Tag: Gen Z

  • 10 Kesalahan Fatal Pencari Kerja di LinkedIn (Versi Gen Z Banget!)

    LinkedIn itu kayak mall-nya dunia kerja: tempat kita “show off” keahlian dan cari peluang emas. Tapi, banyak yang nggak sadar bikin kesalahan yang bikin HRD atau rekruter malah skip profil mereka. Yuk, bahas apa aja kesalahan paling mainstream yang sering kejadian, lengkap dengan data dan fakta!


    1. Profil Tanpa Foto Profesional

    Fun Fact: Profil dengan foto punya peluang dilirik 14 kali lebih banyak dibanding yang polos tanpa foto. Tapi jangan salah, fotonya juga jangan yang selfie di kasur ya, bro/sis! Gunakan foto formal atau semi-casual yang menggambarkan keprofesionalanmu.


    2. Headline yang B aja

    “Sedang mencari pekerjaan”? Meh. Headline yang flat bikin rekruter males ngeklik. Menurut pakar karier, Sylvia Gorajek, headline itu ibarat slogan personal kamu. Buatlah spesifik, contoh: “Digital Marketer | Expert in Campaign Optimization”


    3. Sampul Kosong

    Background cover kosong itu ibarat rumah nggak punya atap. Padahal, cover ini bisa jadi “billboard” kecil untuk showcase skill, portofolio, atau prestasi kamu. Yang pakai desain Canva? Ayo, hajar!


    4. Deskripsi Nggak Jelas

    Banyak yang deskripsinya cuma panjang tanpa isi. Tips Gen Z: bikin singkat tapi impactful. Contohnya:

    “SEO Specialist with 3+ years experience boosting organic traffic by 250%.”

    HRD itu sibuk, mereka cuma kasih waktu sekitar 6 detik untuk scan profil kamu.


    5. Nggak Ada Keywords

    Recruiter sering pakai tools seperti ATS (Applicant Tracking System) untuk cari kandidat. Kalau kamu nggak nyelipin keywords kayak “content creator”, “data analyst”, atau “UI/UX designer”, ya wassalam! Gunakan keyword yang relevan dengan posisi yang kamu incar.


    6. “Ghosting” di Bagian Activity

    LinkedIn itu kayak medsos profesional, jadi be active! Menurut studi, kandidat yang sering nge-share insight atau engage punya peluang 30% lebih besar buat dihubungi rekruter. Jangan cuma “connect” doang, share artikel atau opini soal bidang kerjamu.


    7. Spamming HRD

    Jangan nge-DM HRD dengan kalimat kayak: “Mau kerja dong, Kak.”

    Menurut Lori Goler, VP HR di Meta, pesan harus spesifik dan sopan.

    Contoh: “Hi, Kak. Saya lihat posisi X terbuka di perusahaan Anda. Boleh saya tahu kualifikasi tambahan yang diutamakan?”


    8. Nggak Ada Skill Section

    Fitur “Skills & Endorsements” itu penting! Data LinkedIn menunjukkan profil dengan skill lengkap punya 13 kali peluang lebih besar buat ditemukan rekruter.  Pilih skill yang benar-benar kamu kuasai, jangan overclaim.


    9. Resume dan Profil Nggak Sinkron

    HRD paling males kalau info di LinkedIn beda sama CV. Kalau di LinkedIn kamu tulis “Project Manager”, tapi di CV tulis “Marketing Specialist”, itu bikin mereka bingung.


    10. Mengabaikan Testimoni

    Jangan ragu minta rekomendasi ke eks-bos atau kolega. Testimoni bikin profilmu makin kredibel. Profil dengan rekomendasi direview 2 kali lebih sering oleh rekruter.


    Kesimpulan:
    LinkedIn itu bukan sekedar akun pasif. Manfaatkan buat “jualan” skill kamu. Buatlah profil yang standout dan relevan! Udah saatnya ninggalin kebiasaan yang bikin HRD ilfil.

    Ayo, Gaskeun! Jangan sampai peluang karier terbaikmu ke-skip cuma karena hal-hal kecil ini.

