinkedIn, lihat profil seseorang, fotonya kece, headline-nya “Membantu perusahaan bertumbuh lewat strategi marketing yang out-of-the-box,” terus scroll postingannya yang insightful. Nah, otomatis lo mikir, “Wah, orang ini keren juga. Kayaknya bisa dipercaya nih.”

    Sekarang, bayangin kebalikannya. Profil kosong, foto asal-asalan, headline cuma “Marketing Enthusiast,” nggak ada postingan. Lo bakal mikir apa?
    “Yah, biasa aja nih. Beneran kompeten nggak ya?”

    Nah, itu dia! First impression lo bisa kebentuk dalam 3 detik doang. Makanya, personal branding di LinkedIn tuh kunci penting buat ningkatin peluang sukses lo di dunia profesional. Mau tau caranya? Simak yuk studi kasus, tips, dan best practices yang bisa bikin lo jadi next-level professional di LinkedIn!


    Studi Kasus: Mereka yang Sukses Gara-gara Personal Branding di LinkedIn

    1. Pencari Kerja: Austin Belcak – Dari Nganggur ke Microsoft!

    Dulu, Austin Belcak sering ditolak kerja. Frustasi? Pasti! Tapi, dia nggak nyerah. Dia mulai sharing tips kreatif buat cari kerja di LinkedIn. Kontennya relate banget sama pencari kerja lain. Eh, tahu-tahu, Microsoft tertarik dan merekrut dia! Sekarang, dia jadi mentor yang bantu ribuan orang dapat kerja impian.

    Lesson Learned: Sharing pengalaman lo bisa jadi bukti nyata kalau lo punya skill yang dicari. Konsisten kasih value di LinkedIn bikin lo lebih visible di mata perekrut.


    2. Rekruter: Stacy Donovan Zapar – Queen of Connection

    Stacy punya 500+ koneksi di LinkedIn? Nope. Dia punya 30.000+ koneksi! Bukan cuma ngumpulin koneksi, Stacy aktif bikin konten tentang rekrutmen, kasih tips ke kandidat, dan nunjukin kepribadiannya yang friendly. Hasilnya? Kandidat nyaman kerja sama dia, dan klien percaya sama kemampuannya.

    Lesson Learned: Jadi rekruiter yang human dan transparan bikin orang percaya sama lo. Nggak cuma nyari kandidat, tapi bangun trust jangka panjang.


    3. Pebisnis: Gary Vaynerchuk – The Hustler Boss

    Gary Vee bukan nama baru di dunia bisnis. Tapi, tahukah lo kalau LinkedIn jadi salah satu senjata utama dia? Dengan postingan tentang bisnis, kepemimpinan, dan motivasi, Gary membangun audiens loyal dan ngeluarin aura “Boss yang bisa diandalkan.”

    Lesson Learned: Nggak ada yang lebih seksi dari konsistensi! Sharing value bikin lo diingat audiens, dan akhirnya… pelanggan pun berdatangan!


    4. Konsultan: Dr. Marcia Reynolds – Bukti Pakai Data

    Dr. Marcia Reynolds, konsultan kepemimpinan, rajin nulis artikel di LinkedIn. Tapi bukan asal nulis, dia backing up opininya dengan riset psikologi. Klien yang baca langsung merasa, “Oke, dia beneran ngerti bidangnya!”

    Lesson Learned: Jadi konsultan? Kasih bukti nyata! Artikel dan postingan yang berbasis riset bikin lo keliatan kredibel.


    Kenapa Personal Branding di LinkedIn Itu Penting Banget?

    Menurut riset dari CareerBuilder, 70% perekrut nge-stalk kandidat di media sosial sebelum manggil wawancara. Dan dari riset Hootsuite, LinkedIn punya lebih dari 900 juta pengguna di seluruh dunia! Kebayang kan betapa besarnya peluang kalau personal branding lo on point di sini?

    Kata Dorie Clark, penulis “Reinventing You”,

    “Personal branding bukan soal narsis, tapi soal memberi tahu dunia apa yang bisa lo tawarkan.”


    Best Practices Biar Personal Branding Lo Nggak Sekadar Wacana

    1. Foto Profil yang Profesional
      Jangan pakai foto lagi ngepantai! LinkedIn tuh profesional. Foto close-up, pakai baju rapi, dan senyum tipis aja biar nggak keliatan too stiff.
    2. Headline yang Bikin Penasaran
      Daripada “Marketing Specialist,” coba “Membantu Brand Tumbuh dengan Strategi Marketing Kreatif dan Data-Driven.”
    3. Konten yang Konsisten
      Nggak perlu jadi Shakespeare. Mulai dari sharing pengalaman kerja, insight, atau pendapat lo tentang topik yang lo kuasai. Satu posting seminggu aja udah cukup!
    4. Interaksi Itu Kunci
      Jangan jadi silent reader. Kasih komentar, like, atau repost konten orang lain. Networking nggak cuma soal ngumpulin koneksi, tapi ngasih koneksi nilai.
    5. Tunjukkan Bukti Nyata
      Punya proyek keren? Share dong! Minta testimoni dari klien atau atasan buat nunjukin kredibilitas lo.

    Kesimpulan: LinkedIn Bukan Hanya Buat Nganggur!

    Mau lo fresh graduate, rekruter yang lagi cari kandidat kece, pengusaha yang lagi promote bisnis, atau konsultan yang jual jasa, personal branding di LinkedIn itu MUST-HAVE, bukan NICE-TO-HAVE.

    Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, mulai upgrade profil lo, bikin konten kece, dan jadi the best version of yourself di LinkedIn. Siapa tahu, kesempatan emas lo lagi ngintip di balik scroll berikutnya! ✨


    Ada tips personal branding ala lo sendiri? Drop di kolom komentar, dong! Biar kita sama-sama belajar.


