Tag: Indonesia

  • Mengapa Indonesia Belum “Menelurkan” Inovator Kelas Dunia?

    Apa yang ada di benak kita jika mendengar kata inovator? Mungkin bayangan kita langsung tertuju kepada sosok setenar mendiang Steve Jobs, Bill Gates, Albert Einstein, Thomas Alva Edison atau Stephen Hawking yang baru saja tutup usia.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inovator diartagungikan sebagai orang yang memperkenalkan gagasan, metode, dan sebagainya yang baru. Maksudnya, mereka ialah orang yang mampu menerjemahkan visi menjadi produk atau layanan yang belum pernah ada. Tidak terhenti dalam tataran menemukan, mereka piawai dalam membayangkan apapun yang telah ada. Melihat, mempertanyakan, mengkritisi lagi hal-hal yang sering kali tak pernah dipikirkan oleh orang kebanyakan.

    Indonesia sebenarnya merupakan gudangnya orang-orang genius. Kita mengenal Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie yang telah mematenkan berderet penemuannya di ranah kedirgantaraan. Ada Bapak Warsito P. Taruno yang diakui di negeri orang karena telah mampu merancang mesin pembunuh kanker. Ada Bung Randall Hartolaksono yang dikenal dunia industri karena menemukan bahan anti api dan panas dari singkong. Ada Mas Khoirul Anwar,sang pemilik paten teknologi broadband yang menjadi standar internasional untuk sistem teresterial maupun satelit. Ada Cak Muhammad Nurhada yang menemukan kompor ramah lingkungan. Dan berderet inovator lain yang mungkin belum pernah saya dan Anda dengar.

    Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di jagad raya, “di atas kertas” Indonesia berpeluang besar melahirkan inovator besar. Dengan segala potensi yang dimiliki, putera-puteri terbaik negeri ini sejatinya bisa bersaing dengan anak-anak cerdas kelahiran Amerika Utara, Eropa Barat, maupun Jepang.

    Mungkin Anda sekarang bertanya-tanya, mengapa bumi nusantara belum “menelurkan” inovator kelas dunia? Kita tentu bisa menjawab dari berbagai perspektif. Namun jika dilihat dari perspektif sumber daya manusia, bisa kita kerucutkan menjadi beberapa hal.

    Pertama, pendidikan negeri ini lebih mendorong pelajar untuk menjadi “penghafal”. Memiliki daya ingat tajam sebenarnya sah-sah saja. Namun, apa jadinya jika bertahun-tahun secara sistematis ditekan untuk hanya menghafal?

    Inovator besar hanya akan lahir dari pendidikan yang merangsang anak didik untuk berani mengkritisi. Inovator besar hanya akan datang dari lingkungan yang menghargai kecerdasan majemuk – bukan kecerdasan dari satu atau dua aspek saja. Inovator besar hanya akan muncul dari kultur yang memancing daya analitis dan kreatifitas.

    Menjadi inovatif berarti berani mengerjakan hal-hal berbeda yang belum pernah dilakukan sepenuhnya. Itu mengapa inovator tampil sebagai orang yang mampu membawa gagasan dan menciptakan lingkungan yang memungkinkannya melawan status quo. Mereka sulit muncul dari kultur yang mengekang keterbukaan dan kebebasan.

    Kedua, sistem pendidikan secara umum belum berorientasi menghasilkan inovator dan kreator. Ini mungkin sudah sangat terdengar klise. Namun, faktanya memang masih demikian. Pendidikan menengah dan tinggi kita masih diharapkan untuk cepat-cepat mencari uang atau mendapatkan pekerjaan – bukan sebaliknya. Ini didukung oleh budaya konsumtif masyarakat yang mungkin tiada duanya di dunia. Bukan disetir gairah untuk menciptakan nilai tambah atau menemukan solusi dari masalah alam semesta dan seisinya.

    Faktanya, di negara-negara yang menghasilkan banyak inovator, lulusan pendidikan menengah dan tinggi didorong untuk menjadi pemecah masalah. Itu artinya, mereka digembleng untuk mengidentifikasi masalah-masalah sederhana hingga kompleks yang ada di sekitar kita. Untuk selanjutnya, diajak untuk membuat produk atau layanan yang lebih baik, lebih efisien, lebih efektif, lebih terjangkau, atau lebih praktis.

