Author: Agung Wibowo

  • Apa Yang Saya Lakukan Selama Masa Sabbatical?

    30 Desember 2015 menjadi awal petualangan saya. Di hari itu, untuk kesekian kalinya saya berpisah dengan orang-orang terbaik di lingkaran pekerjaan. Ada perasaan gembira, sedih, bangga, puas, jatuh, kecewa, takut, gamang, sekaligus bebas. Ibarat pancaroba, babak kehidupan saya berikutnya resmi dimulai.

    Sabbatical memang telah saya rencanakan. Mengambil jeda setelah bertahun-tahun kuliah dan kerja. Menikmati petulangan yang sarat dengan ketidakpastian dan kejutan. Kedengarannya menarik ya liburan berhari-hari bahkan berbulan-bulan? Kenyataan tidak selamanya demikian.

    Lalu, apa aja yang lho lakuin Mas Agung? Ada banyak. Buaanyakkkk. Jika disebutkan, ada beberapa kegiatan utama:

    Pertama, traveling. Ini mah nggak usah diomongin lagi ya.  Di masa ini saya berkesempatan menjelajahi beberapa pulau cantik Indonesia. Tak tanggung-tanggung ada banyak pulau yang saya singgahi. Bertemu dengan orang-orang baru di jalanan. Mencicipi kulinernya. Dan tentu saja menghadapi hal-hal di luar dugaan yang mendewasakan.

    Kedua, research. Kedengarannya berat sekali kan melakukan riset? Tapi tunggu dulu. Riset yang saya lakukan saya buat semenarik mungkin. Lagian juga dari, oleh, dan untuk saya. Apa gunanya dibuat garing?

    Ketiga, networking. Yes, ini tak boleh dilewatkan. Kendati nggak terikat dengan pekerjaan bukan berarti membina hubungan manusia terhenti. Itu mah bukan tipe saya. Di masa ini saya memiliki privilege untuk bertemu orang dari berbagai kalangan. Mulai dari panglima TNI, menteri, motivator, rektor, pengusaha, CEO, profesional PR, Ketua DPRD, petani, nelayan, pedagang asongan, pemulung, pengemis, suhu pemasaran, agen asuransi, agen properti, polisi, kuli bangunan, karyawan pabrik, supir, Office Boy, pembantu rumah tangga, dan masih banyak lagi. Saya anggap mereka semua guru saya dalam kehidupan. Makanya saya mau bertemu hehe.

    Keempat, spirituality. Nggak boleh terlewatkan ini mah. Ketika runitinas normal ditinggalkan, mencari ketenangan bathin sudah tidak bisa ditawar lagi. Ini pengalaman yang mungkin paling dramatis dalam hidup ketika saya harus up and down mencari jati diri untuk “berkenalan dengan Tuhan”. Singkat katanya sih memperbaiki dirilah. Kembali ke “jalan yang benar” lagi. Kalau boleh jujur, ini merupakan pengalaman paling berharga di masa Sabbatical mengalahkan atribut pencapaian duniawi lainnya.

    Kelima, reading. Yup, saya menghabiskan hampir 1000 buku terbitan Barat dan lokal di masa ini. Semua bacaan saya lahap. Genre apapun. Dari yang serius banget sampai yang nggak penting.

    Keenam, family gathering. Saya berkumpul dengan orang tua dengan rekor terlama sejak saya pertama merantau. Biasanya kalau liburan paling lama satu atau dua minggu. Ini mah lama banget. Jadi nostalgia masa kecil deh. Kapan lagi bisa ada waktu berlama-lama di rumah kalau nggak pas Sabbatical?

    Ketujuh, volunteering.  Mungkin kalau ketika di hari biasa terlalalu disibukkan dan dipusingkan dengan rutinitas, masa jeda harus dimanfaatkan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Salah satunya dengan menjadi sukarelawan. Apapun bidangnya. Saya sendiri melakukan beberapa hal sekaligus.

    Kedelapan, contemplating. Yang  ini mah nggak usah ditanya. Semua orang yang menjalani career break, dengan sendirinya pasti berkontemplasi. Memperbanyak me time. Meningkatkan “interaksi” dengan diri sendiri. Membuat rencana-rencana aksi ketika sudah kembali ke “kehidupan normal”

    Kesembilan, projects. Rugi banget kalau ambil masa jeda tapi do nothing. Nah, mending emang fokus mengerjakan proyek yang sesuai dengan hati. Jangan terlalu mikirin Rupiah deh. Kalau kita ngerjain dengan hati, biasanya kan hasil nggak menghianati usaha to?

