Tag: Purpose

  • Memaknai Purpose Dalam Bekerja

    Bekerja. Apa yang di benak Anda ketika mendengar kata itu? Sekedar aktivitas untuk mengisi waktu? Rutinitas 8-5 yang membosankan? Kegiatan untuk mewujudkan dapur tetap mengebul? Aktualisasi diri? Atau mungkin wujud pengabdian kepada Tuhan?

    Apapun pendapat Anda, sah-sah saja. Karena mau-tidak mau, suka-tidak suka, setiap individu digariskan oleh Sang Pencipta untuk bekerja.

    Lagi pula, bekerja merupakan aktivitas utama yang Anda sadari atau tidak menyedot sebagian besar waktu dalam hidup. Jika standar “kerja kantoran” kata banyak orang adalah 8 jam dan kemacetan jalan “memakan” 1-3 jam, berapa lama waktu yang Anda korbankan untuknya? Itu belum termasuk lembur yang kadang-kadang tidak menentu.

    Bekerja memang menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup kita. Meski tidak selalu, ia sering menjadi “identitas” diri.

    Bekerja bisa  dikatakan sebagai “impian” anak muda. Teliti saja kalau tidak percaya. Bukankah para mahasiswa ketika mengambil jurusan tertentu memiliki berderet motivasi untuk menjalani profesi tertentu?

    Bekerja merupakan “harapan” bagi jutaan saudara kita yang sedang menganggur lantaran terbatasnya lapangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah mati-matian untuk mendapatkannya. Dari menebar riwayat hidup, mondar-mandir dalam bursa kerja, hingga berjejaring di platform sekelas Linkedin.

    Bekerja merupakan faktor pendorong urbanisasi. Cek saja daerah asal orang-orang yang berkantor di kota-kota besar. Bukankah mereka para pendatang?

    Menyadari hal itu, sudah semestinya setiap orang bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena alangkah ruginya jika dikerjakan asal-asalan belaka.

    Menurut penelitian saya tiga tahun terakhir, ada tiga tingkatan seseorang dalam bekerja.         Pertama, menganggap pekerjaan hanya sebagai kewajiban. Orang-orang semacam ini memandang pekerjaan sebagai “beban”. Mereka menghabiskan waktu di tempat kerja tidak lebih dari sekedar mencari uang untuk hidup. Mereka sering bosan, mengeluh, menyalahkan keadaan, dan gampang putus asa. Tak mengherankan jika karier mereka biasa-biasa saja. Mereka adalah potret dari sebagian besar pekerja di dunia.

    Kedua, menganggap pekerjaan sebagai karya. Orang-orang di tingkatan ini sadar akan potensi diri mereka. Dari kekuatan, minat, bakat, passion, dan peluang. Ambisi mereka luar biasa. Berbagai kursus, kuliah bergelar maupun non-gelar, sesi networking, hingga seminar, lokakarya, atau segala jenis forum diikutinya untuk mengembangkan diri. Orientasi mereka ialah karier. Tak mengejutkan, jika mereka adalah para “bintang” di bidang masing-masing. Mereka seringkali ialah orang-orang yang Anda anggap “sukses” dari sisi keuangan, jabatan, popularitas, atau sisi duniawi lainnya. Meskipun oleh orang lain telah dianggap mencapai derajat  “sukses”, kebahagiaan masih sulit mereka wujudkan. Karena orientasi mereka masih berkutat untuk diri sendiri, memuaskan ego sendiri, atau mendapatkan pengakuan dari orang lain.

    Ketiga, menganggap pekerjaan sebagai panggilan. Orang-orang yang berada pada tingkatan ini berkarya karena “terpanggil” untuk memecahkan masalah, melayani sesama, membantu orang lain, atau menciptakan nilai tambah. Mereka bekerja bukan semata-mata untuk mencari nafkah, tapi bekerja sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan. Merekalah orang-orang yang telah “selesai” dengan (atau melampaui) diri sendiri. Karena orientasinya ialah Sang Pencipta – bukan lagi uang, pengakuan manusia, jabatan, popularitas atau hal-hal duniawi lainnya. Mereka cenderung lebih berbahagia karena prinsip hidupnya ialah memberi, berbagi, atau melayani orang lain.