  • Seni Memimpin Milenial & Gen Z yang Efektif

    “Oh kamu termasuk milenial ya, pantes  suka pindah-pindah pekerjaan . . .”
    “Gen Z itu sebenarnya cepat banget belajar. Tapi sepertinya mudah bosan dan etikanya minus.”
    “Saat ini banyak pemimpin di segala sektor yang merupakan generasi Z loh!”
    Tiga ungkapan tersebut agaknya sering kita dengar dalam keseharian, khususnya dalam konteks mengelola sumber daya manusia. Suka tidak suka, mau tidak mau, siap tidak siap; milenial bersama Gen Z saat ini memang telah mendominasi angkatan kerja di tanah air.
    Berdasarkan hasil Sensus Penduduk per September 2020, populasi Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa. Dari jumlah itu milenial dan Gen Z masing-masing menyumbang 25,87 persen dan 27,94 persen.
    Berkaca pada data tersebut, setiap organisasi dalam industri apa pun harus mengembangkan pendekatan mereka untuk menarik dan mempertahankan aset terpenting mereka: karyawan mereka.
    Jika setiap organisasi ingin memastikan angkatan kerja milenialnya berkinerja tinggi sebagaimana yang diharapkan, mereka harus memimpin secara lebih efektif dengan fokus pada pemberdayaan, proses kerja yang didorong oleh tujuan, dan coaching untuk pengembangan dan perencanaan suksesi. Saatnya untuk menyingkirkan bias kita dan memimpin tenaga kerja progresif itu dengan lebih efektif.
    Untuk memperoleh, mempertahankan, dan mengembangkan tim organisasi yang efektif dalam demografi baru ini, kita selaku pemimpin harus memikirkan bagaimana mereka dapat mengembangkan pengalaman karyawan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan generasi baru itu. Manajer dan eksekutif harus mengeksplorasi metode yang lebih efektif untuk memimpin kelompok yang sedang berkembang ini dalam angkatan kerja. Dengan kata lain, para pemimpin harus melihat dengan cermat bagaimana karyawan milenial dan Gen-Z terlibat di dalam dan di luar bisnis mereka dan mempertimbangkan setiap bias yang mungkin ada saat mereka memimpin angkatan kerja baru ini.

    Jadi, bagaimana kita selaku pemimpin harus memulai proses evaluasi dan perubahan? Berdasarkan pengamatan penulis, berikut sejumlah pendekatan yang perlu diambil.

    Pertama, memberdayakan tim. Survei Deloitte Global Gen Z dan Milenial 2022 menemukan bahwa 29% pekerja Milenial dan Gen-Z memilih untuk bekerja di organisasi mereka saat ini karena peluang pembelajaran dan pengembangan. Organisasi harus melampaui komitmen lisan (klaim) yang dibuat untuk mengembangkan orang lain selama proses wawancara kandidat. Karyawan akan mengantisipasi dan mencari investasi dalam alat dan sumber daya yang akan membantu mendorong pertumbuhan profesional mereka. Apa yang dapat dilakukan organisasi kita untuk melibatkan generasi Milenial dan Gen-Z sebagai pemimpin pada tingkat individual atau personal?
    Idealnya, pemberdayaan didasarkan pada pembentukan tempat di mana karyawan dapat berbagi ide dan pemikiran tanpa merasa bahwa mereka melakukan kesalahan. Ini dimulai dengan menciptakan ruang yang aman di mana mereka dapat terbuka dan cenderung untuk berbagi ide dan di mana pemberdayaan dapat terjadi. Misalnya dengan cara seperti berikut:
    * Dorong ide dengan menyiapkan peluang untuk mengumpulkan ide (dari berbagai kesempatan) yang mencakup item agenda di mana ide merupakan persyaratan dan ada peluang untuk perbaikan.
    * Tetapkan aturan dasar dalam format tersebut (umur panjang atau hierarki tidak menjadi masalah dalam konteks ide) dan buat aturan dasar untuk mendorong ide.
    * Buat peluang opsional bagi orang-orang untuk berbagi ide anonim, seperti dengan membuat papan ide atau menyiapkan kotak umpan balik dan opini.
    Kedua, berpikir jangka panjang untuk mereka.  Seringkali mereka yang memimpin karyawan Milenial dan Gen-Z memproyeksikan pengalaman dan pemahaman mereka sendiri kepada populasi pekerja itu. Pendekatan ini lebih banyak tentang pemimpin daripada tentang karyawan. Memahami motivasi orang lain memungkinkan seorang pemimpin untuk terlibat dan memimpin tim dengan lebih baik.
    Mempelajari dan memikirkan nilai-nilai yang memotivasi tim kita pasti akan mengarahkan kita ke pertanyaan yang dapat kita pertimbangkan tentang retensi jangka panjang. Dalam salah satu hasil survei Gallup, 60% non-Milenial sangat setuju bahwa mereka berencana untuk bekerja di perusahaan yang sama dalam satu tahun, dibandingkan dengan separuh Milenial. Selain itu, 36% Milenial melaporkan bahwa mereka akan mencari pekerjaan baru dengan organisasi yang berbeda dalam 12 bulan ke depan jika pasar kerja membaik, dibandingkan dengan 21% non-Milenial yang mengatakan hal yang sama.
    Pemimpin harus menemukan apa yang memotivasi karyawan Milenial mereka dan mengembangkan keterampilan untuk membuat perubahan dalam gaya kepemimpinan mereka sendiri demi retensi. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan karyawan untuk tetap berada di perusahaan dan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.

