Tag: Vietnam

  • Belajarlah ke Negeri Naga Biru

    “Belajarlah sampai ke negeri Cina.” Peribahasa ini begitu menggema di kalangan masyarakat tanah air–khususnya di kalangan pendidikan. Ya, Tiongkok memang luar biasa. Kampus-kampus topnya sudah sejajar dengan Harvard, Stanford, atau Cambridge. Manufakturnya merajai dunia. Perekonomiannya saat ini hanya kalah dari Amerika Serikat.

    Tiongkok bersama dengan Korea Selatan dan Jepang telah, sedang, dan akan terus bersaing melebarkan pengaruhnya di seluruh dunia, tak terkecuali di nusantara. Ketiganya berlomba-lomba menguatkan diplomasi ekonomi dan budayanya. Dari persaingan mengekspor mobil-mobil terkerennya, kulinernya, film-filmnya, lagu-lagunya, hingga berebut pengaruh melalui investasi.

    Namun, agaknya kita kini perlu belajar dari Negeri Naga Biru, Vietnam. Mengapa Vietnam? Apa yang dapat Indonesia pelajari dari Vietnam?

    Dalam beberapa dekade terakhir, Vietnam telah mengejutkan dunia dengan kemajuan ekonomi yang pesat. Dari negara yang hancur akibat perang, Vietnam kini menjadi salah satu pusat manufaktur dan investasi di Asia Tenggara. PDB per kapita Vietnam tumbuh dari sekitar $95 pada tahun 1990 menjadi lebih dari $4.100 pada tahun 2023, menurut data Bank Dunia. Transformasi ini menawarkan banyak pelajaran bagi Indonesia yang ingin meningkatkan daya saingnya di kancah global.

    Indonesia Vs Vietnam: Selayang Pandang
    Dari sisi ekonomi dan bisnis, Indonesia memang masih bisa lebih percaya diri. Dengan PDB sebesar $1,3 triliun pada 2023, Indonesia jauh melampaui Vietnam yang mencatatkan PDB sekitar $425 miliar. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Vietnam lebih tinggi, yakni mencapai 6,2% dibandingkan dengan Indonesia yang tumbuh sekitar 5,1%.

    Vietnam unggul dalam ekspor manufaktur, khususnya elektronik dan tekstil, sementara Indonesia lebih dominan di sektor komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, dan gas alam.Vietnam juga sukses menarik investasi asing (FDI) dengan total ekspor elektronik mencapai $32,9 miliar pada semester pertama 2024. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan daya saing dan efisiensi logistik.

    Vietnam unggul dalam pencapaian pendidikan dasar dan menengah, dengan skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang lebih tinggi daripada Indonesia. Sebagai contoh di tahun 2022, Vietnam berada di posisi 28 dari 81 negara yang disurvei yang menjadikannya terbaik di Asia Tenggara setelah Singapura. Sementara itu, Indonesia harus puas di urutan ke 63.  Ini mencerminkan kualitas pendidikan dasar mereka yang kuat.

    Vietnam telah berhasil mobil andalannya ke berbagai belahan dunia, VinFast. Sedangkan Indonesia sampai saat ini masih belum berhasil (menemukan, apalagi) memasarkan “mobil nasional”-nya. Kesuksesan VinFast merupakan cerminan dari Vietnam yang memiliki tenaga kerja berkualitas melimpah yang relatif kompetitif dibandingkan negara tetangganya seperti Tiongkok dan Thailand.

    Bahkan VinFast (bagian dari konglomerasi Vingroup), telah beralih fokus ke kendaraan listrik (EV) dengan ambisi bersaing di pasar global, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Pabrik VinFast dirancang dengan teknologi mutakhir, termasuk kolaborasi dengan perusahaan global seperti BMW, Siemens, dan Bosch. Peluncuran mobil listrik seperti VF8 dan VF9 menunjukkan komitmen Vietnam untuk menjadi pemain utama dalam industri otomotif listrik.

    VinFast adalah salah satu bukti ambisi Vietnam untuk menjadi pusat manufaktur elektronik global, dengan pemain besar seperti Samsung, LG, dan Intel yang telah mendirikan fasilitas produksi di negara tersebut.

    Yang menarik, Vietnam tidak hanya tertarik untuk belajar dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (mantan penjajahnya) dan Tiongkok (tetangganya). Namun juga dari banyak negara maju lain di Eropa, hingga Jepang dan Korea Selatan. Diam-diam–mungkin tidak banyak yang tahu–Vietnam juga belajar dari Indonesia. Buktinya, beberapa kampus di Vietnam telah mengenalkan Bahasa indonesia.

    Sebagai contoh, Bahasa Indonesia diajarkan sebagai bagian dari program studi Asia Tenggara di Vietnam National University (VNU) Hanoi. Program ini mulai berjalan sejak Februari 2019 dengan dukungan dari pengajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) yang difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sementara itu, di Hanoi University (HANU) Bahasa Indonesia diajarkan sebagai program ekstrakurikuler dan mendapatkan sambutan positif dari para pelajar setempat.

    Masuknya Bahasa Indonesia dalam kurikulum perguruan tinggi di sana mencerminkan keseriusan Vietnam untuk belajar dari negara lain yang dimulai dari bahasanya.