  • Akhir Pekan Bukan Cuma Waktu Nongkrong

    “Bro, lo pernah nggak sih ngerasa akhir pekan tuh cepet banget berlalu? Kayak baru aja Jumat malam, eh, udah Senin aja. Padahal, kalau lo pinter-pinter ngatur waktu, akhir pekan bisa jadi momen buat reset otak dan jadi batu loncatan sukses loh. Gimana caranya? Tenang, gue bakal kasih tau kenapa lo harus mulai seriusin akhir pekan lo, baik itu buat lo yang pebisnis atau karyawan. Satu hal yang pasti, kalau lo nggak memaksimalkan akhir pekan, siap-siap deh ketinggalan sama yang lainnya. Tapi, jangan salah, lo juga nggak harus kerja terus-terusan. Baca artikel ini sampe habis, karena ada beberapa strategi yang bisa lo coba.”


    Mengapa Akhir Pekan Itu Penting untuk Pebisnis dan Karyawan?

    Pernah merasa akhir pekan datang dan pergi tanpa hasil yang jelas? Banyak orang menganggap akhir pekan sebagai waktu untuk “refresh” dan bersantai, yang sebenarnya itu penting. Namun, bagi seorang pebisnis atau karyawan yang ingin terus berkembang, akhir pekan bisa lebih dari sekadar waktu istirahat. Akhir pekan adalah waktu emas untuk merancang strategi, mengasah keterampilan, atau bahkan melakukan evaluasi diri. Mengapa? Karena tubuh dan pikiran kita butuh waktu untuk recharge agar lebih produktif pada minggu depan.

    Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Harvard Business Review (HBR), “menciptakan waktu untuk refleksi pribadi pada akhir pekan dapat membantu seseorang memperjelas tujuan jangka panjang mereka.” Akhir pekan adalah waktu terbaik untuk fokus pada pengembangan diri, menyusun tujuan, dan mengerjakan proyek yang terkadang terabaikan di tengah padatnya pekerjaan.

    Best Practices: Maksimalkan Akhir Pekan Anda

    1. Refleksi Diri dan Evaluasi Mingguan
      Tidak hanya untuk istirahat, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap pencapaian minggu tersebut. Coba mulai dengan menulis jurnal tentang apa yang sudah dicapai dan apa yang belum tercapai. Berdasarkan temuan dari Journal of Business and Psychology (2021), kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran diri dan membantu memperjelas tujuan ke depan.
    2. Fokus pada Pembelajaran dan Pengembangan Diri
      Banyak pebisnis sukses mengalokasikan waktu akhir pekan untuk belajar hal-hal baru, baik itu keterampilan teknis atau soft skills. Buku seperti Deep Work karya Cal Newport menyarankan agar kita melakukan pekerjaan yang membutuhkan fokus tinggi, seperti membaca atau belajar hal baru, di waktu yang minim gangguan. Akhir pekan memberikan kita kesempatan untuk melakukannya tanpa tekanan dari pekerjaan yang terus menumpuk.
    3. Istirahat yang Berkualitas
      Jangan salah, istirahat juga bagian dari produktivitas. Penelitian dari National Sleep Foundation menunjukkan bahwa tidur yang cukup dan berkualitas akan meningkatkan kreativitas dan kapasitas kita untuk memecahkan masalah pada minggu berikutnya. Jadi, gunakan akhir pekan untuk mendapatkan tidur yang optimal.
    4. Rencanakan Minggu Depan dengan Cermat
      Untuk pebisnis atau karyawan yang memiliki banyak tanggung jawab, merencanakan minggu depan dengan baik dapat memberikan kejelasan dan mengurangi stres. Rencanakan dengan spesifik apa yang ingin dicapai di setiap hari, tentukan prioritas, dan pastikan jadwal Anda seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
    5. Melakukan Networking atau Berkolaborasi
      Akhir pekan bukan hanya soal menyendiri. Bisa jadi, ini waktu yang tepat untuk bertemu klien, kolega, atau bahkan calon mitra bisnis di luar jam kerja biasa. Menurut The Networking Manifesto oleh Brian H. Williams, koneksi yang dibangun pada waktu yang santai seperti akhir pekan sering kali lebih efektif karena orang cenderung lebih terbuka dan tidak tertekan.

    Studi Kasus: Mengapa Akhir Pekan Itu Kunci Sukses

    Studi Kasus 1: Elon Musk dan Prioritas Waktu
    Elon Musk dikenal dengan jadwal yang padat, namun dia selalu meluangkan waktu untuk berfokus pada hal-hal penting di akhir pekan. Dalam wawancaranya dengan Tim Ferriss, Musk menjelaskan bahwa akhir pekannya diisi dengan berpikir strategis dan bekerja pada proyek-proyek inovatif yang tidak bisa dilakukan selama minggu kerja yang penuh gangguan. Dengan cara ini, Musk mampu menjaga fokus pada tujuan besar meski sedang sibuk menjalankan beberapa perusahaan besar.

    Studi Kasus 2: Karyawan Google yang Menggunakan Akhir Pekan untuk Pengembangan Diri
    Sebagai salah satu perusahaan dengan budaya kerja terbaik, Google mendorong karyawannya untuk menggunakan waktu luang, termasuk akhir pekan, untuk meningkatkan keterampilan pribadi dan profesional mereka. Salah satu inisiatif Google adalah 20% time, di mana karyawan diberikan kebebasan untuk menghabiskan 20% dari waktu mereka bekerja pada proyek sampingan yang bisa mendukung pengembangan mereka. Ini membantu mereka tetap inovatif dan termotivasi, serta mendorong pengembangan karier yang lebih cepat.