    Ketiga, menjadi Coach – Bukan Bos. Pada umumnya, orang sering menerapkan bias dan label pribadi pada generasi Milenial dan Gen-Z. Beberapa yang paling umum adalah istilah stereotip “generasi mager”, “generasi gamer”, “generasi gadget”, atau “generasi rebahan”.

    Non-Milenial menganggap generasi itu menginginkan pengakuan dan umpan balik hanya karena partisipasi mereka, bukan karena pencapaian mereka yang sebenarnya dan keinginan untuk diyakinkan dan divalidasi. Menurut pengamatan saya, sentimen ini sama sekali tidak benar, tetapi agak bias dan menyesatkan.
    Milenial dan Gen-Z mungkin menginginkan umpan balik rutin dari para pemimpin senior mereka. Umpan balik yang teratur, konsisten, dan membangun adalah salah satu cara terbaik untuk memberdayakan  dan membuat mereka tetap terlibat. Sebagai permulaan yang penting, sisihkan label yang sudah terbentuk sebelumnya dan berusahalah untuk memahami individu tersebut.

    Bagi sebagian orang, kepemimpinan yang efektif datang secara alami. Tetapi bagi sebagian besar, ini adalah perilaku yang dipelajari. Kepemimpinan adalah keterampilan yang membutuhkan waktu, usaha, dan kesabaran untuk dikuasai dan dimodelkan.

    Untuk mengelola tenaga kerja saat ini, sangat penting bagi para pemimpin untuk terbuka terhadap ide-ide baru dan membuang kebiasaan lama. Ini dimulai dengan fokus pada bagaimana seseorang terlibat dengan tenaga kerja yang sedang berkembang.
    Pemberdayaan sangat penting untuk mendorong pemikiran kritis, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan diri, dan menciptakan hasil yang didorong oleh tujuan. Berperan seperti Coach akan mendukung upaya pemberdayaan kita dengan memastikan kita memberikan umpan balik yang membangun dan dapat mengarah pada refleksi diri dan kemungkinan yang lebih besar bahwa karyawan dapat menerapkan praktik terbaik secara real time.
    Rangkullah karyawan zaman Now itu dan persiapkan kepemimpinan organisasi kita untuk keberlanjutan di masa depan.
  • Seni Memimpin Milenial & Gen Z yang Efektif