    Seorang kreator (pencipta) kecil kemungkinannya akan lahir dari kultur yang nihil apresiasi terhadap kreatifitas dan inovasi. Seorang kreator tidak akan lahir dari sistem pendidikan yang hanya bisa menghukum, menakut-nakuti, dan mengekang imaginasi. Seorang inovator hakekatnya akan sulit berkembang dalam iklim masyarakat yang pola pikirnya nir-keberlimpahan.

    Ketiga, belum kuatnya sinergitas ABCG yakni antara kaum akademia (academic), kalangan bisnis (business), masyarakat sipil (civil society) dengan pemerintah (government). Yang terjadi selama ini, para peneliti di kampus-kampus kita memang telah memulai membuat inovasi. Beberapa temuannya telah diapresiasi pemerintah hingga diterapkan dalam dunia industri. Namun, sebagian besar akademisi kita sayangnya masih terbelit pada urusan administrasi, terlalu banyak jam mengajar, dan sedikit waktu untuk riset yang aplikatif. Di sisi lain, kurikulum pendidikan tinggi kita bisa dikatakan lambat dalam mengikuti cepatnya perkembangan zaman. Akibatnya, boro-boro melahirkan inovator. Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh di kampus pun masih membuat perusahaan enggan merekrut. Link & Match masih benar-benar lemah.

    Saya yakin masih ada berderet faktor yang menyebabkan belum lahirnya inovator kelas dunia dari tanah air. Sekarang, bukan saatnya untuk menyalahkan pemerintah, perguruan tinggi, maupun kalangan bisnis. Bukan waktunya lagi untuk gontok-gontokkan untuk mencari-cari bara konflik atas nama perbedaan. Karena keragaman diciptakan Tuhan untuk menjadi berkah, bukan kutukan.

    Yang perlu kita ingat, inovator tidak akan lahir dalam kevakuman. Mereka adalah orang-orang yang menghargani nilai tambah, cekatan dalam membangun hubungan dan membesarkan organisasi.

    Inovator sejati menghargai keragaman. Karena mereka melihatnya dari berderet sudut pandang yang merangkul kompleksnya tantangan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi.

    Inovator tidak lahir dari budaya yang tidak menghargai kerja keras, disiplin, dan keberanian mengambil resiko (yang terukur). Mereka muncul sebagai orang-orang yang tidak takut mendobrak norma lama dan berpikir tidak konvensional yang membuatnya dianggap “gila”.

    Sebagai anak bangsa, saya optimis akan lahir inovator-inovator dari bumi Indonesia yang sejalan dengan upaya pemerintah mendayagunakan bonus demografi. Ditopang oleh millennial dan Gen Z dalam menyongsong era keemasan bangsa di tahun 2045 – seabad pasca kemerdekaan. Sejalan dengan pernyataan pengusaha sekaligus aktivis politik kelahiran Jerman King Dotcom bahwa, “When you create something that is popular, when you create a solution, you’re an innovator, and you solve problems for people and they like what you have to offer, of course you automatically make money.”

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di Inti Pesan, 22 Maret 2018 

  • Menakar Daya Saing Indonesia

     

    Seperti yang mungkin sebagian dari Anda telah ketahui, negara kita merupakan bagian dari G-20. Sebuah blok yang menjadi kumpulan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Kita bolehlah sedikit berbangga mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam blok tersebut.

    Namun, apa guna terlalu terbuai dengan status? Faktanya, NKRI memang memiliki semua syarat untuk menjadi negara besar. Dari penduduk saja kita terbesar keempat di jagad raya. Dari geografis, tidak ada negara manapun yang membantah kita sebagai negara kepulauan terbesar di muka bumi. Dari kekayaan alam, saya tak perlu menjelaskan lagi. Karena sejak era kolonial, negeri ini sudah menjadi lahan empuk untuk terus dikeruk isinya. Anda barangkali sudah bosan dengan info klise tersebut.

