Author: Agung Wibowo

  • Agar Karyamu Tembus Gramedia

    Buku adalah jendela dunia. Dengan buku kita bisa memperkaya wawasan. Membuka cakrawala tanpa batas.

    Di tengah gempuran internet yang menawarkan informasi gratis, pamor buku seakan memang makin meredup. Namun, itu bukan berarti buku sudah tidak ada peminatnya. Karena selama ada manusia, buku masih ada pasarnya.

    Menyadari hal itu, setiap hari ribuan penerbit masih kewalahan menyeleksi naskah demi naskah. Mereka menyaring naskah-naskah yang masuk untuk memastikan kualitas konten dan potensi pasarnya.

    Di sisi lain, penulis-penulis baru berdatangan dari hari ke hari. Mereka meramaikan bursa penulis di tanah air. Mereka turut mewarnai dunia literasi dengan para penulis senior yang lebih berpengalaman.

    Sebagai penulis 50+ buku dengan lebih dari 15 tahun pengalaman, saya telah merasakan sendiri jatuh-bangun berkecimpung di bidang ini. Dari berbagai pelatihan daring dan luring yang saya adakan, salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah bagaimana tips agar naskah buku kita tembus Gramedia.

    Pertanyaan tersebut saya anggap mengandung dua unsur. Yang pertama, buku kita diterbitkan salah satu penerbit di bawah jaringan Kompas Gramedia Group yang mana secara otomatis buku kita akan dipasarkan di jaringan toko buku Gramedia di seluruh Indonesia. Yang kedua, buku kita diterbitkan oleh penerbit ternama, sehingga kemungkinan besar akan juga tampil di rak-rak Toko Buku Gramedia.

    Sederhana saja. Agar naskah buku kita tembus Gramedia, karya kita harus berkualitas. Tidak ada tawar-menawar di sini. Untuk mencapai titik itu, kita perlu memenuhi satu aspek utama.

    Aspak itu adalah: buku kita memecahkan masalah. Buku yang tembus Gramedia otomatis menjadi solusi bagi pembaca. Itu artinya, buku kita perlu memberikan nilai tambah bagi pembaca. Entah itu perspektif baru, pandangan berbeda, metodologi baru, kisah inspiratif yang unik, atau sesuatu yang ada “harga”-nya di mata publik.

    Jika kita ingin memenuhi aspek ini, kuncinya adalah riset. Kita perlu tahu apa saja keluhan, tantangan, atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Abad digital memudahkan kita untuk menemukannya yaitu dengan mengetahui apa saja yang sedang viral, menjadi trending di media sosial atau sedang hype. Ini yang namanya kebutuhan.

                  Dalam hal ini, kita perlu lebih peka. Kita bisa melakukan survei langsung ke toko buku, marketplace, atau toko-toko buku online.  Buku apa  di bidang kepakaran atau passion kita yang sudah atau belum ada. Kita hubungkan dengan kebutuhan masyarakat.  Dari sini, kita bisa menemukan gap-nya.  Begitu mudah bukan?

    Sebagai contoh untuk buku non-fiksi. Anda mengamati bahwa di pasaran belum ada buku yang mengulas tentang kesehatan mental, lalu Anda merasa memiliki kepakaran di situ dan Anda telah menemukan fakta bahwa isu kesehatan mental sedang naik daun di pasaran. Nah, di situlah sweet spot-nya. Anda telah menemukan benang merah. Oleh karena itu, Anda harus segera menulis naskah buku tersebut.

    Mungkin Anda akan bertanya lagi:

    • Minimal berapa halaman Mas?
    • Format penulisannya bagaimana?
    • Dikirimkan ke siapa ya?

    Ini pertanyaan begitu mendasar yang mudah dijawab. Setiap penerbit memiliki kebijakan atau syarat dan ketentuan masing-masing. Tinggal andalkan Google, lalu Anda bisa membacanya di situs web resmi mereka. Ikuti saja apa maunya mereka.

    Sudah begitu jelas bukan?

    Atau Anda merasa masih bingung?

