Bayangin gue lagi berdiri di tengah gurun pasir, matahari terik, debu beterbangan, dan kaki gue hampir tenggelam di pasir yang panas. Rasanya kayak hidup lagi nge-prank gue, nge-lempar gue ke situasi yang absurd. Tapi, di tengah kekacauan itu, gue ngerasa kaya banget. Bukan karena ada emas atau harta karun yang nyata, tapi karena gue sadar: gue lagi nemuin harta sejati gue—mimpi, panggilan hidup, dan arti sebenarnya dari perjalanan.
Itu yang bikin gue jatuh cinta lagi sama buku “The Alchemist” karya Paulo Coelho. Gue nggak bakal bohong: awalnya gue skeptis. Buku tentang seorang gembala yang jalan keliling dunia ngejar mimpi terdengar terlalu… fairytale, kayak cerita Disney versi dewasa. Tapi, makin gue baca, gue makin sadar kalau buku ini bukan cuma dongeng. Ini kayak mirror buat kita—ngasih tau kalau kehidupan sehari-hari itu penuh pesan, dan kalau kita buka mata, kita bisa nemuin makna di tiap langkah.
Jujur aja, gue pernah ngerasa stuck banget. Lagi di kantor, deadlines numpuk, life feels meaningless, dan gue ngerasa nggak pernah “cukup” buat siapapun—klien, atasan, bahkan diri sendiri. Gue punya mimpi gede, tapi tiap kali mau jalanin, gue selalu ragu, takut gagal, takut di-judge, takut nggak cocok sama standar orang lain.
Pas baca “The Alchemist,” gue kayak dikeplak halus sama Coelho. Dia bilang, “When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
Awalnya gue mikir, “Ah, gampang banget ngomongnya.”
Tapi kalau dipikir lagi, maksudnya nggak literal universe yang bakal ngasih jalan. Maksudnya lebih ke mindset, awareness, dan keberanian kita buat ngambil langkah nyata. Itu yang bikin gue ngerasa vulnerable, tapi juga excited. Karena gue sadar: selama ini gue nyari validasi di luar, padahal yang harus gue lakukan cuma satu—dengerin suara hati sendiri.
Gue ibaratkan gurun deh. Gurun nggak cuma sekadar padang pasir panas; gurun itu simbol perjalanan hidup. Kadang kita nyaman, kadang kehausan, kadang kehilangan arah, tapi justru di situ kita belajar. Di gurun, seorang gembala nggak cuma liat pasir dan matahari, tapi juga bintang-bintang yang nunjukin arah.
Hidup gue sekarang kerasa mirip gurun itu. Kadang gue stuck di rutinitas kerja, kadang project gagal, kadang mood swings. Tapi, kalau gue berhenti sebentar, tarik napas, dan liat “bintang” gue sendiri—apa yang sebenernya gue pengen, kenapa gue bangun pagi, siapa yang mau gue bantu—semua terasa lebih clear. Gurun itu ngajarin kita untuk liat pola, ngambil keputusan dengan hati, dan percaya sama proses.
