Tag: Agung Setiyo Wibowo

  • Anda Ingin Menjadi Sebaik Apa?

     

    Baru-baru ini saya beranjangsana di kediaman Vishnu (bukan  nama sebenarnya). Beliau merupakan salah satu pangarang papan atas di Asia. Karya-karyanya menghiasi daftar buku terlaris di kawasan ini.

    Seperti biasa, pertemuan diawali dengan berbasa-basi. Mengenal satu sama lain. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, bisnis, hobi, rumah tangga, hingga bagaimana memandang kehidupan.

    Sebagai Gen Y yang masih haus dengan pengalaman, pertemuan seperti ini jelas tidak saya sia-siakan begitu saja. Terlebih lagi, tidak mudah mendapatkan slot wawancara untuk orang sekaliber Vishnu yang setiap saat “mondar-mandir” di bandara. Salah satu pertanda betapa tingginya mobilitas pria itu.

    Jika disarikan, sebenarnya ada berderet pesan moral yang disampaikannya. Namun, dari seabrek itu ada satu yang paling berkesan bagi saya. Tidak lain, tidak bukan ialah pertanyaan, “anda ingin menjadi sebaik apa”.

    Jujur, pertanyaan tersebut benar-benar menampar hati saya. Sederhana tapi begitu mendalam maknanya. Mungkin juga berlaku bagi Anda.

    Sering kali kita memiliki angan-angan besar. Acap kali kita didorong lingkungan untuk bermimpi setinggi-tingginya. Tidak jarang kita mendapatkan “tekanan sosial” untuk mencapai target-target tertentu. Sudah terbiasa kita mematok diri sendiri untuk melakukan X, memiliki Y, dan menduduki Z.

                Pertanyaan saya sekarang ialah, “anda ingin menjadi sebaik apa?” Sah-sah saja menetapkan mimpi, tujuan atau target. Tapi, apakah kita siap membayar harganya? Mudah saja berangan-angan, tapi apakah kita berkomitmen untuk mewujudkannya?

    Target hanyalah target jika kita hanya diam. Mimpi hanyalah mimpi jika kita bermalas-masalan. Tujuan hanya tujuan jika kita tidak melakukan apa-apa.

    Sebagian besar orang sebenarnya sudah berupaya untuk mewujudkan mimpi, tujuan, dan target hidupnya. Tapi tidak semua berhasil mereguknya. Di mana kesalahannya?

    Sangat mudah dijawab. Biang keladinya bernama “standar” atau “batas toleransi” yang kita buat sendiri di alam pikiran.

    Misalnya nih. Steve ingin menjadi Salesman dengan penghasilan minimal 1 Miliar perbulan. Untuk mencapai itu, setidaknya ia harus melakukan cold calling kepada 100 orang perhari dan bertatap muka langsung kepada 20 orang. Setiap saat, ia mendapati masalah yang mengancam targetnya. Entah karena faktor cuaca, prospek yang “kurang berpihak”, kemacetan jalan, kesehatan, kecapekan, hingga mood yang fluktuatif.

    Jika Steve memang benar ingin menjadi orang yang keren, sudah selayaknya ia membayar “harga” untuk mendapatkan minimal 1 M perbulan. Namun, setinggi apa Steve memberikan toleransi kepada dirinya jika faktor-faktor eksternal yang menghambat datang kepadanya? Di titik itulah motivasi sesorang diuji. Apakah ia benar-benar memiliki “panggilan” untuk do something atau sebaliknya.

    Contoh yang paling mudah juga berlaku di bidang politik. Katakanlah Anda saat ini sudah berhasil menjadi walikota di daerah Anda. Jika ambisi Anda besar, bukan tidak mungkin Anda akan mengejar posisi yang lebih tinggi seperti gubernur, menteri, hingga presiden. Jika Anda cukup berpuas diri dengan menjadi walikota, itulah yang menjadi “batas” atau “toleransi” yang Anda ciptakan di alam pikiran sendiri. Itulah ukuran keberhasilan yang Anda patok sendiri. Itulah target, tujuan, atau mimpi versi Anda.

    Bagi sebagian orang, menjadi walikota bisa jadi sudah membuat hati merinding karena kagum. Bagi sebagian lainnya, bisa jadi belumlah apa-apa. Nah, itulah artinya target, tujuan, atau mimpi yang bermuara pada pikiran. Satu hal yang bersumber pada pertanyaan, “anda ingin menjadi sebaik apa?”