    Jika ingin menerbitkan buku tapi Anda belum tahu harus mulai dari mana atau masih ragu ingin menulis dengan gaya seperti apa, jangan sungkan untuk bertanya.

    Anda bisa menghubungi saya melalui Whatsapp +62 852 3050 4735.  Japri aja saja. Kita bisa berdiskusi sambil ngopi-ngopi.

    Jika Anda tidak punya waktu untuk menghubungi saya secara daring maupun luring, tenang saja. Anda bisa membaca buku Write First. Beli saja versi digitalnya. Karena semua ilmu dan pengalaman saya dalam dunia menulis dan menerbitkan buku telah saya kupas tuntas di situ.

     

    Salam literasi,

    Depok, 23 Maret 2024

  • It’s Growth Zone

    Hidup adalah perjalanan. Apapun gol yang kita miliki, kita perlu berjuang setiap detik untuk mewujudkannya.

    Tak jarang kita dihadapkan pada benturan yang memaksan kita meninggalkan zona nyaman.
    Tak mudah memang. Tak nyaman. Risiko menghadang. Namun, itulah hidup.
    Siapkah dirimu ke zona bertumbuh?
    Maukah dirimu belajar hal-hal baru?
    Bersediahkah dirimu mengambil risiko?
    Beranikah dirimu melawan ketakutan dan keraguan?
    Pad akhirnya, hidup adalah pilihan. Apakah pilihan hidupmu membuatmu berkembang?
    Agung Setiyo Wibowo
    5 Januari 2023
  • Belajar dari Fenomena Quiet Quitting

    Dalam setahun terakhir, isu mengenai “Quiet Quitting” mendadak viral di ranah maya. Baik di YouTube, TikTok, LinkedIn, Instagram, Whatsapp, maupun media online. Padahal, isu tersebut sejatinya sudah lama ada. Hanya saja belakangan ini mulai lebih sering diperhatikan.

    Dalam setahun terakhir, isu mengenai “Quiet Quitting” mendadak viral di ranah maya. Baik di YouTube, TikTok, LinkedIn, Instagram, Whatsapp, maupun media online. Padahal, isu tersebut sejatinya sudah lama ada. Hanya saja belakangan ini mulai lebih sering diperhatikan.

    Quiet Quitting kini memang semakin marak dipraktikkkan oleh kaum pekerja demi dapur tetap mengebul. Mereka adalah orang-orang yang menghindari risiko untuk terburu-buru resign sebelum mendapatkan pekerjaan baru atau sebelum side hustle maupun bisnis yang digelutinya mampu menghidupi  dengan layak.

    Apa yang Mendorong Fenomena Quiet Quitting?
    Salah satu pelajaran terbesar dari Covid-19  kepadakita adalah banyaknya waktu di rumah untuk  merenungkan bagaimana profesi kita memengaruhi kehidupan kita secara keseluruhan. Konsensus di antara banyak orang adalah bahwa pekerjaan mereka berdampak negatif pada kehidupan mereka, dan mereka tidak ingin menerima kenyataan itu lagi.

    Quiet Quitting sering disebut juga dengan istilah “Bekerja sesuai dengan gaji” yang memastikan bahwa kehidupan profesional kita tetap dalam batas jam kerja dan tugas yang diberikan, tidak lebih dan tidak kurang. Ini memberi kekuatan kembali kepada individu untuk memanfaatkan waktu di luar pekerjaan maupun melakukan kegiatan untuk kepentingan pribadi pada jam kerja asalkan pekerjaan yang diharapkan dari tempat pekerja beres. Banyak yang menganggap fenomena ini wajar ketika kita mengevaluasi keseimbangan kehidupan kerja yang ada sebelum dan selama pandemi. Tak mengherankan, berkat pandemi ada begitu banyak orang yang menemukan pekerjaan sambilan baru berdasarkan passion maupun ceruk-ceruk baru yang baru digelutinya.