    Lessons Learned: Apa yang Bisa Kita Ambil?

    1. Disiplin dalam Mengatur Waktu
      Salah satu pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari orang-orang sukses adalah pentingnya disiplin dalam mengelola waktu. Dengan membuat jadwal yang jelas dan terstruktur, akhir pekan bisa menjadi waktu yang produktif, bukan hanya sekadar untuk bersantai.
    2. Fokus pada Keseimbangan
      Meskipun menghabiskan akhir pekan untuk pekerjaan atau pengembangan diri itu penting, jangan lupa untuk menjaga keseimbangan dengan waktu untuk beristirahat. Tubuh yang segar dan pikiran yang jernih akan lebih produktif dalam jangka panjang.
    3. Jangan Takut untuk Berinovasi
      Akhir pekan memberi ruang untuk berpikir kreatif tanpa tekanan dari pekerjaan sehari-hari. Banyak ide-ide cemerlang lahir ketika seseorang keluar dari rutinitas biasa dan memberi ruang untuk berinovasi.

    Kesimpulan: Akhir Pekan Itu Emas untuk Pebisnis dan Karyawan

    Dengan pendekatan yang tepat, akhir pekan bukan hanya waktu untuk bersantai, tetapi juga kesempatan untuk memperbarui energi, mengevaluasi diri, dan mempersiapkan diri untuk minggu depan. Mulailah dari sekarang dengan merencanakan bagaimana Anda bisa menggunakan akhir pekan untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

    Jadi, siap nggak untuk mengubah cara Anda memandang akhir pekan? Atau masih mau terus-terusan melewatkannya begitu saja? Yuk, mulai sekarang, manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya!

    Bagikan pendapat lo di kolom komentar, deh. Pasti banyak juga yang ngerasain hal yang sama kan?


  • Terima Kasih Gus Miftah dan Mbak Dita

    “Eh, lo udah lihat video Gus Miftah yang viral itu nggak? Gue jadi bingung, apa yang dilakukannya salah, atau cuma karena cara penyampaiannya aja yang salah?”

    “Iya, gue juga sempat lihat! Ada yang bilang itu kasar banget, tapi menurut gue niatnya baik. Tapi pas Mbak Adita ngomong soal ‘rakyat jelata’, makin bikin panas aja, deh!”

    Itulah percakapan yang pasti banyak kita dengar di media sosial akhir-akhir ini. Gus Miftah, yang dikenal sebagai seorang ulama, viral setelah sebuah video memperlihatkan dirinya memberi kritik terhadap seorang penjual es teh di Magelang. Dalam video tersebut, Gus Miftah mengkritik atau mengomentari seorang penjual es teh dengan maksud bercanda. Sayangnya, kritik tersebut dianggap terlalu kasar oleh sebagian orang, yang merasa bahwa cara penyampaian Gus Miftah tidak pantas, bahkan terkesan merendahkan.

    Tak lama setelah video tersebut viral, Mbak Adita Irawati, juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, mengadakan konferensi pers untuk memberikan klarifikasi. Namun, sayangnya, penggunaan kata “rakyat jelata” dalam penjelasannya justru memicu kecaman lebih lanjut dari netizen yang merasa kata tersebut tidak pantas dan terkesan merendahkan.

    Melihat peristiwa ini, kita seharusnya merenung, bagaimana kita berkomunikasi di era digital yang serba cepat dan penuh reaksi seperti sekarang ini? Apa yang salah dengan cara kita menyampaikan pesan dan bagaimana cara kita bisa memperbaiki hal itu agar tidak salah paham?

    Konten dan Konteks dalam Komunikasi: Mengapa Itu Penting?

    Sebelum kita menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, mari kita bahas terlebih dahulu tentang konten dan konteks dalam komunikasi. Dalam komunikasi, konten adalah pesan yang disampaikan, sementara konteks adalah cara dan situasi di mana pesan tersebut disampaikan. Keduanya adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan apakah pesan tersebut akan diterima dengan baik atau tidak.

    Dalam kasus ini, Gus Miftah mungkin memiliki niat yang baik untuk memberikan kritik membangun kepada sang penjual es teh, namun cara penyampaiannya—yang terkesan tegas dan kurang lembut—dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Ini mengingatkan kita pada teori pathos dalam komunikasi, yaitu bagaimana emosi dan perasaan audiens dapat dipengaruhi oleh cara kita berbicara. Jika kritik disampaikan dengan nada yang keras atau kasar, meskipun tujuannya baik, bisa jadi audiens merasa tersinggung.

    Sementara itu, ethos, yang berbicara tentang kredibilitas pembicara, juga penting untuk dipertimbangkan. Sebagai seorang tokoh yang dihormati, Gus Miftah memiliki etos yang kuat dalam menyampaikan pesan. Namun, ini tidak selalu menjamin bahwa semua orang akan menerima pesan tersebut dengan cara yang sama, karena konteks sosial dan audiens yang berbeda-beda.

    Tak kalah penting adalah logos, yang berhubungan dengan logika atau alasan di balik pesan tersebut. Gus Miftah sebenarnya ingin menyampaikan pesan yang masuk akal: pentingnya kualitas produk dalam berdagang. Namun, dalam dunia komunikasi, logos saja tidak cukup; cara penyampaian dan pilihan kata yang tepat juga harus diperhatikan agar pesan tersebut tidak disalahartikan.

    Mbak Adita dan Kontroversi “Rakyat Jelata”

    Setelah kejadian tersebut, Mbak Adita Irawati, yang bertugas memberikan klarifikasi, menggunakan kata “rakyat jelata” untuk menggambarkan situasi yang dihadapi oleh penjual es teh tersebut. Sayangnya, penggunaan kata ini justru menambah kontroversi. Banyak netizen yang menganggap bahwa penggunaan diksi tersebut sangat tidak sensitif dan merendahkan, mengingat konotasi kata “jelata” yang identik dengan kelas bawah dan dianggap tidak sopan dalam konteks formal.

