Stories

  • Bahagia yang Seperti Apa?

    Bahagia adalah satu kata yang begitu magis bagi saya. Dan mungkin untuk miliaran orang lainnya. Apa pasal?
    Apapun yang kita jalani memang untuk mewujudkannya. Apapun yang kita kejar demi menjadikannya kenyataan.
    Namun, sudahkah kamu bahagia?
    Ayo, jawab saja dengan jujur. Aku tak berhak memberikan penilaian, kok!
    Di sekitar kita, banyak sekali fenomena yang dapat kita jadikan pelajaran. Dari orang yang hanya mengejar harta, tahta dan wanita. Hingga orang yang hanya mati-matian mendambakan ketenaran. Apapun itu, setiap orang secara naluriah memang ingin berbahagia.
    Sayangnya, meski syarat bahagia sesungguhnya gratis; banyak orang yang tak mencapai titik kebahagiaan. Mengapa? Karena mereka membuat persyaratan ini atau itu. Mereka menyetel bahagia dengan syarat.
    Ada yang baru bisa bahagia ketika memiliki mobil termewah. Ada yang baru merasa bahagia jika menduduki posisi tertentu. Ada yang baru memandang dirinya bahagia ketika memiliki uang atau harta benda dengan patokan tertentu. Ada yang merasa baru akan bahagia ketika mendapatkan anak. Ada yang merasa akan bahagia hanya ketika menjadi terkenal. Mungkin kalau ku uraikan tidak cukup 100 halaman.
    Bahagia sesungguhya tanpa syarat, kok. Benar-benar gratis pula. Semua yang kita butuhkan untuk menjadi bahagia sudah ada pada diri kita. Apa pasal?
    Karena bahagia adalah sekarang, apapun situasi atau kondisi yang kita hadapi. Jadi, penyesalan dengan masa lalu dan kegelisahan dengan masa depan tak dapat dihubungkan.
    Hmmmmm, begitulah bahagia. Ikhlas menjalani berderet ujian hidup tanpa syarat. Kalau kamu bagaimana? Kebahagiaan seperti apa yang kamu kejar?
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 Oktober 2019

  • Pengingat Terbaik

    12 Agustus 2019 menjadi begitu bersejarah bagi saya. Di hari itu Tuhan memberikan kepercayaan kepada saya dan istri untuk merawat, mendidik, dan membesarkan putra pertama yang kami beri panggil Pandit.

    Dari jeritan tangis pertamanya saja, saya Pandit telah sukses membuat saya menangis penuh makna. Tentunya sangat bahagia bisa menemani tumbuh kembangnya kelak. Di sisi lain, berderet tantangan yang kelak mungkin menghadang bulai terbayang-bayang.

    Benar kata salah satu sahabat saya bahwa hadirnya seorang anak membawa pengaruh signifikan bagi keluarga muda. Tak mengherankan jika kelahiran bayi pertama menjadi “Game Changer” yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

    Lantas, apa yang dapat saya pelajari dari anak dalam beberapa minggu pertama kehadirannya?

    Pertama, manajemen waktu. Hadirnya anak mengingatkan saya untuk menghargai setiap detik kehidupan. Pasalnya dulu ketika masih melajang, saya sering menyia-nyiakan waktu begitu saja. Saya acapkali menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang berfaedah.

    Kedua, tanggung jawab. Hadirnya anak mengingatkan saya untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Tidak hanya kepada diri sendiri dan Tuhan, namun juga kepada keluarga. Ketika masih berstatus sebagai jomblo mungkin bisa seenaknya “lari dari kenyataan” atau bersifat kekanak-kanakan. Sejak anak muncul, semua sifat itu secara naluriah ditinggalkan.

    Ketiga, akhlak. Hadirnya anak mengingatkan saya untuk menjadi “orang baik dan benar” sepanjang waktu. Jika dulu senantiasa melakukan dosa kecil tanpa merasa bersalah (meski tak merugikan orang lain). Sekarang sebaliknya. Setiap mau mengambil keputusan selalu berpikir seribu kali dan terbayang-bayang wajahnya. Karena kelak anak pasti akan meneladani orang tuanya.

    Mungkin masih berderet pelajaran dari hadirnya anak. Namun, jika boleh saya simpulkan tiga poin di ataslah yang utama. Bagi saya, anak adalah sebaik-baik pengingat. Lebih tepatnya lagi, anak adalah pengingat terbaik untuk menjadi yang lebih baik.