    Apa Manfaat Quiet Quitting?
    Karyawan yang telah menikmati gaji dari tempat kerja dengan cepat menolak pekerjaan tambahan jika itu bukan bagian dari deskripsi pekerjaan mereka. Seiring waktu, ini membantu menjaga beban kerja tetap masuk akal dan perlindungan agar tidak mengambil lebih dari yang dapat mereka tangani. Untuk karyawan yang sudah mengalami kejenuhan dalam kadar yang besar, “berhenti diam-diam” dapat membantu mereka terhubung kembali dengan apa yang memuaskan di luar kehidupan profesional mereka.

    Orang-orang yang mempraktikkan Quiet Quitting tidak lagi “membungkuk ke belakang” untuk majikan mereka sambil dengan mudah mengorbankan kesehatan mental dan fisik mereka. Mereka yang menarik batasan-batasan ini memprioritaskan diri mereka sendiri dan hubungan mereka daripada menyerah pada tekanan kantor bahkan di luar jam kerja. Secara keseluruhan, itu adalah kemenangan untuk keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan.

    Lalu, Quiet Quitting tidak baik untuk siapa? Quiet Quitting mungkin terdengar seperti mimpi sampai saat ini. Tetapi ada beberapa yang mungkin tidak melakukan apa pun untuk diri mereka sendiri dengan cara kerja ini. Jika kita berada dalam posisi berbasis komisi, melakukan upaya yang jauh lebih sedikit mungkin memang menghasilkan bayaran yang jauh lebih sedikit ketika semua sudah dikatakan dan dilakukan. Selain itu, tidak disarankan bagi pengusaha baru untuk mencoba taktik ini. Lagi pula, saat pertama kali memulai, apakah itu bekerja untuk diri sendiri atau memasuki karier baru, diperlukan upaya ekstra untuk memantapkan diri.

    Jadi, apa yang bisa dipelajari pengusaha dari Quiet Quitting? Seperti yang mungkin sudah kita duga, manfaat luas dari fenomena ini tidak meluas ke pemberi kerja. Seseorang yang mengeluarkan potensi terbaik demi sebuah institusi (tidak “hitung-hitungan”) tentu jauh lebih berharga dibandingkan orang yang bekerja ala kadarnya.  Di sisi lain, seorang karyawan yang terus-menerus mendapatkan pekerjaan di luar batas kemampuannya akan cepat merasa kelelahan atau stres dan akhirnya juga akan mencari pekerjaan di tempat lain.

    Fenomena Quit Quitting memang sudah ada dari dulu kala. Namun harus diakui Gen Y dan Gen Z yang belakangan mewarnai pasar kerja sudah makin menunjukkan pengaruhnya. Mau tidak mau, siap tidak siap setiap institusi harus lebih banyak peka dan mendengarkan. Komunikasi antara manajemen dan karyawan harus lebih intens. Atau mungkin sudah waktunya bagi perusahaan untuk mengevaluasi kembali taktik manajemen, budaya perusahaan, atau paket kompensasi mereka.

    Solusi Win-Win bagi Karyawan dan Institusi
    Pertama, harus selektif. Ketika permintaan manajer agar karyawan melakukan tugas yang mungkin termasuk dalam “tugas lain yang ditugaskan” dipenuhi dengan penolakan spontan, semua pihak pada akhirnya kalah. Mereka yang ingin mengesankan atasan mereka dan mempercepat karier mereka harus bersikap strategis tentang jenis tugas yang mereka setujui – dan manajer mereka harus sepenuhnya memahami dan menyampaikan mengapa tugas ini penting. Tidak semua proyek sama berharganya bagi organisasi. Kuncinya adalah karyawan dan atasan harus bersama-sama mencari tahu proyek baru mana yang membutuhkan waktu dan usaha ekstra, karena hasil yang baik bergantung pada identifikasi proyek yang akan menguntungkan perusahaan dan memperluas rangkaian keterampilan profesional pekerja untuk membantu mereka naik pangkat.

