Tag: Hidup

  • Pilar-Pilar Keseimbangan Hidup

    “Sukses ialah mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita dapatkan”. Ungkapan seperti ini terdengar begitu klise di telinga kita. Bukankah demikian?

    Seorang ayah bisa dikatakan sukses jika mampu mendidik putera-puterinya. Seorang pemimpin bisa dikatakan sukses jika mampu mewujudkan tujuan organisasi yang dinahkodainya.Seorang manajer penjualan bisa dikatakan sukses jika dapat mencetak closing sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan ukuran kesuksesan Anda?

    Setiap orang terlahir unik. Oleh karena itu masing-masing, memiliki patokan untuk menilai kesuksesan.Kendati demikian kesuksesan dalam hidup, alangkah baiknya jika dipandang secara holistik. Tidak dinilai secara sepotong-sepotong.

    Buat apa banyak uang tapi sakit-sakitan? Apa makna popularitas jika menjadikan narkoba sebagai pelarian? Untuk siapa jabatan bergengsi bila bahtera rumah tangga tergadaikan? Apa guna sembahyang jika hubungan horizontal berantakan?

    Saya yakin setiap orang menginginkan keseimbangan dalam hidup. Karena bahagia akan datang ketika aspek-aspek kesuksesan menemukan titik keseimbangan. Tidak ekstrem di salah satu sisi saja.

    Menyadari hal itu, rekan-rekan saya di Yayasan PIBAS memiliki visi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup di negeri ini. Melalui survei  dalam jaringan yang bisa diakses secara cuma-cuma, yayasan tersebut telah mempopulerkan konsep yang dikenal dengan Balanced Pillar (BALPIL). Sebuah pendekatan untuk mengukur keseimbangan hidup dalam empat pilar, yakni spiritual, intelektual, sosial, dan fisik (kesehatan).

    Dikembangkan oleh tim profesional dalam bidang kesehatan dan psikologi, Tes BalpilTM bisa dikatakan sebagai tes paling komprehensif yang mengukur keseimbangan individu secara paripurna. Sisi spiritual menguji apakah kesadaran diri, agama/kepercayaan, dan integritas berjalan dengan baik atau tidak.Sisi intelektual memeriksa apakah faktor pendidikan, pengalaman di lapangan, dan “latihan otak” berlaku semestinya atau tidak dalam menjalani keseharian. Sisi sosial memetakan apakah kita telah mampu memberikan dampak positif kepada keluarga/kerabat, teman/kolega, dan masyarakat luas atau belum. Sisi fisik mengetes apakah kita telah memberikan porsi yang seharusnya untuk olahraga, makanan, hingga istirahat atau belum.

    Hingga Maret 2016 saja, Yayasan PIBAS telah menguji lebih dari 26.270 responden pada rentang usia 17-30 tahun dari Sabang sampai Merauke. Hasil survei yang terdiri dari 100 pertanyaan tersebut menunjukkan, masyarakat di kepulauan ini cukup baik dalam aspek spiritual dan sosial namun masih memprihatinkan dalam aspek intelektual dan fisik. Apakah Anda kaget dengan temuan tersebut?

    Coba kita amati dari fenomena yang sederhana saja. Mengapa kita dengan begitu mudah menyebarkan hoax tanpa terlebih dahulu mencerna dan menggunakan akal sehat? Mengapa banyak pihak yang masih mengunggulkan orang yang pandai menghafal daripada yang berpikir kritis ? Mengapa sebagian dari saudara kita baru sadar akan pentingnya kesehatan setelah mengalami sakit?

    Untuk mendayagunakan potensi terbaiknya, segenap warga negara Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus memperhatikan keseimbangan hidupnya. Karena kebahagiaan hakiki, hanya dapat dicapai jika keempat aspek kehidupan berjalan berimbang. Jadi bukan kesuksesan secara parsial.

