Tag: Disrupsi

  • Pola Pikir Yang “Ramah VUCA”

                     Dalam tiga tahun terakhir, pelaku dan pengamat bisnis dihebohkan oleh apa yang disebut dengan VUCA. Suatu istilah yang merupakan kependekan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Satu kata yang seakan telah melekat dengan era disrupsi.

    Jika kita telisik lebih jauh, gegap gempita VUCA di Indonesia sejatinya relatif lambat. Pasalnya, VUCA sudah mulai bergaung di Amerika Serikat jauh sebelum saya lahir – lebih tepatnya pada tahun 1987. Istilah tersebut merujuk pada teori kepemimpinan yang dikumandangkan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus untuk menggambarkan kondisi dunia yang sarat dengan gejolak, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas.

    Jika istilah VUCA di Negeri Paman Sam sudah menjadi bahan perbincangan sejak berakhirnya Perang Dingin – khususnya mulai tahun 2002, di tanah air baru “meledak” belakangan. Hal itu nampaknya ditopang oleh masifnya bisnis digital yang mengejutkan banyak pihak. Ditandai oleh munculnya berderet startup yang “mencuri” perhatian publik seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak, Tokopedia, dan seterusnya.

    Era VUCA memang telah melahirkan “wajah baru” dalam belantika bisnis tanah air. Di saat yang bersamaan, para pemain lama yang tak inovatif terpaksa gulung tikar.

    Era VUCA dianggap sebagai biang keladi hilangnya beberapa profesi yang dulu kala menjadi primadona. Secara paralel, menjadi berkah bagi banyak orang dengan lahirnya berderet profesi baru.

    Belakangan ini, saya bersama tim membantu salah satu perusahaan plat merah dalam program transformasi digital. Dalam misi tersebut, saya diingatkan betapa para manajer dan pemimpin di sekitar kita banyak yang “kelabakan”. Khususnya dalam menyikapi gegap gempita VUCA.

    Salah satu temuan paling sederhana ialah tidak sedikit di antara mereka yang ketakutan dengan “tsunami digital”. Berbagai perusahaan seakan-akan tidak mau kalah antara satu dengan yang lainnya. Ada yang menjalankannya secara mandiri, ada pula yang mempercayakan pada konsultan.

    Sejauh pengamatan saya, tidak semua perusahaan yang menjalankan program transformasi digital benar-benar “melek” dengan apa yang dilakukannya. Artinya, mereka mungkin bisa saja merombak habis-habisan intrastruktur dan strategi untuk “ramah” dengan dunia digital. Namun, mereka sering kali melupakan “ruh” dari transformasi itu sendiri.

    Yang pertama dan paling utama dalam proses transformasi digital sejatinya ialah transformasi pola pikir. Karena dari situ bisa mendorong transformasi kapabilitas dan transformasi budaya organisasi.

    Apa guna infrastruktur dan strategi transformasi digital jika orang-orang yang menjalankannya belum “siap mental”? Apa jadinya jika pucuk pimpinan perusahaan dan kepala bagian SDM menggembor-gemborkan transformasi digital jika pola pikirnya tidak diubah lebih dulu? Apa hasil dari transformasi digital yang tidak didukung oleh kumpulan individu dan tim yang lincah?

    Pada ekosistem digital seperti dewasa ini; Anda, saya, dan kita semua dituntut untuk memiliki inovasi yang agile guna menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang belum diketahui. Oleh karena itu, urgensi untuk memiliki empat pola pikir digital di bawah tak terelakkan lagi.

    Pertama, pola pikir cheetah untuk menjawab situasi yang cepat berubah-ubah. Caranya dengan membayangkan, memikirkan, menanggapi atau memberdayakan orang-orang di sekitar kita. Kata kuncinya, buruan!

    Kedua, pola pikir hamster untuk menjawab ketidakpastian. Saya dan Anda dituntut untuk mengandalkan intuisi dengan terus mencoba-coba guna mendapatkan solusi terbaik untuk organisasi kita masing-masing. Kata kuncinya, bereksperimenlah!

    Ketiga, pola pikir penjelajah untuk menjawab kompleksitas. Artinya, kita diwajibkan untuk menyederhanakan sekaligus melakukan apa saja dengan memanfaatkan data guna memvalidasi masalah. Kata kuncinya, benarkah ini masalahnya?

                    Keempat, pola pikir penyerang untuk menjawab ambiguitas. Maksudnya? Berpikiran terbuka, terus menerus mengembangkan diri dan mendisrupsi apa yang dapat kita lakukan ialah kewajiban. Kata kuncinya, disrupsilah sebelum terdisrupsi!