Inti Pelajaran “The Alchemist”
Ada beberapa pelajaran penting yang gue serap dari buku ini:
-
Ikutin Personal Legend
Gue belajar kalau setiap orang punya panggilan unik—apa yang Coelho sebut Personal Legend. Ini bukan cuma soal karier atau duit, tapi soal apa yang bikin kita excited bangun pagi, apa yang bikin kita merasa hidup itu meaningful. Contohnya, gue yang suka nulis, bikin orang belajar dari pengalaman gue, dan membangun brand personal gue. Itu personal legend gue. -
Fear Is the Biggest Obstacle
Gue dulu takut banget buat ekspresiin diri, bikin konten, bahkan nulis buku sendiri. Buku ini bikin gue sadar: ketakutan itu wajar, tapi jangan sampe ketakutan itu nahan kita dari action. Gembala Santiago pun ngerasa takut, tapi dia tetep jalan, tetep explore, dan akhirnya nemuin harta. -
The Universe Conspires—Dalam Bentuk Tindakan Nyata
“Semesta membantu mereka yang berani” itu nggak literal kayak superhero film. Maksudnya lebih ke kejadian, orang, dan kesempatan mulai muncul kalau kita bergerak. Misalnya, gue pengen banget bikin kelas online. Gue nggak cuma nunggu ide datang, gue aktif networking, nulis konten, eksperimen, dan peluang baru datang sendiri. -
Learn From Every Step
Gue belajar bahwa tiap pengalaman—gagal, salah keputusan, ditolak klien—adalah guru. Sama kayak Santiago yang belajar dari tukang emas, gipsi, dan gurun sendiri. Hidup itu bukan cuma soal tiba di “harta”, tapi soal apa yang kita pelajari di perjalanan. -
Listen to Your Heart
Ini yang paling nyentuh. Buku ini ngajarin kita buat dengerin intuisi, suara hati. Kadang hati kita bilang “jalan yang ini,” tapi otak takut, logika ribet, atau orang lain skeptis. Gue belajar: kalau hati udah yakin, kita harus berani ambil langkah itu.
Cara Menerapkannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Baca buku aja nggak cukup. Yang penting praktik nyata:
-
Micro-Action Setiap Hari
Gue bikin list kecil setiap hari: nulis satu paragraf, outreach ke satu klien potensial, explore satu ide konten. Nggak harus besar, yang penting konsisten. Kayak Santiago, tiap langkah kecil bikin kita makin dekat sama “harta” kita. -
Mindset Growth, Bukan Hanya Comfort Zone
Kalau ada situasi nggak nyaman, gue nggak lari. Gue tanya: “Apa yang bisa gue pelajari dari ini?” Misalnya, presentasi di depan klien besar bikin gue nervous. Tapi setelah gue analisis, tiap kali nervous itu berarti gue lagi stretch growth gue. -
Self-Reflection dan Journaling
Gue mulai catet daily insight, ide, bahkan kegagalan kecil. Ini bikin gue aware sama pola pikir dan keputusan. Sama kayak Santiago yang selalu introspeksi, gue belajar dari setiap pengalaman. -
Connect With Mentors and Peers
Santiago ketemu orang yang tepat—tukang emas, gipsi, dan lain-lain—di perjalanan. Gue pun aktif networking: ngobrol sama mentor, teman sevisi, atau bahkan followers di LinkedIn. Insight mereka kadang jadi breakthrough ide. -
Celebrate Small Wins
Gue juga belajar untuk ngehargai progress, bukan cuma hasil akhir. Misalnya, satu konten viral atau satu klien baru, gue rayain kecil-kecilan. Ini bikin energi positif tetap jalan dan motivasi nggak drop.
Beberapa bulan lalu, gue punya ide bikin workshop storytelling untuk Gen Z. Awalnya gue ragu, takut nggak ada yang daftar. Tapi gue inget Santiago—ambil langkah kecil dulu. Gue mulai bikin teaser di LinkedIn, ngobrol sama beberapa orang, uji materi sama teman. Hasilnya? Workshop penuh dalam 2 minggu. Gue sadar: ketakutan itu cuma sinyal, bukan stop sign.
Contoh lain: Gue pengen nulis buku ghostwriting. Gue nggak langsung mulai nulis 200 halaman. Gue mulai dari outline, sesi wawancara dengan klien, nulis per bab. Setiap langkah kecil itu bikin proyek terasa manageable, dan akhirnya buku itu selesai dalam 4 bulan.
Happiness, Meaning, dan Fulfillment
Buku “The Alchemist” ngajarin gue: kebahagiaan itu datang dari keberanian ngejar mimpi, belajar dari proses, dan dengerin suara hati sendiri. Fulfillment nggak cuma soal hasil akhir, tapi soal perjalanan, pengalaman, dan impact yang kita bikin.