    Semoga apa yang disampaikan Vishnu menjadi pelajaran bagi kita semua. Sukses atau gagal bagi setiap orang itu relatif. Besar atau kecilnya mimpi bagi setiap individu itu subyektif. Semua kembali kepada hati nurani Anda. Anda ingin menjadi sebaik apa?

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 7 September 2017. 

  • Mengapa Kebahagiaan Tak Kunjung Diraih?

    Semua orang mungkin mengamini bahwasannya hidup ini hanya sekali.Dari tunawisma di kolong jembatan, Wakil Rakyat di Senayan, tukang loak di pasar tradisional, artis yang tiap hari mondar-mandir di layarkaca, da’i sejuta ummat, hingga tentu Anda sendiri. Oleh karenanya, setiap orang berlomba-lomba untuk mengejar mimpi sesuai kadar masing-masing.

    Mimpi seperti apa yang dikejar orang kebanyakan? Yang pasti, jawabannya akan relatif. Namun, jika boleh saya sarikan ada tiga hal besar. Ada yang mengejar ketiga hal sekaligus, ada yang dua diantaranya, ada juga yang hanya berkutat di satu hal.

    Pertama, pemburu harta benda. Secara naluriah, manusia digariskan untuk bekerja. Dengan bekerja, ia dapat menghasilkan pundi-pundi Rupiah yang digunakannya memenuhi segala macam kebutuhan. Baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kebugaran, rekreasi, dantakterhingga. Sayangnya, manusia memang memiliki kesamaan dengan binatang. Bersifat rakus, selalu merasa kurang, tidak pernah merasa puas, dan seringkali abai dengan moralitas. Apa contohnya? Lihat saja ratusan birokrat yang terjerumus kasus korupsi, pengusaha yang berani menggemplang pajak, orang-orang yang mencari ‘pesugihan’ untuk mereguk kekayaan dengan jalan pintas, atau maraknya perjudian.

    Kedua, pencari ketenaran. Kebutuhan untuk diakui, dikenal, dipuji, atau dielu-elukan merupakan hal lain yang dikejar orang. Biasanya ini dilalui jika hal pertama terpenuhi. Namun, sebagian kecil lainnya memang mengejar yang pertama dengan cara ini. Tengoklah di berbagai liputan media. Berapa ribu peserta setiap diadakan kontes Peagants, ajang pencarian bakat, atau perlombaan apa saja yang dilakukan media. Di sisi lain, berapa banyak politisi, pengusaha, atau tokoh masyarakat yang menggunakan segala cara untuk meningkatkan pamor. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang untuk mendongkrak publisitas.Tidak ada bedanya dengan mengiklankan produk atau jasa.Semuanya berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatan, memperlihatkan prestasi yang diraih, atau mensyiarkan kebaikan yang pernah dilakukan.

    Ketiga, pejuang kekuasaan. Hal ini dikejar jika yang pertama atau kedua telah digaet. Sebagian kecil fokus mengejarnya sejak kecil kendati hal pertama dan kedua tak terpikirkan. Contohnya mudah ditemui. Pengusaha yang masuk politik untuk melanggengkan imperium bisnisnya, public figure yang dipinang partai politik untuk memenangkan perolehan suara, aktivis sosial yang tergoda duduk dengan jabatan DPRD hingga DPR RI, dan sebagainya. Memang ada sih yang berpolitik secara idealis untuk memperjuangkan misi mulia. Namun sayangnya kebanyakan masih terbatas memenuhi syahwat kekuasaan yang bergelora.

    Untuk mencapai tiga hal di atas dengan patokan “sukses” di mata kebanyakan orang tidaklah mudah. Ada harga mahal yang harus dibayar.Mulai dari sulitnya waktu berkumpul dengan keluarga, jam tidur yang berantakan, kebugaran tubuh yang tergadaikan, percekcokan dengan kolega, atau kesalah pahaman orang-orang terdekat dengan sepak terjangnya. Akibatnya, hidup dipenuhi ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan keraguan yang tak berkesudahan.

    Sebenarnya, sebagian besar orang mengejar tiga hal di atas untuk mencapai kebahagiaan. Sayangnya, pengendalian emosi yang kurang baik justru semakin menjauhkannya. Ada orang yang berpikir harus kaya dulu sebelum bahagia, menjadikan ketenaran sebagai syarat bahagia, dan berkuasa baruba hagia. Masalahnya, ketiga hal di atas bukan penjamin kebahagiaan.