     

    Di luar sembilan hal di atas, masih ada beberapa kegiatan minor yang mengisi sela-sela waktu. Semuanya saling mendukung untuk self-discovery, mewujudkan personal fulfillment, dan mereguk kedamaian bathin yang tak mudah tereguk. Jadi kalau ditanya apakah menyesal atau tidak mengambil Sabbatical, jawaban saya TIDAK!  Selamat mencoba sendiri kawan.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 23 Oktober 2016

     

  • Wayang Kehidupan

    Akhir tahun 2015 saya memberanikan diri untuk mengambil keputusan ‘tidak populer’. Buah dari itu, sejak 1 Januari 2016 saya menjalani masa Sabbatical. Suatu fase yang mungkin belum begitu populer di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara semakmur Amerika Serikat, Kanada, Inggris, ataupun Australia.

    Selain menyempatkan diri untuk menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi, bertemu dengan orang-orang baru, bersilaturrahmi dengan teman lama, giat berolahraga, dan rutin melakukan meditasi; saya pun sangat intens berhari-hari “hibernasi” di perpustakaan sekelas Center for Strategic and International Studies  (CSIS). Pilihan untuk berlama-lama di CSIS bukanlah tanpa alasan. Tempat ini hanya memakan waktu 3 menit berjalan kaki dari rumah. Koleksi bacaannya super lengkap. Akses transportasi ke dalam atau luar kota mudah. Menjangkau makanan dan minuman apalagi. Mushala pun tersedia. Dan terpenting, sangat kondusif untuk menenangkan diri.

    Berhari-hari ‘hibernasi’ di CSIS saya manfaatkan sebaik-baiknya. Tidak hanya menambah ‘gizi’ untuk persiapan PhD saja, akan tetapi juga melahap puluhan (atau ratusan) buku biografi. Jenis bacaan yang paling saya butuhkan di masa jeda.

    Tokoh yang saya ‘korek’ perjalanan hidupnya, tidak hanya tokoh-tokoh nasional. Tapi juga tokoh internasional. Baik negarawan, taipan, cendekiawan, professional, pembela hukum, pejuang, aktivis sosial, analis politik, tokoh militer, dan sebagainya.

    Setiap sosok tentu saja memberikan pelajaran masing-masing bagi saya. Entah dari sisi kepribadian, profesionalisme, hingga spiritual.

    Dari buku-buku biografi tersebut saya belajar untuk Connecting the dots. Rupanya, pencapaian yang dilalui oleh setiap tokoh di puncak karirnya tidak dapat dilepaskan dari masa lalunya. Hal itu mencakup gaya didikan orang tua, pengaruh budaya di masa kecil, pendidikan, tempaan masalah, komunitas yang dimasuki, orang-orang yang pernah ditemui, nilai-nilai yang dipegang hingga tujuan hidup.

    Jika direnungkan lebih dalam, perjalanan setiap anak manusia tidak lebih dari hubungan dalang-wayang. Dalam konteks ini, dalang dianalogikan sebagai Sang Pemberi Kehidupan. Sedangkan wayang diibaratkan manusia itu sendiri. Dalang memiliki power untuk menentukan alur cerita wayang selama “permainan”. Sedangkan wayang mau tidak mau ‘mengikuti’ apa yang ditakdirkan dalang.

    Bagi orang Jawa, wayang merupakan lambang yang disebut dengan pasemon. Pasemon dalam konteks ini terdapat dalam alur cerita, penokohan, hingga eksistensinya.  Wayang pun bermakna wewayangan yang berarti wewayanganing ngaurip (bayangan kehidupan). Oleh karenanya, wayang dapat bergerak, berbicara, atau berbuat karena ada dalang yang melakukannya. Singkat kata, wayang hanya sak dermo nglakoni apa yang dilakukan dalang.

    Dalang kira-kira dapat diartikan sebagai Ngudal piwulang. Ngudal berarti menguraikan, sedangkan piwulang berarti nasehat atau pelajaran. Sehingga dalang bermakna seseorang yang menguraikan nasehat melalui media wayang.

    Pagelaran wayang biasanya tidak terjadi begitu saja. Selalu ada yang “punya gawe”. Si dalang diberi wewenang untuk mementaskan wayang, dan penyelenggara tidak dapat mengintervensi permainan. Hal ini mungkin bermakna bahwa kebebasan berpikir manusia terbatas, sehingga tak akan dapat meramalkan apa yang terjadi.