    Sekarang, jujurlah dengan diri Anda sendiri. Masuk dalam tingkatan yang manakah Anda?        Akhir kata, saya jadi teringat dengan petuah salah satu mentor saya. Untuk berkarya dengan purpose (tujuan). Bukan bekerja karena diharuskan, lantaran diawasi atasan, atau takut tidak mendapatkan nafkah.

    Bukankah sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat untuk orang lain? Dan kunci kebermanfaatan itu bisa kita temukan dalam bekerja.(*)

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 12 April 2019

  • Sudahkah Organisasi Anda “Bertujuan”?

    Semua orang tahu bahwa bisnis diciptakan untuk mendatangkan keuntungan. Sehingga pertumbuhan bisnis berkelanjutan tidak bisa ditawar lagi, agar bisa bertahan di tengah persaingan yang kian sengit. Namun sadarkah kita mengapa ribuan perusahaan yang dulunya “jagoan” satu persatu tumbang? Di saat yang bersamaan, mengapa ada segelintir perusahaan “kawakan” yang masih mampu eksis hingga sekarang? Jawabannya tentu bergantung dari sudut mana kita memandangnya.

    Belakangan ini saya bertemu dengan Ali Zaenal Abidin, yang tidak lain adalah Chief of Organizational Happiness Insight Out. Kami berjumpa di salah satu gerai makanan cepat saji populer di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jebolan Wagner Graduate School of Public Service di New York University tersebut, menyadarkan saya pentingnya “tujuan” dalam bergerak. Tidak hanya dalam konteks individu, namun juga dalam konteks bisnis.

    Seperti yang (mungkin) telah Anda ketahui, Ali bersama rekan-rekannya mendirikan Insight Out dengan “tujuan” mulia. Mereka ingin membantu para individu dan organisasi menemukan dan menjalankan “tujuan”, hingga membangun budaya organisasi yang berbasis nilai. Sehingga bisa diterjemahkan ke dalam kegiatan sehari-hari.

    Di tataran individu, Insight Out memiliki program bertajuk I’m On My Way (IOMW). Sebuah program yang dibesut untuk memfasilitasi individu menemukan dan menjalani passion dan “panggilan hidup”, merancang jalur hingga memulai perjalanan untuk mencapainya. Tidak tanggung-tanggung, program ini memiliki misi untuk mewujudkan satu juta “Purposeful People”,  yaitu orang-orang yang telah menemukan dan menjalankan tujuan hidupnya pada tahun 2027. Melalui proses fasilitasi self-discovery intensif selama 10 pekan, program ini tidak hanya benar-benar cocok untuk membantu para peserta mengenali siapa dirinya, tapi juga menciptakan snowball effect dalam  mempromosikan “Enabling Purposeful Dreams” yaitu mewujudkan mimpi yang dapat memberikan positif bagi masyarakat.

    Lantas apa hubungannya dengan dunia bisnis? Kalau IOMW membantu individu untuk menemukan “panggilan hidup”, Insight Out memiliki  jasa Organizational Discovery untuk tataran organisasi – baik profit maupun non-profit. Jadi jasa konsultansi ini membantu organisasi-organisasi menentukan visi-misi, mengembangkan nilai-nilai dan perilaku, menerjemahkan ke dalam kegiatan operasional. Hingga kepada cara mengukur kinerjanya secara sistematis. Singkat kata Insight Out membantu klien membangun budaya perusahaan, dengan cara yang berbeda dari firma konsultansi kebanyakan.

    Insight Out mengingatkan saya dengan Ford Motor Company. Perusahaan legendaris asal Negeri Paman Sam ini pada tahun 1914 menjadi yang pertama dalam mengedepankan “tujuan”, di samping keuntungan dalam berbisnis. Suatu ketika Henry Ford  mengejutkan jagat, karena mampu melipatgandakan upah karyawan sebanyak dua kali upah rata-rata produsen mobil lain pada zamannya. Tidak hanya itu beliau juga memotong jam kerja, dari sembilan menjadi delapan setiap harinya. Serta menawarkan pembagian keuntungan bagi karyawan yang mau menjalani gaya hidup “bersih”, hingga memimpikan setiap karyawannya mampu membeli sendiri mobil buatannya.