    Hal ini mengingatkan kita pada temuan dalam penelitian oleh Brown & Duguid (2017), yang menunjukkan bahwa pilihan kata sangat berpengaruh dalam membangun persepsi audiens. Kata-kata yang tidak tepat dalam komunikasi publik, meski tidak bermaksud negatif, bisa menimbulkan reaksi yang besar. Klarifikasi yang baik seharusnya tidak hanya menjelaskan niat, tetapi juga memperhatikan bagaimana kata-kata yang dipilih dapat diterima oleh audiens dengan penuh empati.

    Data dari penelitian Vosoughi et al. (2018) juga mengungkapkan bahwa di media sosial, kata-kata yang mengandung unsur kontroversial atau terkesan merendahkan bisa memperburuk keadaan, bahkan memperburuk citra pembicara. Dalam hal ini, kata “rakyat jelata” terbukti menjadi pemicu emosi negatif di kalangan netizen.

    Ayo Berdiskusi!

    Peristiwa ini tentu mengingatkan kita akan pentingnya kehati-hatian dalam berkomunikasi, terutama di media sosial. Jadi, apa pendapat kamu?

    1. Apakah menurut kamu cara Gus Miftah memberikan kritik sudah sesuai? Atau sebaiknya ada cara lain yang lebih lembut agar kritik tersebut bisa diterima dengan baik?
    2. Seberapa penting penggunaan diksi yang tepat dalam klarifikasi publik? Apakah kamu merasa kata “rakyat jelata” seharusnya tidak digunakan dalam konteks tersebut?
    3. Apakah kamu setuju kalau emosi (pathos) sangat mempengaruhi bagaimana kita menerima informasi, terutama di media sosial?
    4. Menurut kamu, bagaimana cara yang baik untuk menyampaikan kritik atau nasihat yang bisa diterima oleh semua orang, tanpa menyinggung atau merendahkan?
    5. Bagaimana seharusnya seorang figur publik menjaga citra diri mereka saat memberikan klarifikasi mengenai suatu kontroversi?

    Yuk, bagikan pendapat kamu di kolom komentar! Setiap pendapat akan sangat membantu kita semua untuk lebih bijak dalam berkomunikasi di dunia maya yang cepat ini. Dengan berdiskusi, kita bisa menciptakan suasana yang lebih positif dan saling memahami. Jangan lupa untuk share artikel ini biar semakin banyak yang tahu!


  • Jiwa Kewirausahaan: Kunci Sukses Jadi Self-Employee

    “Bro, enak banget ya jadi freelancer, bisa kerja kapan aja, dari mana aja.”
    “Hmm… kayaknya gampang banget ya? Gak gitu juga, cuy. Jadi self-employee itu kadang lebih stres dari kerja kantoran, serius deh.”

    Siapa sih yang gak tergoda dengan fleksibilitas, kebebasan, dan privilege yang ditawarkan pekerjaan sebagai self-employee? Mulai dari freelancer, kreator konten, konsultan, hingga pelaku usaha kecil, semua profesi ini menawarkan kebebasan yang bikin ngiler. Tapi, seperti kata pepatah, “freedom comes with responsibility.”

    Self-Employee: Mirip Pengusaha, Tapi Tanpa Tim Besar

    Jadi self-employee itu ibarat pengusaha solo. Kamu harus siap menghadapi risiko, ketidakpastian, dan stres tanpa ada “bos” yang membimbing. Statistik dari Freelancers Union menunjukkan bahwa 60% pekerja mandiri merasa tekanan kerja mereka lebih tinggi dibandingkan kerja kantoran, terutama karena mereka harus mengelola semuanya sendiri—dari pemasaran hingga keuangan.

    Fakta Penting:

    • Menurut survei McKinsey, 20% pekerja mandiri di AS melaporkan tingkat stres tinggi karena tidak ada safety net seperti asuransi kesehatan atau pendapatan tetap.
    • Penelitian Harvard Business Review (2021) mencatat bahwa pekerja mandiri cenderung mengalami burnout lebih cepat dibandingkan karyawan biasa.

    Kenapa Jiwa Kewirausahaan Itu Penting?

    1. Menghadapi Ketidakpastian

    Sebagai self-employee, pendapatan kamu bisa fluktuatif. Kadang proyek banyak, kadang sepi. Jiwa kewirausahaan bikin kamu lebih tahan banting karena kamu terbiasa memandang ketidakpastian sebagai peluang, bukan ancaman.

    Tips:
    Pelajari strategi diversifikasi pendapatan seperti yang dijelaskan di buku “Multiple Streams of Income” karya Robert G. Allen. Jangan cuma andalkan satu klien atau proyek.

    2. Mengambil Risiko yang Terukur

    Orang dengan mental karyawan cenderung menghindari risiko besar. Padahal, jadi self-employee mengharuskan kamu untuk berani mengambil keputusan besar, seperti investasi alat kerja atau pindah ke pasar baru.

    Best Practice:
    Elon Musk selalu mengatakan, “Risk is part of progress.” Bahkan dalam tahap awal SpaceX, dia siap kehilangan segalanya demi eksperimen teknologi baru.

    3. Manajemen Stres dan Waktu

    Self-employee itu harus jadi bos sekaligus karyawan untuk dirinya sendiri. Kegagalan mengatur waktu bisa bikin produktivitas berantakan. Jiwa kewirausahaan mengajarkan disiplin diri dan kemampuan prioritas.