    Pelajaran untuk Indonesia

    Jadi, apa saja yang dapat Indonesia pelajari dari Vietnam yang maju sedemikian pesatnya? Mari kita ulas satu per satu.

    Pertama, kebijakan strategis pemerintah yang konsisten.  Pemerintah Vietnam berhasil menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi melalui reformasi kebijakan yang terukur. Sebagai contoh Doi Moi (1986), sebuah kebijakan reformasi ekonomi, membuka jalan bagi ekonomi pasar dengan tetap mempertahankan kendali negara. Hasilnya, Vietnam menarik miliaran dolar dalam investasi asing langsung (FDI). Pada tahun 2022 saja, negara ini menerima $27,7 miliar FDI, menempatkannya di posisi teratas di Asia Tenggara.

    Pemerintah Vietnam juga fokus pada pembangunan infrastruktur strategis seperti jalan tol, pelabuhan, dan kawasan industri, sehingga menarik perusahaan multinasional seperti Samsung dan Intel untuk mendirikan pabrik di sana.

    Pemerintah Indonesia mungkin harus mempercepat implementasi Omnibus Law dan penyederhanaan regulasi untuk menciptakan iklim investasi yang lebih ramah. Di sisi lain, proyek infrastruktur harus fokus pada kawasan strategis yang memaksimalkan konektivitas industri.

    Kedua, diplomasi ekonomi yang kuat. Vietnam telah mengintegrasikan dirinya ke dalam rantai pasok global. Keanggotaannya dalam CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership) dan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa telah membuka akses pasar baru. Ini memacu ekspor Vietnam, terutama di sektor tekstil dan elektronik.

    Bisnis lokal seperti Vingroup, melalui anak perusahaannya VinFast, juga menunjukkan kemampuan Vietnam untuk bersaing di pasar internasional dengan inovasi dalam industri otomotif dan kendaraan listrik.

    Sektor bisnis Indonesia harus lebih aktif dalam mengintegrasikan diri ke dalam rantai pasok global, misalnya melalui peningkatan ekspor produk bernilai tambah seperti otomotif dan elektronik, bukan hanya komoditas mentah. Dukungan pemerintah dalam mendorong inovasi lokal juga penting.

    Ketiga, sumber daya manusia yang unggul. Vietnam memahami bahwa pendidikan adalah kunci transformasi. Pemerintahnya telah menginvestasikan lebih dari 20% anggaran negara untuk sektor pendidikan, terutama untuk memperkuat kemampuan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Ini menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan sesuai kebutuhan pasar. Vietnam juga memiliki kemitraan erat antara institusi pendidikan dan sektor industri, memastikan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan kerja.

    Indonesia perlu memperkuat sistem vokasi dan kemitraan antara universitas, politeknik, dan sektor bisnis untuk menciptakan talenta yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.

    Keempat, ekosistem startup yang maju. Vietnam berkembang menjadi salah satu pusat startup teknologi di Asia Tenggara. Negara ini menawarkan lingkungan yang mendukung inovasi dengan memberikan insentif pajak dan dukungan pendanaan melalui kemitraan publik-swasta. Startup seperti Momo (fintech) dan Tiki (e-commerce) telah menarik investasi besar dari pemodal ventura global, menjadikan Vietnam sebagai pemain penting dalam ekonomi digital.

    Indonesia memang telah menjadi pusat ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, tetapi harus memperkuat perlindungan data, konektivitas internet, dan insentif pajak untuk startup, sehingga menciptakan ekosistem yang lebih berkelanjutan.

    Kelima, manajemen sumber daya. Vietnam berhasil memanfaatkan sumber dayanya untuk menciptakan nilai tambah. Dalam sektor pertanian, Vietnam tidak hanya mengekspor beras tetapi juga produk bernilai tambah seperti kopi instan dan rempah-rempah olahan. Dalam sektor manufaktur, mereka telah menjadi produsen utama elektronik global melalui kemitraan strategis dengan perusahaan seperti Samsung, yang menyumbang 25% ekspor Vietnam.

    Indonesia harus berhenti bergantung pada ekspor bahan mentah seperti batubara dan minyak sawit. Sebaliknya, pemerintah perlu mendorong hilirisasi industri, seperti dalam pengolahan nikel untuk baterai kendaraan listrik, sebagaimana dilakukan di Kawasan Industri Morowali.

    Epilog
    Vietnam telah membuktikan bahwa dengan kebijakan yang tepat, komitmen pemerintah, dan kolaborasi lintas sektor, transformasi ekonomi bukanlah hal yang mustahil. Indonesia, dengan sumber daya alam melimpah dan populasi muda yang besar, memiliki potensi yang jauh lebih besar dibandingkan Vietnam. Namun, untuk mewujudkannya, Indonesia perlu belajar dari cara Vietnam menerapkan kebijakan yang terarah, memperkuat pendidikan, dan mendorong inovasi lokal.

    Seperti pepatah Vietnam mengatakan, “Diều kiện thuận lợi tạo nên sự thay đổi,” atau, “Keadaan yang mendukung menciptakan perubahan.” Kini saatnya Indonesia menciptakan kondisi tersebut untuk mengejar ketertinggalan.