    Lantas, apakah mengejar harta benda, ketenaran, dan kekuasaan salah?Samas ekali tidak selama niatnya benar. Misalnya memburu harta benda agar bisa berderma lebih banyak, mengejar ketenaran supaya jalan hidupnya menjadi inspirasi, mengejar kedudukan untuk memperjuangkan misi kemanusiaan nan hakiki.

    Banyak orang tidak mengerti mengapa kebahagiaan yang dikejar tak kunjung diraih. Biasanya watak ‘keakuan’ atau ego yang mendominasi setiap gerak langkahnya. Jika tidak, mereka gagal mengendalikan keinginan yang tak berkesudahan. Akibatnya, ketidaktenangan batin atau kecemasan dalam hati sulit sulit keluar dari diri. Dengan demikian, apa resep untuk mereguk kebahagiaan? Sederhana sekali. Dalam memperjuangkan apapun, tanggalkan keakuan dan keinginan. Niatkan segala langkah untuk menebarkan manfaat kepada sesama, menciptakan nilai tambah, dan mengabdi kepadaTuhan.

    Dalam kamus falsafah Jawa, fenomena di atas disepadankan dengan peribahasa “mburu uceng kelangan deleg”. Uceng adalah salah satu jenis ikan berukuran kecil yang mudah ditemui di sungai-sungai di pedesaan Jawa. Adapun deleg adalah ikan berukuran besar yang biasanya dikenal dengan nama gabus. Uceng merupakan gambaran nikmat pemberian Tuhan yang besarnya hanya sepucuk jarum akan tetapi dikejar setiap waktu dengan pengerahan segala tenaga, pikiran, biaya dan upaya. Akan tetapi deleg, gambaran dari simbol Tuhan atau keagamaan terlupakan.

    Lantas, apa arti yang tersirat?  Kira-kira maknanya ialah jangan hanya mengejar hal-hal sekunder dengan melupakan hal primer. Sering kali kita memang berjuang habis-habisan untuk mengejar tiga hal di atas akan tetapi acuh dengan hal-hal yang sejatinya lebih penting seperti mengamalkan ajaran agama, mendidik anak, bersilaturrahmi, berderma, atau mengupayakan misi yang berdampak untuk orang banyak.

    Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Jika yang dikejar adalah kebahagiaan, memang sudah fitrahnya kita menyadari bahwa kenikmatan duniawi yang digambarkan “uceng”sebaiknya tidak melupakan kita kepada “deleg” yaitu Tuhan. Memang tidak mudah untuk memprioritaskan dan menyeimbangkan pengejaran uceng atau deleg. Tapi jika ada niat yang kuat, bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat mengejar (dan menikmati) kebahagiaan.

     

    Dimuat pertama kali di Inti Pesan, 30 Agustus 2017 

  • Apa Guna Berkejar-Kejaran?

    Tabik.

    Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan sahabat lama saya. Sebut saja bernama Sekar. Kami pernah sama-sama bekerja di salah satu organisasi nirlaba papan atas Indonesia yang tidak lain adalah “kantor” resmi pertama saya sebelum menamatkan sarjana.

    Sekar saat ini belajar dan tinggal di Denmark. Ia berstatus sebagai mahasiswa penerima beasiswa Pemerintah Denmark sekaligus satu dari segelintir diaspora nusantara di sana.

    Sekar merupakan potret kelas menengah atas Ibukota. Ia lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang “berada”. Ayahnya seorang pengusaha, sedangkan kakeknya adalah seorang Duta Besar RI untuk Italia di era Soeharto. Sejak kecil, ia sudah terbiasa berkeliling dunia mengikuti kerja sang ayah dan kakeknya. Tak  mengherankan jika ia merupakan polygot (orang yan menguasai beragam bahasa).

    Sekar berparas ayu. Jika dari samping, wajahnya benar-benar mirip dengan Dian Sastro Wardoyo. Ia hanya terpaut beberapa centimeter lebih pendek dari pemeran Cinta tersebut.

    Sebagai gadis Ibukota dari keluarga papan atas, sejak belia Sekar mendapatkan fasilitas terbaik dari kedua orang tuanya. Ia lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi dari sebuah kampus di pinggiran Jakarta. Sebelum lulus, ia sempat magang di PBB Kantor Jakarta sebelum bergabung dengan kantor tempat kami berjumpa.