    Studi Kasus:
    Cal Newport di bukunya “Deep Work” menunjukkan bagaimana rutinitas terstruktur membantu profesional mandiri fokus pada tugas penting tanpa gangguan.

    4. Skill Pemasaran yang Tangguh

    Sebagai self-employee, kamu harus bisa menjual dirimu sendiri. Ini membutuhkan kemampuan pemasaran ala wirausaha, termasuk membangun personal branding.

    Statistik:
    Menurut LinkedIn Workforce Report, profesional dengan strong personal brand mendapatkan 50% lebih banyak peluang kerja dibandingkan mereka yang tidak aktif mempromosikan diri.


    Lessons Learned dari Praktisi Sukses

    1. Jessica Walsh (Desainer Grafis)
      Walsh membangun bisnis kreatifnya dengan prinsip “work smarter, not harder.” Dia menolak klien yang tidak sesuai visinya untuk menjaga kualitas kerja, meskipun itu berarti menolak uang besar.
    2. Marie Forleo (Pelatih Bisnis)
      Dalam bukunya “Everything is Figureoutable”, Forleo menekankan bahwa kesuksesan self-employee adalah tentang kemampuan menyelesaikan masalah dengan sumber daya yang terbatas.

    Kesimpulan: Siapkan Mental Baja

    Kalau mau jadi self-employee, siap-siap ubah mentalmu dari “kerja untuk bos” jadi “kerja untuk diri sendiri.” Jiwa kewirausahaan itu seperti superpower yang bikin kamu tahan menghadapi kerasnya dunia kerja mandiri.

    Jadi, sudah siap membangun kebebasan karier kamu? Jangan lupa untuk terus belajar, praktekkan ilmu baru, dan jangan takut gagal. Sebab, seperti kata Thomas Edison, “I have not failed. I’ve just found 10,000 ways that won’t work.”


  • Networking: Rahasia Sukses Semua Profesi

    “Eh, gimana sih lo bisa dapet klien gede-gede gitu? Kayak gak pernah sepi order aja!”

    Itu pertanyaan yang sering banget gue denger dari teman-teman yang penasaran sama profesi ghostwriter. Jawabannya? Networking, bro! Dalam dunia jasa kayak ghostwriting, siapa yang lo kenal sering lebih penting daripada apa yang lo bisa.


    Apa Itu Networking dan Kenapa Penting?

    Networking itu sederhananya “koneksi lo sama orang lain yang bisa ngasih manfaat balik buat karier atau bisnis.” Sebagai ghostwriter, kerjaan gue gak bakal jalan tanpa jaringan. Proyek pertama? Dari teman. Proyek kedua? Dari rekomendasi klien pertama. Repeat order? Karena gue bikin mereka puas.

    Menurut data dari Harvard Business Review (2016), 85% pekerjaan atau proyek didapatkan melalui networking. Dan ini gak cuma berlaku buat yang cari kerja kantoran, tapi juga buat jasa profesional kayak ghostwriting.


    Kenapa Networking Itu Kunci Utama?

    Di bidang jasa, terutama ghostwriting, lo jual trust. Orang gak bakal kasih lo cerita hidupnya (apalagi yang sensitif) kalau gak percaya sama lo. Networking bikin lo dikenal, dipercaya, dan direkomendasikan.

    Lihat aja data dari Nielsen: 92% konsumen percaya pada rekomendasi dari orang yang mereka kenal dibanding iklan. Inilah kenapa word of mouth marketing lebih ampuh buat ghostwriter dibanding pasang iklan di Instagram.


    Tantangan Networking dan Cara Ngatasinnya

    Tapi, gue tau, gak semua orang suka “nongkrong” atau ngobrol sama orang baru. Kadang kita mikir, “Aduh, gue introvert banget. Masa iya harus sok akrab?” Jangan khawatir, networking gak selalu soal pamer atau basa-basi kosong. Ada caranya supaya lo nyaman:

    1. Mulai dari Inner Circle
      Mulailah dari teman dekat, keluarga, atau kenalan yang lo percaya. Beritahu mereka profesi lo dan minta mereka bantu sebar info.
    2. Jadi Pendengar yang Baik
      Orang lebih suka ngobrol sama yang mau dengerin cerita mereka, bukan yang sibuk ngomongin diri sendiri.
    3. Manfaatkan Online Networking
      Platform kayak LinkedIn atau Instagram bisa jadi senjata. Posting karya lo, bagikan cerita perjalanan, dan aktif di komunitas penulis.
    4. Jaga Hubungan
      Jangan cuma cari klien waktu butuh proyek. Sesekali kirim ucapan atau tanya kabar. Menurut buku Never Eat Alone karya Keith Ferrazzi, hubungan yang kuat dibangun dari perhatian kecil yang konsisten.

    Networking yang Efektif = Repeat Order

    Pengalaman gue, satu klien puas bisa jadi pintu buat lima proyek baru. Kenapa? Rekomendasi. Klien yang puas bakal cerita ke temannya, bosnya, atau bahkan posting testimoni di media sosial.

    Statistik dari HubSpot menunjukkan, 81% klien bakal merekomendasikan layanan yang memuaskan ke minimal satu orang lain. Lo cuma perlu bikin mereka cukup puas untuk ngomong, “Eh, ghostwriter gue keren banget, lo harus coba!”


    Tips Networking yang Relevan Buat Semua Profesi

    Networking itu bukan cuma buat cari kenalan baru, tapi juga menjaga hubungan lama. Nah, beda profesi, beda pula pendekatannya. Berikut tips networking berdasarkan tiga jenis profesi:


    1. Untuk Freelancer: Cari Proyek dan Bangun Reputasi

    Sebagai freelancer (termasuk ghostwriter kayak gue), lo hidup dari kepercayaan klien. Networking yang kuat bakal bikin klien lo loyal dan terus kasih referensi.