    Namun dalam permainan ini, wayang bukan sama sekali powerless. Ia diberi ‘kekuatan lebih’ untuk mewarnai jalannya cerita. Dengan kata lain, dalang hanya menentukan script  secara umum. Wayang berkesempatan untuk  memutuskan alur permainan serinci-rincinya.

    Manusia memang dapat diibaratkan laksana wayang. Tetapi, manusia bukanlah wayang. Manusia diberi jasad, hati, roh, dan rasa untuk bersikap maupun bertindak sesuka hati. Wayang 100% tunduk dengan perintah si dalang. Dalam kehidupan, Tuhan sebatas memberikan petunjuk untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Mana perbuatan  yang menjadi jalan surga atau neraka.

    Dari sebuah pagelaran wayang kita dapat menarik sebuah benang merah. Bahwasannya wayang, dalang, dan “yang punya hajat” merupakan simbol dari manusia, roh, dan Tuhan. Wayang tidak lebih dari manusia yang hanya hidup apabila ada dalang sebagai roh, dan kehidupan ada lantaran diciptakan oleh yang punya hajat yaitu Tuhan.

    Kita adalah wayang kehidupan yang terus bergerak mengikuti lakon dari dalang. Kita adalah wayang kehidupan yang kadang-kadang (atau sering) powerless untuk memaksa dalang mengubah alur cerita. Ya, begitulah kehidupan di alam dunia nan fana ini.

    “A human being always acts and feels and performs in accordance with what he imagines to be true about himself and his environment…For imagination sets the goal ‘picture’ which our automatic mechanism works on. We act, or fail to act, not because of ‘will,’ as is so commonly believed, but because of imagination.”
    ― Maxwell MaltzNew Psycho-Cybernetics

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Gambir – Jakarta Pusat, 26 Februari 2016

  • Jangan Jadi Meteor

    Tabik.

     Look at the sky. We are not alone. The whole universe is friendly to us and conspires only to give the best to those who dream and work. ~ A. P. J. Abdul Kalam

    Pada 10 Februari 2016 lalu saya berkesempatan untuk membuka relasi dengan dua tokoh kenamaan. Pertama, dengan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) yang saat ini merupakan salah satu pengamat dan penulis penerbangan terpopuler. Kedua, dengan salah satu rektor perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan yang menamatkan doktoralnya di Amerika Utara.

    Sejatinya kedua tokoh tersebut memiliki banyak cerita yang dapat diulas di blog ini. Karena pertimbangan urgensi, kali ini saya hanya mengulas sedikit dari apa yang saya pelajari dari tokoh pertama. Maklum, saya kira rektor manapun relatif lebih mudah untuk dihubungi dan diajak bekerjasama. Namun, sepertinya – setidaknya menurut kacamata saya – tidak semua tokoh militer demikian.

    Beralamatkan di salah satu gedung di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan pagi itu saya beruntung untuk menemui tokoh militer tersebut. Sebut saja namanya Bapak Elang. Setelah beberapa saat saya ‘diajak’ mengenang masa kecilnya, tibalah saya diceritakan bagaimana ‘drama’ perjalanan beliau berkarir di dunia militer hingga mencapai puncaknya.

    Elang tidak hanya menyadarkan pentingnya sebuah negara memperkuat manajemen pertahanan udaranya, akan tetapi juga berhasil memancing keingintahuan saya dalam bidang penerbangan. Nampaknya jiwa penerbangan beliau sudah mendarah daging. Hal itu tampak dari bagaimana beliau bertutur, karya apa saja yang telah ditelurkan, pencapaian apa yang telah diraih, sejauh mana kepuasan batin yang telah direguk, hingga seberapa besar penghargaan publik dengan karyanya.

    Sepertinya tidak cukup menuliskan sebanyak sepuluh halaman untuk mengulas hikmah yang saya dapatkan dari Elang. Karena beliau membeberkan filosofi, konsep, hingga praktek ranah militer – khususnya penerbangan. Uniknya, segalanya dapat disambungkan dalam kehidupan sehar-hari untuk penduduk sipil.

    Salah satu poin yang saya ingat dari Elang adalah agar kita jangan menjadi sebuah meteor. Maksudnya? Mungkin ingatan Anda langsung melayang ke pelajaran Astronomi di bangku SMA. Bisa jadi Anda menghubungkannya dengan tata surya, galaksi, planet, atau apapun itu namanya. Karena, toh memang terkait.