    Revolusi Mental pun tidak akan berjalan baik tanpa diiringi oleh keseimbangan hidup di tingkat individu. Bukan semata-mata program pemerintah yang dipandang secara politis.

    Saatnya kita turut andil untuk mewujudkan Garuda bisa terbang lebih tinggi lagi. Kepakan kedua sayap yang menuntut keseimbangan hanya dapat diwujudkan oleh sinergi bersama dari saya, Anda dan kita semua sebagai anak bangsa.Sudahkah Anda menjadi insan yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala?

    Mungkin kita wajib mengamini kata Thomas Merton bahwa “happiness is not a matter of intensity but of balance, order, rhythm and harmony.”

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 7 Agustus 2017

  • Trade Off

    “Tuhan Maha Adil”. Ungkapan ini begitu klise. Karena dimanapun semua orang juga sudah tahu. Kalau kata teman-teman nongkrong saya di Jakarta, “biasa aja kaleeee . . .”.

    Lantas, bila sudah menjadi rahasia umum mengapa saya tulis di sini? Well, akhir tahun ini saya memang menarik benang merah dari apa yang saya alami di sepanjang 2016.

    Memang, masih ada lesson-learned lain yang tak kalah penting. Namun, kalau dipikir-pikir lagi saya rasa “Trade Off” yang paling mewakili. Lah, apa dasarnya?

    Sederhana saja sih. Dalam hidup kita tidak mungkin akan mendapatkan semua hal dalam satu waktu. Karena kesempurnaan katanya hanya milik Gusti Allah.

    Taruh saja kehidupan para artis. Kurang apa sih mereka? Tenar ya. Berkecukupan? So pasti. Sehat wal’afiat?  Belum tentu. Harmonis rumah tangganya? Perlu dipertanyakan deh. Bandingkan dengan pejabat kelas kakap yang tengah korup. Berkuasa? Yes. Bergelimang harta? Ya dong karena “merampok uang rakyat”. Apakah hidupnya bahagia? Mungkin tidak karena sewaktu-waktu amal perbuatannya terbongkar.

    Walaupun tak apple-to-apple, saya bisa juga membandingkan kehidupan orang Jabodetabek dengan orang Bintan – tempat saya menghabiskan masa Sabbatical belakangan. Kelompok pertama lebih unggul secara finansial, stres berlama-lama terjebak macet, pergi ke pusat perbelanjaan, membeli barang-barang bermerek, dan pelesiran ke luar negeri untuk tangkal stres. Kelompok kedua mungkin pendapatannya tak seberapa, tak (atau belum) pernah merasakan macet, masih bisa hidup seimbang (olahraga, kumpul dengan keluarga dan ibadah) terjaga. Kedua kelompok memang tidak absolut seperti itu karakteristiknya. Tapi mungkin itu mewakili gambaran umum.

    Begitulah trade off. Dengan caranya, Tuhan memberikan keadilan bagi setiap orang. Ada yang diunggulkan finansialnya, ada yang dilebihkan keluangan waktunya, ada yang dijamin kesehatannya, ada yang oke spiritualnya, ada yang lebih baik modal sosialnya, ada pula yang mendapatkan semuanya dalam satu waktu – kendati hampir mustahil.

    So, hidup memang trade off. Karena bermuara kepada pilihan. Mau dibawa kemana hidup kita? Ya, bergantung pilihan masing-masing. Mau dipakai untuk apa hidup ini? Ya, kembali ke pilihan pribadi. Mau dimaknai seperti apa hidup ini? Ya, setiap hati dan kepala memiliki jawaban yang saling sahut-menyahut.

    Bagaimanapun hidup kita saat ini, jalani saja! Karena bahagia atau tidaknya hidup ini ialah pilihan. Kita tidak bisa mengendalikan atau menolak apa yang akan terjadi kepada kita. Tapi kita bisa mengendalikan cara kita menyikapinya. So, enjoy your trade off!

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 29 Desember 2016