    Berikut tipsnya:

    • Bangun Portofolio Online
      Punya LinkedIn, Instagram, atau website pribadi itu wajib. Jadi, kalau orang cari jasa lo, mereka langsung nemu. Jangan lupa tambahkan testimoni klien lama.
    • Ikut Komunitas atau Event Terkait Profesi
      Cari komunitas online atau offline yang relevan sama bidang lo. Misalnya, kalau lo penulis, ikuti acara diskusi buku atau workshop kreatif.
    • Berani Tawarkan Diri
      Jangan ragu untuk DM orang atau perusahaan yang potensial. Tawarkan solusi, bukan cuma jasa.
    • Kasih Nilai Lebih
      Kalau kerjaan lo selesai dengan baik, klien bakal jadi “sales” gratis lo lewat rekomendasi. Menurut Nielsen, 92% orang percaya pada rekomendasi teman dibanding iklan.

    2. Untuk Pengusaha: Perluas Jaringan dan Skala Bisnis

    Buat pengusaha, networking bukan cuma soal kenalan, tapi juga kolaborasi. Lo gak akan bisa jalan sendirian.

    Tips buat lo yang pengusaha:

    • Datang ke Event Networking
      Cari acara yang melibatkan pengusaha lain, kayak business forums, pitching sessions, atau seminar industri. Saling tukar kartu nama itu langkah awal.
    • Bergabung dengan Asosiasi Bisnis
      Jadi anggota asosiasi industri (misalnya Kadin atau HIPMI) bisa bikin bisnis lo lebih dikenal.
    • Manfaatkan Media Sosial Profesional
      Gunakan LinkedIn untuk terkoneksi dengan partner potensial atau investor. Postingan yang menunjukkan value bisnis lo juga bisa jadi daya tarik.
    • Jaga Hubungan Baik dengan Klien dan Partner
      Klien yang puas gak cuma balik lagi, tapi juga bawa teman-temannya. Jadi, luangkan waktu untuk follow-up atau sekadar kasih ucapan saat momen spesial.

    3. Untuk Karyawan: Naik Jabatan dan Perluas Peluang Karier

    Buat karyawan, networking itu soal menonjolkan diri dan membuka pintu untuk promosi atau pekerjaan baru.

    Berikut tipsnya:

    • Buat Hubungan Baik dengan Kolega
      Jangan cuma ngobrol pas butuh sesuatu. Jaga hubungan dengan kolega di berbagai divisi, karena mereka bisa jadi referensi lo suatu saat.
    • Cari Mentor atau Sponsor
      Mentor bisa ngasih arahan karier, sementara sponsor adalah senior yang percaya sama lo dan mau dukung lo naik jabatan.
    • Aktif di Proyek yang Melibatkan Banyak Tim
      Ini cara gampang buat dikenal lebih banyak orang. Proyek lintas divisi bisa jadi arena untuk menunjukkan kemampuan lo.
    • Manfaatkan LinkedIn untuk Personal Branding
      Post karya atau pencapaian lo di LinkedIn. Menurut statistik, 70% perekrut profesional aktif mencari kandidat lewat LinkedIn.

    Networking Itu Investasi Jangka Panjang

    Jaringan yang lo bangun sekarang bakal jadi tabungan masa depan. Gue sendiri butuh waktu bertahun-tahun buat bikin jaringan yang kuat. Tapi hasilnya? Gue gak pernah khawatir gak dapet proyek baru.

    Bahkan menurut laporan LinkedIn (2022), 79% profesional menganggap networking sebagai faktor utama kesuksesan karier mereka. Jadi, makin rajin lo bangun relasi, makin besar peluang lo sukses.


    Penutup: Yuk, Mulai Networking!

    Gue tau, networking itu kadang bikin gak nyaman. Tapi, percaya deh, jaringan lo adalah aset terbesar lo. Siapa tahu, obrolan kecil sama seseorang hari ini bakal jadi pintu untuk proyek besar tahun depan.

    “Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, mulai kenalan, ngobrol, dan bangun koneksi yang bakal bawa lo ke level berikutnya!”


  • Hidup Lebih Mudah dan Produktif dengan AI

    Belakangan masyarakat dibuat ketar-ketir karena kehadiran AI. Dari isu AI yang bisa “menghilangkan” pekerjaan tertentu hingga begitu banyaknya bisnis yang merasa terancam karenanya.
    Suka tidak suka, mau tidak mau, teknologi kecerdasan buatan (AI) memang tengah berkembang dan akan terus berkembang. Apalagi kemunculan peranti seperti ChatGPT, Stable Diffusion, dan Google Bard telah mengejutkan dunia kerja dengan kekuatan dan potensi AI Generatif. Tapi apa sebenarnya teknologi baru ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan kita?
    Jika saya sarikan dari berbagai literatur, AI generatif adalah jenis kecerdasan buatan baru yang memanfaatkan pembelajaran mesin untuk membuat berbagai jenis konten asli secara mandiri, termasuk teks, gambar, dan musik. Itu dapat menghadirkan konten dengan menggunakan jaringan saraf — algoritma pembelajaran mendalam yang terinspirasi oleh otak manusia – untuk memahami dan mereplikasi pola dalam data yang ada.

    Tak kurang dari 300 juta pekerjaan penuh waktu dapat digantikan oleh aplikasi yang didukung oleh teknologi tersebut jika kita merujuk laporan  Goldman Sachs. Pada saat yang sama, ratusan kategori pekerjaan baru dapat diciptakan, dan produktivitas global secara keseluruhan dapat ditingkatkan sekitar 7% setiap tahun selama periode 10 tahun.