    Secara sederhana, meteor dapat dilukiskan sebagai benda langit yang masuk ke wilayah bumi yang mengakibatkan adanya gesekan permukaan meteor dengan udara dalam kecepatan tinggi. Gesekan tersebut menimbulkan pijaran api dan cahaya yang dari kejauhan nampak laksana ‘bintang jatuh’. Menurut para ahli, tidak semua meteor sampai ke bumi lantaran sudah habis terbakar pada saat bergesekan dengan atmosfer. Itu kenapa meteor yang berhasil menginjak bumi disebut meteorid.

    Lantas, apa hubungannya dengan diri kita? Bapak Elang menganjurkan agar diri ini tidak menjadi seperti meteor. Apa pasal?

    Karena meteor tidak memiliki orbit. Pun tidak memiliki periode ‘kunjungan’ tetap ke bumi. Benda ini tidak memiliki aturan.

    Sebaliknya, beliau menyarankan agar setiap individu ‘meneladani’ planet atau bintang. Planet adalah benda langit yang secara beraturan mengelilingi bintang sebagai pusat tata surya. Sedangkan bintang adalah benda luar angkasa berukuran besar yang mampu memancarkan cahaya sendiri.

    Dalam konteks berkehidupan, baik planet maupun bintang memiliki orbit. Keduanya memiliki positioning. Keduanya memiliki diferensiasi yang kuat. Keduanya memiliki peran dan fungsi yang jelas. Sehingga kehadirannya dapat dirasakan oleh orang-orang sekelilingnya. Jangan jadi meteor!

     “When positioning a brand, aggressively avoid becoming a “me too” by assertively being a “who else?”
    ― Crystal Black Davis

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Gambir – Jakarta Pusat, 11 Februari 2016

  • Selingkuh Itu Nikmat, Tapi . . .

    Pada suatu hari Surya bertemu dengan seorang kenalannya di salah satu pusat perbelanjaan papan atas di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Kenalan yang ditemuinya tidak lain adalah CEO bank syariah pertama di Indonesia. Berikut adalah nukilan awal obrolan mereka:

     Surya              : Assalamu’alaikum.

    Chandra         : Wa’alaikumsalam.

    Surya              : Sudah lama menunggu saya tadi Pak?

    Chandra         : Ngg…ngga kok Mas, baru 5 menit.

    Surya              : Bapak sudah pesan minum?

    Chandra         : Belum Mas. Saya sengaja memesannya bersamaan dengan Anda.  

    Surya              :  Wah, kebetulan saya lagi puasa Senin-Kamis nih. Bapak silahkan pesan jika kehausan. Saya tidak jadi soal kok.

    Chandra         : Subhanallah. Saya juga sedang berpuasa hari ini.  

    Surya              : Begini Pak Chandra. Maksud kedatangan saya menemui Bapak adalah ingin sharing perihal perbankan Syariah. Kebetulan secara teori saya telah membaca banyak buku maupun artikel. Namu, sepertinya tidak afdhol ya kalau tidak mendengarkan langsung dari “dedengkot” praktisi Syariah.

    Chandra         : Ah, bisa aja nih dik Surya.

    Surya              : Saya ini heran pak. Indonesia kan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kenapa kok pangsa perbankan syariah masih kurang menggembirakan. Jika dibandingkan dengan perbankan konvensional sangatlah tidak apple-to-apple. Mungkin perbandingannya seperti semut dengan gajah? Apa yang salah dengan negeri ini?

    Chandra         : Wah, jawabannya klise sekali. Tapi dik Surya jangan kaget ya.

    Surya              : Ya nggaklah pak. Emang kenapa?

    Chandra         : Sebenarnya jawaban bisa dari perspektif bisnis, agama, ekonomi, budaya, politik dan lain-lainnya. Tapi saya akan coba memberikan satu jawaban yang singkat tapi berkesan.

    Surya              : Ah bisa aja nih Pak Chandra. Berkesan seperti apa? Jangan bikin saya geregetan dong…..

    Chandra         : Begini dik Surya, kebanyakan masyarakat lebih memilih layanan perbankan syariah karena mereka menikmati perselingkuhan.

    Surya              : Apa???? Jangan bercanda dong pak.

    Chandra         : Ya dik. Menabung atau memilih layanan perbankan konvensional itu ibarat seorang yang berselingkuh. Nikmat tapi terlaknat!

    Surya              : Ha??? Demi apa?

    Chandra         : Coba dik Surya renungkan dulu  . . .