    Sekar sempat berpacaran dengan George (bukan nama sebenarnya). Seorang pria jebolan Institut Teknologi Bandung jurusan Arsitektur dan MBA dari Cambridge University, Inggris. Setamat dari Tanah Eropa, George mendirikan sebuah Think Tank yang didukung oleh salah satu tokoh nasional. Singkat cerita, Sekar dan George benar-benar seperti pasangan ideal. Dilihat dari sudut pandang apapun. Berparas apik, mapan secara finansial, berpendidikan tinggi, datang dari keluarga terpandang, dan mandiri. Benar-benar sempurna.

    Namun, nasib orang tiada yang tahu. Setelah bertahun-tahun menjalin ikatan asmara, keduanya memutuskan untuk berpisah.

    Sebagai “tindak lanjut” dari statusnya yang menjomblo, baru-baru ini Sekar menulis sebuah status di Facebook yang membuat heboh. Pasalnya, ia mengungkapkan pesan di saat yang tepat bernama lebaran.

    Alih-alih “terpukul” karena ditanya ini-itu, ia memiliki ide cemerlang untuk “membalas balik” ketika momen silaturrahmi khas Idul Fitri datang.

    • Ketika ditanya, “kapan menikah”. Serang balik dengan “apa saja pencapaian setahun terakhir?”
    • Ketika ditanya, “kapan punya anak”. Serang balik dengan “resolusi mana yang belum terwujud?”
    • Ketika ditanya, “kapan puya mobil baru”. Serang balik dengan “sudah liburan ke mana saja setahun terakhir?”
    • Ketika ditanya, “kapan renovasi rumah”. Serang balik dengan “apa yang telah Anda lakukan untuk orang-orang di sekeliling kita”

    Jurus serang balik di atas sama sekali bukan untuk menyombongkan diri atau sikap negatif. Namun, hanya untuk afirmasi diri. Menyikapi hidup dengan benar.

    Mengapa saya tekankan seperti itu?

    Momen lebaran yang datang hanya setahun sekali bukan malah untuk menyambung tali komunikasi secara tulus. Tapi telah ternodai dengan pola komunikasi yang destruktif.

    Para jomblo “tertampar” ketika ditanya kapan nikah. Para pengantin baru “terpukul”  karena didesak untuk segera memiliki momongan. Para ayah “tersinggung” ketika disindir atas kepemilikan kendaraan hingga tempat tinggal. Para remaja “tersungkur” karena merasa tersaingi oleh rekan-rekannya yang baru saja membeli gawai keluaran terburu. Para ibu “tertekan” ketika mendengar orang-orang sekaumnya baru saja bepergian ke tempat-tempat wah.

    Momen-momen berkumpul seperti lebaran dan reuni sudah mulai kehilangan ruhnya. Sudah bukan lagi ajang untuk menyambung ikatan persaudaraan dan pertemanan. Tapi sudah melenceng sebagai ajang pamer status kekayaan, kekuasaan dan ketenaran. Sudah menjadi wadah untuk sok-sokan.

    Mungkin ini tidak terjadi di setiap tempat. Tapi setidaknya sering kita jumpai di sekitar kita. Entah disadari atau tidak.

    Pada akhirnya, cepat atau lambat kita akan tersadar. Bahwa hidup bukanlah tentang kejar-mengejar. Karena toh jalan hidup individu berbeda-beda.

    Setiap orang memiliki orbit masing-masing. Apa guna silau dengan pencapaian tetangga?

    Rezeki telah digariskan oleh Sang Hyang Widi Wasa. Apa guna iri dengan kepemilikan duniawi rekan-rekan terdekat?

    Setiap pribadi memiliki masalah tersendiri. Apa guna diperbandingkan hasilnya?

    Daripada capek mengurusi orang lain. Mengapa kita tidak berintropeksi diri? Bukankah umur kita  di dunia makin pendek dari hari ke hari? Bukankah kebahagiaan ada di dalam diri? Untuk apa semua yang kita perjuangkan di dunia ini? Saya yakin nurani Anda sudah memiliki jawaban terbijak.

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di HR Plasa, 5 September 2017

  • Hidup Sejatinya Rangkaian dari Pilih-memilih

    Hidup Sejatinya Rangkaian dari Pilih-memilih

    Bagi Agung Setiyo Wibowo, hidup adalah memilih. Baginya, untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana. ”Hidup sejatinya merupakan rangkaian dari pilih-memilih. Dari urusan yang paling sederhana seperti memilih menu makanan, kostum, dan hangout hingga yang paling rumit seperti jodoh, pekerjaan, dan rumah tinggal. Siapapun yang ingin sukses secara lahir ataupun batin tidak bisa dilepaskan dari urusan memilih. Dan itu semua bermuara pada self-discovery,” ungkapnya ke Bernas (28/4).