     

     

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Mega Kuningan, 27 September 2019


  • Pulang

    Pulang.
    Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama ini?
    Bagi yang merantau, mungkin langsung menghubungkannya dengan mudik. Berkumpul bersama orang tua tercinta dan kerabat.
    Bagi yang bekerja, bisa jadi langsung mengaitkannya dengan balik ke rumah. Merajut keceriaan kembali bersama anak dan istri.
    Tentu saya, Anda, dan kita semua memiliki makna yang berbeda-beda.
    Yang pasti, setiap orang di bumi ini kelak akan pulang. Karena sesungguhnya keberadaan kita di sini hanya sementara.
    Pulang ke mana Mas Agung?
    Pulang ke tempat kita berasal. Ke Maha Pencipta.
    Lantas, sudahkah Anda mempersiapkan bekal untuk pulang?
    Jika kita ingin bepergian yang identik senang-senang saja menyiapkan berderet bekal, bukankah kita lebih serius mempersiapkan pulang ke alam keabadian?
    Sejauh mana kita serius untuk berniat pulang kepada-Nya?
    Sebesar apa persiapan yang telah kita tunaikan untuk kembali ke sumber cinta?
    Siap atau tidak siap, kelak kita akan pulang.
    Mau-tidak mau, nanti kita pergi untuk kembali
    Pulang. Pulang. Pulang.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 12 September 2019

  • Demi Waktu

    Waktu. Kadang-kadang disebut masa. Baru-baru ini  — khususnya sejak menikah dan memiliki keturunan – saya makin menyadari bahwa waktu merupakan aset paling berharga dalam hidup.
    Kita mungkin bisa kehilangan uang. Entah karena bisnis bangkrut, ditipu orang, atau lantaran berbagai musibah lainnya. Namun, jika uang nihil dalam genggaman; kita masih bisa mengejarnya untuk kembali bahkan meningkatkan nilainya.
    Lalu, bagaimana dengan waktu?
    Sayangnya, waktu tak bisa diputar ulang seperti video. Hari yang telah kita lewati tak mungkin kita “perbaiki”. Yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan “sisa” waktu yang kita sendiri tidak pernah tahu berapa lama.
    Kabar baiknya. Tuhan begitu adil. Kita semua mendapatkan 24 jam perhari. Tidak lebih, tidak kurang. Meskipun di sisi lain kita tak pernah tahu berapa jatah waktu hidup di dunia.
    Ya, kematian memang misteri. Kita tak mungkin bisa mempercepat kedatangannya. Kita pun tak pernah bisa meminta penundaan.
    Jika sudah begini, apa yang masih kita banggakan?
    Waktu memang benar-benar  tak terbeli. Sekali ia berlalu, ia tak pernah bisa kembali.
    Waktu adalah saksi yang hakiki. Tentang bagaimana hidup kita isi.
    Waktuku, waktumu, waktu kita. Semuanya telah tertulis dalam suratan takdir-Nya.
    Demi waktu. Demi masa.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega  Kuningan, 5 September 2019

  • Wong Gunong

    Baru-baru ini saya bertemu Cleo (bukan nama sebenarnya) di salah satu pusat perbelanjaan mewah di bilangan Senayan. Ia adalah seorang petani sukses dari Jawa Tengah yang penampilannya di Youtube telah ditonton oleh jutaan masyarakat Indonesia.
    Lantas, apa yang menarik dari Cleo?
    Sekilas tak banyak hal istimewa dari seorang Cleo. Terlahir dari orang tua petani di lereng Gunung Lawu, sejak kecil ia diajak ayah dan ibunya menggarap lahan di lereng gunung yang legendaris itu.
    Sebagaimana anak-anak pedesaan lain pada umumnya, Cleo “teracuni” oleh sistem pendidikan. Atas saran guru SD hingga SMA-nya, ia pergi kuliah di ibukota untuk mengejar apa yang disebut dengan sukses.
    Singkat cerita, Cleo hanya bertahan enam tahun di Jakarta. Ia tidak tamat kuliah karena menurutnya ia tak menemukan apa yang diinginkan dan dicarinya dalam hidup. Lagipula, sistem perkuliahan tidak cocok dengan jiwanya yang mendambakan kebebasan.
    Cleo berstatu mahasiswa hanya tujuh bulan. Sisa lebih dari lima tahun hidupnya di Jakarta dimanfaatkan untuk bekerja apa saja untuk mewujudkan apa yang disebut dengan sukses. Segala pekerjaan ia lakoni mulai dari agen asuransi, agen MLM, pedagang, supir, hingga penagih utang.
    Selama beberapa tahun bekerja, Cleo melihat nasib jutaan pekerja yang setiap hari memadati kota Jakarta. Pagi-pagi mereka berangkat bekerja ketika matahari belum terbit dan tiba di rumah ketika Isya telah dikumandangkan. Mereka memang mendapatkan gaji bulanan yang lumayan, namun uang yang diperoleh habis untuk menutupi berbagai cicilan. Di akhir pekan, para pekerja tersebut kebanyakan menghabiskan waktu di rumah atau “melarikan diri” ke malll guna  membeli barang-barang yang dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan.
    Selama di Jakarta, Cleo balik ke kampung halaman minimal dua kali. Biasanya pada libur lebaran dan tahun baru. Di dua momen itu ia menyempatkan diri mengamati kehidupan tetangganya di kaki gunung yang bersahaja namun “terlihat” bahagia.
    Setelah kembali ke kampung untuk selama-lamanya, Cleo menjadi petani full time. Ia menjadi pelopor di daerah sekitarnya untuk menanam sayur-mayur organik yang berorientasi ekspor. Hasilnya? Masyarakat di sekitarnya 90% mengikuti jejaknya karena lebih menguntungkan.
    Cleo mengaku ia lebih damai hidup di desa. Setiap hari ia bisa menghirup udara segar khas pegunungan. Ia bisa rutin sembahyang lima kali sehari dengan tepat waktu. Yang lebih penting lagi, ia bisa dekat dengan anak dan orang-orang terdekatnya. Tentu, ia juga tidak mendapati kemacetan gila yang dulu pernah ia alami di ibukota.
    Bagaimana dengan rumah? Apakah Cleo harus bertahun-tahun mencicil biaya rumah ke bank? Tidak dong. Ia membeli lahan lalu membangun sebuah rumah dengan bantuan tetangganya.
    Cleo memang memberikan saya begitu banyak pelajaran hidup. Namun dari itu semua ada satu yang begitu membekas di hati saya. Bahwa dalam hidup ini kitalah yang menentukan sendiri apa definisi kebahagiaan.
    Terkadang kita terperdaya dengan iklan di berbagai kanal media. Seringkali kita membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain yang “terlihat lebih”. Namun, kita terus-menerus lupa untuk mendengarkan kata hati. Untuk menyadari apa yang benar-benar penting untuk dikejar atau apa yang benar-benar kita inginkan. Karena energi itulah yang membuat diri kita bahagia.
    Sudahkah kamu bahagia? Apa arti kebahagiaan di matamu? Saatnya jujur dengan diri sendiri.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 5 September 2019