    Kedua, fokus pada hasil yang diinginkan. Manajer biasanya tidak membuat tuntutan tambahan tanpa alasan, tetapi banyak yang melakukan pekerjaan dengan buruk menjelaskan mengapa tugas itu penting. Sekalipun tampak jelas, karyawan harus selalu mengonfirmasi dengan supervisor apa hasil yang diinginkan saat mengerjakan proyek baru. Dan atasan mereka tidak hanya perlu melakukan yang terbaik untuk mengomunikasikan parameter ini dengan jelas sejak awal, tetapi juga harus mendorong anggota tim mereka untuk mengajukan pertanyaan  sampai mereka benar-benar memahami apa yang perlu diselesaikan dan tenggat waktunya, termasuk metrik yang akan digunakan untuk mengukur keberhasilan.

    Penelitian ilmu kognitif dengan jelas menunjukkan bahwa model mental bersama sangat penting bagi tim untuk berfungsi dengan baik, sehingga tanggung jawab ada pada manajer untuk memastikan bahwa setiap orang bekerja dalam kolaborasi menuju tujuan yang sama. Dan ketika tidak ada seorang pun di tim yang berada pada “frekuensi” yang sama, pada akhirnya pimpinanlah yang perlu melakukan perubahan.

    Ketiga, jadilah mitra, bukan musuh.  Ketika karyawan dan perusahaan secara tidak sadar memandang satu sama lain sebagai musuh, akan jauh lebih sulit bagi semua pihak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Atasan biasanya menginginkan penyelesaian pekerjaan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan dan jauh di bawah anggaran. Pekerja, di sisi lain, cenderung berusaha mempertahankan keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, mempercepat kemajuan karier mereka, dan merasa bangga dengan pekerjaan mereka. Namun, ketika atasan dan anggota tim mereka bersatu, seringkali mungkin untuk mencapai semua tujuan akhir ini melalui beberapa pemecahan masalah yang kreatif.

    Keempat, delegasikan atau batalkan sesuai kebutuhan. Pada waktu yang berbeda, organisasi dapat memprioritaskan inisiatif tertentu atau sebaliknya. Jadi, penyelia dan tim mereka juga harus siap untuk mengubah fokus mereka. Ketika sebuah proyek baru menjadi prioritas, pekerja dan atasan mereka harus memikirkan dengan hati-hati jika ada tugas lain yang tidak lagi dihargai seperti dulu. Mungkin beberapa tugas yang telah jatuh prioritasnya dapat dipindahkan ke orang lain di dalam perusahaan – atau bahkan dibatalkan sama sekali. Monitoring yang sering antara atasan dan bawahan langsung mereka akan memastikan bahwa waktu digunakan dengan bijak – bahwa karyawan mencapai apa yang perlu dilakukan tanpa menghabiskan waktu untuk pekerjaan yang tidak perlu.

    Epilog
    Quiet Quitting adalah akibat langsung dari karyawan yang merasa “tidak” di posisi mereka tidak dihargai, tidak didukung, kurang kompensasi, tidak termotivasi, atau tidak penting. Tanpa upaya aktif dan berkepanjangan untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam pekerjaan, setiap perusahaan tentu akan makin merugi. Lagi pula, jika kita ingin melihat lebih banyak upaya dari tenaga kerja kita, kita harus berupaya untuk mengatasi masalah mereka.

    Pada akhirnya, hubungan karyawan-perusahaan yang sehat menghilangkan kebutuhan untuk Quiet Quitting, tetapi mencapainya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Baik karyawan maupun pemberi kerja sama-sama memiliki tanggung jawab untuk menyatukan semua orang.

  • Mengelola Kesulitan

    Dalam Kitab Suci umat Islam disebutkan “Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan.” Pesan tersebut terdengar sederhana tapi begitu bermakna.

    Seringkali, kita terburu-buru menyerah. Kita tidak sabaran, capek atau merasa sudah tidak kuat. Padahal, disitulah diri kita diuji. Apakah akan naik kelas, stagnan atau turun derajat.
    Kesulitan adalah “peluang” untuk mengubah nasib. Ia merupakan kesempatan untuk membuka lembaran baru.
    Bagaimana denganmu? Seberapa tangkas dirimu mengelola kesulitan?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 2 Januari 2023
  • Menebar Karma

    Karma?