    Dalam Laporan Daya Saing Global 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia bertengger di urutan ke-36 dari 137 negara di dunia. Tidak buruk-buruk amat memang. Namun melihat potensi bawaan yang begitu besar dari Republik ini, negeri ini seharusnya malu. Pasalnya, masih kalah saing dengan tiga negeri jiran yaitu Singapura (3), Malaysia (23), dan Thailand (32).

    Indeks Daya Saing Global sendiri memiliki 12 pilar sebagai aspek penilaian yang dikelompokkan menjadi tiga subindeks. Pertama, subindeks persyaratan dasar yang meliputi pilar kelembagaan, infrastruktur, ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar. Kedua, subindeks penambah efisiensi yang mencakup pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar finansial, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar. Ketiga, subindeks faktor kecanggihan dan inovasi yang terdiri dari pilar penerapan teknik mutakhir dalam bisnis dan inovasi.

    Kita boleh sedikit girang. Negeri kita pada tahun lalu berada pada peringkat ke-36. Itu artinya lima langkah lebih baik dibandingkan dengan pencapaian di tahun 2016. Kendati demikian, perbaikan posisi Indonesia jika boleh jujur masih disetir oleh ukuran pasar (9) dan ekonomi makro yang kuat (36).

    Meskipun bertengger di peringkat ke-31 dan ke-32 untuk ranah inovasi dan penerapan teknik mutakhir dalam bisnis, Indonesia masih sangat jauh tertinggal dalam kesiapan teknologi (80). Hal lain yang masih mengkhawatirkan ialah parahnya efisiensi pasar tenaga kerja (96) sebagai akibat dari biaya redudansi yang berlebihan, terbatasnya fleksibilitas pengupahan, dan rendahnya keterwakilan perempuan dalam angkatan kerja.

    Lalu, apa yang paling menjadi “mimpi buruk” bagi kemajuan ekonomi Indonesia? Di urutan pertama mungkin bisa Anda tebak. Apalagi kalau bukan korupsi. Hal lain yang memperburuk situasi secara berurutan ialah tidak efisiensinya birokrasi pemerintah, akses pembiayaan, payahnya infrastruktur, hingga instabilitas kebijakan.

    Dari kedua belas pilar yang menjadi penilaian Indeks Daya Saing Global, sebagai pribadi saya paling trenyuh dengan pilar kelima yang tidak lain ialah pendidikan tinggi dan pelatihan. Pilar ini menilai tingkat penerimaan pendidikan tingkat menengah dan tinggi, kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan sains dan matematika, kualitas sekolah manajemen, akses internet di sekolah, ketersediaan sarana pelatihan khusus di tingkat lokal, hingga tingkat pelatihan karyawan.

    Jika kita perhatikan, dalam tiga tahun terakhir pemerintah bisa dikatakan lumayan dalam hal memperbaiki infrastruktur atau hal-hal fisik. Hal tersebut bisa dilihat dari renovasi sarana dan prasarana gedung di berbagai tingkat. Penggantian (lebih tepatnya penyesuaian) kurikulum pendidikan juga tak terlewatkan. Sayangnya, pembangunan sumber daya manusia justru diabaikan. Akibatnya?

    Sederhana saja. Sebaik apapun sistem, secanggih apapun teknologi, dan semegah apapun gedung-gedung perguruan tinggi; belum memberikan dampak yang signifikan bagi “pembangunan manusia”. Buktinya paling mudah kita temukan pada kualitas lulusan Sarjana atau Diploma kita. Dari rendahnya kecakapan memecahkan masalah, buruknya soft skill, payahnya kreatifitas dan penalaran, dan ketidaksiapan dalam menerjemahkan teori yang dipelajari di kelas ke dunia nyata.

    Mungkin tidak berlebihan penggalan lirik dari lagu kebangsaan ciptaan W.R. Supratman ini. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Sebuah pesan yang mengingatkan anak bangsa akan pentingnya membangun daya saing. Dimulai dari manusianya.

     

    *) Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Portal Inti Pesan, 4 Februari 2018