  • Hukum Tarik-Menarik

    Tuhan telah memang merancang dengan apik suratan takdir kita. Namun bukan berarti kita tidak lagi berupaya.
    Di dunia, manusia memang “cuma” dilahirkan untuk diuji. Kelak, barang siapa yang mampu melewati ujian dengan baik; akan mendapat kebahagiaan abadi. Itupun jika kita saya atau Anda percaya.
    Hukum tarik-menarik ialah salah satu hukum yang mampu menyadarkan kita akan arti ikhtiar. Hukum ini artinya bahwa kita sesungguhnya dapat menarik hal-hal positif maupun sebaliknya menggunakan pikiran dan tindakan. Konon, sejalan dengan teori energi yaitu segala sesuatu terbentuk dari energi. Maksudnya?
    Segala energi yang kita salurkan, pada akhirnya kembali kepada kita. Dengan kata lain, apabila kita memiliki keinginan apapun, kita hanya perlu untuk mengupayakannya.
    Sederhana saja kan? Jika kita ingin menjadi sosok dengan kualitas A, maka pikiran dan tindakan kita harus setara dengan kualitas A. Jika kita mengharapkan A tapi usaha kita hanya berkualitas C, maka hasilnya juga akan berbuah C.
    Hukum ini berlaku untuk segala aspek kehidupan. Dari urusan mencari nafkah, menemukan pasangan hidup, hingga menggapai karier yang kita inginkan.
    Apakah sesederhana demikian? Coba tanyakan saja kepada dirimu sendiri. Jawablah dengan jujur. Karena jika kita masih ingat dengan pelaran Fisika di bangku SD, energi itu bersifat kekal. Artinya, ia hanya berubah-ubah bentuk.
    Saya pun mengamini hal tersebut. Bahwa apa yang saya lalui atau dapati sejauh ini memang sejalan dengan energi yang saya salurkan.
    Kadang-kadang, kesibukan memang memecah kesadaran. Seringkali, masalah demi masalah memang membuat hati kita keruh. Tidak jarang, tekanan demi tekanan hidup membuat jiwa kita gersang.  Jika itu yang terjadi, serahkan saja diri kita kepada Dewata.
    Karena, bukankah semua hanya titipan? Apa yang kita miliki saat ini, tidak lebih dari sekedar ujian. Sehingga, semakin kita “merasa” memiliki, semakin sengsara kita karenanya. Karena kebahagiaan bermula dari melepaskan, tidak ada keterikatan dengan orang, kejadian, atau benda duniawi.
    Lantas, apa yang kita cari? Hukum tarik-menarik setidaknya menjadi pengingat bagi kita semua. Untuk fokus pada hal-hal penting yang mendekatkan diri kita pada-Nya. Dialah sumber kebahagiaan hakiki yang selama ini kita cari-cari.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 September 2019