    Ya, hidup adalah memilih. Pada 30 Desember 2015, ia memilih mengundurkan diri di sebuah firma konsultansi manajemen ternama di Indonesia. Padahal, posisinya (sekaligus gaji), waktu itu bisa dikatakan sudah lumayan. “Itu mengapa, banyak orang yang menyayangkan keputusan saya yang dianggap ‘tidak populer’. Lalu, apa yang saya lakukan? Saya ingin memenuhi cita-cita saya menjadi seorang Profesor ketika masih kuliah S1. Jadi, terhitung 1 Januari 2016, saya belajar siang dan malam untuk fokus persiapan PhD di Amerika Serikat. Ribuan buku dan jurnal ilmiah saya lahap. Saya mondar-mandir dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain di Ibukota,” ujarnya.

    Saat itu, ia merasa hidup memang tidak selamanya seperti yang kita inginkan. Setelah 6 bulan mati-matian mempersiapkan PhD, hasilnya tidak seperti yang direncanakan. Ia berpikir dengan fokus belajar di perpustakaan bisa mempercepat proses untuk Strata Tiga, tapi kenyataannya tidak demikian. “Jenjang Doktoral berbeda sekali dengan dua jenjang sebelumnya. Jadi, semakin banyak saya baca, semakin bertambah pula kebingungan saya. Mengapa itu terjadi? Karena saya memiliki terlalu banyak alternatif topik  penelitian sehingga, sulit  untuk bisa  yakin dengan satu atau dua Research Question,” jelasnya.

    Ketika itu, dunia seperti kiamat saja. Kepercayaan diri yang sebelumnya setinggi langit, tiba-tiba habis tak tersisa. Ia berada di titik terendah dalam hidup. Bisa dikatakan down dan depresi berat. Ia merasa sudah mengorbankan semua waktu, tenaga, pikiran, dan biaya dari jauh-jauh hari sejak pertama kuliah S1 apalagi sudah mengorbankan diri untuk resign hanya untuk PhD. “Terlebih lagi semua anggota keluarga, sahabat, dan rekan kerja sudah saya beritahu niat saya untuk pergi ke Negeri Paman Sam. Apa kata mereka ketika saya gagal? Saya benar-benar merasa menjadi orang paling gagal. Pesimisme dan pikiran negatif pun menguasai pikiran. Menyalahkan diri, kecewa, dan menyesali diri merupakan sikap yang saya ambil waktu itu,” terangnya.

    Namun, ia tidak ingin berlama-lama dalam kubangan kegalauan. Setelah merasa 6 bulan berjuang untuk PhD tanpa hasil di Jakarta, ia pulang kampung  dengan “beban moral” yang maha berat. Ia pun mengambil jeda sejenak dari hiruk-pikuk ambisi akademik. “Dan Voila . . .saya mendapatkan kesempatan mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Beberapa kampus di Pulau Jawa, hingga di Jayapura, dan Tanjungpinang. Setelah saya renungkan, saya memilih untuk mengajar di Tanjungpinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Karena saya pikir, kota-kota di Pulau Jawa sudah sangat semrawut. Bukan main macetnya. Bukan rahasia lagi betapa sesaknya manusia di situ,” katanya.

    Selanjutnya, yang dilakukan di semester kedua tahun 2016, ia menjadi dosen dan trainer di ibukota provinsi yang kebetulan terletak di Pulau Bintan. “Saya sengaja mengajar untuk mencoba, apakah menjadi dosen merupakan hal yang benar-benar saya inginkan. Di saat yang bersamaan, saya mendirikan Bintan Intitute. Sebuah forum pelatihan yang menyasar kawula muda. Jadi, saya bertindak sebagai pendiri sekaligus Master Trainer. Saya memberikan pelatihan berbagai topik, mulai dari Personality, Self-Discovery, Personal Mastery, Public Speaking, English Proficiency, Leadership, Communications, hingga Writing. Para mahasiswa yang saya latih ternyata sangat antusias. Kepercayaan diri saya pun meningkat berlipat-lipat,” ujarnya.

    Di awal 2017 ini, ia pun mendapati diri dalam titik balik karena merasa lebih menikmati menjadi seorang Trainer daripada Dosen. “Meski saya sadar keduanya sama-sama membagikan ilmu. Meski saya tahu keduanya juga bisa dikatakan sebagai seorang guru. Sebuah profesi yang saya impikan di masa SD,” imbuhnya.