    Apakah Ford tumbang karena terlalu dermawan? Bukankah kebijakan di atas hanya menghabiskan keuntungan saja? Anggapan yang salah. Ford begitu berhasil pada zamannya. Ia justru menjadi perusahaan yang paling didambakan dan di saat yang bersamaan paling profitable sepanjang abad ke-20.

    Ford mengingatkan saya lagi kisah sukses Facebook. Perusahaan fenomenal besutan Mark Zuckerberg ini mengaku bahwa pada awalnya didirikan sebagai misi sosial, bukan sebagai perusahaan. Tidak lain ialah untuk membuat dunia yang lebih terbuka dan terhubung. Sehingga Zuckerberg tidak membebani pengguna dengan biaya untuk membuat akun, hingga menikmati berderet fitur gratis yang kian bertambah dari hari ke hari.  Hal tersebut  justru membuat Facebook  menjadi salah satu jejaring sosial, dengan jumlah pengguna terbanyak dan keuntungan terbesar di dunia.

    Ketika para pengguna menikmati fitur-fitur yang ditawarkan Facebook, dengan sendirinya mereka tentu merekomendasikan kepada teman-temannya untuk membuat akun dan  berlama-lama aktif di sana tanpa diminta. Seiring dengan  meningkatnya jumlah  pengguna dan durasi mengaksesnya, para pengiklan berbondong-bondong mempercayakannya untuk mempromosikan produk dan jasanya. Belakangan Facebook memperbaharui “tujuan” bisnisnya menjadi sebuah perusahaan yang mampu memberikan kesempatan kepada orang-orang kekuatan, untuk membangun komunitas dan mendekatkan dunia bersama-sama.

    Apa “benang merah” dari perjalanan Ford dan Facebook? Sederhana saja. Organisasi tanpa tujuan hanya mampu mengelola sumber dayanya, sedangkan organisasi yang “bertujuan” bisa memobilisasi sumber dayanya. Tujuan merupakan kunci terwujudnya budaya perusahaan yang kuat, terukur dan berkelanjutan. Ia memang bukan elemen terlihat, namun kehadirannya selalu menyertai derap langkah perusahaan. Ia laksana  ruh yang memberikan energi tak terbendung.

    Menyadari hal itu kini semakin banyak saja perusahaan, yang menuliskan pernyataan tujuan guna melengkapi pernyataan misi. Satu hal yang sekilas sama, namun sebenarnya jelas terlihat perbedaannya.

    Misi menggambarkan apa yang diinginkan, dikejar, atau dicapai oleh perusahaan. Sedangkan tujuan adalah alasan mengapa perusahaan didirikan. Jadi tujuan bukan semata-mata mengenai hasil – melainkan perjalanan atau proses.

    Kita bisa ambil contoh dari perusahaan sekelas PricewaterhouseCoopers (PwC). Perusahaan yang berpusat di New York ini memiliki misi untuk membantu perusahaan dan organisasi, untuk menciptakan nilai melalui jasa-jasa yang ditawarkannya.  Adapun “tujuan” PwC adalah membangun kepercayaan di tengah masyarakat dan menyelesaikan masalah-masalah penting. Tujuan itulah yang menjadi jawaban mengapa ia masih begitu “perkasa” bersanding dengan Deloitte, Ernst & Young, dan KPMG.

    Jadi sudahkah perusahaan Anda menemukan purpose? Jika ya, apakah ia telah benar-benar “terpatri” dalam budaya perusahaan Anda? Tujuan ialah “ruh” mengapa bisnis Anda ada, untuk siapa bisnis Anda dijalankan, dan apa yang ditawarkan bisnis Anda untuk melayani, menciptakan nilai tambah, dan memecahkan masalah di sekitar kita.

     

    Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Inti Pesan, 21 Juli 2017