    “Oh kamu termasuk milenial ya, pantes  suka pindah-pindah pekerjaan . . .”
    “Gen Z itu sebenarnya cepat banget belajar. Tapi sepertinya mudah bosan dan etikanya minus.”
    “Saat ini banyak pemimpin di segala sektor yang merupakan generasi Z loh!”
    Tiga ungkapan tersebut agaknya sering kita dengar dalam keseharian, khususnya dalam konteks mengelola sumber daya manusia. Suka tidak suka, mau tidak mau, siap tidak siap; milenial bersama Gen Z saat ini memang telah mendominasi angkatan kerja di tanah air.
    Berdasarkan hasil Sensus Penduduk per September 2020, populasi Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa. Dari jumlah itu milenial dan Gen Z masing-masing menyumbang 25,87 persen dan 27,94 persen.
    Berkaca pada data tersebut, setiap organisasi dalam industri apa pun harus mengembangkan pendekatan mereka untuk menarik dan mempertahankan aset terpenting mereka: karyawan mereka.
    Jika setiap organisasi ingin memastikan angkatan kerja milenialnya berkinerja tinggi sebagaimana yang diharapkan, mereka harus memimpin secara lebih efektif dengan fokus pada pemberdayaan, proses kerja yang didorong oleh tujuan, dan coaching untuk pengembangan dan perencanaan suksesi. Saatnya untuk menyingkirkan bias kita dan memimpin tenaga kerja progresif itu dengan lebih efektif.
    Untuk memperoleh, mempertahankan, dan mengembangkan tim organisasi yang efektif dalam demografi baru ini, kita selaku pemimpin harus memikirkan bagaimana mereka dapat mengembangkan pengalaman karyawan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan generasi baru itu. Manajer dan eksekutif harus mengeksplorasi metode yang lebih efektif untuk memimpin kelompok yang sedang berkembang ini dalam angkatan kerja. Dengan kata lain, para pemimpin harus melihat dengan cermat bagaimana karyawan milenial dan Gen-Z terlibat di dalam dan di luar bisnis mereka dan mempertimbangkan setiap bias yang mungkin ada saat mereka memimpin angkatan kerja baru ini.

    Jadi, bagaimana kita selaku pemimpin harus memulai proses evaluasi dan perubahan? Berdasarkan pengamatan penulis, berikut sejumlah pendekatan yang perlu diambil.

    Pertama, memberdayakan tim. Survei Deloitte Global Gen Z dan Milenial 2022 menemukan bahwa 29% pekerja Milenial dan Gen-Z memilih untuk bekerja di organisasi mereka saat ini karena peluang pembelajaran dan pengembangan. Organisasi harus melampaui komitmen lisan (klaim) yang dibuat untuk mengembangkan orang lain selama proses wawancara kandidat. Karyawan akan mengantisipasi dan mencari investasi dalam alat dan sumber daya yang akan membantu mendorong pertumbuhan profesional mereka. Apa yang dapat dilakukan organisasi kita untuk melibatkan generasi Milenial dan Gen-Z sebagai pemimpin pada tingkat individual atau personal?
    Idealnya, pemberdayaan didasarkan pada pembentukan tempat di mana karyawan dapat berbagi ide dan pemikiran tanpa merasa bahwa mereka melakukan kesalahan. Ini dimulai dengan menciptakan ruang yang aman di mana mereka dapat terbuka dan cenderung untuk berbagi ide dan di mana pemberdayaan dapat terjadi. Misalnya dengan cara seperti berikut:
    * Dorong ide dengan menyiapkan peluang untuk mengumpulkan ide (dari berbagai kesempatan) yang mencakup item agenda di mana ide merupakan persyaratan dan ada peluang untuk perbaikan.
    * Tetapkan aturan dasar dalam format tersebut (umur panjang atau hierarki tidak menjadi masalah dalam konteks ide) dan buat aturan dasar untuk mendorong ide.
    * Buat peluang opsional bagi orang-orang untuk berbagi ide anonim, seperti dengan membuat papan ide atau menyiapkan kotak umpan balik dan opini.
    Kedua, berpikir jangka panjang untuk mereka.  Seringkali mereka yang memimpin karyawan Milenial dan Gen-Z memproyeksikan pengalaman dan pemahaman mereka sendiri kepada populasi pekerja itu. Pendekatan ini lebih banyak tentang pemimpin daripada tentang karyawan. Memahami motivasi orang lain memungkinkan seorang pemimpin untuk terlibat dan memimpin tim dengan lebih baik.
    Mempelajari dan memikirkan nilai-nilai yang memotivasi tim kita pasti akan mengarahkan kita ke pertanyaan yang dapat kita pertimbangkan tentang retensi jangka panjang. Dalam salah satu hasil survei Gallup, 60% non-Milenial sangat setuju bahwa mereka berencana untuk bekerja di perusahaan yang sama dalam satu tahun, dibandingkan dengan separuh Milenial. Selain itu, 36% Milenial melaporkan bahwa mereka akan mencari pekerjaan baru dengan organisasi yang berbeda dalam 12 bulan ke depan jika pasar kerja membaik, dibandingkan dengan 21% non-Milenial yang mengatakan hal yang sama.
    Pemimpin harus menemukan apa yang memotivasi karyawan Milenial mereka dan mengembangkan keterampilan untuk membuat perubahan dalam gaya kepemimpinan mereka sendiri demi retensi. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan karyawan untuk tetap berada di perusahaan dan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.