Kalau gue bisa bagi satu pesan untuk semua yang baca ini: jangan takut untuk ambil langkah pertama. Jangan takut gagal, jangan takut absurd, jangan takut berbeda. Perjalanan hidup lo—meski panas, berdebu, atau penuh tikungan—adalah harta lo sendiri. Dan lo yang pegang kendali, lo yang bisa bikin perjalanan itu bermakna, penuh happiness, dan fulfilled.
Gue nggak bisa janji hidup lo bakal mulus kayak cerita Disney, tapi gue bisa bilang: kalau lo berani dengerin hati, berani action, dan belajar dari tiap langkah, hidup lo bakal kaya—kaya pengalaman, kaya insight, dan kaya impact.
Jadi, apa langkah pertama lo hari ini? Kalau lo merasa lagi berada di fase krisis, gue ada kabar baik. Gue adaikan webinar Quarter-Life Bliss ya. Gue akan share intisari dari pengalaman nyata gue.
Akhir 2015, gue resign dari kerjaan — padahal karier gue waktu itu terbilang stabil. Tapi dalam hati: kosong. Bingung mau ke mana. Gak tahu apa yang benar-benar bikin gue bahagia.
Tahun 2016, gue ambil keputusan besar: career break. Setahun penuh gue off dari dunia kerja — sabbatical buat cari tahu siapa diri gue sebenarnya. Selama 12 bulan, gue:
- Traveling keliling Indonesia
- Ketemu ratusan orang dari berbagai latar belakang
- Baca ribuan buku
- Ikutan ratusan asesmen — dari yang ilmiah sampai yang pseudo-sains — demi satu tujuan: mengenal diri sendiri
- Gue coba berbagai profesi, gali minat, dan uji diri sampai akhirnya…
gue nemuin makna sukses versi gue sendiri, gue tahu apa yang bisa bikin gue hidup dengan utuh, dan yang terpenting: gue sadar apa yang bener-bener Tuhan inginkan dari gue.
Pengalaman ini pernah gue tuang dalam buku Mantra Kehidupan dan The Calling, yang terbit di Gramedia. Tapi…
Lo gak harus seekstrem itu kok.
Gak perlu resign, gak harus break setahun. Karena di webinar ini, gue akan bedah cara-cara praktis yang bisa lo lakukan — bahkan kalau lo masih kerja 9-to-5 atau kuliah sambil part time.
Apa sih isi webinarnya?
- Lo bakal diajak memahami kenapa quarter-life crisis itu wajar, tapi jangan dibiarin
- Bedah langkah-langkah menemukan jati diri dengan pendekatan yang relevan & doable
- Gimana cara nyari arah hidup tanpa harus keliling dunia dulu
- Cara nyusun ulang definisi sukses versi lo sendiri, bukan versi orang lain
- Framework untuk ngebangun kehidupan yang bukan cuma sibuk, tapi berarti
Siapa yang cocok ikut webinar ini?
- Lo yang lagi umur 20-an atau 30-an dan ngerasa hidupnya penuh tanda tanya
- Lo yang lagi jalanin karier tapi kok kayaknya bukan “ini” yang dicari
- Lo yang keliatannya “baik-baik aja”, tapi dalam hati hampa
- Lo yang pengen hidup yang lebih sadar, terarah, dan… tenang
Kenapa harus ikut sekarang?
Karena waktu nggak nungguin kita buat siap. Dan lo nggak perlu jalanin semua ini sendirian.
Kalau lo pengen hidup yang lebih selaras sama jati diri lo — bukan hidup karena ekspektasi orang, daftar sekarang ya. Slot terbatas.
Dua jam ini bisa jadi titik balik yang uah lama lo cari.
Sampai ketemu di Quarter-Life Bliss.
Leave a Reply