    Ya, satu kata ini sering disampaikan oleh pemuka agama. Tak jarang dibeberkan oleh orang awam pula.
    Bagiku pribadi, karma nyata adanya. Karena apa yang kita tabur, kelak kita tuai.
    Karma menjadi timbangan sekaligus saksi dari apa yang telah kita perbuat. Agar hidup lebih terarah. Tidak seenaknya sendiri.
    So, karma baik apa yang sudah kita tabur hari ini?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 26 Desember 2022
  • Akankan Metaverse Mampu Mengubah Hidup Kita?

    Banyak yang telah dikatakan dan ditulis tentang metaverse selama setahun terakhir ini di berbagai belahan dunia, khususnya sejak mulai “diperkenalkan” oleh Mark Zuckerberg pada Oktober 2021. Meskipun mungkin gaungnya belum begitu terasa di tanah air. Nyatanya, setiap orang tampaknya memiliki gagasan berbeda tentang apa itu dan apa artinya bagi hidup kita.
    Orang-orang memang telah memimpikan dunia virtual sejak awal komputasi, tetapi baru belakangan teknologi ini berhasil menyusul imajinasi kita. Sekarang, kita dapat menciptakan realitas virtual yang benar-benar nyata dan imersif. Dunia virtual ini—dikenal sebagai metaverse—menawarkan cara baru untuk hidup dan berinteraksi dengan orang lain.

    Metaverse adalah salah satu ruang virtual bersama tempat orang dapat bertemu, berinteraksi, dan berbisnis. Ini agak mirip dengan internet, tetapi alih-alih terdiri dari situs web dan dokumen, metaverse terdiri dari dunia 3D yang dapat kita huni secara “fisik”. Anggap saja sebagai game online raksasa yang bisa dimainkan semua orang secara bersamaan.

    Pentingnya Metaverse
    Metaverse penting karena seakan-akan mencerminkan langkah selanjutnya dalam evolusi internet. Sama seperti internet yang telah mengubah cara kita hidup dan bekerja, dunia virtual baru ini akan mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain dan dunia di sekitar kita, menawarkan cara berpikir baru tentang realitas dan cara kita hidup, bekerja, dan bermain.
    Berdasarkan temuan riset yang saya sarikan dari berbagai sumber, berikut urgensi metaverse yang perlu dipahami oleh kita semua.

    Pertama, metaverse menawarkan cara baru untuk berinteraksi dengan orang lain. Karena metaverse adalah dunia virtual yang dihuni oleh avatar, kita dapat berinteraksi satu sama lain dengan cara yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata. Misalnya, dua orang di belahan dunia yang berbeda dapat bertemu di metaverse dan bercakap-cakap seolah-olah mereka berdiri bersebelahan.

    Kedua, metaverse dapat mengubah cara kita berbisnis. Metaverse menyediakan ruang virtual yang mana perusahaan berinteraksi dengan pelanggan mereka. Pelanggan dapat mengunjungi etalase virtual untuk mempelajari tentang produk dan layanan yang ditawarkan oleh bisnis. Selain itu, bisnis kini dapat mengadakan acara dan konferensi virtual yang dihadiri oleh orang-orang dari seluruh dunia.

    Ketiga, metaverse menawarkan kesempatan pendidikan baru. Melalui metaverse, siswa dapat menghadiri sekolah dan universitas virtual, mengikuti kursus yang diajarkan oleh avatar, dan belajar di lingkungan yang lebih menakjubkan sekaligus interaktif. Selain itu, karena metaverse menawarkan pengalaman yang lebih realistis daripada pendekatan virtual lainnya (misalnya, kuliah melalui Zoom), siswa dapat lebih memahami materi yang mereka pelajari.

    Keempat, metaverse membuka cara baru untuk bersosialisasi. Orang telah menggunakan internet untuk bersosialisasi melalui situs jejaring sosial seperti Facebook, TikTok, Twitter, Instagram maupun lainnya. Namun, situs-situs ini terbatas kemampuannya untuk memungkinkan orang berinteraksi satu sama lain secara lebih realistis. Dengan metaverse, orang dapat bersosialisasi satu sama lain dengan cara yang “lebih hidup” dan bahkan bertemu teman baru dari seluruh dunia.