    Ketiga, menjadi Coach – Bukan Bos. Pada umumnya, orang sering menerapkan bias dan label pribadi pada generasi Milenial dan Gen-Z. Beberapa yang paling umum adalah istilah stereotip “generasi mager”, “generasi gamer”, “generasi gadget”, atau “generasi rebahan”.

    Non-Milenial menganggap generasi itu menginginkan pengakuan dan umpan balik hanya karena partisipasi mereka, bukan karena pencapaian mereka yang sebenarnya dan keinginan untuk diyakinkan dan divalidasi. Menurut pengamatan saya, sentimen ini sama sekali tidak benar, tetapi agak bias dan menyesatkan.
    Milenial dan Gen-Z mungkin menginginkan umpan balik rutin dari para pemimpin senior mereka. Umpan balik yang teratur, konsisten, dan membangun adalah salah satu cara terbaik untuk memberdayakan  dan membuat mereka tetap terlibat. Sebagai permulaan yang penting, sisihkan label yang sudah terbentuk sebelumnya dan berusahalah untuk memahami individu tersebut.

    Bagi sebagian orang, kepemimpinan yang efektif datang secara alami. Tetapi bagi sebagian besar, ini adalah perilaku yang dipelajari. Kepemimpinan adalah keterampilan yang membutuhkan waktu, usaha, dan kesabaran untuk dikuasai dan dimodelkan.

    Untuk mengelola tenaga kerja saat ini, sangat penting bagi para pemimpin untuk terbuka terhadap ide-ide baru dan membuang kebiasaan lama. Ini dimulai dengan fokus pada bagaimana seseorang terlibat dengan tenaga kerja yang sedang berkembang.
    Pemberdayaan sangat penting untuk mendorong pemikiran kritis, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan diri, dan menciptakan hasil yang didorong oleh tujuan. Berperaan seperti Coach akan mendukung upaya pemberdayaan kita dengan memastikan kita memberikan umpan balik yang membangun dan dapat mengarah pada refleksi diri dan kemungkinan yang lebih besar bahwa karyawan dapat menerapkan praktik terbaik secara real time.
    Rangkullah karyawan zaman Now itu dan persiapkan kepemimpinan organisasi kita untuk keberlanjutan di masa depan.
  • Jurus “Merangkul” Gen Z di Tempat Kerja