    Di bulan kelahirannya (Februari), ia pun  memilih untuk mengambil keputusan besar. “Rencana untuk menetap di Pulau  Bintan hingga PhD di Amerika saya kubur. Dengan berat hati, saya meninggalkan Tanjungpinang yang begitu cantik alam dan budayanya. Dengan sangat menyesal, saya harus berpisah dengan para mahasiswa dari Negeri Segantang Lada yang saya cintai. Saya kembali meniti mimpi di Jakarta,” tuturnya.

    Baginya, tahun 2016, ia sebut sebagai Sabbatical atau bisa juga dinamakan Gap Year. Sebuah masa jeda untuk pencarian diri. “Sebuah Career Break yang saya habiskan dengan menulis tiga buku, ratusan artikel, traveling, mengajar, dan mencoba hal-hal baru. Sebuah masa yang menyadarkan saya bahwa hidup ibarat roda yang terus berputar. Mirip Roller Coaster,” ucapnya.

    Ia pun membagikan inspirasi dan sarannya kepada orang lain yang membaca kisah Anda ini. “Bahwa hidup ini singkat. Daripada mengejar kebahagiaan semu, alangkah lebih bijaksananya untuk memperjuangkan kebahagiaan hakiki. So, self-discovery is the first step to get all what you want, to have, and to become. Untuk saran, kenali potensi diri sendiri. Bisa dimulai dari minat, bakat, kekuatan (kelebihan), dan kelemahan (kekurangan). Dari situ, kita bisa membuat peta jalan pribadi yang dapat diturunkan menjadi goal-goal jangka panjang dan pendek. Dan diturunkan lagi menjadi rencana aksi. Anda harus menjadi orang yang paling tahu mengenai diri sendiri dibandingkan oleh siapapun,” bebernya.

    Penyuka hobi bercerita ini membocorkan project dalam waktu dekat dan impiannya. Untuk project, menerbitkan 3 (tiga) buku. Satu sudah selesai ditulis tinggal mencari penerbit. Satu sedang ditulis. Dan yang terakhir masih dalam tahap riset.  Untuk impian, memiliki social enterprise yang fokus pada bidang pengembangan diri, kepemimpinan, dan pendidikan. Selain itu, menerbitkan lebih banyak lagi buku-buku bermutu yang bisa mengubah hidup orang banyak. Pada akhirnya, bisa membantu pemerintah dalam pemberdayaan sumber daya manusia,” pungkasnya.

     

    Sumber: Harian Bernas, 5 Mei 2017 

  • Menjadi Kapten untuk Pikiran

    Tabik.

    Beberapa tahun terakhir mungkin satu kata yang paling membekas di hati saya adalah pikiran. Pasalnya ia menjadi kata kunci sakti, yang menjadi benang merah petualangan intelektual  saya.

    Mengapa pikiran bukan yang lain?

    Sederhana saja. Pikiran merupakan “otak” sesungguhnya dari manusia. Itu mengapa orang bijak bilang bahwa apa yang kita pikirkan itulah yang akan menjadi kenyataan. Pun dalam kitab suci yang saya yakini dijelaskan bahwa Tuhan mengikuti prasangka hambanya.

    Maka tak mengherankan jika nasib seseorang bukan ditentukan oleh bagaimana cara mengelola pikiran. Bukan ditentukan setinggi apa jenjang pendidikan kita, sekaya apa orang tua kita, di kota mana kita tinggal, atau agama apa yang kita imani.

    Pikiran memang “mesin” sesungguhnya dari robot berotak yang bernama manusia. Ibarat komputer, di layar tidak akan muncul huruf X jika kita tidak mengetik huruf X. Tidak akan ada piranti lunak Adobe bila kita tidak memasangnya. Akan terus-menerus dihantui oleh virus yang berbahaya jika tak terpasang piranti lunak penangkal virus.

    Pikiran benar-benar dahsyat efeknya. Kita bisa dengan leluasa “mengunduh” program hingga menghilangkannya sesuai kemauan. Apa yang kita inginkan benar-benar bisa terwujud. Semua sikap, gerak-gerik, atau perilaku tidak akan pernah ada tanpa adanya pikiran yang menjadi komando.

    Banyak orang sukses karena cerdas mengelola pikirannya. Tidak kalah sedikit pula yang terpuruk karena gagal menjadi kapten pikirannya sendiri.