                    Apakah Anda setuju dengan empat pola pikir di atas? Apapun jawaban Anda, perlu saya ingatkan lagi dan lagi bahwa teknologi sendiri bukanlah disruptor-nya. Namun yang pasti tidak berorientasi pelangganlah yang membuat bisnis atau organisasi Anda tersingkir dari peredaran.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat oleh Intipesan pada 21 November 2018 

  • Membangun Tim Yang Lincah Di Era Disrupsi  

                  Kelincahan agaknya merupakan diksi yang paling dibicarakan dalam lima tahun terakhir. Pasalnya, disrupsi di berbagai lini sudah tidak bisa dibendung lagi.

    Kelincahan ialah jawaban pada era yang identik dengan Volatility, Uncertainty, Complexity, & Ambiguity (VUCA) ini. Suatu masa ketika perubahan yang sangat cepat tak dapat dihindari. Suatu zaman ketika siapa saja seolah-olah sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Suatu periode yang sarat dengan kompleksitas. Suatu era tatkala realitas dan imaginasi seakan-akan kabur dalam gejolak yang tiada henti.

    Genderang perang “adu-lincah” telah ditabuh di mana-mana. Berderet organisasi yang tidak siap sedang kalang-kabut atau menunggu kehancuran. Sebagian terdengar telah merumahkan pekerjanya besar-besaran. Sebagian lagi mulai meronta-ronta di hadapan firma konsultasi untuk dijadikan mitra transformasi.

    Memang begitulah peta perubahan zaman kekinian. Tak terhitung berapa banyak konglomerasi yang satu-persatu gurita bisnisnya bertumbangan lantaran kurang gesit. Berbagai perusahaan yang dulu  merasa “di atas langit” kini terbengong-bengong dengan kemunculan Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan “rekan-rekannya”.  Bahkan, pemerintah sendiripun dalam tingkat tertentu merasa “kelabakan” dalam mengakomodasi kebijakan ataupun peraturan yang pro-kelincahan.

    Saya langsung teringat dengan petuah Pendiri Amazon Jeff Bezos. Bahwa di era volatilitas seperti saat ini, tidak ada cara lain selain menemukan kembali (nilai organisasi). Karena satu-satunya keunggulan berkelanjutan yang Anda miliki atas orang lain ialah kelincahan – itu saja. Mengingat tidak ada hal lain yang berkelanjutan; apapun yang Anda buat, orang lain akan mereplikasinya.

    Tentu, setiap organisasi di level manapun saat ini sedang bertanya-tanya. Bagaimana cara memprediksi, mengantisipasi, dan memanfaatkan situasi yang berubah dengan sedemikian cepatnya ini?

    Membangun kinerja tim yang lincah sudah menjadi keharusan untuk bisa bertahan dan menang di era disrupsi. Itu hanya bisa dilakukan melalui 5 (lima) tahap yang harus dijalankan secara berkelanjutan. Dimulai dari lingkup tim terkecil dalam struktur organisasi Anda.

    Pertama, meritokrasi gagasan. Ini harus diterapkan di setiap tim dalam organisasi. Siapapun yang memiliki gagasan terbaik untuk kepentingan perusahanaan harus diterima, apapun jabatan yang mengusulkannya. Prinsip ini hanya bisa diterapkan jika transparansi, keterbukaan, kerendahan hati, kepercayaan, dan persahabatan dalam tim terjaga.

    Kedua, kerjasama. Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin tim atau anggota tim dengan seseorang dari tim lain yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi secara menyeluruh.

    Ketiga, koordinasi. Ialah aktivitas PDCA (rencanakan, kerjakan, cek, tindaklanjuti) yang dilakukan oleh anggota tim sendiri dengan orang dari tim lain guna mencapai tujuan bersama.

    Keempat, kolaborasi. Adalah PDCA yang dilakukan oleh pemimpin tim guna memungkinkan para anggota tim bekerja sama untuk mencapai goal dengan kelincahan, fleksibilitas dan efisiensi.

    Kelima, kelincahan. Merupakan kemampuan sebuah tim atau sekumpulan tim untuk menemukan gagasan terbaik di antara berbagai alternatif guna bertindak dan menanggapi sesuatu dengan cepat dan mudah dalam upaya mencapai goal.

    Kelincahan memang hanya satu di antara aspek yang harus diperhatikan di era disrupsi. Di luar itu ada berderet aspek lain yang mempengaruhi berkinerja tinggi atau tidaknya sebuah tim. Namun yang pasti, kelincahan ibarat kualitas bahan bakar sekaligus mesin yang menentukan berjalan atau tidaknya organisasi secara berkelanjutan.*

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 16 Oktober 2018