    Belum lama ini saya mendapatkan “curhatan” teman kuliah yang notabene merupakan seorang Kepala Departemen di sebuah BUMN. Ia mengeluhkan beberapa “kelakukan” anggota timnya yang membuatnya stres bukan kepalang.
    Arya (bukan nama sebenarnya), mengaku sering diperlakukan bak “teman nongkrong” oleh bawahannya sendiri. Rupanya memang ada salah satu anggota bawahannya yang sering memanggilnya ketika meminta tolong — bukan ia didatangi. Sebagian yang lainnya secara terang-terangan mengajak berdebat terbuka ketika argumennya dianggap tidak masuk akal. Tak sedikit yang tiba-tiba mengundurkan diri karena merasa tidak mendapatkan umpan balik.
    Setelah berdiskusi panjang lebar, ternyata semua anggota tim yang dianggap “meresahkan” tersebut adalah para Fresh Graduate yang datang dari Generasi Z. Generasi yang tentu berbeda dengan dirinya yang notabene merupakan Gen Y alias milenial.
    Siapa Gen Z?
    Selama bertahun-tahun, para pemimpin di berbagai sektor fokus untuk lebih memahami generasi milenial. Khususnya sejak makin populernya artikel karangan Joel Stein di majalah Time yang berjudul “The Me Me Me Generation”.
    Namun, belakangan Generasi Z sudah mulai “membanjiri” angkatan kerja. Lahir antara sekitar tahun 1997 dan 2012, anggota tertua Gen Z mulai atau sudah merintis karier mereka. Ini berarti dinamika tempat kerja akan mulai bergeser saat Generasi X dan bahkan Gen Y menjadi manajemen dan Generasi Baby Boomers mulai pensiun.
    Faktanya menurut Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sebanyak 27,94% populasi Indonesia adalah Gen Z. Jumlah mereka sudah mengalahkan milenial  (25,87%) yang sebelumnya digadang-gadang menjadi lokomotif kemajuan tanah air. Melihat komposisi Gen Y dan Gen Z, kita semua tentu setuju bahwa keduanya  memegang peranan penting pada kemajuan bangsa saat ini dan tahun-tahun mendatang.
    Seberapa baik pemahaman kita mengenai Gen Z?
    Menurut berbagai pakar, Gen Z dianggap anti-identitas. Sebagai kelompok, mereka menghindari label dan merangkul otonomi maupun ekspresi individu. Mereka lebih cenderung liberal secara sosial dan politik dan cenderung tidak mengatakan bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, atau ras mereka adalah komponen kunci dari identitas mereka.
    Secara umum Gen Z memang disebut-sebut memiliki harapan maupun perspektif pekerjaan yang berbeda dan dinilai begitu menantang bagi organisasi mana pun. Mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan berbagai sendi kehidupan. Terhubung di internet bagi mereka seolah-olah sama pentingnya dengan bernafas karena mereka lahir di abad digital.
    Berdasarkan temuan riset Bruce Tulgan selama satu dekade, ada lima karakteristik utama Gen Z yang menjadi pembeda dengan generasi sebelumnya.
    Pertama, media sosial ialah cerminan masa depan mereka. Generasi ini tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi.
    Hal itu berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain adalah hal yang terpenting. K
    Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam Gen Z. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan berpikir kritis harus intensif dilakukan.
    Keempat, kemudahan Gen Z berselancar secara virtual menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis menjadi terbatas.  Namun, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global.
    Terakhir, keterbukaan Gen Z dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian, mereka cukup kesulitan untuk mendefinisikannya sendiri. Identitas diri yang terbentuk sering kali berganti menyesuaikan berbagai aspek yang mempengaruhi cara mereka berpikir dan bersikap.
    Memimpin Gen Z Secara Efektif
    Menyadari beberapa karakteristik di atas, bagaimana cara bekerja sama atau memimpin mereka secara efektif? Apakah berkolaborasi dengan Gen Z perlu pendekatan khusus? Berikut beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk merangkul mereka.
    Pertama, utamakan Work-Life Balance. Sebagai sebuah kelompok, Generasi-Z lebih suka berwirausaha,  cerdas secara teknologi, dan individualistis daripada generasi sebelumnya. Seperti Milenial sebelum mereka,  Gen-Z menghargai keseimbangan kehidupan-kerja dan menjaga kesehatan mental mereka dengan cara yang tidak pernah dipelajari oleh Generasi Baby Boomers.