    Informasi tersebut mungkin terasa luar biasa pada awalnya, terutama jika kita baru memasuki dunia kerja dan menavigasi bagaimana karier kita dapat terbantu ke depannya. Haruskah kita mempersiapkan diri untuk dunia distopia di mana elit tekno menimbun semua kekuatan? Atau kita dapat menantikan pekerjaan yang nyaman di mana sistem otomatis menyelesaikan tugas kita yang paling membosankan?

    Kebenaran, seperti biasa, kemungkinan besar terletak di antara keduanya. Entah kita adalah seseorang yang dibesarkan dengan teknologi atau baru merasa nyaman dengannya, berikut adalah cara meningkatkan peluang kita untuk sukses di dunia yang “bersinggungan” dengan AI.

    Berteman dengan AI
    Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Bureau of Economic Research (NBER), ditemukan bahwa kelompok karyawan yang menggunakan alat AI generative pre-trained transformer (GPT) mengalami peningkatan produktivitas hampir 14%. Jika kita bekerja (atau berencana untuk bekerja) dalam apa yang kadang-kadang disebut ekonomi informasi-yaitu, peran apa pun yang melibatkan pembuatan, penggunaan, atau pertukaran informasi – maka AI dapat secara signifikan mempercepat dan meningkatkan kemampuan kita untuk melakukan pekerjaan kita.

    Ini mencakup berbagai macam pekerjaan, industri, perusahaan, dan keterampilan-mulai dari dokter dan pengacara yang membuat, memproses, dan berbagi informasi tentang kasus medis dan hukum hingga pedagang, seperti tukang kayu dan tukang ledeng, yang merancang dan menerapkan solusi untuk masalah praktis. Ini juga mencakup berbagai fungsi administrasi, dan manajerial seperti manajemen proyek, SDM, dan keuangan.

    Saat ini, ada alat di pasaran-atau tersedia secara gratis di internet – yang memungkinkan siapa saja untuk mengintegrasikan AI ke dalam alur kerja kita. Dan kenyataannya adalah, mereka yang tidak menggunakannya kemungkinan besar akan segera tergantikan. Bukan karena mereka akan digantikan oleh AI, tetapi karena mereka akan digantikan oleh orang-orang yang lebih cerdas dan lebih mudah beradaptasi yang telah menggunakan alat-alat tersebut.

    Sederhananya, mereka yang belajar memanfaatkan AI Generatif akan menyelesaikan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih singkat dan menciptakan nilai lebih bagi organisasi mereka. Ini sudah terjadi. Lihat saja British Telecom. Perusahaan tersebut berencana untuk memangkas hingga 42% dari 130.000 tenaga kerjanya pada tahun 2030 karena AI dan otomatisasi. Dalam 12 bulan ke depan kita bisa melihat pola serupa merayap ke banyak industri lain. Meskipun saya belum mendengar perusahaan di tanah air yang memiliki kebijakan serupa, kita bisa amati betapa banyaknya perusahaan yang  telah menerapkan otomatisasi di segala lini.

    Mengintegrasikan AI dalam Pekerjaan Sehari-hari 
    AI generatif dapat mengotomatiskan tugas manual dan berulang, membebaskan sumber daya manusia untuk tugas yang lebih kompleks dan kreatif. Memahami bagaimana dan di mana AI generatif cocok dengan alur kerja Anda adalah kunci untuk memanfaatkan kemampuannya.

    Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membagi aktivitas kita sehari-hari ke dalam beberapa kategori dan kemudian melihat solusi AI untuk masing-masing pengelompokan tersebut. Mari kita lihat beberapa contoh umum tentang aktivitas apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh AI dalam berbagai peran.

    Tugas administratif: AI dapat menjadi asisten pribadi kita-menjadwalkan rapat, mengelola email rutin, mengatur kalender, dan meninjau atau menyetujui pekerjaan di mana kita memiliki tanggung jawab pengawasan. Alat kantor populer seperti Microsoft Excel, Word, dan bahkan Gmail semakin menawarkan fitur bertenaga AI yang dapat digunakan siapa saja jika mereka meluangkan waktu untuk menjelajahinya dan mempelajari cara kerjanya. Namun, AI masih berjuang dengan tugas-tugas yang memerlukan pengambilan keputusan yang bernuansa, seperti menyelesaikan konflik antara anggota tim, memahami dinamika kantor yang kompleks, atau menangani masalah sensitif karyawan.

    Perencanaan dan manajemen proyek: Baru mengenal manajemen proyek dan tidak yakin harus mulai dari mana? Alat sehari-hari seperti ChatGPT memudahkan pembuatan rencana tindakan – cukup beri tahu apa yang ingin kita lakukan dan biarkan alat tersebut membuat rencana tindakan yang memandu kita melalui langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun, dalam hal mengelola situasi yang tidak terduga atau menyesuaikan rencana proyek dengan tantangan unik yang belum diprogram sebelumnya, diperlukan campur tangan manusia.

    Analisis data: AI Generatif dapat mengotomatiskan tugas-tugas seperti menafsirkan kumpulan data yang kompleks, mengidentifikasi tren, dan bahkan memprediksi hasil di masa depan berdasarkan data historis. Alat seperti “TensorFlow” dan “Keras” dapat digunakan untuk membuat model prediktif, sedangkan alat pemrosesan bahasa alami dapat digunakan untuk menganalisis dan menafsirkan konten tertulis. Tetapi AI mungkin kesulitan menafsirkan data yang ambigu atau berkualitas buruk dan saat ini tidak dapat menjelaskan kausalitas di balik pola yang diidentifikasinya.