                                        *Bersambung*

     

    Nukilan percakapan di atas benar adanya tapi dengan nama yang disamarkan. Terlepas demikian, harus diakui bahwasannya masyarakat Muslim di negara manapun – khususnya di Indonesia – belum begitu aware dengan apapun yang ‘berbau’ Syariah. Yang paling mencolok bisa dilihat dalam hal perbankan. Mengapa bank syariah di negeri ini nampaknya sulit bersaing dengan bank konvensional?

    Jawaban paling masuk akal dan mudah dipahami salah satunya adalah dengan analogi perselingkuhan. Ya, mungkin terkesan seperti bercanda. Apa pasal?

    Perselingkuhan merupakan hal yang diharamkan oleh agama. Namun, kenapa banyak orang yang masih melakukannya? Karena, kedua belah pihak menikmati. Tidak lebih. Pun tidak kurang.

    Entah perselingkuhan antara wanita bersuami dengan pria beristeri, pria beristeri dengan wanita lajang, pria lajang dengan wanita bersuami, janda dengan duda, sesama lajang atau apapun itu statusnya. Perselingkuhan merupakan dosa besar yang sudah seharusnya dijauhi oleh kaum beragama.

    Perselingkuhan berbeda dengan pemerkosaan. Dalam perselingkuhan kedua belah biasanya suka sama suka. Itu artinya, tidak ada pemaksaan seperti halnya dalam pemerkosaan. Dalam perselingkuhan, kedua belah pihak mendapatkan “kenikmatan” dunia dalam tingkat tertentu. Kedua belah pihak sama-sama tersalurkan dan terpuaskan syahwat keduniaannya. Kedua belah pihak (mungkin atau sudah pasti) mencapai titik klimaks jika bersenggama.

    1. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 

    2. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. 

    3. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 

    4. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 

    5. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

    (QS : Al- Baqarah : 275 – 279)

    Tapi, apakah para pelaku perselingkuhan mengingat hukum dari perbuatannya?  Biasanya mereka lupa begitu laknatnya perbuatan zina itu. Apalagi, jika tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatannya. Bisa jadi, mereka terus menerus melakukan dosa terlarang tersebut.

    Tapi, ada satu hal yang dilupakan para pelaku perselingkuhan. Mereka lupa akhirat. Mereka lupa kehidupan hari akhir. Mereka tidak ada bedanya dengan hewan yang seenaknya “kumpul kebo”. Itu terjadi karena hati keduanya sudah dikuasai oleh bisikan iblis. Mereka bersenang-senang di dunia yang sementara ini, dan melupakan siksaan yang pedih di akhirat nanti.

    Ya, sebenarnya (kelihatan) tidak apple-to-apple jika mempercayakan layanan di perbankan konvensional sebanding dengan menikmati perselingkuhan yang terlaknat. Tapi, kalau ditimbang-timbang kembali mudharat-nya, demikianlah adanya. Khususnya bagi yang patuh dengan hukum Islam.

    Terlepas dari beragam kontroversi yang terjadi di permukaan mengenai kesyariahan, saya pun teringat akan jiwa keindonesiaan diri saya. Indonesia adalah negara Republik, bukan negara Islam. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika perbankan konvensional tumbuh tak terbendung meninggalkan perjalanan perbankan syariah yang seakan-akan terseok-seok.

    Perihal apakah seorang Muslim harus menabung di bank konvensional atau tidak itu urusan lain. Karena saya bukan Tuhan yang berhak mengutuk orang lain. Atapun sekedar merasa benar sendiri lalu memprovokasi agar mereka melakukan apa yang saya lakukan. Pun itu adalah urusan pribadi masing-masing.

    Begitu halnya dengan larangan memakan daging babi atau produk-produk turunannya. Kenapa masih banyak Muslim yang mengkonsumsinya? Ya, karena mereka menikmatinya. Setidaknya, kenikmatan itu bisa dirasakan di dunia to? Lain halnya, ketika di akhirat. Lagi-lagi, itu urusan pribadi yang tidak bisa dicampuri.

    Karena syetan pada dasarnya suka dengan orang-orang yang abai dengan aturan agamanya. Syetan suka dengan orang yang tergila-gila dengan kenikmatan dunia. Kenikmatan sesaat yang membuat orang lupa dengan hari penghitungan. Lagi-lagi, tidak semua orang percaya atau peduli dengan urusan hari akhir.

    Dan saya pun akan mengulas panjang lebar mengenai perbankan syariah di artikel berikutnya.

     

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Kawasan Antar Bangsa Mega Kuningan Jakarta – 29 Desember 2015