    Kedua, pimpin dengan contoh. Gen-Z tidak suka diberi tahu apa yang harus dilakukan dan tidak akan patuh begitu saja seperti generasi sebelumnya. Memimpin dengan memberikan keteladanan melalui visi dan umpan balik menjadi lebih penting dari sebelumnya. Tempatkan mereka pada posisi yang mana mereka melihat diri mereka memiliki pengaruh paling besar dan di mana kita tahu bahwa kita dapat memimpin mereka menuju kesuksesan.
    Ketiga, pahami kebutuhan mereka. Generasi-Z adalah generasi pertama yang menuntut apa yang mereka yakini penting di tempat kerja. Ini termasuk menginginkan lebih — termasuk memprioritaskan kesehatan mental, memiliki fleksibilitas dengan jam kerja, mendapatkan lebih banyak waktu liburan dan tidak menetap. Pemimpin harus mulai memahami kebutuhan karyawan Gen-Z dengan melakukan dialog terbuka, meminta umpan balik, dan bereaksi dengan tepat untuk menghindari Turnover yang tinggi.
    Keempat, berikan peluang pertumbuhan. Karyawan Gen-Z umumnya memandang kehidupan kerja mereka sebagai cara untuk belajar, tumbuh dan berkembang dan tidak terikat pada satu peran atau perusahaan. Pemimpin perlu memahami pola pikir ini, kemudian memberikan kesempatan kepada talentanya untuk terus belajar dan tertantang dengan pengalaman baru. Gen-Z juga membawa perspektif baru dan berbeda ke tempat kerja yang dapat dipelajari oleh para pemimpin, sehingga para pemimpin dapat memperoleh manfaat dari “mentoring terbalik”.
    Kelima, manfaatkan keinginan Gen Z untuk berubah. Gen-Z akan terus menantang status quo dan memiliki lebih banyak suara dan dampak di tempat kerja. Para pemimpin harus menyadari bahwa Gen-Z bukanlah “alien” dari planet lain (seperti yang sering digambarkan), melainkan merupakan katalisator kolektif untuk perubahan yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan strategis. Pemimpin yang gagal memanfaatkan kekuatan Gen-Z menempatkan organisasi mereka pada posisi yang tidak menguntungkan.
    Keenam, fokuslah pada pendekatan personal. Sangat mudah untuk membuat stereotip generasi yang berbeda, tetapi berfokus pada individu dan apa yang memotivasi dan menginspirasi mereka adalah jalan terbaik ke depan. Mengetahui bahwa Gen-Z termotivasi oleh perasaan dihargai, berkontribusi, dan membuat perubahan di tempat yang penting; para pemimpin harus mengikat upaya untuk memberi dampak, memperkuat apresiasi mereka, dan mempertimbangkan investasi dalam pengembangan agar tim terus bergerak maju.
    Ketujuh, legowolah untuk belajar dari mereka. Gen-Z berbeda dalam kenyamanan mereka dengan teknologi. Mereka terlahir dengan itu dan memiliki kemudahan bawaan untuk berinteraksi dengan informasi dan “konektivitas” yang dapat dikembangkan oleh teknologi. Mereka memandang dunia sebagai tempat yang sama-sama dapat diakses, dan mereka membawa ide-ide baru yang besar. Pemimpin perlu memiliki rasa ingin tahu dan keterbukaan untuk belajar dari mereka, sama seperti mereka akan belajar dari pemimpin saat ini.
    Kedelapan, hilangkan budaya kerja Toxic. Gen-Z tidak mentolerir budaya beracun, diskriminasi, ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan manajemen, atau pekerjaan yang tidak fleksibel agar sesuai dengan kehidupan pribadi mereka. Pemimpin perlu melakukan percakapan dengan semua anggota tim untuk membangun budaya kerja yang aman dan menyelaraskan harapan dan komitmen, dan mereka perlu terbuka untuk membahas budaya kerja. Gen-Z tidak peduli dengan apa yang kita ketahui sampai mereka tahu bahwa kita peduli.
    Kesembilan, ciptakan lingkungan yang mendukung.  Generasi-Z telah menantang norma-norma di tempat kerja tradisional dengan bersikap terbuka dan jujur tentang kebutuhan mereka sendiri. Para pemimpin dapat bersiap untuk mengelola generasi yang dinamis ini dengan mengenal mereka dan memahami kebutuhan mereka, kemudian membina lingkungan yang mendukung agar mereka berkembang dan produktif, sehingga membangun kepercayaan. Jika tidak, mereka akan menciptakan peluang mereka sendiri untuk berkembang dan berkembang.
    Nah, bagaimana dengan pengalaman Anda? Seberapa baik Anda merangkul Gen Z? Siapkah organisasi Anda “terbang lebih tinggi” lagi karena dukungan mereka?