Stories

  • Hanya Perlu Dijalani

    Kecewa?

    Marah?
    Takut?
    Ragu?
    Galau?
    Menyesal?
    Apakah kamu pernah mengalami enam poin di atas? Jika ya, kamu tidak sendirian. Kita semua pernah mengalaminya.
    Hidup ini hanya perlu dijalani, teman. Dengan keikhlasan. Dengan kesungguhan.
    Jika semua telah dituliskan-Nya, apa guna bersikap negatif? Bukankah itu justru menjauhkanmu dari bahagia?
    Manusia hanya perlu berupaya sebaik mungkin. Berharap boleh, tapi hasil bukan menjadi kendali kita.
    Manusia perlu bersyukur. Bahwa segala hal di dunia ini sudah ada skenarionya. Kita hanyalah aktor yang memainkan peran.
    Jadi, apa guna merasa paling sengsara? Apa manfaat galau, stres, khawatir, takut atau kecewa?
    Sandarkan dirimu pada Sang Pencipta. Cintai takdirmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 9 Maret 2020

  • Tamu Dunia

    Teman.

    Tahukah kamu bahwa hidup manusia itu laksana tamu?
    Sesederhana itu memang.
    Seorang tamu biasanya mampir ke rumah orang lain dalam waktu singkat. Tuan rumah memberikan makanan, minuman atau fasilitas lain seperlunya.
    Mana mungkin seorang tamu berhak memiliki apa yang ada di dalam rumah tersebut?
    Itu hanyalah perumpamaan.
    Sebagian besar manusia berusaha mati-matian memperjuangkan sesuatu yang kelak tidak dibawa di alam keabadian. Padahal, dunia seisinya hanyalah titipan. Bukan milik kita.
    Teman.
    Sudahkah kamu menyadari posisimu? Untuk apa kamu hidup? Ke mana kamu ingin pergu setelah nyawa sirna?
    Kita hanyalah tamu dunia yang tidak lama mampir. Sewaktu-waktu kita kembali kepada-Nya.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 10 Maret 2020

  • Bahagia yang Sesungguhnya

    Bahagia. Apakah kamu mendambakannya? Aku kira ya. Setiap orang memang mengharapkannya.

    Hanya saja, definisi kebahagiaan beragam. Ada yang menghubungkannya dengan harta, tahta, ketenaran, anak yang sukses, pasangan yang mencintai, pekerjaan idaman, ibadah dan seterusnya.
    Teman, kamu memang memiliki definisi bahagia sendiri. Yang perlu kamu ingat, bahagia yang hakiki hanya milik orang-orang yang dekat kepada-Nya.
    Jadi, jika orientasimu masih dunia, coba kamu merenungkannya kembali. Karena semua yang di dunia ini fana. Kamu justru mendapati kekecewaan, penyesalan, kecemasan atau ketakutan jika bersandar kepadanya.
    Teman, hidup ini singkat. Marilah kita persembahkan kepada Tuhan. Karena Dialah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 10 Maret 2020

  • Apa Adanya

    Pencitraan. Bosankah kamu mendengarnya? Seberapa penting di matamu?

    Di era digital ini nampaknya setiap individu tak mau kalah dengan merek produk/jasa. Mereka berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan kesan atau persepsi baik dari orang lain.
    Apalagi, saat ini ada banyak jenis media sosial yang siap memenuhi nafsu pencitraan. Dari Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, Linkedin dan seterusnya.
    Prinsipnya sama. Jika merek produk/jasa digaungkan agar makin banyak orang membeli, pencitraan pribadi dikumandangkan agar makin banyak orang memakai produk/jasa kita. Setidaknya publik menyadari betapa keren, hebat, cantik, ganteng, pintar, eksis, kaya, berkuasa, atau terpandangnya kita.
    Di abad ini, agaknya sulit menemukan orang yang otentik. Orang-orang yang bersikap apa adanya.
    Semua orang bertopeng. Semua tindakan tak lebih dari kedok. Semua ada maunya. Salahkah?
    Tidak dong. Tinggal niatnya bagaimana. Hanya si fulan dan Tuhan yang tahu. Karena kita hanya bisa menilai dari apa yang terekam oleh panca indera.
    Jadi, seberapa besar upayamu untuk pencitraan? Masihkah kamu bersikap apa adanya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 18 Februari 2020

  • Ajal

    Ajal. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?

    Ya, kamu bisa bebas memaknai. Mati. Tewas. Wafat. Mampus. Meninggal dunia. Tutup usia. Atau yang lainnya.
    Ajal memang misteri. Konon Dewata telah menggariskan usia setiap individu sejak kita di alam kandungan.
    Ajal tak mensyaratkan sakit dulu atau tua dulu. Datang kapan saja. Tak dapat dimundurkan, tak dapat dipercepat.
    Sayangnya, kita sering lalai dengan hal ini. Kita mati-matian mengejar sesuatu yang sesungguhny bakal kita tinggalkan. Ya, sebagian besar manusia terlena dengan yang fana.
    “Berusahalah untuk duniamu seakan-akan kau hidup selamanya. Berusahalah untuk akhiratmu seakan-akan esok kau tiada.” Ungkapan klise ini mungkin tak kan pernah lekang oleh waktu.
    Nah, seberapa besar upayamu menghadapi ajal?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 18 Februari 2020

  • Nafsu Gila

    Apa yang ada dibenakmu ketika mendengar kata nafsu? Mungkin kamu menghubungkannya dengan ambisi, keinginan, hingga keakuan.

    Apapun persepsimu, setiap dari diri kita memilikinya. Karena nafsu adalah simbol masih adanya nafas yang menjadi kunci kehidupan.
    Nafsu bersifat netral. Baik dan positifnya bergantung diri kita.
    Nafsu bisa menjerumuskan kita pada lembah keburukan yang menyengsarakan di kemudian hari. Nafsu pun bisa menjadi “sahabat”yang kelak mengantarkan pada surga.
    Sayangnya, sebagian besar manusia di dunia memiliki nafsu gila. Mereka serakus hewan, sejahat iblis. Maunya menang sendiri, kaya sendiri, senang sendiri, tenar sendiri, berkuasa sendiri.
    Jika kita ibaratkan nafsu adalah kuda dan kusir adalah diri kita, nafsu gila ibarat kusir yang tak dapat mengendalikan kuda. Bagaimana nasib kusir?
    Ya bisa berabe. Kemungkinan besar kusir tak hanya mencelakai dirinya, namun juga orang hingga benda di sekitarnya.
    Jika hidup adalah laksana perjalanan menaiki kuda yang mengantarkan pada tujuan (Tuhan/surga), kuda tidak perlu dimatikan namun dikendalikan. Karena kuda yang menjadi simbol ego atau keakuan tak dapat dipisahkan dari jiwa.
    Lantas, bagaimana dengan dirimu? Sudahkah kamu berhasil mengendalikan nafsu gilamu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 17 Februari 2020