    Kelima, metaverse membawa hiburan ke level baru. Meskipun sudah menjadi hal yang biasa bagi orang untuk menggunakan internet untuk menonton film dan acara televisi serta bermain video game, aktivitas ini terbatas kemampuannya untuk memberikan pengalaman yang lebih menyenangkan. Dengan metaverse, orang dapat memasuki dunia virtual tempat mereka bisa menjelajahi, berinteraksi, dan bahkan bersaing dengan orang lain, atau menikmati bentuk hiburan baru yang belum pernah terdengar sebelumnya.

    Bagaimana Metaverse Akan Mempengaruhi Kehidupan Kita?
    Harus kita akui bahwa metaverse masih dalam tahap awal, tetapi sudah memengaruhi kehidupan kita secara signifikan.Berikut adalah beberaoa cara metaverse mengubah cara kita hidup dan bekerja.

    Pertama, kita dapat bekerja dari mana saja. Keindahan metaverse adalah tidak mengenal batas, artinya kita dapat bekerja dari mana saja, baik di rumah, di kedai kopi, atau di belahan dunia lain. Yang kita perlukan hanyalah komputer dan koneksi internet. Beberapa aspek metaverse memungkinkan bekerja dari mana saja. Dunia maya ini dapat diakses dari komputer manapun dengan koneksi internet. Mereka juga menawarkan berbagai kegiatan dan pengalaman yang dapat dinikmati penghuninya. Akhirnya, mereka memberikan cara yang unik dan ampuh dalam melakukan bisnis.

    Kedua, kita akan terhubung dengan semua orang dan segalanya. Metaverse adalah jaringan orang, bisnis, dan benda global yang saling terhubung, terpisah dari kendala terkait waktu, lokasi, atau batasan lainnya. Kita akan dapat mengakses informasi apa pun yang kita perlukan—secara instan. Ini akan berdampak signifikan pada cara kita hidup dan bekerja. Metaverse adalah Distributed ledger technology (DLT) yang menggunakan blockchain untuk menciptakan jaringan yang aman dan transparan yang memungkinkan transaksi peer-to-peer. Ini akan berdampak signifikan pada banyak nyawa, karena akan memudahkan untuk terhubung satu sama lain dan bertransaksi bisnis.

    Ketiga, kita akan mampu menciptakan realitas kita sendiri. Metaverse akan memberi kita kekuatan untuk merancang lingkungan dan pengalaman kita sendiri dan berbagi pengalaman itu dengan orang lain. Ini akan berdampak besar pada cara kita berinteraksi dengan orang lain dan mengalami dunia—secara pribadi dan sosial. Dengan blockchain, kita dapat menciptakan dunia digital yang terpisah dari dunia fisik, memberi kita lebih banyak kendali atas hidup kita sendiri dan memungkinkan kita berinteraksi dengan orang lain dengan lebih aman dan dengan cara yang dapat dipercaya.

    Keempat,  kita akan dapat memanfaatkan kecerdasan kolektif kita. Metaverse akan memberi kita akses ke sumber daya tak terbatas. Kita akan dapat memanfaatkan kecerdasan kolektif metaverse dan memanfaatkan kekuatannya untuk tujuan kita sendiri. Dengan keuntungan yang berharga dan sebelumnya mustahil ini, kita dapat meredefinisi kembali mimpi atau goal kita —apakah itu terkait pendidikan, sosial, atau bisnis—ke tingkat yang baru. Dengan memberi kita akses ke informasi apa pun dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan siapa pun di bumi, kemungkinan metaverse tidak terbatas.

    Di luar dari empat poin di atas, kita sebagai manusia memang masih membutuhkan interaksi di dunia nyata. Hanya saja metaverse dapat menciptakan cara yang lebih baik untuk berkomunikasi jauh dari apa yang dapat kita bayangkan sebelumnya. Itu dapat mengubah cara kita belajar, bekerja, berbisnis, bersosialisasi atau menjalani keseharian.
    Mengapa tidak mulai mempelajari metaverse dari sekarang? Tidak ada salahnya mulai “kepo” dengannya bukan?