    Kalau sudah tahu begitu, apa yang kita ingin lakukan dalam hidup? Apakah kita menggantungkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang terjadi di luar diri kita? Apakah kita hanya reaktif meratapi hal-hal yang tidak kita harapkan? Maukah Anda terus mengeluh, mengutuk, dan menyalahkan orang lain jika ada hal-hal yang tidak mengenakkan?

    Semua kembali kepada Anda. Karena kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di hadapan kita. Tapi, kita bisa mengendalikan cara kita menyikapinya.

    Sekarang “bola” ada di kepala Anda. Apakah ingin menjadi kapten atau budak dari pikiran. Mau jadi pemenang atau pecundang Kehidupan? Mau proaktif atau reaktif? Mau aktif atau pasif? Mau “memimpin” pikiran sendiri atau pasrah mengikuti emosi yang tak  terkendalikan?

    Hidup adalah memilih. Tapi, untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di Inti Pesan, 21 Agustus 2017 

  • Membalikkan Inferiority Complex

    Sepanjang 2016 saya menghabiskan waktu produktif saya dengan Sabbatical. Sebuah episode hidup yang saya isi dengan kontemplasi, menekuni hobi, jalan-jalan dan menjadi sukarelawan pengajar di sebuah pulau yang hanya terpaut satu jam perjalanan via ferry dari Singapura dan Malaysia.

    Belakangan setelah saya renungkan kembali, Career Break tersebut merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil dalam hidup. Kendati tidak begitu populer di tengah masyarakat yang lebih menghargai “kesibukan”.

    Mungkin sebagian dari Anda bertanya-tanya, “bagaimana mungkin saya menyia-nyiakan usia emas saya dengan kegiatan yang tak menghasilkan materi? ”Bisa jadi sebagian lainnya menambahkan, “apa untungnya mengambil Gap Year?”

    Apapun kata orang, saya begitu menikmati masa jeda. Suatu fase yang memberikan saya kesempatan wawancara dengan ribuan orang dan membaca ribuan buku.

    Salah satu tokoh yang saya pelajari kisah hidupnya pada masa Sabbatical ialah Mahathir Mohamad – mantan perdana menteri sekaligus Bapak Pembangunan Malaysia. Sosok yang lahir di Alor Setar, Kedah ini pada tahun 2017 berusia 92 tahun. Ayah beliau merupakan keturunan India yang berprofesi sebagai guru. Sedangkan ibunya merupakan kaum Melayu semenanjung. Secara ekonomi keduanya hidup secara pas-pasan. Terlebih lagi pada masa itu pengaruh kolonial Inggris masih sangat kental. Sehingga, hanya warga keturunan raja atau “penjajah” yang dapat hidup makmur. Tak berbeda jauh dengan realita di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

    Mahathir tampil sebagai sosok yang sangat pemberani, cemerlang di bidang akademik, dan tak mau kalah (kiasu). Tamat dari jenjang SMA, beliau sempat ‘down’ lantaran impian untuk kuliah Hukum di Inggris kandas walaupun prestasinya begitu memukau. Tak mau berlarut-larut dalam kegalauan, ia sempat berdagang di pasar local bersama teman-temannya. Di tahun berikutnya, beliau mendapatkan beasiswa di Singapura dengan jurusan Kedokteran.

    Semasa kuliah di Singapura, beliau aktif dalam berorganisasi. Prestasi akademiknya berhasil dipertahankan. Yang paling mengesankan, pemikirannya kerap kali diterbitkan dalam harian berpengaruh The Strait Times walau harus memakai nama samaran. Lulus dari Singapura, beliau mengamalkan ilmunya melalui praktek kedokteran sebagaimana dokter-dokter muda lainnya. Selang beberapa lama, beliau membuka klinik sendiri atas bantuan kakak iparnya. Di usia 30 tahun, beliau terpanggil hatinya untuk berpolitik guna mengembalikan (atau lebih tepatnya mengangkat) marwah kaum Melayu yang menjadi budak di negeri sendiri.

    Berkat kegigihannya, beliau berhasil menjadi perdana menteri selama 22 tahun dengan pencapaian yang “tidak main-main”. Walau dikenal sangat rasis, beliau dikenal sebagai “bapak pembangunan”, yang menyulap Malaysia dari negara antah berantah menjadi negara yang cukup disegani. Hal itu ditandai dengan menara kembar Petronas, hadirnya sirkuit Sepang, dibangunnya Putrajaya, jaringan tol yang menghubungkan tepian Semenanjung hingga Sarawak dan Sabah, kenaikan signifikan pendapatan perkapita warganya dan masih banyak lagi.

