Tak terasa sudah lebih dari tiga bulan saya menjadi Self-Employee. Bukan waktu yang mudah untuk dijalani. Tapi saya begitu bersyukur bisa mencapai titik ini.
Terbiasa berjibaku dengan kemacetan Jakarta pulang-pergi kini sudah tidak kurasakan lagi. Menahan haus dan lapar di jalan tidak lagi kualami. Kehujanan maupun pandangan silau ketika berkendara tak lagi kutemui.
Sepertinya di rumah enak ya Mas?
Ada enaknya, ada tantangannya juga. Karena saya percaya apapun itu sepaket. Tak ada yang benar-benar menyenangkan. Nggak ada yang benar-benar menyedihkan.
Saya percaya dalam kondisi apapun kita bisa memilih. Untuk ceria atau murung. Untuk berprasangka baik atau buruk. Untuk sabar atau terpancing emosi. Untuk lebih termotivasi atau justru makin down.
Dulu ketika bekerja ada sosok atasan yang setidaknya mengingatkan kita untuk mencapai to do list ini dan itu. Senggaknya ada rekan kerja yang kita ajak curhat tentang keseharian. Kini itu tinggal kenangan.
Kendali Diri
Hanya diri sendirilah yang membuat semangat. Hanya diri sendirilah yang mendorong saya bosan. Hanya diri sendirilah yang menciptakan suasana menjadi nyaman atau sebaliknya.
Jadi, ketika saya sedang bosan, saya ingat lagi tagihan demi tagihan yang perlu kubayar.
Ketika saya lagi down, saya merenungkan lagi perjuangan ayah dan ibu yang membesarkan saya.
Ketika saya sedang galau, saya mengingat lagi alasan awal saya meninggalkan kampung halaman.
Ketika saya hampir menyerah, saya ingat lagi tumbuh kembang anak saya.
Dan ketika saya merasa hilang arah, saya ingat lagi Tuhan. Karena ini adalah sumber motivasi terbesar.
Mengingat Kematian
Saya merasa tiga bulan terakhir merupakan fase yang tidak mudah dilalui. Berbagai “drama” datang bertubi-tubi silih berganti.
Andai saja saya bukan self-employee, rasanya sulit meminta izin seminggu untuk merawat kedua orang tua yang sakit bersamaan di rumah sakit berbeda.
Andai saja saya masih orang kantoran, tidak mungkin saya secara bebas berlama-lama di rumah ketika ayah mertua wafat secara mendadak.
Andai saja saya masih mengikuti pola 9-6, mustahil saya bisa mengantar dan menjemput anak dengan leluasa.
Mengingat kematian sungguh menjadi pelecut. Karena untuk apa kita melakukan apa yang kita lakukan? Untuk siapa kita berkarya? Mengapa kita perlu takut, cemas, dan bosan?
Bukankah itu semua kelak tidak artinya ketika ajal datang?
Ya Tuhan, ampuni saya. Selama ini saya masih jauh untuk dikatkaan sebagai orang baik. Saya masih belum bijak mengisi waktu saya.
Saya yakin saya bisa memperbaiki diri untuk mengikuti kehendak-Mu.
Saya berterima kasih atas rahmat-Mu selama ini.
Saya pasrahkan hidupku kepada-Mu.
Saya ikuti semua skenario-Mu.
Sawangan, 21 Maret 2024