    Riset: Jika kita memerlukan informasi sebelum memulai pekerjaan, antarmuka AI berbasis bahasa seperti ChatGPT atau KOMO semakin membuktikan diri mereka seefektif dan lebih cepat daripada mesin telusur untuk mengumpulkan sumber dan meringkas informasi penting. Cukup periksa kembali penelitian yang disediakan AI terhadap sumber yang dikenal dan bereputasi baik, karena alat ini dapat menjadi buram tentang dari mana mereka mendapatkan fakta. Ingatlah bahwa AI masih terbatas dalam membedakan kualitas sumbernya dan terkadang gagal memahami konteks bernuansa di balik informasi tertentu.

    Penulisan: AI dapat membantu dalam penyusunan laporan penelitian dengan menyediakan struktur, menyarankan konten berdasarkan analisis data, dan bahkan membuat draf awal yang nantinya dapat disempurnakan dan diselesaikan oleh manusia. Alat seperti Grammarly menggunakan AI untuk meningkatkan kualitas penulisan, sementara alat lain seperti Quill atau Automated Insights dapat menghasilkan konten tertulis dari data. Namun, membuat laporan yang secara meyakinkan mengomunikasikan wawasan bernuansa atau menggunakan data untuk menceritakan kisah yang jelas atau menyajikan argumen sebagian besar masih merupakan tugas manusia.

    Pembelajaran dan pengembangan: AI generatif menjadi tutor yang hebat. Mintalah untuk menjelaskan sesuatu (hampir semua hal) dan jika kita masih belum memahaminya, mintalah untuk menjelaskannya lagi dengan istilah yang lebih sederhana atau lebih detail. Namun, itu tidak dapat menandingi kemampuan tutor manusia untuk memahami gaya belajar individu dan menyesuaikan pengajaran mereka.

    Mempelajari Cara Menulis Perintah (Prompt) AI yang Efektif
    Saat kita membaca tentang bagaimana AI dapat membantu kita menjadi lebih efisien di tempat kerja, kita mungkin berpikir, “Tetapi kesuksesan sebenarnya terletak pada mengetahui cara menggunakannya dan mengajukan pertanyaan yang tepat kepada AI.”Dan itu memang benar adanya.

    Memanfaatkan kekuatan model AI generatif seperti ChatGPT melibatkan lebih dari sekadar mengajukan pertanyaan-ini tentang menyusun prompt yang memandu model menuju respons yang berguna dan relevan. Berikut sejumlah tip untuk membuatnya jauh lebih efektif:

    Menetapkan peran, menetapkan batasan, menentukan format respons, dan menyoroti area fokus: Menetapkan peran pekerjaan menyediakan alat seperti ChatGPT atau KOMO dengan konteks dan persona yang membentuk tanggapannya, seperti memberi tahu bahwa itu adalah “konsultan strategi” atau “analis pasar.” Ini membantu dalam menetapkan batasan atau membatasi cakupan respons AI, memastikannya tetap sesuai topik. Menentukan format respons memandu AI pada format apa yang kita inginkan untuk meresponsnya. Bisa berupa daftar, paragraf, atau dialog, tergantung kebutuhan kita. Terakhir, menyoroti apa yang harus menjadi fokus respons dari AI memastikan bahwa AI memperhatikan aspek-aspek yang paling penting bagi kita.

    Misalnya, jika kita membutuhkan analisis SWOT untuk memasuki pasar Australia dengan produk teknologi baru, kita dapat membuat prompt seperti: “Bayangkan Anda seorang analis pasar (menetapkan peran) dengan keahlian di sektor teknologi Australia (menetapkan batasan). Bisakah Anda memberikan analisis SWOT (menentukan formatnya) untuk perusahaan teknologi yang berbasis di Indonesia yang ingin meluncurkan produk AI baru di Australia (semakin membatasi cakupannya)? Fokus pada peluang pasar potensial, ancaman utama, dan pertimbangan regulasi utama dalam analisis Anda (area fokus).”

    Perlakukan sebagai kolaborator, bukan pelayan: Saat menggunakan ChatGPT, misalnya, minta ChatGPT untuk berkolaborasi dengan kita dalam suatu tugas, daripada menyuruhnya melakukannya untuk kita. Ini akan mendorongnya untuk meminta klarifikasi jika tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang kita inginkan, daripada hanya menebak-nebak dan memberi kita apa yang menurutnya kita inginkan. Misalnya, kita dapat mengatakan, “Mari kita bekerja sama untuk mengembangkan rencana pemasaran peluncuran produk baru di kuartal berikutnya. Kita perlu mempertimbangkan target audiens, saluran promosi, dan tantangan potensial. Apa pendapatmu?”Perintah ini mendorong percakapan kolaboratif, bukan perintah satu arah.

    Pada akhirnya, ini semua tentang kemampuan beradaptasi. Segala sesuatunya berubah dengan cepat, dan mereka yang mampu mengidentifikasi peluang baru dan menerapkannya ke dalam kehidupan kerja sehari-hari mereka akan bersinar. Kedatangan World Wide Web melihat pergeseran kekuatan di tempat kerja, karena mereka yang memiliki pengetahuan kehilangan pijakan dibandingkan mereka yang memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Kedatangan AI Generatif menandai perubahan serupa, terhadap mereka yang memiliki kemampuan untuk mengubah pengetahuan menjadi tindakan.

    Merangkul AI berarti sama sekali tidak takut membuang buku aturan dan membangun kembali sesuatu dari awal. Ini berarti akan menguntungkan mavericks, inovator, dan yang paling penasaran. Bersandar pada hal itu saat ini adalah cara terbaik untuk memastikan kita akan memiliki masa depan yang cerah dan terus menjadi berharga, apa pun pekerjaan atau bisnis yang kita tekuni, dan perkembangan teknologi apa pun yang ada di tikungan.