    Namun tak banyak yang tahu apa rahasia di balik keberhasilan Mahathir. Apakah karena sebuah keberuntungan ataukah memang sungguh-sungguh diupayakan. Namun yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana perjalanannya semenjak usia kanak-kanak hingga remaja. Serta bagaimana gaya mendidik orang tuanya, sehingga mampu melahirkan sosok fenomenal sepertiitu.

     

    Dari Inferiority Complex ke Superiority Complex

    Ditinjau dari kacamata psikologi, Mahathir sejatinya mengalami apa yang disebut dengan Inferiority Complex. Adalah sebuah kesehatan mental yang ditandai dengan rendahnya harga diri, keraguan, dan ketidakpastian. Dari alam bawah sadar, orang seperti ini cenderung memiliki rasa dendam, keterasingan, dan depresi. Adapun bagi banyak orang, keadaan ini disulut oleh kombinasi antara karakateristik kepribadian genetik dan pengalaman pribadi.

    Inferiority Complex sebenarnya merupakan masalah psikologis yang jelas merugikan diri sendiri. Orang yang mengidap kondisi ini biasanya melabeli diri sendiri sebagai orang yang lemah, bodoh, jelek, tertinggal, kalah, tak berdaya, dan hal-hal negative lainnya. Hal tersebut ditunjukkan mulai dari lingkungan RT sampai sekolah. Pun diperparah dengan adanya penolakan dari teman dan keluarga. Juga harapan yang terlalu tinggi dari orang lain yang menjadikan dirinya makin terpuruk.

    Namun, seorang Mahathir tidak menyerah begitu saja ketika mengidap Inferiority Complex. Dia dari kecil menyadari sebagai orang yang cukup asing. Terlahir bukan dari keturunan raja Melayu semenanjung. Bukan dari keturunan kolonial Inggris. Bukan dari keturunan China yang biasanya sukses berdagang. Ia hanya terlahir dari keluarga keturunan India yang serba pas-pasan. Apalagi, ia dibesarkan di sebuah kota kecil yang tidak semaju Penang, Melaka, atau Kuala Lumpur.

    Menyadari segala kekurangan yang tersemat pada dirinya, Mahathir dididik oleh orang tuanya dengan tidak sembarangan. Sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara, ia mewarisi tiga nilai dari ayahnya: disiplin, kerja keras, dan perbaikan diri sendiri. Nilai itu menjadi “cambuk” bagi dirinya untuk menjadi yang terbaik.

    Sejak remaja, Mahathir bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin. Menyadari hal itu, ia selalu berusaha untuk mewujudkannya dari hal-hal yang terkecil. Selalu  get things done. Menjadi aktivis politik di kampus, menulis pemikirannya di harian ternama dan meluaskan pengaruhnya dengan strategi yang kreatif.

    Mahathir berhasil membalikkan Inferiority Complex menjadi Superiority Complex. Merasa sebagai “orang luar” (keturunan India) yang besar dan tumbuh di tengah kaum Melayu yang tertinggal, ia menasbihkan dirinya sebagai pemimpin. Oleh karenanya, di setiap tangga karirnya selalu memberikan yang terbaik. Dengan mewujudkan hal-hal yang oleh orang banyak dianggap tidak masuk akal. Ia memiliki kemauan yang kuat untuk mengikuti visinya, tidak gentar dengan segala kritikan, berani mengambil keputusan tidak populer, dan tidak pernah lelah untuk memberi dampak bagi orang banyak.

    Satu kutipan yang saya ingat dari Mahathir Mohamad adalah fight harder, shout louder & build bigger.  Bagi beliau untuk mewujudkan visi yang luhur kita harus berani untuk berjuang lebih keras, bersuara lebih lantang dan membangun sesuatu yang lebih besar dari orang kebanyakan. Tapi itu saja tidak cukup. Kita harus berani bersikap, berpikiran, dan bertindak layaknya Maverick. Sebuah kata yang menurut Kamus Oxford diartikan sebagai An unorthodox or independent -minded person. Seorang yang menurut etnis Sunda harus kekeuh  dalam mewujudkan apa yang benar-benar diinginkan dalam hidupnya.

    Are you ready to turn your inferiority complex to become a maverick like Mahathir Mohamad?

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 16 Agustus 2017